tag:blogger.com,1999:blog-42902295729274182912024-02-07T09:51:54.654+07:00JokpinianaSeputar Perpuisian Joko PinurboJoko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comBlogger86125tag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-62994111228776834322013-10-15T21:15:00.001+07:002013-10-15T21:17:01.866+07:00Puisi Induktif Joko PinurboOleh <b>Acep Iwan Saidi</b><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsSdLFj0TEDPVWfPaqUze_J_1_H723BW0eKadgN8HC-67Ewj9pTtnn7hPDpspfTLo0pWbGwcAs9sLYf3RoO4WQwY9-6wZk1fUOEeLtWIFLWj7_NLc2ZV3qIW6Z0ivor54EhcX-43J1Zs0A/s1600/jokpin-baju-bulan-2013.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsSdLFj0TEDPVWfPaqUze_J_1_H723BW0eKadgN8HC-67Ewj9pTtnn7hPDpspfTLo0pWbGwcAs9sLYf3RoO4WQwY9-6wZk1fUOEeLtWIFLWj7_NLc2ZV3qIW6Z0ivor54EhcX-43J1Zs0A/s320/jokpin-baju-bulan-2013.jpg" /></a></div>Joko Pinurbo (Jokpin) kembali menerbitkan buku puisi. Buku tersebut ia beri judul <i>Baju Bulan</i> (Gramedia, 2013). Menelaah sajak-sajak dalam kumpulan ini identik dengan memahami simpul kehidupan yang berkelindan di dalam ruang dan waktu keseharian. Kehidupan manusia yang renik dan kompleks dihadirkan Jokpin dalam diksi yang padat dan kuat, tapi juga “familiar” dan bersahaja. Pada beberapa sajak, larik-lariknya bahkan acap jenaka. Membacanya kita bisa tersenyum sekaligus merenung. Jokpin seakan ingin membawa pembaca masuk silih berganti ke dalam ruang dan waktu sunyi, terharu, bahagia, berkerut, tersenyum, dan seterusnya. Suasana itu kadang juga dikirim Jokpin secara bersamaan. Kita semua tahu belaka, begitulah memang kehidupan manusia. Walhasil, sajak-sajak Jokpin adalah “narasi puitik” hidup sehari-hari. Pilihan katanya sangat dekat, bahkan berada di dalam pengalaman kita.<br />
<br />
<i>Baju Bulan</i> sendiri, sebagai judul kumpulan, adalah juga judul sebuah sajak di antara 59 sajak yang lain di dalamnya. Sajak ini merupakan narasi puitik mengenai sebuah momen penting dalam kehidupan masyarakat kita, terutama ummat muslim, yakni tentang Lebaran.<br />
<br />
Secara tematik, “Baju Bulan” mengingatkan kita pada sajak fenomenal yang ditulis Situr Situmorang, pendahulu Jokpin dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia. Untuk mengingatkan, sajak Sitor berjudul “Malam Lebaran” itu hanya terdiri atas satu larik, yakni <i>bulan di atas kuburan</i>. Namun, dalam banyak hal, “Baju Bulan” Jokpin berbeda dengan “Malam Lebaran” Sitor.<br />
<br />
Sitor menulis secara deduktif. Dari pengalaman dan pemahaman tentang Lebaran, melalui sajaknya Sitor merumuskan “secara teoretik” peristiwa Lebaran. Bagi Sitor, Lebaran, sebagai peristiwa spiritual yang telah berasimilasi dengan kebudayaan itu merupakan paradoks: pertentangan kebahagiaan dengan kesedihan, terang dengan gelap, sunyi dengan hiruk-pikuk. Di situ, bulan dan kuburan menjadi pasangan yang berlawanan (oposisi biner). Dengan demikian, larik sajak ini memiliki kekuatan teoretik-sistemik. Mengaju kepada Ferdinand de Saussure dalam Culler (1986), ia menjadi semacam <i>langua</i> dalam bahasa.<br />
<br />
<b>“Puisi Induktif”</b><br />
Jokpin menulis dengan cara berbeda, bahkan sebaliknya dari Sitor. Pehatikan cuplikan penuh sajak tersebut berikut ini:<br />
<br />
“Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru,<br />
tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,<br />
sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.<br />
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?<br />
Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan<br />
bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni<br />
baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan<br />
mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat<br />
menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri<br />
rela telanjang di langit, atap paling rindang<br />
bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.”<br />
<br />
Secara tematik, segera bisa dibaca bahwa sajak di atas memperkarakan ikhwal yang tidak jauh berbeda dengan Sitor, yakni tentang peristiwa pertentangan di malam Lebaran: hal memilukan di tengah-tengah kebahagiaan; orang yang kalah dalam mitos kemenangan.<br />
<br />
Namun, berbeda dengan Sitor yang dedukif, Jokpin menulis secara induktif. Di dalam teksnya ia menghadirkan peristiwa secara langsung. Untuk itu, ia menggunakan “dua subjek lirik”, yakni Bulan dan Gadis Kecil. Untuk Bulan, Jokpin memakai gaya bahasa personifikasi. Kepadanya ia bubuhkan sifat-sifat manusia (bulan terharu, mencopot bajunya, dan seterusnya). Sedangkan Gadis Kecil adalah <i>synecdoche pars pro toto</i>, sebagian untuk seluruhnya. Itu berarti, gadis kecil yang dimaksud bukan hanya <i>gadis kecil yang sering menangis di persimpangan</i> yang dihadirkan pada teks tersebut saja, melainkan semua gadis kecil lain yang senasib, juga akhirnya merupakan wakil dari kemiskinan dan kesengsaraan secara keseluruhan. Sosok ini bolehlah dibilang sebagai “reinkarnasi” <i>gadis kecil berkaleng kecil</i> Toto Sudarto Bachtiar dalam sajaknya, “Gadis Peminta-minta”.<br />
<br />
Halnya menjadi menarik ketika dua subjek lirik tersebut ternyata juga digunakan Jokpin untuk menghadirkan realitas Lebaran dari dua perspektif. <i>Pertama</i>, perspektif Gadis Kecil yang tampak mewakili pandangan penyair mengenai pertentangan bahagia dengan sedih secara fisik: yakni suka cita malam Lebaran versus gadis kecil yang tidak memiliki baju (kebahagiaan). Suasana suka citanya sendiri tentu saja tidak hadir secara tekstual, melainkan secara <i>in absentia</i> sebagai efek dihadirkannya si gadias kecil secara tekstual (<i>inpraesentia</i>) tadi. Secara “dejure” suka cita itu hadir dalam pengetahuan kolektif masyarakat, sebagai mitos.<br />
<br />
<i>Kedua</i>, perspektif subjek lirik <i>Bulan</i> yang tampak merepresentasikan pandangan filosofis penyair. Di bagian inilah Jokpin mengirim semacam surat kaleng kepada pembaca, satu cara bagaimana ia membuat kita terkejut sekaligus merenung. Ternyata, katanya, <i>“masih ada yang membutuhkan/bajunya yang kuno/di antara begitu banyak warna-warni/baju buatan”</i>. Larik ini mengirim pesan semiotik : suka cita Lebaran (tentu dengan kemenangan di dalamnya) adalah panorama benda yang artifisial. Faktanya, situasi seperti ini memang acap tak terhindarkan.<br />
<br />
Dengan pola ucap demikian, sebaliknya dari Sitor, Jokpin menghadirkan “parole”—kembali mengacu pada Saussure—, yakni ujaran individu yang spesifik dan renik. Bulan dan Gadis Kecil berada dalam kisah sehari-hari. Efeknya, pembaca dimungkinkan dapat lebih akrab dengan “bulan” Jokpin daripada “bulan” Sitor. Personifikasi yang dijilmakan pada bulan dalam kisah si gadis kecil mengingatkan kita pada “dunia kebermainan” anak-anak, dunia yang penuh imajinasi. Tentu ini bukan sebuah perbandingan yang menunjukkan sajak satu lebih unggul atau lebih lemah dari yang lain. Ini sebatas untuk menunjukkan pendekatan dan metode menulis yang berbeda belaka.<br />
<br />
Model penulisan yang menghadirkan “parole” sedemikian, secara umum merupakan karakteristik sajak Jokpin, baik dalam kumpulan ini maupun yang lain. Tentu saja, dalam proses kreatifnya Jokpin berada di dalam persilangan dengan berbagai teks dari penyair lain. Di dalam sajak-sajaknya kita dapat mencium, misalnya, “narasi puitik” yang imajis Sapardi Djoko Damono dan renungan filosofis Subagio Sastrowardoyo. Namun, justru dengan persilangan teks sedemikian kita menemukan posisi Jokpin yang menarik dalam peta perpuisian Indonesia. Hanya, tentu saja, untuk melihat hal tersebut lebih jauh, Anda harus membacanya lebih seksama. Untuk itu, buku ini memiliki peran sangat penting. Khusus untuk mahasiswa sastra, saya merekomendasikan <i>Baju Bulan</i> sebagai salah satu karya puisi yang wajib dibaca***<br />
<br />
Dimuat di <i>Kompas Minggu</i>, 8 September 2013<br />
<br />
<b>Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB.</b><br />
Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-61000270002880698342013-06-03T03:09:00.001+07:002013-10-13T21:51:36.847+07:00Jokpin Masih di Yogyaoleh <b>Faruk</b><br />
<br />
JENDELA<br />
<br />
Di jendela tercinta ia duduk-duduk<br />
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.<br />
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi<br />
dan setiap mereka ayunkan kaki<br />
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.<br />
<br />
Mereka memandang takjub ke seberang,<br />
melihat bulan menggelinding di gigir tebing,<br />
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr….<br />
<br />
Sesaat mereka membisu.<br />
Gigil malam mencengkeram bahu.<br />
“Rasanya pernah kudengar suara byuurrr<br />
dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”<br />
“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”<br />
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin<br />
yang terselip leher baju.<br />
<br />
Di rumah itu mereka tinggal berdua.<br />
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.<br />
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.<br />
<br />
“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”<br />
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?<br />
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”<br />
<br />
Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang<br />
dan membiarkan jendela tetap terbuka.<br />
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,<br />
menerangi tidur mereka yang bersahaja<br />
seperti doa yang tak banyak meminta.<br />
<br />
(2010)<br />
<br />
Sudah banyak puisi tentang jendela hingga ia bisa dikatakan sudah menjadi metafora yang mati, seperti kata biasa digunakan dalam wacana non-puisi seperti iklan dan sebagainya. Karena itu, membaca judul puisi ini orang akan langsung memahaminya sebagai symbol mengenai ruang-antara yang mempertemukan dua dunia, dunia pribadi yang sempit dengan dunia luar yang luas. dengan jendela wawasan orang menjadi luas, tidak menjadi seperti “katak dalam tempurung”. Dalam puisi modernis kadang jendela mempertemukan dunia dunia yang bertentangan, antara yang pribadi dengan yang sosial.<br />
<br />
Puisi di atas menggunakan metafora tersebut dengan muatan makna yang dekat dengan yang pertama. Ada dunia keluarga yang sempit dan ada alam yang luas. dunia luar yang luas itu tidak hanya alam, tapi juga waktu, buku, televise. Pada level hubungan yang lain ada juga hubungan antara diri sebagai yang sempit dengan ibu, orang lain, sebagai yang luas. biarpun keduanya itu dibayangkan terpisah, tetapi sebenarnya kedua kutub itu juga tak mau berpisah. Ketidakinginan berpisah itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa mereka ngotot untuk bersatu. Kesatuan antara keduanya dibiarkan mengalir tanpa dipaksakan, dibiarkan mengalir secara alamiah. Kesatuan itu dilakukan cukup dengan membiarkan jendela terbuka, cukup seperti doa yang tidak banyak meminta.<br />
<br />
Dengan terbukanya jendela itu kedua kutub di atas terpisah, tetapi juga tetap bersatu. Mereka disatukan oleh jendela. Dalam kesatuan itu anak ada dalam ibu, ibu ada dalam anak, alam di luar ada di rumah, dalam keluarga, dalam diri mereka berdua. Dalam relasi yang demikian, keluasan yang paling jauh dapat memuncak pada diri yang paling sempit. Karena itu, akumulasi dari kebersamaan, kemenduaan itu justru memuncak dalam kesendirian: puisi.<br />
<br />
<i>Di rumah itu mereka tinggal berdua.<br />
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.<br />
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.</i><br />
<br />
Seperti halnya cinta. Cinta adalah perasaan yang sangat pribadi, tetapi sekaligus yang mempertalikan seseorang dengan orang lainnya, keluarga dengan masyarakat, masyarakat dengan dunia, manusia dengan alam, dunia sini dengan dunia sana. Hanya dalam cinta manusia dapat melawan dan membebaskan diri dari trauma. Semacam “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” walaupun, di dalam puisi ini, kesatuan tersebut tidak dapat diartikan sebagai sebuah leburnya perbedaan. Yang mempersatukan keduanya adalah jendela yang di satu pihak memisahkan, di lain pihak menyatukan.<br />
<br />
Dari segi metafora jendela ini tidak ada yang baru pada puisi di atas. Puisi itu bisa dikatakan masih tetap bagian dari tradisi. Jendela adalah jembatan bagi kesatuan antara yang di sini dengan yang di sana, yang sempit dengan yang luas. Meskipun demikian, sebagaimana yang terungkap dalam perbandingannya dengan kesatuan yang lama dalam pepatah “bersatu kita…” di atas, jendela itu menambahkan nuansa makna yang lain. Jendela tidak hanya menyatukan, tetapi juga memisahkan. Jendela adalah “kesatuan dalam keragaman, keragaman dalam kesatuan, kesamaan dan perbedaan, perbedaan dalam kesamaan”.<br />
<br />
Sejajar dengan itu, bila judulnya mempersatukan puisi ini dengan tradisi, isinya penuh dengan kejutan yang mendefamiliarisasi, mengasingkan, dibandingkan dengan tradisi itu. Marilah kita pahami tradisi itu sebagai yogya, sebagai persada studi klub, sebagai sabana. Marilah kita pahami yogya sebagai diri, sebagai keluarga, sebagai masyarakat tradisional yang berhadapan dengan orang lain (ibu), dengan alam, dengan buku, dengan televise, dengan alam, dengan waktu.<br />
<br />
Cara bertutur Jokpin dalam puisi itu adalah cara bertutur yang sangat khas yogya. Kehidupan sehari-hari, alam, pedesaan, rakyat kecil, kebersahajaan, dan sebagainya, dengan urutan narasi yang cenderung runtut. Namun, metaforanya adalah metafora yang penuh kejutan jika dibandingkan dengan cara bertutur Yogya. Ada jejak metafora afrizalian, penyair Jakarta yang sekarang di yogya itu, di dalamnya, misalnya objek yang bertukar tempat dengan subjek, alam yang menyempit jadi bagian dari diri. Dalam puisi di atas metafora yang serupa ini antara lain terlihat dalam kutipan berikut.<br />
<br />
<i>dan setiap mereka ayunkan kaki <br />
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.<br />
<br />
“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,” <br />
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin<br />
yang terselip di leher baju.<br />
<br />
Di rumah itu mereka tinggal berdua.<br />
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.<br />
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.</i><br />
<br />
Metafora yang penuh kejutan seperti itu banyak sekali terdapat dalam puisi-puisinya yang lain. Lebih dari itu, puisi-puisi Jokpin juga tidak ragu untuk meloncat dari yang liris ke yang amat prosaic, dari yang serius ke yang hiburan, budaya popular seperti superman.<br />
<br />
Jokpin adalah penyair yogya yang pernah mengembara ke kota dan kemudian kembali ke yogya. Akan tetapi, kembalinya ke yogya tidak membuatnya mencari kembali yang lama dan menutup jendela. Jokpin masih penyair yogya, masih pewaris psk, tetapi dengan jendela yang terbuka ke mana-mana. Jokpin penyair yogya yang hidup berdua, bersama waktu, bersama buku, bersama televise.<br />
<br />
JOKPIN ADALAH UMBU YANG BARU.<br />
<br />
*Diskusi Puisi PKKH UGM #12, 29 Mei 2013Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-28206706090734758592013-06-03T03:03:00.002+07:002013-06-03T03:03:36.126+07:00"Asu" dalam Kepala Joko Pinurbooleh <b>Burhan Kadir</b><br />
<br />
ASU<br />
<br />
Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit<br />
saya berpapasan dengan anjing besar <br />
yang melaju dari arah yang saya tuju. <br />
Matanya merah. Tatapannya yang kidal <br />
membuat saya mundur beberapa jengkal.<br />
<br />
Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang<br />
menjadi korban gigit anjing gila. <br />
Mereka diserang demam berkepanjangan,<br />
bahkan ada yang sampai kesurupan.<br />
<br />
Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.<br />
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.<br />
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul <br />
mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”<br />
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,<br />
Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”<br />
Saat bertemu temannya di jalan, <br />
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.<br />
<br />
Pernah saya bertanya, “Asu itu apa, Yah?”<br />
“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.<br />
Kemudian ganti saya ditanya, <br />
“Coba, menurut kamu, asu itu apa?”<br />
“Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.<br />
<br />
Sementara saya melangkah mundur, <br />
anjing itu maju terus dengan nyalang. <br />
Demi Ayah, saya ucapkan salam, “Selamat sore, asu.” <br />
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, “Selamat sore, su!”<br />
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan. <br />
Dari belakang sana terdengar teriakan, <br />
“Tolong, tolong! Anjing, anjing!”<br />
<br />
(2011)<br />
<br />
ASU; sebuah kata yang sangat simple, jika dibawah ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar maka kata ini akan menjelma menjadi anjing, entah itu betina atau jantan dan entah itu anjing yang lucu atau malah anjing yang bisa membuat rabies. Akhir-akhir ini aku sering mendengar kata ASU mengalun ditelingaku, meski tidak sampai merabah hatiku, tapi kata ini bila dipakai mengumpat cukup bisa membuat darah keluar bila diucapkan dalam keadaan marah, tapi itu hanya bisa terjadi di kampungku, sebuah kampung yang letaknya 80 KM dari arah kota Makassar. Artinya pun sama “Anjing”.<br />
<br />
Sepertinya bapak Joko Pinurbo pun sangat berkesan dengan kata ASU ini, sebuah kata umpatan tapi penuh rasa sayang, tapi dalam hal tema puisi tampaknya ini hal yang baru, karena belum pernah saya temui puisi yang berjudul ASU sebelumnya. Mari kita menengok kata demi kata setelah kita melewati judulnya, bait pertama puisi ini:<br />
<br />
<i>Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit<br />
saya berpapasan dengan anjing besar <br />
yang melaju dari arah yang saya tuju. <br />
Matanya merah. Tatapannya yang kidal <br />
membuat saya mundur beberapa jengkal</i><br />
<br />
Mungkin sebuah kepantasan bila mas Joko Pinurbo diberi lebel sebagai penyair kontemporer, penulis puisi kekinian, puisi yang sudah memiliki kebebasan berekspresi, baik dari bentuk, rima dan diksi yang dipilih. Mungkin beliau ingin mengembalikan puisi kembali ke hakikatnya yaitu sebuah doa. Sebagai penulis puisi yang menggunakan gaya naratif ketimbang puisi dengan gaya larik lirik yang lebih susah untuk diselami, saya tidak mengatakan puisi naratif gaya mas Joko Pinurbo sangat gampang diselami, tapi maksud saya adalah pemilihan diksi dalam puisinya sangat ringan namun tetap sarat akan misteri dan kedalaman.<br />
<br />
Bait pertama ini terlihat bagaimana mas Joko Pinurbo kembali bermain-main kata dengan gayanya yang sangat prosaik, menulis puisi seperti menceritakan sesuatu hal yang sangat biasa, dengan diksi yang begitu ringan. Sebuah kuburan di atas bukit, dalam perjalanan bertemu dengan anjing yang besar, matanya merah, tatapannya yang tajam dan saya yakin setiap orang yang mengalaminya pasti akan mundur beberapa jengkal hinggah menjadi sebuah langkah pasti, yakni terror mental akan apa yang diperbuat anjing itu kepada kita. Bercerita tentang kuburan pastinya yang terngiang adalah kematian, bagaimana penyair melihat dan memandang sebuah kematian, apakah ini terror sang penulis yang membeberkan bahwa kematian itu menakutkan atau setelah kematian itu yang malahsangat menakutkan. Namun dibalik itu beliau tetap saja bergurau, dengan mengatakan mundur beberapa jengkal, sepertinya bila ini benar-benar terjadi pada kita, maka bukan sejengkal langkah mundur yang kita lakukan tapi mengambil langkah seribu.<br />
<br />
Ini yang menjadi salah satu kekhasan dari mas Joko Pinurbo, menggunakan metafora-metafora yang humoris untuk melihat bagaimana kematian itu. Dia memandang bahwa kematian bukanlah hal yang harus kita takuti. Namun sebaliknya kita harus menyambutnya dengan senang. Seperti pada puisi-puisinya yang lain. <br />
<br />
Lalu pada bait ke dua: <br />
<br />
<i>Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang<br />
menjadi korban gigit anjing gila. <br />
Mereka diserang demam berkepanjangan,<br />
bahkan ada yang sampai kesurupan.</i><br />
<br />
Pada bait kedua ini kembali hanya menawarkan pada kita sebuah cerita yang biasa, sebuah kecemasan dan bagaimana dampak bila kita tergigit oleh anjing gila, seseorang akan demam lama dan saking panasnya bisa membuat korban gigitan itu menjadi gila, tidak sadarkan diri atau dengan kata lain kesurupan, ini kata yang masyarakat beragama sering pakai. Meski terlihat seperti puisi yang berbait-bait namun pada dasarnya ini hanya sebuah cerita yang bersambung. Sebagai seorang penyair yang merekam hal-hal terkecil disekelilingnya. ‘Anjing gila’ mungkin saja sebuah idiom yang digunakan untuk mengganti kata ‘kematian’, bahwa begitu banyak orang yang begitu takut mati, bahkan memikirkannya pun menjadi enggan. Sampai-sampai mereka berbuat didunia ini seperti bahwa kematian tidak akan menjemputnya, begitu takut seperti telah tergigit anjing gila, berbuat hal-hal yang sepertinya diluar kesadarannya, lupa bahwa kematian akan datang pada semua orang, contohnya seperti kelakuan sebagian besar para pejabat dan public figure kita ditanah air ini.<br />
<br />
Mungkin juga beliau hendak menyampaikan bahwa sekarang keadaan semua orang sama, dimana-mana selalu ada sosok “Anjing Gila” menebar kesakitan-kesakitan yang sama dan membuat orang-orang seperti tidak sadarkan diri akan apa yang dialaminya, menjadi sesuatu yang sangat biasa, nerimo karna kita hanya rakyat kecil yang kebanyakan. Beliau seperti mengumpakan sosok anjing gila itu sebagai pemerintah sekarang ini, mengumpakan media sebagai sosok anjing gila yang menebar teror lewat berita-beritanya, yang selalu sama dan menakutkan. <br />
<br />
Lalu pada bait ke tiga dan ke empat:<br />
<br />
<i>Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.<br />
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.<br />
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul <br />
mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”<br />
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,<br />
Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”<br />
Saat bertemu temannya di jalan, <br />
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.<br />
Pernah saya bertanya, “Asu itu apa, Yah?”<br />
“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.<br />
Kemudian ganti saya ditanya, <br />
“Coba, menurut kamu, asu itu apa?”<br />
“Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.</i><br />
<br />
Kepiawaian Mas Jokpin mengolah sudut pandang anak-anak dengan amat menyentuh. Dalam pandangannya, keadaan bagamana pun hubungan ayah dan anak adalah sesuatu yang sangat luar biasa dan diluar penginderaan. Dialog-dialog yang dihadirkan seolah memecah kebekuan pada bait-bait sebelumnya, bagaimana sosok ASU digambarkan sebagai idiom yang saling bertolak belakang namun seketika membuat kita cair akan sebuah kata ASU, dia bukan lagi sosok anjing gila, bukan umpatan kemarahan yang membuat darah mendidih, bahwa hubungan yang didasari rasa kasih sayang mampu membuat idiom itu luluh dengan sendirinya. Tidak semua ASU adalah anjing yang bisa membuat orang kesurupan dan gila hingga tak mengenal sesamanya, kata bisa menjadi malaikat namun juga bisa menjelma setan.<br />
<br />
Pada bait terakhir:<br />
<br />
<i>Sementara saya melangkah mundur, <br />
anjing itu maju terus dengan nyalang. <br />
Demi Ayah, saya ucapkan salam, “Selamat sore, asu.” <br />
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, “Selamat sore, su!”<br />
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan. <br />
Dari belakang sana terdengar teriakan, <br />
“Tolong, tolong! Anjing, anjing!”</i><br />
<br />
Sepertinya waktu begitu lama namun cepat berlalu, Mas Jokpin dengan lihai membuat kita seperti berjalan maju mundur dan seketika berlari hinggah jauh kedepan, dan ketangkasannya bermain-main dengan waktu-flashback dan rentang yang melompat-lompat. Kesan kekanak-kanakan dengan gambaran dialog dengan anjing membuat kita seolah-olah tergelitik, iyya memang hanya anak-anak yang sering berdialog dengan anjing, karena kepolosan seorang anak-anak bahwa ketakutan harus dihadapi dengan sewajarnya, seperti anak-anak yang tidak tahu apa itu takut, apa itu kematian, dia sepertinya mengabarkan kepada kita semua bahwa kematian itu mesti dihadapi dengan senang, polos dan bersahabat. <br />
<br />
Mas Jokpin adalah penulis yang sepertinya tidak perlu dibebani oleh misi-misi di luar dirinya, yang pada akhirnya menjerumuskannya pada deretan kata yang pekik. Puisi-puisi mas Jokpin merupakan ironi-ironi hidup manusia sehari-hari yang diungkapkan dengan kata ringan. Walaupun dia berbahasa seperti bercerita dalam setiap puisinya, tapi selalu ada keanehan, misteri dan kejutan pada bahagian akhir puisi. Dan penyudah puisi Mas Jokpin itulah sebenarnya yang berjaya mencuit hati kita dan adakalanya kita temui kejutan yang tidak disangka serta ia seperti ending dari puisi diatas, lalu sapa yang berdialog dan berdamai dengan anjing tadi, siapa yang melolong minta tolong.<br />
<br />
Dibalik karyanya yang tampak sepele itu, Jokpin tetap memegang disiplin berkarya terutama tata bahasa. Subjek, predikat, objek dan keterangan (SPOK) tidak pernah dilepasnya dri puisi terpendeknya sekalipun. Inilah bentuk sebuah puisi kontemporer, beragam bentuk dan rupa lebih mengutamakan makna dalam puisi itu sendiri ketimbang makna di luar puisi (bentuk puisi) seperti pada gaya puisi-puisi lama. Meski pada alam puisi yang lain pasti ada seniman dan penyair lain yang tidak suka dengan gaya prosaik dalam sebuah puisi, masih mendewakan dan merasa bahwa sebuah puisi haruslah sebuah kata yang puitik, punya struktur baku sebagai syarat sah sebuah puisi, bukan sekedar potongan-potongan prosa biasa. Namun ini adalah perkembangan puisi Indonesia seperti yang disajikan Mas Jokpin dalam tiap puisi-puisinya, yang lebih menitikberatkan kebebasan dalam mengekspresikan berbagai struktur pembangun puisinya.<br />
<br />
Terima kasih atas kesempatan untuk menyelami misteri Puisi-Puisi mas Jokpin.<br />
<br />
* Diskusi Puisi PKKH UGM #12, 29 Mei 2013Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-16429503988620582852013-06-03T02:56:00.002+07:002013-06-03T02:56:23.814+07:00Meditasi Joko Pinurbooleh <b>TS Pinang</b><br />
<br />
<b>000</b><br />
TELAH begitu banyak tulisan-tulisan ulasan maupun komentar atas sajak-sajak penyair Joko Pinurbo (Jokpin) yang ditulis oleh para pakar entah itu pengamat sastra, “kritikus”, filsuf, redaktur hingga para mahasiswa sastra Indonesia. Saya kira akan menjadi sebuah upaya yang sia-sia apabila saya memaksakan diri menulis tulisan semacam itu, selain karena alasan di atas juga karena kapasitas saya jelas jauh dari kualifikasi penulis ulasan karya sastra.<br />
Karena itu saya akan mencoba menceritakan kesan-kesan pribadi saya atas diri penyair Jokpin yang saya raba melalui beberapa sajak beliau. Tentu ini menjadi jauh dari kualitas akademik—sebab kritik sastra adalah sebuah karya akademik yang harus mengikuti kaidah-kaidah penulisan ilmiah; saya akan bercerita saja, ngalor-ngidul, mungkin tidak sistematis dan anda boleh berhenti kapan saja dan membuang tulisan ini.<br />
<br />
<b>001</b><br />
Penyair pemula berkhayal, penyair paripurna bermeditasi.<br />
Bukan citraan-citraan yang “dahsyat” dengan pilihan kata-kata yang “tinggi” yang dibutuhkan untuk menulis sajak yang kuat. Bukan pula metafora yang remang-absurd atau kalimat-kalimat sulit yang hanya menunjukkan khayalan yang ngambra-ambra yang nggladrah luput dari fokus. Saya kira semua penyair mengalami fasa ini dalam perjalanan kepenyairannya terutama di awal-awal pergaulannya dengan puisi. Puisi tak lebih sebagai alam khayal di langit tinggi.<br />
<br />
Meditasi mereduksi pikiran-pikiran yang tak terkendali dengan cara membiarkannya pergi sendiri melalui relaksasi, bukan meringkusnya secara paksa. Fokus didapatkan dengan membiarkan pikiran paling sederhana yang tersisa untuk direnungkan lebih dalam, diolah dengan rasa, sedangkan logika dipanggil seperlunya saja. Dari proses semacam inilah saya duga sajak-sajak Jokpin dilahirkan. Bukan proses yang mudah, dan jelas memakan banyak waktu dan tenaga (perlu dikonfirmasikan ke Jokpin sendiri berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis sebuah sajak sampai siap dipublikasikan, bandingkan dengan penyair pemula yang bisa menghasilkan berkodi puisi dalam sehari). Kegelisahan, keresahan, kecemasan ditransformasikan menjadi humor—kadang satir, ironis—yang ringan, bermain-main, namun mengandung kadar kebijaksanaan. Humor yang kontemplatif, yang membawa kita pembaca kepada refleksi atas kehidupan kita sendiri.<br />
<br />
Dan Jokpin memang seorang meditator yang berpengalaman, mengingat beliau pernah sekolah di pesantren Katolik Mertoyudan yang saya yakin tentu akrab dengan meditasi; selain, tentu saja, ditempa oleh pengalaman beliau bergelut-paut dengan puisi yang saya yakin akan otomatis membuka cakra-cakra energi yang bisa membuat seseorang menjadi paranormal (atau paranoid). Puisi, karenanya, bukan sekadar urusan jurus bahasa dan diksi saja. Puisi adalah sebuah praktik mistik, dan kebenaran (baca: keindahan) ada dalam kesederhanaan (perhatikan diksi dan metafora dalam sajak-sajak Jokpin).<br />
<br />
<b>002</b><br />
Di sebuah kesempatan, Jokpin pernah bercerita bahwa beliau melakukan studi serius terhadap penyair-penyair terdahulu dari Amir Hamzah, Chairil Anwar, SDD hingga SCB untuk menghayati ciri dan kekuatan mereka dalam rangka membebaskan diri dari pengaruh historis para penyair pendahulu itu dan menemukan ciri dan gaya pribadi, jurus pribadi. Niteni, nirokke, nambahi, demikian resep Ki Hadjar Dewantara yang beliau kembangkaan dalam Taman Siswa. Konsep belajar (kreatif) yang sederhana, tidak ambisius namun tidak mudah juga.<br />
<br />
Kebermain-mainan (playfulness) dan kecerdasjenakaan (wittiness) saya kira adalah kata kunci yang tak bisa dilepaskan dari gaya puisi Jokpin sementara ini. Tetapi “[k]alau penyair sudah telanjur dicap dengan gaya tertentu, sebenarnya dia sudah mati. Saya tak mau mati dan terjebak dengan stempel tertentu, itu mematikan kreativitas,” kata Jokpin. Artinya urusan beliau dengan puisi memang belum beres. Saya kira ini adalah semangat yang perlu diwarisi oleh penyair-penyair yang lebih muda. Terus berproses mencari celah-celah kemungkinan baru dalam mendayagunakan bahasa (Indonesia).<br />
<br />
Jokpin sangat serius memilih jalan puisi, tetapi tetap santai dan tidak ngotot dalam menapaki jalan itu. Kelonggaran yang saya duga sengaja beliau sediakan sebagai ruang agar tidak terjebak dengan stempel dan agar tidak mati itu tadi. Ruang suaka agar kreativitas tidak punah, ruang untuk berkelit dari jebakan mannerism. Kesungguhan bertetap dalam jalan puisi dengan menjaga diri dan waspada terhadap kemelekatan yang berlebih. Bukankah ini adalah prinsip laku mistik?<br />
<br />
<b>003</b><br />
Dunia puisi adalah dunia ambang, alam perbatasan. Dalam sajak-sajak Jokpin, batas-batas dikaburkan, batas ruang batas waktu. Kontemplasi atas tema-tema domestik sederhana, relasi anak – sosok ibu – sosok ayah yang diperam dalam meditasi dengan menisbikan batas-batas dimensi ruang dan waktu. Kenangan, kegelisahan, kesakitan atau rangsang emosional apapun diperam dan diperas esensinya. Lampau – kini – nanti menjadi tidak penting lagi. Sajak “Telepon Tengah Malam” dan “Ranjang Ibu” misalnya dengan sangat kuat mengabarkan hubungan mistis yang intens antara diri/aku dengan sosok ibu dan dengan rasa sakit. Dalam sakit, tubuh menjadi ruang interaksi supermesra antara aku dengan ibu. Hubungan mesra antara sosok aku yang sering tampil menempatkan diri dalam posisi kanak-kanak dengan sosok ibu yang menjadi ranjang tempat si aku kanak istirah tampak begitu dekat, nyaris kecanduan. <br />
<br />
Relasi anak – ayah, di sisi lain lebih terasa maskulin. Kalau relasi anak – ibu kuat tampil sebagai hubungan cinta yang nyaris posesif, hubungan ayah – anak tampaknya tercatat sebagai hubungan mentor – murid dalam hal pengembangan life skills (“Kunang-kunang”), tetapi menjadi pesaing antarlelaki dalam urusan percintaan (“Dua Orang Peronda”).<br />
<br />
Meski sekilas tampak sajak-sajak Jokpin penuh kejenakaan, saya tetap menduga sajak-sajak itu lebih sebagai rangkaian katarsis – relaksasi – meditasi. Menurut saya, sosok Jokpin sendiri di dunia nyata sangat jauh dari kesan jenaka. Beliau itu ekspresinya serius dan garing, jelas nggak cocok jadi pelawak stand-up comedy.<br />
<br />
* Diskusi Puisi PKKH UGM #12, 29 Mei 2013<br />
<br />
<b>Tentang Penulis</b><br />
<b>TS Pinan</b>g, lahir di Desa Semirejo, Pati, Jawa Tengah, 1971. Menyelesaikan pendidikan Teknik Arsitektur (S1) dan Magister Perencanaan Kota dan Daerah (S2) di UGM dan Urban Management and Development (S2) di IHS – Erasmus Universiteit Rotterdam (Belanda). Menekuni sastra puisi sejak akhir 1990-an lewat komunitas internet. Beberapa puisinya pernah dimuat di Horison, Kompas, Koran Tempo, dan beberapa media massa nasional lainnya. Dua sajaknya termaktub dalam buku 60 Puisi Indonesia Terbaik (Gramedia – Anugerah Pena Kencana, 2009). Buku puisinya adalah Kunci (Omahsore, 2009) dan Suburbia (PDF, 2011 – dapat diunduh gratis di www.issuu.com/tspinang/docs/suburbia). Saat ini tinggal di Dusun Gemutri, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman DIY. Situs studio puisinya adalah www.titiknol.com. Email: tspinang@yahoo.com.<br />
Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-47963845282910607422013-01-27T23:51:00.002+07:002013-02-17T12:35:20.053+07:00Joko Pinurbo dan Tahi Lalat<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpH78C7JwM4OnlQWfJpcB7qYwIvFq6MJhyphenhyphenwcKNAIbVkkq9QcOyyxgMc94CKZj1HeqhPapoRbYicgqKmXlaCUhTu6nHf-XScxloumn-PbJaAsfFEpsnOn_BhkvVnzd1-q32K-mW6OSioTKj/s1600/2012_Tahilalat.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpH78C7JwM4OnlQWfJpcB7qYwIvFq6MJhyphenhyphenwcKNAIbVkkq9QcOyyxgMc94CKZj1HeqhPapoRbYicgqKmXlaCUhTu6nHf-XScxloumn-PbJaAsfFEpsnOn_BhkvVnzd1-q32K-mW6OSioTKj/s320/2012_Tahilalat.jpg" /></a>Sekali lagi karya Joko Pinurbo menjadi karya sastra pilihan Tempo. Ia mampu mengolah sudut pandang anak-anak dengan permainan waktu yang memikat.<br />
<br />
<i>Di rumah itu mereka tinggal berdua.<br />
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.<br />
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.<br />
<br />
“Suatu hari aku dan ibu pasti tak bisa lagi bersama.”<br />
“Tapi kita tak akan pernah berpisah bukan?”<br />
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.</i><br />
<br />
Baris-baris kalimat itu berasal dari sepotong puisi berjudul <i>Jendela</i>, tentang hubungan anak dan ibu dari mata sang anak. Ada ungkapan polos sang anak (...”meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuuuurr..."), ada kekhawatiran tentang perpisahan di masa yang akan datang, dan ada permainan imaji (“siapa tahu bulan akan melompat ke dalam/menerangi tidur mereka yang bersahaja...”).<br />
<br />
Tengok pula puisi <i>Ulang Tahun</i> ini<br />
<br />
<i>Ya, hari ini saya ulang tahun ke-50. </i><br />
<i>Tahun besok saya akan ulang tahun ke-49. </i><br />
<i>Tahun lusa saya akan ulang tahun ke-48. </i><br />
<i>Sekian tahun lagi usia saya akan genap 17. </i><br />
<i>Kemudian saya akan mencapai usia 9 tahun.</i><br />
<br />
Dengan cerdik, Joko Pinurbo menggunakan kepolosan anak-anak untuk berbicara tentang kematian. Proses kematian dijabarkan secara terbalik, dari mengurangi angka umur manusia hingga ke titik nol, saat belum dilahirkan. Dengan sudut pandang anak-anak, Joko mampu mengolah kematian yang sesungguhnya serius itu menjadi nakal.<br />
<br />
<i>Ulang Tahun</i> adalah salah satu puisi yang terangkum dalam buku kumpulan puisi berjudul <i>Tahilalat</i>. Ini adalah buku terbaru Joko Pinurbo yang dipilih menjadi karya sastra pilihan <i>Tempo</i> tahun 2012. Ini kedua kali Joko Pinurbo dipilih <i>Tempo</i>.<br />
<br />
Menurut Melani Budianta, guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yang menjadi salah satu juri sastra, keistimewaan puisi-puisi Joko Pinurbo adalah dia memiliki aspek seksualitas, sensualitas, banyak dimensi, juga hubungan dengan ibu yang digarap dengan apik, dengan bahasa yang tidak pretensius.<br />
<br />
Joko Pinurbo mulai memikat pembaca sastra setelah terbitnya <i>Celana</i> (1999), <i>Di Bawah Kibaran Sarung</i> (2001), <i>Pacarkecilku</i> (2002), <i>Telepon Genggam</i> (2003), <i>Kekasihku</i> (2004), dan <i>Kepada Cium</i> (2007). Dari karya-karya sebelumnya, Joko meraih sejumlah penghargaan. Buku kumpulan puisi pertamanya, <i>Celana</i>, memperoleh Hadiah Sastra Lontar 2001. Buku puisi ini kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Trouser Doll (2002). Ia juga mendapatkan Sih Award 2001 untuk trilogi puisi “Celana 1”, “Celana 2”, “Celana 3”, dan penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2002 untuk kumpulan puisi <i>Di Bawah Kibaran Sarung</i> (2001). Pada 2005, Joko menerima Khatulistiwa Literary Award untuk antologi puisi <i>Kekasihku</i> (2004).<br />
<br />
Lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962, sebagai anak sulung dari lima bersaudara, Joko menulis sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Sebagai penyair, lulusan IKIP Sanata Dharma Jurusan Pendidikan dan Sastra ini menjelajahi banyak tema. Namun, tahun-tahun terakhir, ia banyak menggeluti obyek keseharian seperti celana, kamar mandi, atau bagian dari tubuh manusia. Semua diungkap dengan bahasa sederhana tapi tetap kaya imajinasi (juga parodi), yang akhirnya jadi ciri khasnya.<br />
<br />
“Saya tidak suka mengangkat tema yang berat, tapi yang umum dengan pendekatan metafor baru, khususnya di Tahilalat ini,” kata ayah dua anak ini.<br />
<br />
Dalam Tahilalat, Joko tak hanya mampu mempertahankan kekuatan puitik yang menjadi ciri khasnya. Ia juga mampu mengembangkan sudut pandang “dia liris” atau “aku liris” yang sangat peka akan waktu dan generasi. Motif dalam kebanyakan puisinya adalah bagaimana ia memberi kesempatan sepenuhnya pada kenaifan untuk menyuarakan dirinya sendiri tanpa intervensi, tanpa interpretasi dari penulisnya. Itulah salah satu keberhasilan Joko Pinurbo sebagai sastrawan.<br />
<br />
Kepiawaian Joko mengolah sudut pandang anak dengan amat menyentuh dan ketangkasannya bermain-main dengan waktu-<i>flashback</i> dan rentang yang melompat-lompat – menjadi alasan mengapa Tempo memilih Tahilalat sebagai buku sastra terbaik.<br />
<br />
“Ini menambah kekuatan kesederhanaan dan ekonomi kata-kata yang menjadi andalan Jokpin dalam menciptakan ironi, ketaksaan, humor dan kedalaman makna dalam syair-syairnya,” kata kritikus sastra Manneke Budiman, yang menjadi salah satu juri.<br />
<br />
Tahilalat diikat pada narasi besar soal hubungan manusia. Joko melihat perilaku manusia melalui hubungan anak-ibu, anak-ayah, serta anak-ibu-ayah. Hubungan itu diangkat tidak semata dalam konteks psikologis dan hubungan darah. Ia memainkan banyak metafor untuk membolak-balik pola hubungan itu. Bisa sebagai hubungan individu dengan Tuhan, warga negara dan negara, dan lainnya.<br />
<br />
Dalam puisi berjudul <i>Asu</i>, misalnya, ia mengangkat idiom biasa dan mempermainkan kata itu: <i>Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah/Dulu saya sering menemani Ayah menulis/Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul/mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”/Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,/Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”/Saat bertemu temannya di jalan/,Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu</i>. Meski lokal dari bahasa Jawa, idiom asu yang merujuk pada jenis hewan anjing sekaligus umpatan dan keakraban sapaan kawan dekat itu kini sudah lazim digunakan di beberapa daerah Tanah Air.<br />
<br />
Joko mengaku seperti baru menamatkan ritual puasa panjang ketika buku itu akhirnya bisa diterbitkan. Maklum, untuk menyelesaikan buku yang “hanya” memuat 55 puisi itu, dia membutuhkan waktu tak kurang dari lima tahun, dari 2007 hingga 2012. “<i>Tahilalat</i> benar-benar menguras saya,”katanya. Sepanjang 2007-2012, Joko hanya mencurahkan waktunya untuk membuat puisi-puisi itu. Dalam setahun, mantan editor buku pendidikan Grasindo itu rata-rata hanya menghasilkan 11 puisi.<br />
<br />
Di buku yang diterbitkan penerbit Omahsore Jakarta ini, penyair berusia 50 tahun itu terasa lebih selektif pada karyanya sendiri. Ia tidak lagi longgar, vulgar, dan terlalu prosais dalam mencipta rangkaian kata. “Saya lebih banyak pertimbangan. Kalau belum matang benar ya tidak saya publikasikan. Tidak kejar tayang dua tahun sekali, saya sedang tidak ada beban,” kata Joko, yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merenung demi menata logika puisi dan sistematika ide puisi.<br />
<br />
Selain lebih selektif, Joko juga mengaku sering mengalami kebuntuan. Dalan satu hari, ia bisa hanya mendapat satu baris kalimat. Jika satu puisi buntu di tengah jalan, biasanya ia akan berpindah mengeksplorasi puisi yang lain. Puisi berjudul Kamar 1105, misalnya. Gara-gara sering buntu di tengah jalan, puisi itu baru selesai setelah dua tahun. Kamar 1105 merupakan sebuah sandi rekaan Joko yang merujuk pada tanggal kelahirannya sendiri, 11 Mei. Dalam puisi itu Joko bertutur tentang perputaran nasib manusia yang mirip perjudian.<br />
<br />
Langkah Joko yang kian hati-hati dalam membuat dan mempublikasikan puisi di <i>Tahilalat</i> dibayangi kekhawatiran pada sebuah cap yang dirasa semakin melekat pada sosoknya. Ia pun berupaya meninggalkan ikon “celana” seperti yang biasa digunakan dalam buku kumpulan puisi sebelumnya. Hanya ada dua puisi dalam kumpulan <i>Tahilalat</i> yang masih menyinggung soal celana, yakni <i>Cenala</i> dan <i>Kredo Celana</i>. “Kalau penyair sudah terlanjur dicap dengan gaya tertentu, sebenarnya dia sudah mati. Saya tak mau mati dan terjebak dengan stempel tertentu, itu mematikan kreativitas,” katanya.<br />
<br />
Untuk mengasah kreativitas pula, setahun belakangan ini penyair yang menetap di Yogyakarta itu kini gemar membuat puisi pendek dan mengunggahnya di Twitter. Rencananya, pada Januari 2013, separuh dari 700 puisi yang sudah diunggah di jejaring sosial itu akan diterbitkan dalam buku berjudul Puitwit. Buku itu sekaligus sebagai bukti bahwa Joko mampu meramu puisi-puisi pendek yang menurut dia sangat menguras otak. “Di puisi pendek saya belajar tentang efektivitas kata secara ketat. <i>Keblinger</i> sedikit, bubar,” ujarnya.***<br />
<br />
<b>TEMPO, Edisi 7-13 Januari 2013</b>Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-35692530957565766602012-12-03T14:44:00.001+07:002012-12-03T19:57:10.370+07:00Joko Pinurbo: The emergence of the tweeting poet<b>Ika Krismantari </b><br />
The Jakarta Post | Wed, October 10 2012<br />
<br />
This year marks the return of Joko Pinurbo to the country’s literature world. After five years in hiatus, the poet is back with two books. The first is Tahilalat (Mole), which was published in September and the second, whose title has not been decided yet, is still being prepared for release by the end of this month.<br />
<br />
The different thing about the new books is his decision to experiment with social media in his creative process. <br />
<br />
Not only does he work with blogs to repost some of his past and current work, the 50-year-old has also challenged himself to write poems in 140 characters on Twitter. For that purpose, Joko says he has been an active Twitter user since January this year. <br />
<br />
Using the account name @jokopinurbo, the poet has tweeted short poetry to his more than 8,000 followers. And due to the huge number of retweets received every time a new poem is posted, a major publisher will publish this collection of mini poems in the upcoming book.<br />
<br />
The poet explained in a recent interview with The Jakarta Post that he found writing on Twitter both challenging and exciting at the same time. He said that it was not easy to write short poems in Indonesian when the nature of the language was very complex.<br />
<br />
“I have to squeeze words so they can be really efficient and concise. For me, that is a very interesting challenge that I have never encountered before,” he said.<br />
<br />
Apart from proving that he is capable of answering the challenge, the book, Joko adds, also aims to disprove views that undermine internet literature.<br />
<br />
“I want to show that if we want to use these media seriously we can also produce serious work,” he remarked.<br />
<br />
From his statement, Joko has shown that he is still a rebellious poet at heart, even though now he plays on a different stage.<br />
<br />
In the old days, the poet was known for his bravery against conventional literary norms. Instead of choosing beautiful lyrics and words, the award-winning poet prefers simple and direct terms to convey his messages. His signature style has earned him numerous awards including the prestigious Khatulistiwa Award in 2005. <br />
<br />
Now, his latest work tries to challenge critics who deride literature published in social media.<br />
<br />
Apart from his consistent rebellious stance, Joko also remains the artist who constantly likes to challenge himself in making improvements to his work. This time, he tests his ability to produce poetry with limited words. His previous challenge was to make quotidian objects the center of his poetry. His poetry mentions things like pants, dolls, mobile phones and bathrooms and the other trivia of everyday life. During the interview, he explained that his purpose in the use of these everyday items in his poetry was to arouse people’s consciousness of their surroundings.<br />
<br />
“Many people consider that daily things are trivial, therefore I want to offer these insignificant things from a different perspective so people can question things in their lives,” he said.<br />
<br />
According to Joko, his biggest achievement so far was when he was able to make divine characters in the Bible more human through his poetry. His most famous poem and also his favorite Celana Ibu (Pants from Mother) is an example of how he deconstructs Jesus’ resurrection through daily conversation between mother and son to make the story more connected to people.<br />
<br />
Another thing that has not changed for Joko is the seriousness of his work. Even though he now works through Twitter, it doesn’t reduce the quality and effort he puts into his work.<br />
<br />
“It still takes a long process before I can tweet something. I usually write the draft on the computer. If it is not done I will not post it. I can not be spontaneous. I write all my poetry seriously,” he said.<br />
<br />
Born in Sukabumi, West Java on May 11, 1962, Joko has developed his penchant for poetry since he was in junior high school. <br />
<br />
He said he wrote his first poem on the school bulletin. However, it was not until he enrolled in university that he took poetry seriously. In the end even though he tried to do other things, including teaching for his alma mater, poetry seems to be his calling.<br />
<br />
“I feel like my real world is in literature,” he said.<br />
<br />
Choosing a life as a poet, he adds, requires him to write with high discipline. To be productive, Joko explains, he always spends time in the morning and the night before the computer although occasionally, he also writes while watching a football match on television. <br />
<br />
Looking at Joko’s latest decision to use social media in his creative process it seems to be another <br />
strategy for the poet to remain relevant.<br />
<br />
“This is an inevitable fact. This is what the current generation deals with. I try to adjust to this change while still sticking to my principle of maintaining the quality of my work,” he explains.<br />
<br />
After declaring himself as the tweeting poet, now Joko seems to be ready for new challenges.<br />
<br />
His next plan is to travel around Indonesia and write poetry that reflects local culture. However, given the big budget involved in the project, he is still waiting for sponsors.<br />
<br />
His short-term target is to write prose. For poets, writing prose can be really challenging. Joko says the ambition to write a novel has haunted him for years. <br />
<br />
Finally, the long-awaited moment has arrived as he declares that he plans to publish a compilation of short stories next year.<br />
<br />
“I want to write a novel but I still don’t know. I should be able to write short stories because I am used to writing narrative poetry, but I will try,” he said.<br />
<br />
Let’s see if the master is capable of meeting the challenge this time.***Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-74830405751674560912012-12-03T14:40:00.001+07:002013-03-15T09:44:28.010+07:00JOKPIN: Tamasya Rohani dalam PuisiOleh <b>Putu Fajar Arcana & Mawar Kusuma</b><br />
<br />
<i>Kompas</i>, Minggu, 22 Januari 2012<br />
<br />
>> <a href="http://www.aulialibrary.wordpress.com/2012/01/22/jokpin-tamasya-rohani-dalam-puisi/">Jokpin: Tamasya Rohani dalam Puisi</a>Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-20830151778695923012012-12-03T14:24:00.002+07:002012-12-03T14:25:26.086+07:00Kejutan Puisi Joko PinurboJOKO Pinurbo ialah salah seorang penyair mapan Indonesia yang sudah 30 tahun menulis. Buku puisinya Kekasihku ini telah memenangi Khatulistiwa Literary Award pada tahun 2005. Membaca buku kecil ini yang hanya 45 halaman dan memuatkan cuma 40 buah puisi memberikan kepuasan yang tersendiri. Joko kelihatan begitu berhati-hati mencipta karya-karyanya. <br />
<br />
Walaupun dia berbahasa seperti bercerita dalam setiap puisinya, tapi selalu ada keanehan, misteri dan kejutan pada bahagian akhir puisi. Dan penyudah puisi Joko itulah sebenarnya yang berjaya mencuit hati kita dan adakalanya kita temui kejutan yang tidak disangka serta ia menarik kita untuk membaca puisinya yang lain pula. Kerana kebijaksanaan dan misteri puisi-puisi inilah barangkali yang memikat penerbitan Omahsore untuk membuat cetakan kedua.<br />
<br />
Tidak ada kata pengantar yang memperkenalkan buku kecil ini. Joko cuma memuatkan seperenggan kata-kata penulis lain sebagai perangsang di awal buku. Iaitu kata-kata yang menyimpulkan tentang diri seorang pengarang dan nasib buku-buku puisi para penyair. Kata-kata Paska Wahyu Wibisono itu begitu menawan hati, "Pengarang, engkau sungguh sabar menunggu ide yang tanpa kabar. Dirimu sangat percaya diri meskipun karyamu tidak banyak terbeli."<br />
<br />
Kehidupan yang memberi ilham dan persekitaran yang menyentap perasaan, segala-segalanya dirakam ke dalam kata-kata. Malah perihal berkenaan celana sahaja telah berkali-kali dipuisikan Joko melalui berbagai sudut dan cerita. Perhatikan saja dalam Perjamuan Petang, Celana Tidur, Celana Ibu, Selepas Usia 60 dan Satu Celana Berdua. Kelima-lima puisi ini, fokus utamanya adalah berkisar tentang celana. Mungkin pertama kali membaca, kita akan tertanya-tanya mengapa penyair banyak kali berkisah tentang celana. Kenapa agak mendalam minatnya dengan celana? <br />
<br />
Setelah menyelidiki latar kepenyairannya, tahulah kita rupa-rupanya memang sejak dulu penyair kelahiran Sukabumi, Jawa Barat ini ternyata gemar memotretkan perihal celana menjadi puisi. Buku kumpulan puisinya yang pertama pun berjudul Celana (1999) dan memenangi Hadiah Sastra Lontar 2001 serta diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul Trouser Doll (2002). Puisi tentang celana jugalah yang menobatkan dirinya sebagai pemenang Sih Award 2001 dengan tiga buah puisi masing-masing berjudul Celana 1, Celana 2 dan Celana 3.<br />
<br />
Joko mencipta kejutan yang menarik dalam puisi Malam Pertama. Mula-mula meneliti puisi ini, pembaca akan mengagak bahawa yang ditidurinya pada malam pertama itu adalah isterinya. Joko berjaya mengikat kita untuk terus membaca sehingga habis cerita dan rupa-rupanya yang ditidurinya itu ialah buku. Satu gaya penceritaan yang menarik dan sebuah kejutan yang membuatkan kita hampir-hampir tertawa membacanya.<br />
<br />
BayanganJoko mencipta bayangan yang jauh dalam hampir setiap puisi-puisinya. Bayangan-bayangannya itu banyak juga yang mengejutkan. Seawal puisi Pacar Senja dia berkisah tentang seseorang yang berkasih dengan senja. Terlalu bijak Joko bermain kata-kata hingga kita menjadi kabur, adakah kekasih senja itu juga sejenis senja ataukah seorang manusia. Joko bermain dengan bayangan dan imaginasi yang disamarkan kewujudannya dengan realiti dan kita sebagai pembacalah yang akan terleka menikmati.<br />
<br />
Dalam Baju Bulan, bayangan yang diciptanya lebih mempesona. Dia berkisah tentang seorang gadis kecil yang sering menangis di persimpangan jalan. Saat mahu lebaran, gadis miskin yang kehilangan ibu dan tak punya ayah itu mahu meminjam baju bulan untuk semalaman buat berhari raya. Kemudian begitu sendu sekali dia mengakhiri: Bulan sendiri / rela telanjang di langit, atap paling rindang / bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang. Bayangan-bayangan yang mengejutkan inilah yang membuatkan puisi-puisi Joko enak dibaca.<br />
<br />
Begitu jauh bayangan dan imaginasi Joko hingga kita menemukan senja yang pandai bercinta dalam Pacar Senja, kucing yang boleh bercakap dalam Dua Orang Peronda, sepasang celana yang mampu berbicara dalam Rumah Cinta, wang yang dapat bersuara dalam Sedekah, bulan yang berbaju cantik dalam Baju Bulan, bintang yang dapat menegur manusia dalam Di Bawah Pohon Cemara, huruf-huruf surat khabar yang jatuh ke lantai dan berguguran di halaman dalam Dengan Kata Lain, kalendar yang suka tertawa dalam Februari yang Ungu dan jururawat yang menggoda dalam Rumah Sakit.<br />
<br />
Terdapat dua buah puisi yang pendek sekali isinya, sekadar sebaris ayat. Iaitu Kepada Puisi dan Matakata. Hanya sebaris pesan yang ditinggalkannya dalam Kepada Puisi: Kau adalah mata, aku airmatamu. Dan sebaris juga dalam Matakata: Matakata menyala melihat tetes darah di mata pena. Walaupun sajak pendek ini tidak dapat mengatasi keagungan sajak pendek Sitor Situmorang, Malam Lebaran yang hanya berisikan sebaris perkataan: Bulan di atas kuburan. Namun Joko tetap mempunyai keunikannya yang tersendiri dalam menggarap puisi. <br />
<br />
Berkali-kali membacanya akan menyedarkan kita terhadap beberapa frasa, suasana dan objek yang digemari Joko yang diulangnya dalam keadaan yang berbeza-beza dengan pelbagai rasa dan kesan. Paling utama tentu saja celana; selain daripada ibu, senja, buku, baju dan pohon cemara. Kekasihku, walaupun nipis dan ringkas, tiada pengantar dan tanpa apa-apa pujian kepada penyair di kulit belakang tapi buku kecil ini tetap istimewa untuk dibaca.<br />
<br />
ARKIB : 21/10/2012<br />
Artikel Penuh: http://utusan.com.my/utusan/Sastera/20121021/sa_03/Kejutan-puisi-Joko-Pinurbo?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter#ixzz29x4K2Hd1 <br />
© Utusan Melayu (M) Bhd Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-83055562010269411172012-12-03T14:17:00.002+07:002012-12-03T19:58:06.470+07:00Jokpin Antara Ironi dan ImpianJoko Pinurbo, lelaki ini dikenal “dingin” ketika mengisahkan peristiwa hidup sehari-hari lewat puisi. Ia menyimpan obsesi keliling Tanah Air “memotret” sejarah dan membingkainya dalam reportase puisi. <br />
<br />
“Sampai mati pun tidak kesampaian [impian berkeliling Indonesia],” katanya suatu siang, saat ditemui di Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, Jogja pekan lalu. Setelah mengucapkan kalimat itu, lelaki bertubuh kurus dengan wajah tirus beralis tebal ini lalu diam suntuk, matanya menerawang jauh.<br />
<br />
“Saya mau melakukan perjalanan budaya dan menuliskannya lewat puisi. Tapi butuh modal banyak. Kalau ada yang modali mungkin bisa, iya, bisa saja,” lanjutnya seakan menampik rasa pesimistisnya.<br />
<br />
Jokpin, begitu ia akrab disapa, mendambakan keliling Indonesia sejak dulu. Tapi keinginannya itu selalu diurungkan mengingat perjalanan akan menghabiskan biaya cukup besar untuk hidup berbulan-bulan di setiap pelosok. “Di Indonesia belum ada [puisi sejarah], kalau prosa atau novel sudah, seperti Ahmad Tohari yang menuliskan sejarah asalnya,” ujarnya.<br />
<br />
Membaca referensi di media internet saja baginya tidak cukup meski diakui dunia maya sangat kaya pengetahuan. Atau, seperti hobinya membaca buku filsafat dan sejarah saja tidak mewakili. Jokpin harus menyelami, darah dagingnya harus menyentuh langsung, barulah ia bisa menuliskan.<br />
<br />
Sebenarnya, saat inilah waktu yang tepat untuknya berkelana dan lebih produktif. “Sekarang saya agak leluasa [untuk produktif menulis] karena tidak direpotkan urusan hidup. Anak-anak sudah besar, saya juga bukan pegawai lagi, saya pengangguran,” tuturnya, datar. <br />
<br />
<b>Ironi </b><br />
Lelaki kelahiran Sukabumi, 50 tahun silam ini dikenal sebagai penyair dengan karya bersifat naratif, tidak mementingkan rima. Jokpin membuktikan dengan ciri khasnya, dimana puisi tidak tampil sebagai sesuatu yang angker. Ia dingin-dingin saja ketika menuliskan tentang kuburan atau celana kesukaannya.<br />
<br />
Ayah dua anak ini tidak susah-susah dan sederhana serta ringan mengungkapkan peristiwa dalam puisi, seperti penampilannya yang tidak tampak istimewa. Baginya, puisi adalah sebuah kebersahajaan dan kesungguhan.<br />
<br />
Ia tidak perlu dibebani oleh misi-misi di luar dirinya, yang pada akhirnya menjerumuskannya pada deretan kata yang pekik. Puisi-puisi Jokpin merupakan ironi-ironi hidup manusia sehari-hari yang diungkapkan dengan kata ringan.<br />
<br />
Ia merasa tidak perlu meletakkan puisi sebagai sesuatu yang ‘sakral’ meski tidak berarti ia menyepelekan kepenyairannya. Misalnya, peristiwa penyalipan dan kebangkitan Yesus Kristus berjudul Celana Ibu, puisi yang paling ia sukai.<br />
<br />
Jokpin mampu membuang jauh wejangan dari puisinya, meski ia lama bergumul dengan kitab suci dan bahkan peristiwa itu merupakan puncak iman umat Kristiani. Ia menaklukkan narasi yang kasar, menampilkan tokoh Maria dengan kata-kata yang tampak sepele namun mengundang perenungan. <br />
<br />
<b>Disiplin </b><br />
Tak hanya peristiwa dasyat yang ia rangkum dalam puisi. Ke manapun pergi, Jokpin selalu membawa buku catatan kecil untuk menuliskan kata kunci. Lalu, lahirlah puisi-puisi tentang pedagang keliling, penjual bakso, tukang parkir, penjual pangsit dan banyak lagi.<br />
<br />
“Saya lebih suka mengatakan bahwa pergulatan hidup kita sehari-hari termasuk aktivitas kerja cari duit, ronda, dan lain-lain merupakan bagian penting dari sumber ilham bagi proses kreatif,” katanya.<br />
<br />
Di balik karyanya yang tampak sepele itu, Jokpin tetap memegang disiplin berkarya terutama tata bahasa. Subjek, predikat, objek dan keterangan (SPOK) tidak pernah dilepasnya dari puisi terpendeknya sekalipun. Misalnya, berjudul Kepada Puisi; Kau adalah Mata, Aku Air Matamu. <br />
<br />
Membuat puisi satu baris bukan perkara mudah. Jokpin berjuang agar narasinya tetap utuh, setting dan tokoh seakan disembunyikan tapi tetap “bicara”. Ia memeras setiap kata sehingga kata-kata itu memiliki pamor.<br />
<br />
Sejak beberapa tahun ini, Jokpin mempublikasi puisinya di jejaring sosial twitter dan blog sehingga para Jokpiana (penggemar Jokpin) bebas mengakses. Kini, ia sedang sibuk menyiapkan dua buku sekaligus yang berisi kumpulan puisinya pada 2007-2012. Seraya mengikuti proses itu, Jokpin mengaku masih gelisah.<br />
“Saya berharap bisa mengunjungi situs-situs kuno dan kebiasaan orang-orang di setiap pulau di Indonesia,” kata Jokpin menegaskan kembali impiannya.<br />
<br />
<b>Tri Wahyu Utami </b><br />
Harian Jogja, Minggu, 26 Agustus 2012Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-45825169247954302772012-11-24T13:52:00.000+07:002012-11-24T13:58:34.184+07:00“Private Symbol” dalam Celana, Tukang Cukur, dan Bulu Matamu: Padang Ilalang Karya Joko PinurboOleh <b>Yuni Kuswidarti</b><br />
<br />
Bulu mata, tukang cukur, becak, kulkas, salon kecantikan, patroli, dan kurcaci. Mungkin kata-kata yang baru saja saya tulis adalah kata-kata yang biasa kita dengar dan kita ucapkan sehari-hari. Setiap kata mempunyai makna masing-masing yang dengan mudah kita kuasai dan kita ucapkan tanpa berpikir lagi. Dari kata-kata sehari-hari itu, Joko Pinurbo dapat menulis beberapa kumpulan sajak, diantaranya: Celana (sajak-sajak 1986-1998), Di Bawah Kibaran Sarung (sajak-sajak 1999-2000), Pacar Kecilku (sajak-sajak 2001-2002). <br />
<br />
Sebelum membahas lebih dalam mengenai sajak-sajak Joko Pinurbo, perlu diketahui bahwa berdasarkan bentuk dan isi, kata-kata dalam puisi dibedakan antara (1) lambang, (2) utterance atau indice, dan (3) simbol. Yang dimaksud dengan lambang adalah jika kata-kata itu mengandung makna seperti makna dalam kamus (makna leksikal) sehingga acuan maknanya tidak menunjuk pada berbagai macam kemungkinan lain (makna denotatif). Utterance atau indice yaitu kata-kata yang mengandung makna sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian, misalnya kata “Jalang” dalam bait puisi Chairil Anwar, “aku ini binatang jalang” telah berbeda maknanya dengan “wanita jalang itu telah berjanji mengubah nasibnya” . Sedangkan simbol, yaitu jika kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif) sehingga untuk memahaminya seseorang harus menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual).<br />
<br />
Dalam esai ini, saya akan lebih menyoroti simbol yang digunakan oleh Joko Pinurbo dalam sajak-sajaknya. Simbol dalam puisi dapat dibedakan antara (1) blank symbol, yaitu meskipun acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkan maknanya, karena acuan maknanya sudah bersifat umum, misalnya “tangan panjang” atau “mata keranjang” (2) natural symbol, yaitu bila simbol itu menggunakan realitas alam, misalnya “cemarapun gugur daun” atau “ganggang menari” (3) private symbol, yaitu bila simbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan penyairnya, misalnya “aku ini binatang jalang” atau “mengabut nyanyian”.<br />
<br />
Biasanya penyair memilih kata-kata yang lebih indah dan jarang dipakai di kehidupan sehari-hari, tapi lain halnya dengan Joko Pinurbo. Joko Pinurbo merupakan sorang penyair yang menulis puisi dengan liar. Kata-kata yang ada di depannya ia lahab dan ia sulab menjadi bait-bait puisi yang maknanya jadi berbeda. Kata-kata pertama yang saya tulis miring dalam esai ini, adalah beberapa judul puisi Joko Pinurbo dari kumpulan sajaknya yang pertama, yang diberi tajuk “Celana”.<br />
<br />
Joko Pinurbo lebih banyak menggunakan private symbol dalam sajak-sajaknya. Sebagai penyair Joko Pinurbo benar-benar mengambil kesempatan untuk memakai kata dengan bebas dan memberikan makna untuk kata itu dengan bebas pula. Yang saya tahu penyair bebas menggukan kata apapun dalam puisinya, entah dengan makna asalnya maupun berubah manjadi beberapa makna baru. Tugas pembaca adalah menikmati, merasakan, menemukan dan memikirkan makna apa yang terkandung dalam sebuah puisi. Seperti halnya Joko Pinurbo, untuk membuat puisi sebenarnya tidak harus melulu menggunakan kata yang ‘indah-indah’, kata yang sederhana dari apa yang kita gunakan sehari-haripun dapat diambil dan dijadikan sebuah puisi. Dalam esai ini, saya akan mengutip dan mengira-ngira beberapa makna kata dalam puisi Joko Pinurbo yang berganti makna dari keseharian menjadi makna yang baru. Karena tugas pembaca adalah mencari atau menemukan ‘makna’ dalam sebuah puisi, maka saya akan melakukannya.<br />
<br />
Salah satu alasan kenapa saya menyukai sajak-sajak Joko Pinurbo adalah yang sudah panjang lebar saya tulis di atas, bahwa Joko Pinurbo secara kreatif dapat menyusun beberapa kata biasa menjadi barisan-barisan yang menarik dan enak dibaca, terkadang menggelitik, dan membuat penasaran, termasuk pemilihan judul-judul puisinya. Puisi pertama yang menjadi tajuk dalam kumpulan puisi pertamanya “Celana”. Dalam kumpulan puisi “Celana” ada trilogi puisi dengan judul yang sama, yaitu Celana 1, Celana 2, dan Celana 3. Dalam esai ini saya ingin mendalami puisi yang pertama yaitu “Celana 1”.<br />
<br />
<b>Celana, 1</b><br />
<br />
Ia ingin membeli celana baru<br />
Buat pergi ke pesta<br />
Supaya tampak lebih tampan<br />
Dan menarik<br />
<br />
Ia telah mencoba seratus model celana<br />
Di berbagai toko busana <br />
namun tak menemukan satu pun<br />
yang cocok untuknya.<br />
<br />
Bahkan di depan pramuniaga<br />
Yang merubung dan membujuk-bujuknya<br />
Ia malah mencopot celananya sendiri<br />
Dan mencapakannya.<br />
<br />
“kalian tidak tahu ya<br />
Aku sedang mencari celana<br />
Yang paling pas dan pantas<br />
Buat nampang dikuburan.”<br />
<br />
Lalu ia ngacir<br />
Tanpa celana<br />
dan berkelana<br />
mencari kubur ibunya<br />
hanya untuk menanyakan:<br />
“ibu, kau simpan di mana celana lucu<br />
Yang kupakai waktu bayi dulu?”<br />
<br />
(1996)<br />
<br />
Saya menangkap sebuah makna “kesucian” atau “keaslian diri” atau dapat juga diartikan “kebersihan diri” dalam puisi “Celana 1”. Bait pertama yang mencerahkan pemikiran saya justru pada bait keempat, yang menyatakan bahwa seseorang itu akan nampang ke keburan, atau berarti mati. Dari situlah saya memaknai bahwa kata “celana” adalah sebuah kesucian. Karena seseorang sebelum mati pasti akan mencari sebuah kesucian atau kebersiahan diri, sama seperti saat ia masih bayi. Seseorang yang masih hidup, dan akan mati, pastilah mencari-cari kesucian itu kemanapun. Dalam puisi ini, Joko mengibaratkan pecarian itu seperti mencari celana ke toko-toko, ia mencoba berbagai celana, namun tak ada yang pas dengan dirinya. Kemudian pada bait terakhir, ia ingin menanyakan pada ibunya kemana celana yang ia pakai saat bayi. Celananya saat bayi adalah simbol kesucian yang ia cari, yang merupakan keaslian dirinya, ketika belum mendapat “campuran” dari dunia luar yang penuh bujukan.<br />
<br />
Puisi kedua yang membuat saya ingin menyelami lebih dalam maknanya, adalah puisi yang berjudul “Tukang Cukur”.<br />
<br />
<b>Tukang Cukur</b><br />
<br />
Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur<br />
di kepalaku. Ia membabat rasa damai<br />
yang merimbun sepanjang waktu.<br />
<br />
“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel,<br />
dan restoran. Tentunya juga sekolah,<br />
rumah bordil, dan tempat ibadah.”<br />
<br />
Ia menyayat-nyayat kepalaku.<br />
Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.<br />
<br />
“aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.<br />
Dan kalau perlu akan ku pangkas daun telingamu.”<br />
<br />
Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.<br />
<br />
(1989)<br />
<br />
Pertama kali membaca puisi ini, saya kurang bisa menangkap apa yang diutarakan Joko Pinurbo melalui puisi ini. Namun, saya memberanikan diri untuk menyimpulkan dan mengira-ngira makna yang terkandung di dalam puisi “Tukang Cukur”. Melalui puisi ini, Joko Pinurbo menyampaikan adanya perubahan pada bumi. Tukang cukur disini bisa dikatakan sebagai pengusaha atau pemerintah yang membabat padang rumput yang tumbuh subur “di kepalaku”. Yang dimaksud Joko “Di kepalaku” disini, adalah kepala bumi itu sendiri, yang sudah mulai gundul karena banyak di bangun gedung-gedung megah.<br />
<br />
Setelah membaca puisi ini, saya semakin menyakini bahwa memang Joko Pinurbo adalah seorang penyair yang liar, apapun yang ia lihat seakan dapat mewakili setiap pemikiran dan uneg-unegnya. Tukang Cukur adalah seorang pemangkas rambut, yang sebenarnya tidak ada hubugannya dengan bumi. Namun dengan imajinasinya, Joko Pinurbo dapat menciptakan makna baru dari “Tukang Cukur” itu.<br />
<br />
Puisi berikutnya dalam kumpulan puisi Joko Pinurbo yang judulnya menggelitik hati saya yaitu Bulu Matamu: Padang Ilalang. <br />
<br />
<b>Bulu Matamu: Padang Ilalang</b><br />
<br />
Bulu matamu: padang ilalang.<br />
Di tengahnya: sebuah sendang.<br />
<br />
Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir<br />
Datang bertapa untuk membuktikan apakah benar<br />
Wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang.<br />
<br />
Ia tak percaya, maka ia menyelam.<br />
Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus maha dalam.<br />
Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam.<br />
<br />
Bulu matamu: padang ilalang.<br />
<br />
(1989)<br />
<br />
Dalam puisi ini Joko seaakan ingin mempertanyakan apakah benar perasaan seseorang dapat dilihat dari kedalaman mata. Pada bait pertama puisi ini Joko memperlihatkan dengan jelas kepada pembaca “Bulu matamu: padang ilalang. Di tengahnya: sebuah sendang”, jika bulu mata diibaratkan padang ilalang, dan sendang berada di tengah padang ilalang, maka “mata” yang diibaratkan sebagai sendang itu, karena mata berada di tengah-tengah bulu mata. “wajah bulan” yang terdapat pada baris ketiga bait kedua, diibaratkan sebagai perasaan. Karena sama seperti perasaan, wajah bulan itu bisa dikatakan “abstrak”, tidak tergambar dengan jelas atau tidak bisa dilihat dengan jelas. Pada bait ketiga, Joko menulis tentang seseorang yang membuktikan pernyataan itu. ia mencoba menyelami kedalaman mata seseorang, dan ternyata seseorang itu terjebak dalam kedalaman mata, yang diibaratkan sebuah sendang.<br />
<br />
Pada akhirnya, setelah saya membaca sajak-sajak karya Joko Pinurbo, pemahaman saya mengenai penciptaan private symbol oleh penulis puisi akan menjadi lebih bervariasi, mempunyai kedalamn makna, dan memikat hati pembaca jika penyair bermain imajinasi dengan liar. Penggunaan kata dalam puisi tidak harus memilih kata-kata yang indah-indah saja pada umumnya, namun apapun yang kita lihat, dengar, dan rasakan dapat menjadi sumber inspirasi terciptanya sebuah puisi.***<br />
<br />
<br />
Horison Online Kamis, 12 April 2012 <br />
Sumber: <br />
http://networkedblogs.com/wjwI9<br />
http://horisononline.comJoko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-85166676302786218352012-11-24T13:40:00.002+07:002012-11-24T14:00:25.421+07:00Rumah: Sebuah Persona dalam Tiga Puisi Joko PinurboPara pembaca puisi yang intens memperhatikan sebuah puisi pasti menemukan sebuah identitas makna di dalam puisi tersebut, terlepas dari bagaimana impresi awal yang dilahirkan sebuah puisi. Dalam Criticism of Poetry Burton menjabarkan bagaimana impresi terbentuk di dalam pemikiran sebuah pembaca ketika menikmati sebuah puisi. Impresi ini bukan hanya terbentuk dari bagaimana puisi disajikan namun juga bagaimana seperti yang disebutkan Hume tentang prefrensi individual dan pengaruh lingkungan.<br />
<br />
Pembentukan impresi inilah yang kemudian menciptakan sebuah persona individu terhadap puisi juga menciptakan persona puisi pada individu. Dalam pembahasan mengenai kritik terhadap puisi Burton juga mengungkapkan bahwa impresi timbul dari bagaimana bias makna yang diciptakan sebuah puisi, yang akhirnya bias dan impresi ini akan menimbulkan sebuah penilaian (judgment) pada sebuah puisi.<br />
<br />
Impresi, bias, serta penilaian inilah yang disebut Burton adalah langkah awal sebuah kritik terhadap puisi terlontar, akan tetapi bentuk kritik ini tidaklah terlalu kuat untuk dipertanggung jawabkan, karena hal ini adalah hal mendasar yang dialami pembaca ketika melakukan pembacaan dasar, dan dalam dunia akademik hal ini belum bisa disebut sebagai bentuk kritik yang memadai.<br />
<br />
Akan tetapi kesalahan-kesalahan yang terjadi di dunia akademik di ruang lingkup sastra (puisi) khususnya di Indonesia, bentuk kritik Impresi—analogi inilah yang terjadi, yang kemudian dihubung-hubungkan dengan tinjauan-tinjauan teori yang serius mengenai kesastraan. Hal ini memang tidak berterima dimana bias makna pada puisi yang didapat dalam kritik seperti ini tidak memiliki keterkaiatan dengan objektifitas karya. Untuk itulah dalam kritik puisi terdapat beberapa teori yang dinilai objektif dalam ‘melihat’ puisi, diluar bagaimana bentuk impresi dan bias itu berada.<br />
<br />
Dalam hal ini semiotik beridiri sebagai bentuk teori yang melihat puisi sebagai bentuk komunikasi, yang mengedepankan tanda sebagai pencapaian-pencapaian estetikannya. Tanda dalam puisi sendiri biasanya berupa bunyi dan bunyi bahasa yang memiliki hubungan makna yang arbitrer, disini maksudnya tanda bunyi/ bunyi bahasa bisa dan tidak memiliki keterkaiatan dengan makna yang konvensional.<br />
<br />
Makna sendiri adalah hal yang sangat luas untuk dikaji, dalam hal ini makna bisa dikaitkan dengan tanda apabila makna itu menempati tempatnya sendiri, maksudnya disini adalah bagaimana makna adalah identitas dari tanda, sedangkan identitas sendiri adalah hal yang anti-esesialis, dimana dijelaskan oleh Barker bahwa identitas adalah hasil dari “discursive constructions which change their meanings according to time, place and usage” (Barker 2000: 166). Ini berarti tanda harus dihubungkan dengan konteks dan konsep agar memiliki pemaknaan yang sesuai.<br />
<br />
Mengacu pada hal tersebut sebuah puisi lewat tatanan estetikanya pasti memiliki sebuah persona yang mengacu dan terpusat pada pemaknaan tertentu. Hubungan-hubungan inilah yang kelak akan menjadi pemaknaan objektif dari karya, terlepas dari unsur impresi dan bias makna yang terdapat dalam karya sastra (puisi).<br />
<br />
<b>Puisi-puisi dalam Pacar Senja</b><br />
<i>Pacar Senja</i> adalah tajuk pada buku kumpulan puisi karya Joko Pinurbo yang di keluarkan pada tahun 2005, di dalamnya terdapat 100 puisi yang terbagi dalam 7 bagian yang terpisah akan tetapi memiliki satu kesatuan yang saling berkaitan. Adapun dari 100 puisi di dalam buku tersebut, saya akan mengambil 3 buah puisi yang saya rasa cukup representatif untuk menunjukan sebuah hubungan persona yang terdapat dalam puisi yang berbeda. Ketiga puisi itu antara lain:<br />
<br />
<small>RANJANG IBU<br />
<br />
Ia gemetaran naik ke ranjang,<br />
sebab menginjak ranjang serasa menginjak<br />
rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.<br />
Dan bila sesekali ranjang berderak atau berderit,<br />
serasa terdengar gemeretak tulang<br />
ibunya yang sedang terbaring sakit.<br />
<br />
(2004)<br />
<br />
<br />
DI KULKAS: NAMAMU<br />
<br />
Di kulkas masih ada<br />
gumpalan-gumpalan batukmu<br />
mengendap pada kaleng-kaleng susu.<br />
<br />
Di kulkas masih ada<br />
enggahan-enggahan nafasmu<br />
meresap pada anggur-anggur beku.<br />
<br />
Di kulkas masih ada<br />
sisa-sisa sakitmu <br />
membekas pada daging-daging layu.<br />
<br />
Di kulkas masih ada<br />
bisikan-bisikan rahasiamu<br />
tersimpan dalam botol-botol waktu.<br />
<br />
(1991)<br />
<br />
<br />
MAMPIR<br />
<br />
Tadi aku mampir ke tubuhmu<br />
tapi tubuhmu sedang sepi<br />
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.<br />
Jendela di luka lambungmu masih terbuka<br />
dan aku tidak berani menengoknya.<br />
<br />
(2002)</small><br />
<br />
<b>Tanda dan Representasi Persona</b><br />
Dalam melihat puisi secara semiotik menurut Riffaterre kita harus melihat tiga hal yang berhubungan dengan konvensionalitas, hal ini bermaksud untuk menjauhkan makna dari tanda tersebut menjadi bias, seperti yang telah dijelaskan oleh Burton sebelumnya. Ketiga konvensi itu antara lain: Konvensi Bahasa, Konvensi Budaya, dan Konvensi Sastra. <br />
<br />
Tentu saja untuk melihat bagaimana konvensi tersebut berdiri, kita tidak membiarkan puisi itu berdiri pada masanya dan pada tempat dimana dia tercipta karena hal tersebut akan membawa kita pada kajian ekspresif yang sempit. Akan tetapi melihat bagaimana puisi itu mereoresentasikan dirinya sendiri terhadap konteks dimana ia dimaknai dan membawa tanda tersebut ke pemaknaan pembaca (reseptor)—bukan penulis.<br />
Melihat konvensi berarti melihat bagaimana puisi merepresentasikan dirinya sesuai dengan konteks wacananya sehingga tanda bisa diterjemahkan dengan jelas dan tidak memiliki bias terhadap makna lain yang bisa dihubungkan dengan tanda tersebut.<br />
<br />
Dalam puisi pertama yaitu Ranjang Ibu kesesuian kontesk konvensi bahasa mengacu pada pemaknaan ‘ranjang’ sebagai tempat tidur, sedangkan dalam konvensi budaya ‘ranjang’ sendiri dapat dikonotasikan sebagai tempat melakukan hubungan seksual. Bentuk konvensi budaya ini tentu saja mengacu pada konvensi sastra yang menghubungkan keseluruhan isi puisi terhadap konvensi budaya, yang tercermin pada isi puisi:<br />
<br />
<small>Ia gemetaran naik ke ranjang,<br />
sebab menginjak ranjang serasa menginjak<br />
rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.<br />
Dan bila sesekali ranjang berderak atau berderikt,<br />
serasa terdengar gemeretak tulang<br />
ibunya yang sedang terbaring sakit.</small><br />
<br />
Secara langsung apa yang ditawarkan konvensi sastra terhadap irama hubungan seksual bisa dilihat langsung bagaimana representasi ‘Ibu’ sebagai perempuan. Pun perempuan yang dijadikan objek hubungan seksual itu tidak dihadirkan dalam narasi puisi akan tetapi dalam penyajiannya terdapat perempuan yang tidak tampak hadir di percintaan. Hal ini timbul dari bagaimana representasi ‘ibu’ adalah perempuan dan secara budaya bagaimana ‘ranjang’ adalah tempat percintaan.<br />
<br />
Konvensi ini bukanlah sebuah konvensi yang berdiri sendiri melainkan konvensi yang melihat bagaimana bentuk wacana di bangun. Pada puisi Ranjang Ibu ini terdapat wacana yang menerangkan bagaimana menaiki ranjang seperti menaiki ibunya sendiri, dan bila dilihat dari bentuk ungkapnya makna ‘naik ke ranjang’ ini bukanlah tidur, melainkan melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan.<br />
<br />
Wacana yang dibangun disini mengungkap bagaimana konvensi sastra menerjemahkan ‘ranjang’ menjadi seperti simbol yang menandakan percintaan, dan ‘ibu’ adalah bentuk personifikasi bagi perempuan yang sedang diajak bercinta diatas ranjang. Bentuk persamaan ini mengambil dari konvensi bahasa yang menurut Riffaterre adalah medio bagi pengungkapan-pengungkapan imajiner, dimana makna yang terhubung di dunia nyata memiliki keterkaitan yang arbitrer terhadap makna yang dipakai di dalam puisi.<br />
<br />
Penggunaan kata ‘Ranjang’ yang memihak makna percintaan bukanlah sebuah konsep bahasa yang egaliter, namun istilah ranjang memang memiliki konotasi dan bias makna yang luas, lain halnya dengan kata ‘temoat tidur’ yang dari pembentukan semantisnya memiliki keterkaitan makna dengan tempat untuk istirahat, sedangkan ‘ranjang’ memiliki keluasan interpreatsinya sendiri.<br />
<br />
Konvensi bahasa inilah yang akhirnya menjurus dan merumuskan ibu menjadi semacam titik balik bagi penghukuman atas percintaan dia-lirik dalam puisi, disini perempuan yang diajak bercinta seolah mencerminkan ibu yang dia-lirik kenal. Maksud dari bentuk pencitraan ibu=perempuan disini seolah ingin menunjukan bagaimana perempuan berperan dalam hidup dia lirik, dan setiap bunyi yang dihasilkan ranjang (percintaan) adalah bentuk penyiksaan terhadap ibunya.<br />
<br />
Kelahiran makna tersebut mencitrakan moralitas yang ingin disampaikan puisi tentang bagaimana perempuan dihargai. Dari sini seolah puisi ingin menohok pikiran-pikiran patriarkis dengan unsur motherism yang dimiliki oleh teori-teori feminism. Pikiran-pikiran patriarkis yang ditunjukan dengan frase ‘naik ke ranjang’ seolah menjadi simbol bagi ke’gagah’an laki-laki sebagai jender primer dan perempuan sebagai jender sekunder.<br />
<br />
Hukuman-hukuman moral yang disajikan lewat konvensi sastra disini adalah bagaimana bunyi derit dan derak kemudian menjadi semacam counter-point bagi unsur-unsur patriarkis ‘naik ke ranjang’ seolah melahirkan ungkap makna yang membicarakan tanggung jawab laki-laki sebagai jender superior diatas perempuan.<br />
<br />
Dari ketiga penerjemahan konvensi Semiotic of Peotry Riffaterre ini persona yang diungkapkan dengan jelas adalah bagaimana ‘ranjang’ menjadi satu simbol bagi keberlangsungan hidup pra sampai post. Dimana awal dan mula berlaku diatas ranjang, pembuatan dan penghabisan, disinilah identitas ‘ranjang’ seolah menimbulkan ruang penerjemahan bagi keluarga dan tempat bernaungnya.<br />
<br />
Pada puisi ke2 yaitu Di Kulkas: Namamu simbol yang ditunjukan adalah kulkas/ refrigerator atau biasa disebut dengan lemari es. Simbol kulkas ini menjadi semacam tools untuk menunjukan modernitas, dalam konvensi bahasa sendiri kulkas memiliki keterkaitan dengan alat rumah tangga, dan dalam konvensi budaya kulkas bukanlah alat rumah tangga primer, melainkan hanya pelengkap saja, lain halnya dengan kompor.<br />
Dalam konvensi budaya ini simbol kulkas menandakan kejayaan finansial masyarakat menengah keatas, dilihat dari tahun munculnya puisi potret masa saat itu menyimbolkan bahwa kulkas adalah barang mewah. <br />
<br />
Isi puisinya sendiripun berusaha mengungkapkan kesehatan lewat personifikasi makanan-makanan yang tersimpan di dalam kulkas. Kata ‘batuk’ yang dihubungkan dengan kata ‘kaleng susu’, lalu ‘enggahan nafas’ yang dihubungkan dengan ‘anggur-anggur beku’, kata ‘sakit’ yang dihubungkan dengan ‘daging-daging layu’ dan sebuah konklusi yang lahir di kata ‘rahasia’ yang dihubungkan dengan ‘botol-botol waktu’ seolah menjadi penerangan terhadap modernitas itu sendiri.<br />
<br />
Bentuk hubungan antara sakit dan bahan makanan, tampaknya menjadi bias yang harus diteliti lebih jauh. Dimana disini keadaan makanan menandakan ketidaksehatan itu sendiri, kaleng susu, anggur beku, dan daging yang layu—seperti mengungkap bagaimana bahan makanan itu tersimpan lama yang kemudian menjadi penyebab ‘sakit’itu sendiri.<br />
<br />
Fenomena simbol yang bisa diungkap lewat konvensi budaya adalah bagaimana hal-hal tersebut menjadi semacam tanda bagi sakit yang datang. Kaleng susu sendiri menandakan bagaimana keadaan kulkas tersebut yang hanya menyimpan kaleng, namun bukan susunya, kemudian ‘batuk’ itu sendiri menjadi semacam fenomena budaya yang mengungkap bagaimana ritme kesehatan berlangsung dan berkahir juga enggahan nafas dan sakit yang kemudian muncul.<br />
<br />
Lewat konvensi budaya ini, jelas tersirat bagaimana kaum medioker saat itu menjadikan kulkas semacam gudang penyimpanan yang mengawetkan sesuatu, bahkan sakit itu sendiri. Dimana pada masa itu (1991) lemari es jarang ditemui di kalangan bawah dan masih menjadi barang yang menunjukan kelasnya.<br />
<br />
Dari fenomena ini konvensi sastra bisa mengungkap bagaimana tanda ‘botol waktu’ menyelaraskan maknanya menjadi masa hidup seseorang. Disini kulkas adalah bentuk lain dari dunia yang diawetkan, kata lainnya: ingatan. Ingatan yang sudah berada pada akhirnya yang kemudian membuka diri untuk melihat masa lalu.<br />
<br />
Persona kulkas sendiri kemudian melahirkan independensi terhadapa penerjemahan makna yang arbitrer terhadap bangunan kelas. Mediokrisi kelas kini dileburkan di dalam ingatan dan makna-makna yang sudah disampaikan sebelumnya kini lahir kembali menjadi sebuah representasi baru bagi alat rumah tangga; Kulkas.<br />
<br />
Pada puisi ketiga dan terakhir yaitu Mampir tanda yang disampaikan lewat konvensi bahasa adalah bagaimana tubuh dijadikan menjadi bagian-bagian rumah. Dari sini dapat diterjemahkan kembali bagaimana tubuh adalah tempat bernaung bagi kehidupan itu sendiri, dan walaupun tubuh juga memiliki makna yang arbitrer terhadap tanda itu sendiri.<br />
<br />
Akan tetapi dalam konvensi bahasa di dalam puisi ini tanda-tanda dihadirkan lewat kesatuan dalam puisi:<br />
<br />
<small>Tadi aku mampir ke tubuhmu<br />
tapi tubuhmu sedang sepi<br />
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.<br />
Jendela di luka lambungmu masih terbuka<br />
dan aku tidak berani menengoknya.</small><br />
<br />
Di dalam kesatuannya sendiri bentuk-bentuk bagian rumah yang dihadirkan menandakan anatomi pada tubuh manusia sendiri, kehadiran kata ‘pintu’ yang seolah memiliki makna sama dengan makna sebenarnya sebenarnya adalah bentuk metafora bagi pintu seolah menjadi gerbang memasuki tubuh.<br />
<br />
Dalam konvensi budaya tubuh diartikan sebagai alat untuk menjalani hidup, yang pejal dan bisa dirasakan. Begitu pula dengan diksi-diksi yang kemudian digunakan untuk menghubungkan antara diksi yang menandakan ‘rumah’ seperti pintu dan jendela, serta diksi yang mengarah ke tubuh seperti ‘luka’ dan ‘lambung’. Dari sini kita dapat menerjemahkan apa yang dihadirkan oleh konvensi budaya ke dalam konvensi sastra yaitu bagaimana tubuh yang ‘luka’ kemudian menjadi jendela. <br />
<br />
Makna yang kemudian dapat diungkap lewat konvensi sastra adalah bagaimana sebuah tubuh dijadikan tempat peristrahatan. Maksudnya adalah aku-lirik disini adalah seorang yang ingin datang dan menikmati tubuh orang lain dalam percintaan/ hubungan seksual. Akan tetapi “luka di Lambung” yang mengarah pada bekas kehamilan yang belum sembuh (40hari) menjadi tanda bahwa si Aku-lirik tidak bisa ‘memakai tubuh tersebut.<br />
<br />
Secara sederhana puisi ini ingin menyampaikan bagaimana keadaan perempuan pasca melahirkan dan kembali mengangkat isu motherism didalam kontek hubungan laki-laki dan perempuan. Persona tubuh sebagai rumah adalah bentuk penauangan bagi bayi yang hendak lahir dan bagi laki-laki yang hendak ‘mampir’.<br />
<br />
<b>Rumah; Sebuah Persona</b><br />
Dari ketiga puisi tadi masing-masing memiliki dan menghadirkan tanda yang menghubungkan dirinya dengan rumah sebagai satu pertalian. Dalam puisi pertama yaitu Ranjang Ibu persona rumah diterjemahkan lewat ranjang (kamar tidur), dalam puisi kedua Di Kulkas: Namamu menghadirkan persona rumah lewat Kulkas (dapur) dan di puisi terakhir Mampir persona rumah dihadirkan lewat tubuh (penghuni), Pintu, dan jendela (Bagian penghubung).<br />
<br />
Persona rumah ini seolah menghadirkan makan mengenai kedatangan dan kepergian yang selalu berakhir pada satu titik: rumah. Rumah sendiri kemudian diterjemahkan lewat 3 puisi sebagai alat untuk mengungkap diorama hidup, dan kehidupan yang berjalan dan dijalani dari narasi-narasi yang tersaji dalam puisi tersebut. <b>(foltrus666)</b><br />
<br />
Sumber: http://31oktober.wordpress.com/2011/12/28/rumah-sebuah-persona-dalam-3-puisi-joko-pinurbo/Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-39049252384166245022012-11-24T13:29:00.001+07:002012-11-24T13:30:02.425+07:00Ketidakberdayaan dalam Puisi Joko Pinurbo "Bayi di Dalam Kulkas" (Kajian Semiotika)Oleh <b>Dody Kristianto</b><br />
<br />
<b>Pengantar</b><br />
Karya Sastra (KS) adalah sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan bahasa sebagai medium (Pradopo, 1987:121). Bahasa sebagai medium tentu sudah merupakan satu sistem tanda. Untuk menguraikan sistem tanda tersebut diperlukan satu disiplin ilmu yang mengulas tentang tanda. Sistem tanda disebut semiotik. Sedangkan cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda disebut semiotika (Zoest, 1993:1).<br />
<br />
Puisi adalah salah satu genre KS. Dunia perpuisian di Indonesia dewasa ini mengalami kemajuan yang cukup pesat. Baik dari segi bahasa maupun dari segi bentuknya. Bahkan puisi Chairil Anwar yang menjadi fenomena pada masanya, kini sudah terasa sebagai puisi yang biasa saja. Dari segi bentuk, bentuk lama yang terikat seperti syair, pantun, gurindam telah berkembang pesat menjadi bentuk kontemporer, bahkan nirbentuk. Begitu juga dengan tema yang ingin disampaikan penyair. Perkembangan tersebut bias disebabkan karena evolusi selera dan perubahan konsep estetik (Pradopo, 1987 :318).<br />
<br />
Puisi adalah ekspresi atau ucapan tidak langsung sebagai ucaan ke inti pati masalah, peristiwa atau narasi (Pradopo, 1987:314). Sebagai wujud ucapan atau ekspresi, puisi tidak lepas dari hakikatnya sebagai KS. Dengan demikian, puisi tidak terlepas dari unsur-unsur estetik yang menjadi esensi dari sebuah KS. Dan bias kita pahami bahwa puisi adalah suatu sistem tanda. Dalam tanda-tanda, suatu inti peristiwa biasanya tersimpan dan disampaikan melalui puisi.<br />
<br />
Pada periode 2000-an, bias dikatakan puisi-puisi yang berkembang adalah jenis puisi-puisi antromorfisme, profeik dan nirbait (Rampan dalam Waluyo, 2003:165). Dengan berbagai tema yang ingin disampaikan oleh penyair. Tema yang dominan muncul dalam puisi-puisi Indonesia yaitu kepedulian terhadap sesama. Tema tersebut bias berupa masalah ekonomi, politik, sosial, budaya maupun sekitar kehidupan sehari-hari.<br />
Untuk membatasi masalah, peneliti ingin mengaji salah satu puisi Joko Pinurbo (JP). Mengapa JP? Karena selain tercatat sebagai salah satu penyair periode 2000-an, puisi JP juga menawarkan sebuah pemikiran cerdas yang dikemas dalam diksi-diksi humor yang segar.<br />
<br />
<b>Joko Pinurbo: Pesan dalam Berbagai Tanda</b><br />
Keunikan yang peneliti rasakan ketika membaca puisi JP adalah ia mampu mengemas pesan dalam berbagai tanda. Tanda tersebut dipadukan dengan gaya bahasanya yang humoris, mengandung ironi tentang kehidupan. Peristiwa sehari-hari bias dijadikan puisi oleh JP. Ranjang, celana, buku, tubuh adalah sebagian tempat imajinasi JP (Superli,2004;xix). Bahkan batuk, yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai satu penyakit, oleh JP disulap sebagai satu harapan akan kebebasan, dari sebuah situasi yang kaku, yang mengunci, yang membatasi:<br />
<br />
<i>Batuk, beri aku letusan-letusan lembutmu <br />
untuk menggempur limbah waktu <br />
yang membatu di rongga dadaku</i><br />
<br />
Berbagai tanda tersebut tidak hanya menampilkan pesan, namun juga menimbulkan kesan humor tersendiri. Tanda telah menghubungkan JP dengan dunia luar. Humor yang ringan tidak akan membuat kita merasa jijik tetapi justru jenaka (Kleden, 2001:xii).<br />
Dalam salah satu puisi JP, Bayi di Dalam Kulkas, peneliti menangkap ada tema ketidakberdayaan. Mengapa ketidakberdayaan? Pada hakikatnya manusia memang mahluk yang serba tidak berdaya. Ada satu kekuatan transcendental yang mengikat dalam diri manusia. Manusia memang bias berdaya dan upaya untuk berbuat suatu hal yang lebih baik, namun hasil akhir tetap manusia tidak berdaya. Ketidakberdayaan ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.<br />
<br />
<b>Bentuk Ketidakberdayaan</b><br />
Dalam tulisan ini, peneliti ingin mengungkap tanda ketidakberdayaan dalam salah satu puisi JP, Bayi di Dalam Kulkas. Menurut Esten (1987:9), petunjuk pertama dalam memahami puisi adalah dengan memperhatikan judul. Judul adalah sebuah petunjuk untuk menengok keseluruhan makna puisi. Dilihat dari judulnya, puisi Bayi di Dalam Kulkas sangat unik. Bayi (secara denotative) adalah mahluk yang baru lahir ke bumi, baru merasakan hawa kehidupan. Ia tak berdaya dan sangat rentan terhadap lingkungan sekitar serta membutuhkan bimbingan dan kasih saying dari orang tuanya. Bayi bias diartikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan. Sedang kulkas adalah lemari pendingin, tempat untuk menyimpan makanan dan minuman. Secara tidak langsung, bisa diartikan sebagai ketidakberdayaan yang tersimpan, membeku, tak bisa dilawan dan harus diterima sebagai takdir hidup manusia. <br />
<br />
Manusia sebenarnya bias merasakan ketidakberdayaan itu. Namunmanusia tidak berdaa untuk melawan. Manusia sebagai mahluk yang selalu berharap, tentu mempunyai pengharapan kan kebebasan dari berbagai bentuk ketidakberdayaan. Tapi seringkali harapan manusia hanya tinggal harapan. Hal ini bisa dilihat dari:<br />
<br />
<i>Bayi di dalam kulkas lebih suka mendengarkan <br />
pasang surutnya angin, bisu-kelunya malam <br />
dan kuncup-layunya bunga-bunga di dalam taman.<br />
Dan setiap orang yang mendengar tangisnya <br />
mengatakan: “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil <br />
dan membeku bersamamu.”</i><br />
<br />
JP sengaja memilih sosok ibu dalam puisi ini karena ibu bias diartikan sebagai sebuah harapan akan hidup yang lebih baik. Apalagi sosok bayi sangat membutuhkan sentuhan sosok ibu. Ibu adalah sosok harapan bagi bayi.<br />
<br />
Di sini peneliti memandang penyair memberikan sosok bayi sebagi bentuk ironi. Bayi yang semestinya lucu menjadi sebuah hal yang miris. Tampaknya sosok bayi tidak akan pernah menemui harapannya.<br />
<br />
Jika ingin lebih diperinci, ketidakberdayaan dalam puisi JP bias diartikan juga ketidakberdayaan rakyat kecil. Bagaimana pun rakyat merindukan pejabat yang baik, yang perduli akan penderitaan rakyat.<br />
<br />
<i>“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”<br />
“Nyenyak sekali ibu. Aku terbang ke langit <br />
ke bintang-bintang ke cakrawala ke detik penciptaan <br />
bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan.”<br />
“Aku ikut. Jemputlah aku Bayi.<br />
Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.” </i><br />
<br />
Bait di atas bisa diartikan sebagai ketidakberdayaan rakyat atas pejabat. Seperti biasa, jika ada kunjungan pejabat ke daerah akan selalu ada jawaban basa-basi. Seperti biasa jawaban yang ada hanyalah menunjukkan sesuatu yang positif saja, keadaan rakyat yang tenang, aman, tidak kekurangan apapun. Padahal jika melihat knyataan tidaklah sama dengan yang diucapkan. Bayi (rakyat) pun bersembunyi di balik kenyenyakan tidurnya dan impian-impiannya. Hanya itu yang bias dilakukan Bayi (rakyat) untuk melawan ketidakberdayaannya.<br />
<br />
<i>Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah <br />
di matanya, ketika ibu menjamah tubuhnya <br />
yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati<br />
yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan.</i><br />
<br />
Senyuman bayi adalah senyuman sinis dari rakyat ketika sosok ibu (pejabat) ingin menjamah bayi (rakyat). Seperti biasa janji yang diberikan oleh pejabat sudah dianggap sebagai janji kosong. Rakyat hanya dijadikan sarana bagi pejabat yang ingin memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini yang ingin ditunjukkan dalam diksi "dipersembahkan di meja perjamuan".<br />
<br />
<i>“Biarkan aku tumbuh dan besar disini Ibu.<br />
Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai Itu.”</i><br />
<br />
Sungguh sangat ironis jika sosok bayi tidak mau keluar dari kulkas yang dingin. Dunia yang ramai memang terlalu berat bagi sosok bayi. Apalagi ibu yang akan mengeluarkan sosok sang bayi masih dipertanyakan. Rakyat lebih baik memilih diam dan tumbuh dalam kebekuan. Sebab jika mereka maju, maka dunia politik yang ramai, yang tidak jujur hanya akan membuat mereka menjadi obyek. Sikap diam dan tak berdaya bias jadi adalah sikap yang tepat untuk menghadapi dunia yang ramai.<br />
<br />
Akhirnya semua kegelisahan rakyat hanya akan menjadi suatu rahasia bentuk ketidakberdayaan dalam menghadapi permainan politik yang memang kejam. Jika berbicara mereka tentu akan menghadapi tindakan represif. Akhirnya ini yang ingin disampaikan JP dalam bait terakhir:<br />
<br />
<i>Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri <br />
di hadapan mulut yang mengucapkannya.</i><br />
<br />
<b>Simpulan</b><br />
Puisi "Bayi di Dalam Kulkas" karya JP bisa diinterpretasikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan. Jika ingin lebih mengerucut, bias diartikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan rakyat dalam menghadapi birokrat. Namun pada umumnya manusia juga tidak berdaya dalam menghadapi kehidupan. Akan tetapi sekali lagi sebuah teks puisi tidak hanya tunduk pada satu pemaknaan, satu teks puisi bias menimbulkan berbagai penafsiran. Bergantung interpretan ingin menginterpretasi teks dari sudut pandang dan seperti apa.<br />
<br />
<b>Daftar Pustaka </b><br />
Esten, Mursal. 1984. <i>Sepuluh Petunjuk dalam Memahami dan Membaca Puisi</i>. Padang: Angkasa Raya<br />
Kleden, Ignas (ed). 2001. <i>Joko Pinurbo: Di Bawah Kibaran Sarung</i>. Magelang: Indonesiatera<br />
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press<br />
Superli, Karlina (ed).2004. <i>Joko Pinurbo: Kekasihku</i>. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia<br />
Waluyo, Herman. J. 2003. <i>Apresiasi Puisi</i>. Jakarta: Gramedia<br />
Zoest, Aart van. 1993. <i>Semiotika: Tentang Tanda, cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya</i>. Jakarta: Yayasan Sumber Agung<br />
<br />
Sumber: www.manuskripdody.blogspot.com <br />
Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-32686413943583932622012-11-24T13:17:00.000+07:002012-11-24T13:18:27.616+07:00Pergeseran Tradisi Lirik Menuju Bentuk NaratifJoko Pinurbo adalah salah satu sastrawan yang cukup diperhatikan di dalam kesusastraan Indonesia, khususnya genre puisi. Jokpin (Joko Pinurbo) menawarkan hal baru dalam konvensi puisi. Ia berusaha untuk menggeser keberadaan kekuatan lirik dalam puisi. Ada beberapa hal yang mendasarinya untuk meninggalkan lirik dalam puisi-puisinya.(?)<br />
<br />
Pada awal karirnya menulis puisi, puisi-puisi Jokpin juga masih dipengaruhi oleh tradisi lirik. Namun, setelah lama begelut dalam perpuisian Indonesia, ia mulai mencoba untuk sedikit menggeser tradisi lirik tersebut menjadi bentuk naratif. Pada dasarnya, Jokpin juga tidak menampik adanya kekuatan lirik di dalam puisi karena lirik merupakan suatu pola ekspresi dengan kebeningan suasana, keindahan bunyi, dan kejernihan perasaan. Akan tetapi bagi Jokpin tradisi lirik tersebut haruslah diolah kembali agar tidak terlalu lugu. Pengolahan ini ditunjukkan oleh Jokpin dengan gaya humor dalam puisi-puisinya. Gaya inilah yang menjadikan puisi tidak terkesan lugu. Ada semacam belokan ketika puisi itu dibaca.<br />
<br />
Bentuk naratif yang digunakan dalam puisi-puisi Jokpin menjadikan puisi tersebut mudah dinikmati oleh orang dalam berbagai kalangan. Sehingga puisi-puisi Jokpin pun dapat dikatakan sebagai cerita mini. Jokpin menggabungkan bentuk lirik dan naratif dalam puisi-puisinya. Hal inilah salah satu faktor yang menjadikan puisi-puisi Jokpin menarik untuk dibaca. Sebut saja salah satu puisinya yang berjudul Kredo Celana. Puisi tersebut masih menggunakan tradisi lirik dengan jeda-jeda dan ditulis dengan bait-bait. Akan tetapi setelah dibaca, akan terasa bahwa terdapat kekuatan naratif di dalamnya.<br />
<br />
<b>Kredo Celana</b><br />
<br />
<small>Yesus yang seksi dan baik hati,<br />
kutemukan celana jeans-mu yang koyang<br />
disebuah pasar loak.<br />
Dengan uang yang tersisa dalam dompetku<br />
kusambar ia jadi milikku.<br />
<br />
Ada noda darah pada dengkulnya.<br />
Dan aku ingat sabdamu:<br />
“Siapa berani mengenakan celanaku<br />
akan mencecap getir darahku.”<br />
Mencecap darahmu? Siapa takut!<br />
Sudah sering aku berdarah,<br />
walau darahku tak segarang darahmu. <br />
<br />
Siapa gerangan telah melego celanamu?<br />
Pencuri yang kelaparan,<br />
pak guru yang dihajar hutang,<br />
atau pengarang yang dianiaya kemiskinan?<br />
Entahlah. Yang pasti celanamu<br />
pernah dipakai bermacam-macam orang.<br />
<br />
Yesus yang seksi dan murah hati,<br />
Malam ini aku akan baca puisi<br />
Di sebuah gedung pertunjukan<br />
Dan akan kupakai celanamu<br />
Yang sudah agak pudar warnanya.<br />
Boleh dong sekali-sekali aku tampil gaya.<br />
<br />
...<br />
<br />
(2007)</small><br />
<br />
Memperhatikan kutipan puisi di atas, dapat dilihat bahwa pola dalam puisi Jokpin masih berbentuk puisi lirik. Akan tetapi, Jokpin tidak lagi mengutamakan ekspresi perasaan, emosi personal, dan kualitas musikal, seperti yang ada pada puisi-puisi lirik pada umumnya. Ia justru memasukkan bentuk naratif dalam penceritaan puisinya. Bagi Jokpin sendiri, persoalannya bukan pilihan untuk meninggalkan lirik akibat dominasinya dalam puisi. Melainkan untuk mengatasi kurangnya dialog pada lirik. Serta mengembangkannya dengan diksi-diksi yang belum dituliskan oleh penyair-penyair sebelumnya. Lirik dalam perpuisian Indonesia terkesan monoton dan tidak ada usaha untuk memperkaya gaya penulisan. Seolah bahwa menulis puisi adalah seperti yang sudah ditulis oleh penyair-penyair besar masa lalu. Seperti tidak ada usaha untuk sedikit bergeser atau keluar dari pakem yang sudah ada.<br />
<br />
Pada dasarnya puisi-puisi Jokpin tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi lirik. Namun dengan variasi pengembangan corak, dari segi kosa kata, dan juga penjelajahan tema. Ia hanya mencoba mengembangkan gaya tulisan naratif supaya tidak terlalu dikuasai oleh tradisi lirik. <br />
<br />
Mengenai diksi, Jokpin memilih kosa kata yang sederhana bahkan sering dipakai dalam bahasa keseharian, yang biasanya tidak digunakan dalam bahasa puisi. Hal itu kemudian divariasi dengan gaya humoris untuk mengiringi kedalaman maknanya. Sehingga sebelum mulai memahami isinya, pembaca akan merasa bahwa puisi-puisi Jokpin sangat ringan. Sebagai contoh penggunaan diksi “celana” dalam beberapa puisinya. Diksi tersebut dapat saja mengandung tema kesepian. Bagi Jokpin kesepian masa kini akan sangat berbeda ekspresinya dengan zaman dulu. Jadi kesepian tidak hanya dapat di ekspresikan seperti sepinya Amir Hamzah atau Sapardi. Ia menggunakan metafor celana yang di dalamnya pun dapat digali berbagai macam tema kesepian. Metafor itu ia pilih karena tidak ingin terkungkung oleh senja atau hujan saja dalam mengekspresikan kesepian.<br />
<br />
Dan aku tersenyum juga membaca sajak Kredo Celana-nya Joko Pinurbo di hari minggu, dua hari sebelum hari Natal tiba. Lucu. Tapi kemudian aku meringis. Getir. Bukan karena merasa terhina karena Yesus jadi seperti bahan olok-olok. Malah sebaliknya, aku bisa merasakan bahwa seorang Joko Pinurbo bisa begitu bebasnya menikmati rasa keintiman dan kedekatan hubungan dia dengan Yesus-nya yang seksi dan murah hati dan rendah hati.<br />
<br />
Murah hati dan rendah hati? Ya. Dia yang adalah Tuhan bisa mau turun ke dunia.<br />
Mau menjelma jadi manusia dan sekaligus jadi Tuhan yang solider, mau merasakan bagaimana jadi manusia. Dan tak ada yang lebih seksi daripada orang yang mau murah hati dan rendah hati. Apalagi ia lahir sebagai bayi manis yang tertidur lelap di palungan dikelilingi bintang-bintang yang terang, serta sekumpulan gembala dan domba-dombanya yang riang.<br />
<br />
Dan lantas aku menjadi iri untuk punyai keintiman itu. Aku pun meringis dengan getir. Karena aku masih belum bisa membebaskan diri dari diriku sendiri untuk terjun bebas dalam keintiman yang dalam, yang membebaskan, yang penuh rasa, yang menggairahkan, bersama Yesus, yang tidak hanya dilihat seperti sekedar seorang junjungan, tapi seperti seorang teman lama SMA, dan seorang kekasih yang setia.<br />
<br />
Saya meringis. Getir. Dan rindu. Rindu celana-Nya. Dalam rangka mengungkap alam mimpi tersebut, ada semacam kehendak sang penyair untuk menyiasati soal menakutkan ini (kematian) dengan metafor-metafor humoristis. Puisi yang tampak bermain-main namun menyimpan kedalaman yang tak terduga. <b>(Nairiru)</b><br />
<br />
Sumber: www.nairiru.blogspot.comJoko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-39039774105931376712011-04-05T10:37:00.020+07:002012-08-22T08:26:51.708+07:00Pacar Senja: Sebuah Biografi Estetika Joko Pinurbo (Pertunjukan Estetik Joko Pinurbo Hingga Akhir dan Pasca Orde Baru)Oleh <b>Agung Dwi Ertato</b><br />
<br />
“Puisi adalah suara lain.” (Octavio Paz)<br />
“These words were created by me with my blood, <br />
with my pains they were created!” (Pablo Neruda)<br />
<br />
I<br />
<br />
Quote Octavio Paz dan Potongan puisi Pablo Neruda mengawali esai saya ini. Ada sesuatu yang menarik di balik quotes tersebut. Pablo Neruda mengajarkan pada kita tentang puisi. Puisi yang dimaksudkan oleh Neruda adalah kumpulan kata-kata yang dibuat melalui darah melalui kepedihan dari pembuatnya. Kepedihan dan darah tersebut terbentuk melalui peristiwa-peristiwa yang pernah dialami atau dengan kata lain sebagai pengalaman pribadi dari seorang pengarangnya. Sedangkan Octavio Paz, beranggapan bahwa “Puisi adalah suara lain”. Menurut Paz, “Puisi tidak menyuarakan sejarah atau antisejarah, namun suara yang dalam sejarah senantiasa mengatakan sesuatu yang berbeda.” Lalu bagaimana dengan kondisi sastra atau perpuisian khususnya di Indonesia?<br />
<br />
Tentu saja hal ini juga terjadi di Indonesia. Roman pertama Indonesia yang terbit pada prakemerdekaan, Siti Nurbaya, juga merupakan bagian dari darah Marah Roesli yang ia peroleh dari kehidupan kolonial di Hindia Belanda. Bagaimana dengan perpuisian? Puisi Indonesia Modern dipelopori oleh wacana estetika Chairil Anwar yang menawarkan (menjadikan tawar) perpuisian Indonesia dari pengaruh-pengaruh kesusastraan Melayu dan menggantinya dengan perpuisian yang lebih individualis. Wacana estetika tersebut kemudian diteruskan atau dirombak oleh penyair-penyair sesudahnya seperti Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Goenawan Muhamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Taufik Ismail, Danarto, Putu Wijaya, Afrizal Malna, Dorothea, Nenden Lilis, Oka Rusmini, hingga Joko Pinurbo. Namun, sebelum Chairil Anwar, Amir Hamzah juga telah menanamkan embrio dalam perpuisian Indonesia Modern. Embrio tersebut adalah konvensi tentang kesunyian yang dialami oleh penyair seperti yang terdapat pada buku kumpulan puisi Amir Hamzah, Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Kesunyian tersebut juga bisa diartikan sebagai darah dari penyair yang ia dapatkan dari perenungan tentang kondisi psikologi eksistensial atau kondisi sosial sekitarnya.<br />
<br />
Karya sastra tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan keadaan sosial masyarakat yang menaungi penulis atau sastrawan. Sastrawan sendiri hidup di antara lingkungan sosial masyarakat. Menurut Sapardi Djoko Damono, “Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial.” ( Damono: 1978). Di Indonesia, sastra memang sangat dipengaruhi dengan kondisi sosial tempat puisi dibuat. Entah itu, sastrawan dalam membuat puisi memilih wacana estetik ‘perenungan akan kesunyian’ maupun ‘melihat kondisi sosial secara langsung’. Kondisi sosial sangat berpengaruh kuat dalam penciptaan karya sastra. Kondisi sosial politik merupakan sangat berpengaruh terhadap karya sastra di Indonesia, terutama ketika hegemoni Orde Baru berkuasa. Banyak sastrawan secara langsung atau tidak langsung menyoroti permasalahan yang disebabkan oleh hegemonik Orde Baru tersebut seperti Taufik Ismail, W.S. Rendra, Goenawan Muhamad, Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Joko Pinurbo, dan lain-lain. <br />
<br />
II<br />
<br />
Dalam esai ini, saya akan lebih memfokuskan pembicaraan saya pada nama terakhir yang saya sebut di atas yaitu Joko Pinurbo. Ada hal yang unik dari pertunjukkan estetik Joko Pinurbo hingga akhir Orde Baru dan pasca-Orde Baru. Pertunjukkan tersebut tentu saja sangat berkaitan dengan wacana yang sedang menaungi pada awal kepenyairan Joko Pinurbo. Awal kepenyairan Joko Pinurbo sendiri dimulai pada tahun 1979 dengan munculnya puisi Prajurit di Malam Sebelum Perang. <br />
<br />
<small>PRAJURIT DI MALAM SEBELUM PERANG<br />
<br />
ya akulah abdimu<br />
dari kandung leluhurku aku telah lahir<br />
kubawa namanya dalam berkatmu<br />
di tengah hutan memancar kesegaran mata air yang berlinang<br />
dengan jari-jari perkasa<br />
kauhembuskan napasku<br />
dan kualirkan darah<br />
dalam tubuhku yang mungil<br />
hingga sungai pun tetap mengalir<br />
dan bocah-bocah yang berbaris di tebingnya<br />
bersorak gembira<br />
lalu ingin kupersembahkan padamu:<br />
setetes darah yang amis<br />
sekerat daging yang tawar<br />
sehelai rambut yang rapuh<br />
sepotong tulang yang lapuk<br />
dan sebaris napas yang cair<br />
– korban ini begitu sederhana<br />
...</small><br />
(dikutip dari “Humor yang Polits, Humor yang Tragis” , Bandung Mawardi.)<br />
<br />
Jika dilihat secara seksama puisi tersebut masih terpengaruh oleh wacana estetik puisi lirik yang memang merebak pada masa itu. Sebelum membahas pertunjukkan estetika Joko Pinurbo hingga akhir Orde Baru dan pasca Orde Baru, tentu saja ada baiknya kita kembali membaca perkembangan Sastra Indonesia pada masa Orde Baru.<br />
<br />
Agus R. Sarjono pernah menulis esai tentang perkembangan Sastra Indonesia pada masa Orde Baru. Dalam tulisan tersebut Agus R. Sarjono membagi periodisasi menjadi empat yaitu Sastra dan Orde Baru I, Sastra dan Orde Baru II, dan Sastra dan Orde Baru III & IV. Setiap periode tersebut mempunyai ciri-ciri tersendiri. Namun, dari semua periode tersebut, sejak periode Sastra dan Orde Baru II, 1980-an, pemerintahan di Indonesia mulai menunjukkan sikap represif terhadap para penentang pemerintahan termasuk sastrawan. <br />
<br />
Di dunia sastra, sikap represif yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru adalah dengan politik bahasa. Pemerintah menggunakan jargon-jargon seperti bebas bertanggung jawab, menggunakan bahasa yang baik dan benar, dan lain-lain. Jargon-jargon tersebut tentu saja menyebabkan penguasa politik lebih hegemonik hingga puncaknya pada peristiwa Mei 1998 sebagai akhir kekuasaan hegemonik Orde Baru.<br />
<br />
Michael Bodden menyebutkan pula bahwa, “Pemerintahan Orde Baru melakukan kontrol kebudayaan hingga terbentuk kebudayaan yang sejenis.” Ia juga menambahkan bahwa, “Kontrol tersebut menyebabkan hegemonik dari pemerintahan Orde Baru di bidang Kebudayaan”(Bodden: 1998). Kekuasaan hegemonik memunculkan kaum-kaum postmodern di Indonesia yang ingin menentang kekuasan hegemonik Orde Baru.<br />
<br />
III<br />
<br />
Joko Pinurbo adalah penyair yang tumbuh dan berkembang pada era kekuasaan hegemonik Orde Baru. Seperti yang telah disebutkan di atas, Joko Pinurbo mulai menulis puisi sejak tahun 1979. Pria kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962 melakukan metamorfosis estetik kepenyairannya. Metamorfosis tersebut merupakan pertunjukkan estetik yang ditampilkan oleh Joko Pinurbo dalam menentang hegemoni penguasa Orde Baru. Pertunjukkan tersebut terekam dalam buku kumpulan puisi Joko Pinurbo, Pacar Senja (2005).<br />
<br />
Pacar Senja merupakan buku puisi yang berisi puisi-puisi Joko Pinurbo yang tersebar dalam beberapa buku puisi sebelumnya, Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003, dan Kekasihku (2004). Melalui pertunjukkan estetikanya, ia mendapatkan Penghargaan Buku Puisi Pusat Kesenian Jakarta (2000), Hadiah Sastra Lontar (2001), Sih Award (2001), dan Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2002).<br />
<br />
Bagaimana metaforsis estetika yang dilakukan Joko Pinurbo hingga berakhirnya hegemoni Orde Baru yang ditandai dengan Reformasi 1998?<br />
<br />
Dalam buku Pacar Senja, puisi yang berusia paling tua adalah puisi ‘Layang-layang’ (1980). Di dalam puisi tersebut kita bisa melihat wacana estetik yang digunakan Joko Pinurbo pada awal kepenyairannya.<br />
<br />
<small>LAYANG-LAYANG<br />
<br />
Dulu pernah kau belikan sebuah layang-layang<br />
pada hari ulang tahun.<br />
Aku pun bersorak sebagai kanak-kanak<br />
tapi hanya sejenak.<br />
<br />
Sebab layang-layang itu kemudian hilang,<br />
entah ke mana ia terbang.<br />
Seperti aku pun tak pernah tahu kapan kau hilang<br />
dan kembali ketemu<br />
Lehermu masih hangat meskipun selalu dikikis waktu.<br />
<br />
Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan<br />
selain dibasahkuyupkan di bawah hujan.<br />
Tapi kutemukan juga layang-layang itu di sebuah dahan<br />
meskipun tanpa benang dan tinggal robekan.<br />
Aku ingin berteduh di bawah pohon yang rindang.<br />
<br />
1980</small><br />
<br />
(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 133)<br />
<br />
Puisi tersebut dibuat Joko Pinurbo pada usia 18 tahun. Tergolong muda sekali, bahkan Chairil Anwar baru mempublikasikan puisinya pada umur 20 tahun. Di usia semuda itu, wacana estetik yang digunakan oleh Joko Pinurbo masih terpengaruh oleh wacana estetik penyair terdahulunya seperti Goenawan Muhamad dan Sapardi Djoko Damono. Aku lirik masih sebagai aku yang individu dan sajak tersebut masih masih berkisar pada permasalahan eksistensi psikologi. <br />
<br />
Tradisi puisi lirik juga masih kuat diikuti oleh Joko Pinurbo—memang pada masa itu wacana estetik puisi masih berkisar pada jenis puisi lirik yang dikembangkan oleh Goenawan Muhamad dan Sapardi Joko Damono. Pada tahun 1989, wacana estetik Joko Pinurbo mulai bergeser atau bermetamorfosis melalui puisi ‘Tukang Cukur’ walaupun pada tahun 1990, Joko Pinurbo masih menunjukkan pengaruh estetika puisi lirik seperti pada puisi ‘Hutan Karet’ dan ‘Pohon Bungur’. Puisi ‘Tukang Cukur’ setidaknya menjadi titik awal perubahan orientasi dalam puisi-puisinya pada masa menjelang akhir Orde Baru dan pasca-Orde Baru.<br />
<br />
<small>TUKANG CUKUR<br />
<br />
Ia membuat padang rumput yang subur<br />
Di kepalaku. Ia membabat rasa damai<br />
Yang merimbun sepanjang waktu.<br />
<br />
“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, <br />
hotel, dan restoran. Tentu juga sekolah, <br />
rumah bordil, dan tempat ibadah.<br />
<br />
Ia menyayat-nyayat kepalaku, <br />
mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.<br />
<br />
“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.<br />
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”<br />
<br />
Suara guntingnya selalu menggangu tidurku.<br />
<br />
1989</small><br />
<br />
(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 17)<br />
<br />
Dalam puisi ‘Tukang Cukur’, wacana estetik Joko Pinurbo pelan-pelan bergeser. Ia sudah tidak lagi menggunakan wacana estetik puisi lirik yang dulu ia gunakan pada awal kepenyairannya. Ia mulai menggunakan gaya narasi dalam lirik-lirik puisinya. Menggunakan potongan cerita atau kisah pendek namun tetap menggunakan metafora-metafora yang menimbulkan ironi. Puisi ‘Tukang Cukur’ juga merupakan perlawanan terhadap modernisasi yang dilakukan kuasa Orde Baru. Simbol-simbol modernisasi terlihat pada kata bandar, hotel, restoran, sekolah, rumah bordil, dan tempat ibadah. Kata-kata tersebut merupakan penanda bagi kehidupan kota yang menuju metropolitan. Pada masa Orde Baru pembangunan sangat didengung-dengungkan melalui PELITA (Pembangunan Lima Tahunan). Pembangunan tersebut persis seperti yang digambarkan oleh Joko Pinurbo dalam puisi ‘Tukang Cukur’.<br />
<br />
Relasi kuasa yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru menginginkan Indonesia menuju modern melalui kerja-kerja budaya yang sangat diatur ketat guna menuju Indonesia yang berbudaya tunggal atau penyeragaman budaya. Relasi kuasa itu kemudian ditentang oleh beberapa penyair dan tentu saja Joko Pinurbo salah satunya. Relasi kuasa Orde Baru diciptakan menggunakan bahasa sebagai alat tersebut. Bahasa sengaja dimatikan oleh pemengang kekuasaan dengan pemaknaan seragam. Hal ini menjadi keresahan bagi beberapa penyair karena bahasa merupakan ‘rumah’ bagi puisi. Dampak dari penyeragaman pemaknaan bahasa oleh Orde Baru adalah kesadaran masyarakat Indonesia tentang kesusastraan mulai berkurang. Namun, beberapa penyair, termasuk Joko Pinurbo, menggunakan bahasa untuk melawan balik hegemoni Orde Baru. Pada tahun 1989, Afrizal Malna juga menggunakan bahasa sebagai sarana melawan arus hegemoni Orde Baru.<br />
….<br />
<small>Di stasiun, orang-orang berdiri. Mereka saling berdiam di hadapan spiker. Tahu, jam-jam berlalu, tidak membawa siapa pun pergi ke rumah sendiri. Sebuah kota penuh spiker, tahu, tidak perlu mendengar suaramu.<br />
<br />
1989</small><br />
<br />
(“Spiker di Jendela Kereta”, Afrizal Malna,dalam Arsitektur Hujan, hal. 36)<br />
<br />
Afrizal Malna juga mempersoalkan arus modernitas yang dibangun oleh penguasa Orde Baru, sama seperti Joko Pinurbo. Namun, bahasa yang digunakan oleh Afrizal dan Joko Pinurbo berbeda walaupun Joko Pinurbo masih cenderung sedikit menguntit wacana estetik yang dibangun Afrizal Malna. Penggunaan kata-kata yang digunakan Joko Pinurbo masih mencitrakan unsur-unsur gelap seperti menyayat. Unsur-unsur gelap juga terdapat pada klausa-klausanya. Ia menyayat-nyayat kepalaku, aku akan mencukur lentik bulu matamu. Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu. Citraan tersebut merupakan unsur gelap dan bersifat ironi. Bagi mereka yang hidup dan tumbuh dalam kekuasaan hegemonik Orde Baru seperti Joko Pinurbo, tentu saja akan merasakan getirnya pencukuran yang dilakukan oleh Tukang Cukur atau akan merasakan seperti Afrizal Malna, kota-kota yang tidak perlu mendengarkan suaramu. <br />
<br />
IV<br />
<br />
Pada periode awal 1990-an hingga mendekati masa keruntuhan kekuasaan hegemoni Orde Baru, wacana estetik yang dilakukan Joko Pinurbo terus berkembang dan menemukan bentuk khasnya. Pada tahun 1990-an, Joko Pinurbo membuat puisi dengan gaya yang berbeda, tidak lagi kembali pada tradisi puisi lirik ataupun terjebak pada kegelapan puisi à la Afrizal Malna. Ia mengembangkan gayanya sendiri berupa gaya humor dengan menggunakan bahasa yang sering kita jumpai sehari-hari seperti celana, ranjang, dan sarung.<br />
<br />
Pada periode itu pula, Orde Baru sedang gencar-gencarnya melakukan represif terhadap penentangnya. Buktinya adalah pembredelan sejumlah media massa seperti Tempo. Joko Pinurbo, dalam sajak ‘Tuhan Datang Malam Ini’, berhasil menangkap peristiwa pemberedelan Tempo. Kritiknya terhadap hegemoni Orde Baru memang tak sekeras W.S. Rendra, namun ironi muncul pada puisi tersebut.<br />
<br />
<small>....<br />
Tuhan datang malam ini<br />
di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus<br />
dan celoteh sepi. Ia datang dengan sebuah headline <br />
yang megah: “Telah kubredel ketakutan <br />
dan kegemetaranmu. Kini bisa kaurayakan kesepian <br />
dan kesendirianmu dengan lebih meriah.”<br />
Dengar, Tuhan melangkah lewat dengan sangat gemulai<br />
di atas halaman-halaman yang hilang,<br />
rubrik-rubrik terbengkelai.<br />
....</small><br />
<br />
(“Tuhan Datang Malam Ini”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja, hal. 111)<br />
<br />
Metafora yang dilakukan oleh Joko Pinurbo untuk penguasa Orde Baru adalah Tuhan. Orde Baru pada masa tahun 1990-an memang seperti “Tuhan”. Penguasa dengan mudah membredel media massa yang menentang penguasa Orde Baru. Orde Baru seperti “Tuhan”, mempunyai kekuasaan tak berbatas di Indonesia. <br />
<br />
<small>.....<br />
Dan Tuhan datang malam ini<br />
di gudang gelap, di bawah tanah, yang cuma dihuni<br />
cericit tikus dan celoteh sepi.<br />
Ia datang bersama empat ribu pasukan,<br />
lengkap dengan borgol dan senapan.<br />
Dengar, mereka menggedor-gedor pintu dan berseru:<br />
“Jangan halangi kami. Jangan lari dan sembunyi.<br />
Kami cuma orang-orang kesepian.<br />
Kami ingin bergabung bersama Anda<br />
di sebuah kolom yang teduh, kolom yang rindang.<br />
Kami akan kumpulkan senjata<br />
dan menyusunnya jadi sebuah komposisi kebimbangan.”<br />
<br />
Tuhan, mereka sangat ketakutan.<br />
Antarkan mereka ke sebuah rubrik yang tenang.<br />
<br />
1997</small><br />
<br />
(“Tuhan Datang Malam Ini”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 112)<br />
<br />
Tuhan yang dimetaforkan oleh Joko Pinurbo sebagai penguasa Orde Baru adalah orang-orang yang kesepian dan orang-orang yang mengumpulkan senjata dan menyusunnya jadi komposisi kebimbangan. Gambaran represif penguasa Orde Baru terlihat pada metafor Tuhan. Penguasa memang sering melakukan tindakan represif dengan senjata dan menciptakan ‘kedamaian’ yang dipaksakan tetapi sebenarnya adalah sebuah komposisi kebimbangan. Ironi, baru dimunculkan pada bait terakhir. Bait terakhir dicetak dengan huruf miring. Hal ini merupakan bagian yang coba ditekankan oleh Joko Pinurbo bahwa orang-orang yang ditekan oleh sikap represif penguasa Orde Baru ternyata masih memohonkan “doa” kepada Tuhan (yang sebenarnya) untuk penguasa Orde Baru agar mereka “sadar”.<br />
<br />
Beberapa puisi Joko Pinurbo lainnya seperti “Celana 1”, “Celana 2”, “Celana 3”, “Boneka 1”, “Boneka 2”, dan “Boneka 3” tetap menggunakan gaya humor tapi masih disisipi permasalahan sosial. Ia tetap menyisipi kritik sosial yang terjadi pada masa hegemoni Orde Baru. <br />
<br />
<small>...<br />
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih<br />
yang menunggunya di pojok kuburan.<br />
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”<br />
<br />
Tapi perempuan itu lebih tertarik<br />
pada yang bertengger di dalam celana.<br />
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”<br />
...</small><br />
<br />
(“Celana 3”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 5)<br />
<br />
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Joko Pinurbo melakukan kritik terhadap pengaruh asing dalam pemerintahan Orde Baru. Pengaruh asing tersebut disimbolkan pada Ini asli buatan Amerika. Amerika Serikat berpengaruh besar terhadap Indonesia terbukti dengan adanya Freeport di Indonesia bahkan hingga sekarang. Pengaruh tersebut juga terjadi di bidang ekonomi hingga menyebabkan krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Kritik tersebut terbungkus melalui bahasa humor –melalui percakapan sehari-hari. Puisi “Celana 3” memang tidak menggunakan bahasa puitik. Kekuatan puisinya adalah bahasa humor yang sederhana. Hal ini merupakan bagian dari metamorfosis wacana estetik yang diusung Joko Pinurbo dalam puisi-puisinya.<br />
<br />
Pada puisi “Boneka 1”, Joko Pinurbo kembali menampilkan kritik terhadap kehidupan bernegara di Indonesia. Ia tetap mengusung wacana estetiknya yaitu narasi humor melalui percakapan.<br />
<br />
<small>BONEKA, 1<br />
<br />
Setelah terusir dan terlunta-lunta <br />
di negerinya sendiri,<br />
pelarian itu akhirnya diterima <br />
oleh sebuah keluarga boneka.<br />
<br />
“Kami keluarga besar yang berasal <br />
dari berbagai suku bangsa.<br />
Kami telah menciptakan adat istiadat <br />
menurut cara kami masing-masing, <br />
hidup damai dan merdeka<br />
tanpa menghiraukan lagi asal-usul kami.<br />
Anda sendiri, Tuan, datang dari negeri mana?”<br />
<br />
“Saya datang dari negeri yang pemimpin <br />
dan rakyatnya telah menyerupai boneka. <br />
Saya tidak betah lagi tinggal di sana <br />
karena saya ingin tetap menjadi manusia.”<br />
...</small><br />
<br />
(“Boneka 1”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 25)<br />
<br />
Ia mengibaratkan pemerintah Orde Baru sebagai boneka. Boneka merupakan simbol mainan. Hal ini berarti bahwa pemerintah Orde Baru merupakan mainan asing terutama Amerika. Simbol lain dari boneka adalah sebagai benda mati. Pemimpin bangsa dan rakyat di Indonesia sudah menjadi benda mati, tidak lagi menjadi manusia yang mempunyai hati dan perasaan—manusia yang memanusiakan manusia lainnya.<br />
<br />
V<br />
<br />
Mei 1998 merupakan akhir dari hegemoni Orde Baru di Indonesia. Berakhirnya hegemoni Orde Baru berawal dari krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada medio akhir 1997 dan menyebabkan kerusuhan Mei 1998. Dalam buku Kerusuhan Mei: 1998 Fakta, Data, dan Analisa menyebutkan bahwa, “Kerusuhan Mei 1998 disebabkan oleh krisis ekonomi dan IMF memiliki peran penting dalam menciptakan krisis moneter yang meluas menjadi krisis ekonomi.” Program-program yang ditawarkan IMF lebih bersifat politis ketimbang ekonomis. Pemerintah Orde Baru juga mendapatkan tekanan dari berbagai pihak internasional. Akibatnya adalah harga-harga barang melambung dan menyebabkan kerusuhan di Indonesia.<br />
<br />
Kondisi negara yang carut-marut menggerakkan mahasiswa untuk berunjuk rasa menuntut reformasi di Indonesia. Puncak unjuk rasa tersebut adalah tertembaknya mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Pada tanggal 13 Mei 1998 hingga 15 Mei 1998 kerusuhan mulai menyebar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Kerusuhan berubah menjadi kerusuhan rasial terbukti dengan pembakaran pertokoan yang mayoritas didiami oleh etnis Tionghoa. Bulan Mei 1998 kemudian menjadi bulan mencekam bagi sejarah Indonesia. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mundur dari jabatan presiden. Peristiwa tersebut kemudian disebut sebagai Reformasi Mei 1998 dan sebagai akhir dari hegemoni Orde Baru.<br />
<br />
Beberapa penyair kemudian menulis tentang Reformasi Mei 1998, seperti Taufik Ismail, W.S. Rendra, Agus R. Sarjono, Sitok Srengenge, Hamid Jabbar, Ikranegara, Danarto, Slamet Sukirnanto, Soni Farid Maulana, dan Iyut Fitria. Puisi karya nama-nama tersebut dimuat dalam majalah Horison bulan Juni 1998. Bahkan, penyair yang sering menulis tentang kegelisahan eksistensial ikut pula menulis puisi yang menggambarkan Reformasi Mei 1998. Wacana estetik pada periode ini berubah menjadi wacana estetik kontekstual karena sebagian besar sastrawan menulis tentang peristiwa Mei 1998.<br />
<br />
Joko Pinurbo, dalam buku puisi Pacar Senja, juga mengikuti wacana estetik di akhir hegemoni Orde Baru. Peristiwa Mei 1998 disebut Agus R. Sarjono sebagai peristiwa terdahsyat di penghujung abad 20, sehingga tidak ada alasan lain untuk tidak menulis peristiwa tersebut kecuali alasan kemanusiaan dan kritik sosial terhadap kondisi tersebut. Perasaan carut marut Joko Pinurbo terhadap peristiwa tersebut terdapat pada puisi “Patroli”, “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, dan “Mei”.<br />
<br />
Dua buah puisi Joko Pinurbo, “Patroli” dan “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, menggambarkan kondisi aksi unjuk rasa pada Mei 1998. Pada puisi “Patroli”, Joko Pinurbo tetap menggunakan wacana estetiknya, dengan gaya narasi humor penuh ironi. Puisi tersebut merupakan potongan cerita seperti yang terdapat pada puisi-puisi lain Joko Pinurbo namun perbedaannya dalam puisi “Patroli” lebih jelas kontekstualnya yaitu Mei 1998.<br />
<br />
<small>PATROLI<br />
<br />
Iring-iringan panser mondar-mandir <br />
di jalur-jalur rawan di seantero sajakku.<br />
Di sebuah sudut yang agak gelap komandan <br />
melihat kelebat seorang demonstran<br />
yang gerak-geriknya dianggap mencurigakan.<br />
Pasukan disiagakan dan diperintahkan <br />
untuk memblokir setiap jalan. <br />
Semua mendadak panik. Kata-kata kocar-kacir<br />
dan tiarap seketika. Komandan berteriak, <br />
“Kalian sembunyikan di mana penyair kurus<br />
yang tubuhnya seperti jerangkong itu?<br />
Pena yang baru diasahnya sangat tajam <br />
dan berbahaya.”Seorang peronda <br />
memberanikan diri angkat bicara,<br />
“Dia sakit perut, Komandan, lantas terbirit-birit<br />
ke dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi <br />
di sana.” “Sialan!” umpat komandan geram sekali, <br />
lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli. <br />
Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu <br />
tiba-tiba muncul dari dalam kakus sambil<br />
menepuk-nepuk perutnya. “Lega,” katanya.<br />
Maka kata-kata yang tadi gemetaran <br />
serempak bersorak dan merapatkan diri<br />
ke posisi semula. Di kejauhan terdengar letusan, <br />
api sedang melahap<br />
dan menghanguskan mayat-mayat korban.<br />
<br />
(1998)</small><br />
<br />
Dalam puisi tersebut, sikap represif militer terhadap demonstran digambarkan melalui gaya narasi. Komandan, panser, patroli merupakan simbol militer sedangkan simbol demonstran digambarkan oleh kata-kata. Peristiwa Mei 1998 memang seperti yang digambarkan oleh Joko Pinurbo. Militer membubarkan para demonstran menggunakan panser dan menembaki demonstran tersebut hingga menimbulkan korban jiwa bagi demonstran. Humor yang muncul pada puisi tersebut terdapat pada bagian “Si jerangkong tiba-tiba muncul dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya.” Si jerangkong kurus tersebut sampai harus bersembunyi di dalam kakus—tempat yang berkonotasi jorok—hanya untuk mengelabui militer yang represif terhadapnya. Hal itulah yang terjadi pada masa hegemoni Orde Baru hingga berakhirnya masa tersebut, para aktivis, yang disimbolkan melalui si Jerangkong, harus bersembunyi untuk menghindari sikap represif (sikap represif tersebut biasanya dengan cara penculikan) dari penguasa Orde Baru.<br />
<br />
Pada puisi “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, Joko Pinurbo lebih menggunakan ironi. Joko Pinurbo menggambarkan kerusuhan Mei 1998 seperti peristiwa penyaliban Yesus di bukit Golgota. Sebelum penyaliban, Yesus di arak menuju Golgota melewati via dolorosa. Via dolorosa kemudian penuh dengan darah Yesus.<br />
<br />
<small>MINGGU PAGI DI SEBUAH PUISI<br />
<br />
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah<br />
ketika hari masih remang dan hujan, hujan<br />
yang gundah sepanjang malam<br />
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi<br />
berbasah-basah ke sebuah ziarah.<br />
<br />
Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara<br />
di sepanjang via dolorosa.<br />
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.<br />
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)<br />
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.<br />
...</small><br />
<br />
(“Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja, hal. 114)<br />
<br />
Pada kerusuhan Mei 1998, banyak korban berjatuhan di beberapa sudut kota Jakarta. Pembakaran terjadi di pertokoan-pertokoan Tionghoa. Darah-darah banyak tersebar di jalan-jalan kota Jakarta. Jakarta seperti via dolorosa yang banyak bercak-bercak darah. Bahkan pada kerusuhan tersebut langit kehilangan warna dan jejak kehilangan suara hanya untuk berduka pada kerusuhan tersebut. Simbol-simbol tersebut merupakan ironi yang diungkapkan oleh Joko Pinurbo untuk menggambarkan kerusuhan Mei 1998 melalui puisi.<br />
<br />
Pada puisi “Mei” tidak ada lagi humor yang biasanya menjadi ciri khas puisi Joko Pinurbo. Joko Pinurbo kembali pada gaya liris yang penuh ironi. Puisi “Mei” sendiri di tulis pada tahun 2000, pasca-Orde Baru. Hal ini menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 1998 sangat membekas dalam ingatan.<br />
<br />
<small>MEI<br />
<br />
: Jakarta, 1998<br />
<br />
Tubuhmu yang cantik, Mei<br />
telah kaupersembahkan kepada api.<br />
Kau pamit mandi sore itu.<br />
Kau mandi api.<br />
Api sangat mencintaimu, Mei.<br />
Api mengucup tubuhmu<br />
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.<br />
Api sangat mencintai tubuhmu<br />
sampai dilumatnya yang cuma warna<br />
yang cuma kulit yang cuma ilusi.<br />
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei<br />
adalah juga tubuh kami.<br />
Api ingin membersihkan tubuh maya<br />
dan tubuh dusta kami dengan membakar habis<br />
tubuhmu yang cantik, Mei<br />
Kau sudah selesai mandi, Mei.<br />
Kau sudah mandi api.<br />
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya<br />
ketika tubuhmu hancur<br />
dan lebur dengan tubuh bumi;<br />
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan<br />
nama dan warna kulitmu, Mei.<br />
<br />
2000</small><br />
<br />
(“Mei”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 120)<br />
<br />
Membaca puisi “Mei” Joko Pinurbo mengingatkan saya pada puisi Sapardi Djoko Damono “Ayat-ayat Api” terutama fragmen pertama. Ada kesamaan kelirisan dari kedua sajak tersebut. <br />
<small>...<br />
mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan<br />
...</small><br />
<br />
(“Ayat-ayat Api”, Sapardi Joko Damono, dalam Ayat-ayat api, hal. 115)<br />
<br />
Kedua puisi tersebut sama-sama menangkap kerusuhan Mei 1998 dan mempunyai kemiripan lirisnya. Apa yang menyebabkan Joko Pinurbo menanggalkan sejenak wacana estetiknya berupa humor yang biasa ia gunakan dalam beberapa puisinya? Tentu saja, peristiwa kerusuhan Mei 1998 itu sendiri yang begitu pilu dan menyedihkan sampai-sampai Joko Pinurbo kembali pada wacana estetik tradisi puisi lirik, kembali pada aku lirik yang mengalami perenungan. Mei disimbolkan sebagai perempuan cantik yang menjadi korban kerusuhan Mei 1998. <br />
<br />
Jika kita melihat seksama diksi yang dipilih Joko Pinurbo sebagai judul puisinya, maka kita akan mendapatkan nama Tionghoa. Mei adalah nama perempuan Tionghoa yang berarti cantik. Kerusuhan Mei 1998 menjadi kerusuhan rasial. Banyak korban etnis Tionghoa yang menjadi korban kerusuhan. Mei merupakan simbol korban Tionghoa yang dibakar tanpa tahu apa kesalahannya—tak ada lagi yang mempertanyakan nama dan warna kulitmu, Mei.<br />
<br />
VI<br />
<br />
Pascakeruntuhan hegemoni Orde Baru, wacana estetik Joko Pinurbo berubah sedikt demi sedikit. Beberapa puisinya ada yang berupa aforisma-aforisma pendek (pada puisi “Kepada Puisi”, 2003).<br />
<br />
<small>KEPADA PUISI<br />
<br />
Kau adalah mata, aku airmatamu.<br />
<br />
2003</small><br />
<br />
(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 147)<br />
<br />
Pada puisi “Kepada Puisi”, Joko Pinurbo melakukan percobaan-percobaan estetik. Tidak lagi berupa narasi panjang maupun narasi humor. Joko Pinurbo mempertunjukkan kerja kreatifnya dengan kata-kata yang padat dan hanya menggunakan satu larik saja.<br />
<br />
Beberapa puisinya juga ada yang berbentuk puisi sentimentil (pada puisi “Pacar Senja”, 2003). <br />
<br />
<small>PACAR SENJA<br />
<br />
Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai. <br />
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.<br />
<br />
Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja<br />
mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk, <br />
setengah saja, pacar senja tersipu-sipu. <br />
“Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.”<br />
<br />
Cinta seperti penyair berdarah dingin <br />
yang pandai menorehkan luka. <br />
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya. <br />
Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu <br />
melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja<br />
yang masih megap-megap oleh ciuman senja.<br />
<br />
“Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat <br />
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium <br />
menjadi bekas. Betapa curangnya rindu. <br />
Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.”<br />
<br />
Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap. <br />
Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak <br />
dalam gemuruh ombak. <br />
<br />
2003</small><br />
<br />
(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal .45)<br />
<br />
Letak sentimental puisi tersebut adalah pada pemilihan tema yang digarap oleh Joko Pinurbo. Jarang sekali Joko Pinurbo menampilkan tema-tema percintaan. Pada periode pasca-Orde Baru, Joko Pinurbo mencoba memainkan tema percintaan. Yang menjadi unik, Puisi “Pacar Senja” tidak tenggelam pada arus romantik seperti penyair setelah Sapardi Djoko Damono, namun masih saja menimbulkan ironi. Ironi tersebut terdapat pada bait keempat.<br />
<br />
Beberapa lagi masih terdapat wacana estetik yang orisinil dan khas yaitu narasi humor tragisnya (pada puisi “Celana Ibu”, 2004)<br />
<br />
<small>CELANA IBU<br />
<br />
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya<br />
mati di kayu salib tanpa celana<br />
dan hanya berbalutkan sobekan jubah<br />
yang berlumuran darah.<br />
<br />
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit<br />
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang<br />
ke kubur anaknya itu, membawakan celana<br />
yang dijahitnya sendiri dan meminta<br />
Yesus untuk mencobanya.<br />
<br />
“Paskah?” tanya Maria.<br />
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.<br />
<br />
Mengenakan celana cinta buatan ibunya,<br />
Yesus naik ke surga.<br />
<br />
2004</small><br />
<br />
(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 14)<br />
<br />
Pada puisi tersebut, Joko masih menjaga eksistensi wacana estetik khasnya. Kekuatan puisi tersebut tidak pada diksi yang puitik namun pada alur narasi yang dibangun oleh tokoh-tokoh dalam sajak. Tokoh-tokoh tersebut menimbulkan ironi. Peristiwa paskah yang tragis masih bisa kita tertawakan. Kata paskah menjadi ambigu ketika dikaitkan dengan kata pas. Itulah kekuatan ironi yang dikembangkan dalam puisi-puisi Joko Pinurbo.<br />
<br />
VII<br />
<br />
Perubahan wacana estetik merupakan kewajaran karena penyair pasti mengalami dinamika dalam pencapaian estetiknya sejalan dengan pengalaman hidupnya bersinggungan dengan dunia nyata, dunia yang penuh dinamika sosial.<br />
Yang menjadi unik, biografi estetika Joko Pinurbo diberi nama Pacar Senja yang diambil dari puisi sentimentilnya. <br />
<br />
<small>...<br />
Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai. <br />
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.<br />
...<br />
Cinta seperti penyair berdarah dingin <br />
yang pandai menorehkan luka. <br />
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya. <br />
...</small><br />
<br />
(“Pacar Senja”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 45)<br />
<br />
Pertunjukkan estetik Joko Pinurbo hingga 2004, seperti sebuah tragic comedy, berisi humor-humor yang tragis. Pacar Senja merupakan sebuah pertunjukkan estetik Joko Pinurbo yang terus bersinggungan dengan lingkungan sosialnya dari masa Orde Baru hingga pascaruntuhnya hegemoni Orde Baru. Pertunjukkan estetiknya seperti Pacar Senja yang sentimentil dan tak ada matinya.<br />
<br />
<br />
<b>Daftar Pustaka</b><br />
<br />
Bodden, Michael. 2004. “Satuan-satuan Kecil dan Improvisasi Tak Nyaman Menjelang Akhir Orde Baru” dalam Keith Foulcher dan Tony Day (ed.), Clearing a Space. Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV.<br />
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<br />
____________________. 2000. Ayat-ayat Api. Jakarta: Pustaka Firdaus.<br />
Jusuf, Ester Indahyani, dkk. 2007. Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data, dan Analisa. Jakarta: SNB dan APHI.<br />
Kleden, Ignas. 2004. “Membaca Kiasan Badan: Kumpulan Sajak Joko Pinurbo” dalam Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Freedom Institute.<br />
Malna, Afrizal. 1995. Arsitektur Hujan. Yogyakarta: Bentang.<br />
Mawardi, Bandung. 2010. “Humor yang Politis, Humor yang Tragis” dalam Zen Hae (ed.), Dari Zaman Citra Ke Metafiksi: Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ. Jakarta: KPG.<br />
Paz, Octavio. 2002. Puisi dan Esai Terpilih terjemahan Arif. B. Prasetyo. Yogyakarta: Bentang.<br />
Pinurbo, Joko. 2005. Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.<br />
Redaksi Horison, Tim (ed.). 1998. “Puisi-puisi Reformasi” dalam majalah Horison, XXXII/6/1998.<br />
Sarjono, Agus R. 1998. “Sastra Indonesia dalam Empat Orde Baru” dalam Majalah Horison, XXXII/7-8/1998.<br />
Utami, Ayu. 2005. “Joko Pinurbo: Mengapa Kematian, Penyairku” dalam Joko Pinurbo, Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.<br />
<br />
Sumber: <b>http://agungdwiertato.blogspot.com/</b>Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-8390669117773204562011-01-10T23:59:00.004+07:002012-03-16T10:34:07.873+07:00Tragedi Pada Minggu PagiOleh <b>Agung Dwi Ertato</b><br />
<br />
<small><b>MINGGU PAGI DI SEBUAH PUISI</b><br />
<br />
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah<br />
ketika hari masih remang dan hujan, hujan<br />
yang gundah sepanjang malam<br />
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi<br />
berbasah-basah ke sebuah ziarah.<br />
<br />
Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara<br />
di sepanjang via dolorosa.<br />
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.<br />
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)<br />
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.<br />
<br />
“Ibu hendak ke mana?” Perempuan muda itu menyapa.<br />
“Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:<br />
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu<br />
sambil menunjukkan potret anaknya.<br />
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:<br />
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.<br />
<br />
Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.<br />
Lalu katanya, “Ia telah menciumku <br />
sebelum diseret ke ruang eksekusi. <br />
Padahal Ia cuma bersaksi bahwa agama dan senjata <br />
telah menjarah perempuan lemah ini.<br />
<br />
Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya<br />
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;<br />
pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk;<br />
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”<br />
<br />
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah<br />
ketika hari mulai terang, kata-kata <br />
telah pulang dari makam, <br />
iring-iringan demonstran makin panjang, <br />
para serdadu berebutan kain kafan, dan dua perempuan<br />
mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan?<br />
<br />
(Joko Pinurbo, 1998)</small><br />
<br />
<br />
<b>/1/</b><br />
<br />
Membaca sajak-sajak Joko Pinurbo (Jokpin), kita akan dihadapkan pada retorika yang bersifat humor namun menampilkan tragedi. Dalam proses kreatif Jokpin, ia sempat mengalami ketegangan antara puisi lirik dan puisi naratif. Jika membicarakan puisi lirik, tidak akan terlepas pada nama-nama seperti Goenawan Muhamad dan Sapardi Djoko Damono. Pada awal tahun 1970, perkembangan puisi lirik di Indonesia sangat pesat. Joko Pinurbo sendiri pernah mengaku bahwa dalam menulis puisi dia sangat terpengaruh pada Chairil Anwar, Goenawan Muhamad, dan Sapardi Djoko Damono (Koran Tempo, Minggu, 3 Juni 2007). Jokpin kemudian mencapai pada penemuan estetikanya yaitu mentransformasikan aku lirik ke pengucapan epik dengan penguatan kisah dari sifat lirik murni. <br />
<br />
Tragedi di sekitar penyair kemudian ditangkap oleh penyair dan diubahnya menjadi sajak yang lebih humor namun menyimpan kepedihan yang dalam.<br />
<br />
<small>Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang<br />
bertengger di dalam celana. Ia sewot juga.<br />
“buka dan buang celanamu!”<br />
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang<br />
gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung<br />
yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah ke mana.<br />
(Celana, 3: 1996)</small><br />
<br />
Tragedi tentang peristiwa tahun 1998 juga tidak luput dari kacamata Joko Pinurbo. Ada beberapa puisi yang sangat berkaitan dengan tragedi tahun 1998. Dalam puisi-puisi tersebut, Joko Pinurbo kembali menampilkan gaya yang khas—humor— namun kali ini Joko Pinurbo lebih banyak menampilkan unsur tragedi seperti yang ada pada sajak Minggu Pagi di Sebuah Puisi.<br />
<br />
<br />
<b>/2/</b><br />
<br />
Seperti yang kita ketahui, pada tahun 1998, Indonesia mengalami gejolak politik. Gejolak politik kemudian disebut Reformasi 1998. Reformasi 1998 menghasilkan perubahan politik yang cukup signifikan. Namun, perubahan dalam proses perubahan tersebut terjadi berbagai masalah yaitu masalah demonstrasi (penembakan mahasiswa), penjarahan, dan masalah etnis (etnis tionghoa banyak menjadi korban).<br />
<br />
Pada tahun 1998, banyak penyair yang menyoroti permasalahan tersebut. Beberapa di antaranya adalah Acep Zamzam Noor, W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, dll. Puisi-puisi yang dihasilkan oleh penyair tersebut sangat gamblang dan transparan dalam menyampaikan kemarahan terhadap tragedi 1998.<br />
<br />
<small>(3)<br />
<br />
ada seorang perempuan <br />
diam saja berdiri <br />
di dekat tukang rokok <br />
di seberang jalan raya itu<br />
<br />
ada satpam memperhatikannya <br />
dari ujung gang itu <br />
ada polisi sekilas melihatnya <br />
dari dekat gardu telepon itu <br />
ada anak tetangga sebelah <br />
menyapanya <br />
ada guru sd <br />
yang masih mengenalnya <br />
menepuk bahunya <br />
ada neneknya di rumah <br />
yang sudah suka lupa —<br />
<br />
ada suaminya ada anak-anaknya <br />
(yang <br />
mungkin <br />
saja <br />
sedang <br />
memikirkannya <br />
juga) <br />
yang kini <br />
(tentunya <br />
mungkin <br />
moga-moga <br />
saja <br />
tidak!)<br />
berada dalam sebuah toko besar <br />
(atau <br />
tidak <br />
lagi <br />
bisa) <br />
yang sedang terbakar<br />
<br />
(Fragmen ketiga dari Ayat-ayat Api, Sapardi Djoko Damono, 2000)</small><br />
<br />
Pada kutipan sajak di atas, Sapardi dengan gamblang menggambarkan peristiwa 1998 dengan jelas dan kontekstual. Kebiasaan Sapardi dalam menulis puisi adalah ia jarang menulis puisi secara kontekstual pada peristiwa-peristiwa besar. Berbeda dengan Sapardi, Joko Pinurbo menangkap peristiwa 1998 menggunakan metafor-metafor yang mengaburkan peristiwa tersebut jika dibaca sepintas. Pada sajak Minggu Pagi di Sebuah Puisi, Joko Pinurbo menggunakan menggunakan analogi peristiwa 1998 dengan peristiwa paskah yang dialami oleh Yesus.<br />
<br />
<small>Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah<br />
ketika hari masih remang dan hujan, hujan<br />
yang gundah sepanjang malam<br />
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi<br />
berbasah-basah ke sebuah ziarah.</small>.<br />
<br />
Paskah menjadi suatu kisah yang pedih dan sendu pada hari Minggu pagi yang seharusnya diisi oleh suatu kebahagian. Minggu pagi identik dengan hari libur yang biasa digunakan oleh orang-orang untuk melepas kelelahan setelah bekerja selama seminggu. Kebahagiaan hari Minggu kemudian dirusak oleh berita pagi yang memberikan berita tentang tragedi. Tragedi tersebut kemudian dikuatkan dengan suasana hari yang masih remang disertai hujan yang gundah sepanjang malam. Ziarah menambah kengerian hari Minggu. Ziarah menandakan suatu perjalanan menuju kubur.<br />
<br />
Apa yang ditampilkan dalam bait pertama tidak lain adalah penggambaran suasana. Kata Paskah, remang, hujan, pergi, basah, dan ziarah memberikan efek suasana yang melankolia. Kata Paskah memberikan suasana yang mencekam. Paskah dalam ajaran Kristiani adalah peristiwa Yesus disalib. Sebelum penyaliban, Yesus disiksa hingga berdarah-darah, hingga ia sangat tersiksa tak bisa lagi mengatakan sesuatu hal hingga pada akhirnya ia disalib di bukit Golgota. Dari kata Paskah saja gambaran tentang tragedi sudah tergambar penuh luka dan darah.<br />
<br />
Pada bait kedua sampai kelima kisah Paskah dijabarkan. Isian tragedi Pada Minggu Pagi kemudain berawal dari bait dua. Kengerian tragedi lebih ditampilkan. Darah-darah berceceran sepanjang jalan. Tidak ada suara sepanjang jalan. Yang tersisa adalah <i>langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.</i><br />
<br />
<small>Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara<br />
di sepanjang via dolorosa.<br />
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.<br />
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)<br />
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.</small><br />
<br />
Darah menandai keadaan yang penuh luka, penuh rasa perih dan pedih. Penderitaan yang terjadi menyebabkan suasana yang sunyi sehingga jalan kecil tak dilewati kata-kata.<br />
<br />
<small>“Ibu hendak ke mana?” Perempuan muda itu menyapa.<br />
“Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:<br />
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu<br />
sambil menunjukkan potret anaknya.<br />
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:<br />
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.<br />
<br />
Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.<br />
Lalu katanya, “Ia telah menciumku <br />
sebelum diseret ke ruang eksekusi. <br />
Padahal Ia cuma bersaksi bahwa agama dan senjata <br />
telah menjarah perempuan lemah ini.<br />
<br />
Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya<br />
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;<br />
pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk;<br />
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”</small><br />
<br />
Pada bait ketiga sampai kelima, penyair menampilkan gaya naratif. Gaya tersebut menggunakan dialog-dialog yang sering digunakan pada karya sastra jenis prosa. Gaya tersebut menimbulkan efek yang tersirat melalui percakapan. Metafor-metafor menyelinap di antara percakapan antara dua perempuan.<br />
<br />
Pada bait ketiga dan keempat, kata penculikan, perusuh, terperkosa, eksekusi, senjata, menjarah, perempuan, dan lemah merupakan penanda bagi keadaan kota yang chaos. Keadaan kota yang sangat berantakan. Kota yang tidak mempunyai norma dan bahkan agama telah menjarah perempuan lemah. Golgota menjadi anologi Jakarta yang merupakan tempat penculikan dan surga para perusuh.Golgota merupakan tempat penyaliban Yesus. Tempat tersebut merupakan tempat kejam. Kepedihan yang dialami Yesus terjadi di Golgota. Bisa dikatakan bahwa Golgota merupakan tempat yang kejam. Lalu bagaimana dengan Jakarta? Jakarta tidak ubahnya seperti Golgota. Jika Golgota adalah tempat penyiksaan Yesus, Jakarta lebih parah lagi. Jakarta menjadi surga para perusuh. Ini berarti bahwa Jakarta adalah tempat tindak kejahatan bermukim. Hal tersebut menjadikan Jakarta menjadi kota yang kejam.<br />
<br />
Permasalahan kelamin dimunculkan pada bait kelima. Vagina secara harfiah mempunyai arti alat kelamin perempuan. Dalam sajak tersebut Vagina mempunyai makna kuburan. Kuburan yang sangat gelap dan sunyi-senyap. Kuburan tempat jasad yang penuh luka bermukim. Pada akhirnya kematian sangat identik dengan tragedi.<br />
<br />
Kisah Paskah yang terdapat pada puisi tiba-tiba lagi muncul ketika hari mulai terang. Serombongan demonstran dihadang oleh para serdadu. Keadaan chaos akan terulang lagi dan tidak lagi terjadi pada sebuah puisi. Keadaan tersebut merupakan tragedi pada minggu pagi.<br />
<br />
<br />
<b>/3/</b><br />
<br />
Setelah mendapatkan makna-makna dari tanda-tanda yang terdapat pada sajak Minggu Pagi di Sebuah Puisi, kita akan mengkaitkan dengan peristiwa yang terjadi atau konteks sosial masyarakat pada tahun sajak tersebut dibuat. Sajak Minggu Pagi di Sebuah Puisi dibuat oleh Joko Pinurbo pada tahun 1998. Seperti yang kita ketahui bahwa pada tahun 1998, Indonesia mengalami keadaan yang chaos. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Jakarta menjadi tempat yang sunyi dan mencekam. Penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan terjadi di kota Jakarta.<br />
<br />
Berita-berita tentang kerusuhan Jakarta setiap hari menjadi headline di media massa maupun media elektronik. Bahkan, pada hari Minggu yang seharusnya diisi oleh berita ringan, diisi oleh berita tentang tragedi kerusuhan. Minggu yang seharusnya menjadi hari melepaskan kepenatan menjadi hari penuh kecemasan.<br />
<br />
Joko Pinurbo berhasil menangkap tragedi tersebut ke dalam sajaknya. Metafor-metafor yang digunakan berbeda dari penyair-penyair lain dalam menangkap peristiwa tersebut. Jika Sapardi menangkap peristiwa tersebut ke dalam metafor api, Joko Pinurbo menangkap peristiwa tersebut ke dalam metafor Paskah, via dolorosa, golgota, dan vagina. Kesemua metafor tersebut tetap menggambarkan tragedi yang sangat menyayat, tragis, kelam, dan sendu seperti tragedi pada tahun 1998. Tragedi Paskah yang terjadi pada sajak Joko Pinurbo dikisahkan pada Minggu Pagi di Sebuah Puisi sedangkan tragedi Mei 1998 dikisahkan pada media massa maupun media elektronik setiap hari pada bulan dan tahun tersebut bahkan pada Minggu pagi sekalipun.<br />
<br />
<br />
<b>/4/</b><br />
<br />
Joko Pinurbo sebagai penyair mempunyai ciri khas. Ia mampu mengolah bahasa, menampilkan, menerjemahkan peristiwa-peristiwa di sekitarnya menggunakan metafor-metafor yang tak lazim digunakan penyair-penyair lainnya. Ia mampu menangkap tragedi Mei 1998 sebagai Paskah bagi Indonesia—tragedi pada hari Minggu. Sapardi Djoko Damono menyebutkan bahwa Joko Pinurbo dengan teknik surealis berusaha memberikan tanggapan terhadap berbagai masalah sosial dan konflik batin manusia.***<br />
<br />
<b>Sumber Acuan</b><br />
Damono, Sapardi Djoko. 1999. “Burung dalam Celana” dalam Joko Pinurbo Celana. Magelang: Indonesia Tera.<br />
________. 2000. Ayat-ayat Api. Jakarta: Pustaka Firdaus.<br />
Pinurbo, Joko. 1999. Celana. Magelang: Indonesia Tera.<br />
________. 2005. Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.<br />
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.<br />
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.<br />
________. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.<br />
Utami, Ayu. 2005. “Joko Pinurbo: Mengapa Kematian, Penyairku?” dalam Joko Pinurbo Pacar Senja. Jakarta: Grasindo. <br />
<br />
<b>Sumber</b>: http://agungdwiertato.blogspot.com, Sabtu, 03 April 2010Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-65951456913762294822011-01-10T23:50:00.003+07:002012-03-16T10:35:35.909+07:00Perempuan-perempuan Jokpin: Tubuh, Luka, dan KuasaOleh <b>M. Fauzi Bodoh</b><br />
<br />
<small>Tak ada yang benar-benar mengenalinya<br />
selain angin yang masih menyebutnya perempuan.<br />
<br />
(Joko Pinurbo, “Penyanyi yang Pulang Dinihari”, 1991)</small> <br />
<br />
<b>1/ mukjizat</b><br />
<br />
DALAM sejarah manusia, perempuan memiliki mukjizat yang datang dari bumi, bukan dari langit: dari tulang-belulang yang dibungkus daging, dari anggitan buas kekuasaan manusia, dari luka yang menggairahkan tragedi, di atas bumi makhluk manusia. Mukjizat ini tidak menjadikan perempuan nabi atau rasul, tapi sering menjadi aktor sekaligus korban tragedi dalam sejarah peradaban manusia. Inilah yang menjadikan perempuan menjadi mukjizat dalam arti yang sebaliknya: menggugah tapi digugat. <br />
<br />
Mukjizat perempuan itu terus-menerus menemani perjalanan manusia, khususnya perempuan, dalam mengalami tubuh, mengalami ingatan, mengalami pergolakan, mengalami kekuasaan, mengalami waktu: mengalami sejarah manusia. Sejarah itu perempuan: selalu bertumpu pada tubuh dalam luka, yang hendak dikuasai dan menguasai manusia. <br />
<br />
Dan sastrawan-penyair, sepertinya, adalah yang selalu mendapatkan wahyu untuk menuliskannya. Atau, paling tidak, orang yang selalu beredekatan, bersinggungan, dan bersitegang dengan perempuan-perempuan zamannya. Lalu, mewartakan kepada segenap manusia. Sebagaimana nabi-nabi dan rasul-rasul, seperti yang dialami Musa di tanah gunung Sinai, seperti yang dialami Muhammad di gua Hira, dan bahkan seperti seperti manusia-manusia yang beberapa saat yang lalu menyebut diri nabi-nabi: selalu dirundung protes, penentangan, pertikaian, peperangan, pengabaian, pengucilan, pengebirian, dan sebagainya, tapi hampir selalu menggairahkan: membentuk spektrum. <br />
<br />
Spektrum mukjizat perempuan yang datang dari bumi itu selalu menggairahkan sastrawan-penyair untuk mewarnai karya-karya mereka. Ada yang datang membawa ketakjuban; ada yang datang membawa pentungan agama; ada yang membawa kerajaan dan negara; ada yang datang membawa simbolisme; ada yang datang membawa gairah; ada juga yang membawa tawa yang tragis penuh luka; juga ada yang membawa protes. <br />
<br />
Untuk saat ini dan di Indonesia, berdasarkan pengalamanan dan pengetahuanku yang ceroboh dan bodoh, wahyu kenabian itu datang kepada Joko Pinurbo (Jokpin). Hampir sepertiga puisi-puisi Jokpin mengenai perempuan, terutama sebagai tokohnya, yang terhimpun dalam Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2007. Jokpin datang membawa nubuwat, kisah, luka, gairah, kenaifan, melankoli, protes, pengakuan, kesadaran, dan sebagainya, yang diwartakan-disampaikan dalam bait-bait tubuh perempuan. <br />
<br />
<b>2/tubuh</b><br />
<br />
BAGI Jokpin, sepertinya tidak ada kitab suci yang pantas untuk diwartakan selain kitab tubuh. Dan tubuh, sebagaimana terwahyukan dari bumi, adalah perempuan, manusia yang paling intens mengalami bertubuh. Perempuan adalah tubuh; tubuh adalah perempuan, demikian wahyu bumi mengatakan kepada kita melalui Jokpin. <br />
<br />
Tubuh perempuan, dalam puisi-puisi Jokpin, menjadi kisah, tema, pokok, dan sekaligus, meminjam istilah Ignas Kleden, “tubuh sebagai suatu alat ucap”. Tubuh perempuan menjadi serangkaian huruf, yang membentuk kata dan kalimat, untuk menggapai isi dan makna. Pada akhirnya, membentuk kitab tubuh perempuan. <br />
<br />
Siapakah dan apakah tubuh dalam kitab tubuh Jokpin? Aku tidak bisa menjawab dengan pasti. Tanya saja pada penyairnya sendiri jika Anda ingin jawaban pasti. Tapi aku menduga, sekali lagi menduga, Jokpin memang mengisahkan kitab tubuh perempuan sebagai “penjara/makam jiwa” seperti dikatakan Platon, bahwa ada dualisme tubuh-jiwa, yang membedakan antara yang materi dan ide, dan yang memposisikan nilai tubuh lebih rendah di bawah ide. Namun, lebih jauh, Jokpin lebih pas kalau dikatakan mengikuti pemikiran Aristoteles, muridnya Platon, yang menolak dualisme Platon tersebut. Aristoteles menggambarkan ketakterpisahan antara tubuh dan jiwa (ide) seperti lilin dan bentuknya lilin (Synnott: 2002, 14-15). <br />
<br />
Yang menarik, Jokpin sepertinya lebih banyak menggambarkan dan bergolak tentang lilin itu sendiri. Ya, tubuh perempuan sebagai lilin yang bisa membakar diri sendiri, menerangi orang lain, pemicu kebakaran, dan selalu bermasalah. Tubuh lilin: metafor, pokok, dan makna. Dengan cara ini, Jokpin bebas memainkan tubuh dalam puisi-puisinya dengan elegan, estetis, tragis, melankolis, dan terkadang naif yang menantang. Dan dengan cara itu, Jokpin memasuki tubuh tidak hanya sebagai “bait Roh Kudus” seperti yang dikatakan Santo Paulus (dalam puisi Jokpin tubuh bahkan bisa tidak kudus), tapi juga memasuki wilayah eksistensialisme tubuh seperti yang dikatakan Jean Paul Sartre, “Tubuh adalah saya…Saya adalah tubuh” (Synnott: 2002, 11).<br />
<br />
ADA beberapa perempuan yang laik dicatat dalam esai aneh dan jelek ini. Yang pertama adalah perempuan yang sudah termaktub dalam sejarah masa lalu: Kartini dan Maria Magdalena. Yang kedua adalah perempuan-perempuan kontemporer di sudut-sudut perkotaan seperti para penyanyi kelas bawah, PSK, dan sebagainya. <br />
<br />
Perempuan yang termasuk dalam kategori yang pertama bisa kita lihatlah pada puisi Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem. Puisi ini dengan baik menangkap kegelisan, harapan, dan keputusasaan RA Kartini. Juga mampu menangkap suasana zaman dengan pernik-perniknya seperti kereta api, sawah-sawah, perempuan-perempuan tangguh, kebaya, batik, pabrik-pabrik gula, dan perahu layer. Tapi, dalam puisi ini, Jokpin tidak begitu intens menggunakan kepiawaiannya mengolah tubuh baik sebagai metafor, pokok masalah, atau alat ucap. Bisa dibilang, Jokpin gagal kalau kita mengaitkan dengan keintimanan dan kepiawaian Jokpin menggunakan tubuh perempuan. Padahal, kita tahu, kisah kasus RA Kartini sangat erat kaitannya dengan status dan identitas keperempuanan (femininitas) RA Kartini yang terkait dengan tubuh. <br />
<br />
Berikutnya, penggambaran tubuh, pergolakan, dan pemberontakan perempuan bisa kita baca dalam Minggu Pagi di Sebuah Puisi. Puisi ini menggambarkan permasalahan seorang ibu yang mencari anaknya yang hilang dan Maria Magdalena: <br />
<br />
<small>“Ibu hendak kemana?” Perempuan muda itu menyapa.<br />
“Aku akan mencari dia di Golgota, yang artinya:<br />
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu<br />
sambil menunjuk potret anaknya.<br />
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:<br />
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.<br />
<br />
Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa. <br />
Lalu katanya: “Ia telah menciumku sebelum diseret<br />
ke ruang eksekusi. Padahal Ia cuma bersaksi<br />
bahwa agama dan senjata telah menjarah<br />
perempuan lemah ini.” <br />
<br />
Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya<br />
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;<br />
pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk; <br />
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.” <br />
<br />
(Joko Pinurbo, “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, 1998)</small><br />
<br />
Dalam puisi ini, yang profan dan sakral, yang kudus dan yang kotor, yang lemah dan yang kuat, memiliki eksistensinya sendiri dalam persentuhan dengan bagian-bagian tubuh: bibir, jari, dan vagina. Kedua perempuan itu sama-sama kehilangan; yang satu kehilangan anaknya yang pernah bertemu dengan Magdalena; Magdalena kehilangan eksistensinya yang telah dijarah oleh agama dan senjata. Jopkpin menggunakan tokoh-tokoh sejarah dengan membuat puisi-cerita yang memukau, padat, dan penuh protes kalau tidak mau mengatakan mendekonstruksi pemahaman. <br />
<br />
Sayang, saya tidak begitu banyak tahu tentang Magdalena. Yang aku tahu dia, konon, adalah seorang pelacur. Ada juga yang mengatakan bahwa dia termasuk santo perempuan pada zaman dahulu ketika perempuan masih memiliki kekuasaan dalam gereja. <br />
<br />
Yang menarik, pada akhir puisi ini, Jokpin memberikan gebrakan pertanyaan mistis-filosofis, bukan sekadar salam, “dan dua perempuan/mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan?” Ada pemberontakan dan gugatan dalam puisi ini. Penutup puisi ini menggugat dan memprotes dengan sopan dan satiris. Perempuan dan agama dalam puisi Jokpin, sangat kental dengan aroma pemberontakan dan perlawanan terhadap pemahaman yang selama ini menghinggapi benak masyarakat. Selain itu, penggambaran bagian-bagian tubuh perempuan yang dianggap tabu untuk diucapkan malah digambarkan dengan muram, sedih, dan tragis, tapi tidak pornografis. <br />
<br />
Berikutnya adalah perempuan-perempuan Jokpin kontemporer. Eksistensi tubuh perempuan menjadi tema reflektif yang memukau dalam puisi Di Salon Kecantikan. Pergolakan, pertentangan, keinginanan, hasrat muda, penundaan kekalahan, dan gugatan dalam tanya-tanya filosofis, masuk ke dalam kehidupan perempuan melalui tarikan tubuh yang termanifestasikan dalam konsep kecantikan. Kecantikan merasuki kehidupan perempuan untuk dibawa ke alam cemas, gundah, gelisah, was-was, dan kesadaran yang kalah dan tak berarti lagi di hadapan hasrat cantik. Eksistensi tubuh perempuan seakan mau tidak mau harus ditautkan dengan kecantikan: konsep yang terus-menerus berubah oleh kehendak zaman dan kepastian usia. <br />
<br />
Semua itu bisa kita baca pada penggalan puisi Di Salon Kecantikan: “Mata, kau bukan lagi bulan binal/yang menyimpan birahi dan misteri”//”Rambut, kau bukan lagi padang rumput/yang dikagumi para pemburu.”// “Dada, kau bukan lagi pengunungan indah/yang dijelajahi para pendaki.”<br />
<br />
Tentu sudah banyak yang membahas dan menulis tentang kecantikan. Tapi yang menulis puisi seintens, sedalam, dan sefilosofis Jokpin dengan menggunakan tubuh, aku belum menemukan bahkan dari para pemikir feminis. Apalagi yang menggunakan tubuh sebagai tema pokok dan alat pengucapan, aku belum pernah membacanya. Saat membacanya, aku bertanya-tanya: apakah Jokpin seorang perempuan? Apakah Jokpin sedang berada di salon berhari-hari untuk mengamati gejolak hati seorang perempuan? <br />
<br />
Kalau dalam Di Salon Kecantikan kita membaca kecemasan yang tak terelakan, kita tidak menemukan kecemasan serupa dalam Gambar Porno di Tembok Kota. Kita dihadapkan pada perempuan tegar menghadapi kegetiran hidup yang termanifestasikan dalam tubuh-tubuh penuh luka. Bahkan, perempuan dalam puisi ini tampak cuek dengan permasalahan yang dihadapinya.<br />
<br />
Dalam Gambar Porno di Tembok Kota (juga dalam Perempuan Jakarta, Di Sebuah Vagina, dan Perempuan Senja, dan Mei, meski tidak begitu intens penggunaan tubuhnya) kita dihadapkan pada bagian-bagian tubuh perempuan dalam suasana muram penderitaan yang disimpan. Tubuh perempuan ditempatkan dan digambarkan dalam situasi-kondisi paradoks, antara kegairahan pesona tubuh dengan penderitaan. Tubuh, dalam puisi ini, menjadi alat ucap yang estetis tragis yang tersimpan dalam tubuh perempuan. <br />
<br />
<small>Tubuhnya kuyup diguyur hujan.<br />
Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam. <br />
Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang<br />
seperti ingin memamerkan kecantikan: <br />
wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;<br />
leher langsat yang menyimpan beribu jeritan;<br />
dada montok yang mengentalkan darah dan nanah;<br />
dan lubang sunyi, di bawah pusar,<br />
yang dirimbuni semak berduri.<br />
...<br />
<br />
“Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat, <br />
mesti kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar<br />
di puncak risau. Maaf, aku tidak punya banyak waktu<br />
buat bercinta. Aku mesti lebih jauh lagi mengembara<br />
di papan-papan iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang<br />
dari Amerika cuma untuk jadi penghibur<br />
di negeri orang-orang kesepian?” <br />
<br />
“Terima kasih, gadisku.”<br />
“Peduli amat, penyairku.”<br />
<br />
(Joko Pinurbo, “Gambar Porno di Tembok Kota”, 1996)</small><br />
<br />
Jokpin mengembangkan konsep metafor tubuh menjadi alam semesta pada Kisah Semalam. Kita seakan dihadapakan dengan tubuh perempuan selaiknya kita berhadapan dengan alam. Tapi, kalau nuansa naturalisme bisa membuat kita merasa teduh, damai, dan tentram, kita malah dihadapkan pada tubuh dengan nuansa yang mengerikan, seperti saat kita menonton film 2012. <br />
<br />
<small>Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan<br />
yang dikira bakal cepat sirna:<br />
kota tua yang porak poranda pada wajah<br />
yang mulai kumal dan kusam;<br />
langit kusut pada mata yang memancarkan<br />
cahaya redup kunang-kunang;<br />
hutan pinus yang meranggas pada rambut<br />
yang mulai pudar hitamnya;<br />
pada rumput kering pada ketiak<br />
yang kacau baunya;<br />
bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang<br />
susut kenyalnya;<br />
pegunungan tandus pada pingul dan pantat<br />
yang mulai lunglai goyangnya;<br />
dan lembah duka yang menganga antara perut<br />
dan paha. <br />
<br />
(Joko Pinurbo, “Kisah Semalam”, 1996)</small><br />
<br />
Perempuan-perempuan Jokpin berhadapan dengan kehidupan perkotaan seperti Jakarta. Kehidupan mereka tetap sama dan diceritakan dalam bait-bait tubuh penuh luka. Mereka berhadapan dengan budaya massa yang memperdayai tubuh-tubuh mereka. ”Memang tampak cantik ia/ dengan celana merah menyala// senja berduyun-duyun/mengejar petangmengejar malam// Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan/dengan airmata yang disembunyikan//. Perempuan-perempuan Jokpin tak ubahnya hiasan moral yang di tembok-tembok kota. Mereka menjadi ornamen kota.Mereka menghadirkan kemeriahan penuh luka. ”Kota akan kehilangan dia bila ia tidak lagi di sana,” kata Jokpin pada penutup puisi Perempuan Jakarta. <br />
<br />
Tubuh perempuan, dalam puisi-puisi Jokpin, bukan hanya kulit-daging dan tulang belulang, yang dirangkai dari bagian-bagiannya. Tubuh perempuan membentuk semacam spektrum warna kelabu, yang membawa aroma tragis-puitis. Spektrum warna itu membentang dari atas kepala sampai dengan organ-organ intim. <br />
<br />
<b>3/luka</b><br />
<br />
DARI pembacaan saya terhadap puisi-puisi Jokpin, bisa disimpulkan bahwa perempuan-perempuan Jokpin merupakan cerita-puisi yang kelam, penuh dengan luka di sekujur tubuhnya. Organ-organ tubuh perempuan terluka sayatan kekuasaan terutama pada bagian-bagian tubuh yang perlu atau harus menarik, bergairah, menawan, menggiurkan, dan penuh kontroversi seperti rambut, mata, bibir, wajah, buah dada, pinggul, vagina dan sebagainya. <br />
<br />
Aku bahkan tidak menemukan satu perempuan pun dengan sedikit suka-cita, bahagia, tanpa derita dalam kehidupan puisi-puisi Jokpin. Jika pun ada, itu adalah perempuan yang hendak mengelak dengan cara cuek dan mengekspresikan kelukaannya dengan kebahagiaan yang perih. Perempuan-perempuan Jokpin adalah perempuan luka pada sekujur tubuhnya tanpa ampun. Perempuan Jokpin adalah perempuan yang berada dalam kondisi ″dukamu abadi″. <br />
<br />
<b>4/kuasa</b><br />
<br />
SIAPA yang membubuhkan luka pada sekujur tubuh perempuan, penyairku? Siapa? <br />
<br />
Eksplorasi tubuh perempuan dalam puisi-puisi Jokpin selalu bersinggungan dengan berbagai kekuatan eksternal tubuh itu sendiri. Di sini, Jokpin memasuki daerah kekuasaan, apapun itu, dengan membawa tubuh perempuan untuk bercerita, menjadinya tema, pokok masalah, dan terkadang menantang pemahaman dan perlakuan kejam terhadap tubuh perempuan.<br />
<br />
Kebanyakan kisah, tema, pokok, dan alat ucap tubuh Jokpin adalah perempuan (luka). Kesadaran tubuh perempuan Jokpin ini memang tidak lepas dari pergolakan tubuh (perempuan) dalam sejarah manusia. Tubuh perempuan selalu menjadi masalah, pergolakan, permainan, pelecehan, pelarangan, perebutan, dan sebagainya atas nama kuasa-kuasa pemikiran filosofis, wahyu-wahyu agama, kerajaan-pemerintah, norma-norma tradisional, dan bahkan korporasi yang sekarang banyak menemani kehidupan perempuan.<br />
<br />
Tubuh bagi Jokpin adalah “mayat//yang saya pinjam//dari seorang korban tak dikenal// dan tergeletak di pinggir jalan” (“Tubuh Pinjaman” 1999/2007). Puisi ini memang agak aneh jika menempatkan tubuh sebagai korban yang tidak dikenal. Padahal, kalau kita membaca puisi-puisi Jokpin, kita akan melihat dengan jelas, korban itu adalah tubuh perempuan. Tubuh perempuan adalah korban, yang sudah menjadi mayat yang dipinjam. Dengan kata lain, tubuh yang tidak bisa lagi dikuasai oleh penggunanya, perempuan. Sekadar pemakai. <br />
<br />
Meski demikian, anehnya, akan selalu ada “petugas yang menanyakan status,//ideologi, agama, dan terutama harta kekayaan//.” Petugas itu bisa keluarga, negara, agamawan, politikus, media massa, atau bahkan pacar dan teman kita. <br />
<br />
Aneh memang, adakah tubuh berstatus, berideologi, beragama? Pada bagian mana tubuh itu beragama dan berideologi? Bagaimana tulang-belulang dengan segumplan daging dengan aneka warna dan coraknya bisa memiliki semua itu? Bukankah status, ideologi, dan agama, merupakan sebentuk non-materi, bagaimana cara memungkinkan semua itu melekat pada tubuh yang materi? <br />
<br />
<small>“Sudah kurambah seluruh// kilometer tubuhmu<br />
sampai ke gua-guanya yang paling dalam<br />
dan tebing-tebingnya yang paling curam<br />
dan hanya labirin yang kutemukan.” <br />
<br />
(Joko Pinurbo, “Perburuan”, 1999)</small><br />
<br />
Kalau melihat secara kronologis, petikan dua larik puisi ini mewakili puisi-puisi Jokpin yang paling terbaru sedangkan yang menggambarkan pergolakan tubuh perempuan kebanyakan ditulis pada tahun 1991 sampai tahun 1999. Itu artinya dalam permenungan Jokpin tentang tubuh perempuan ternyata hanya menemukan labirin. Jokpin mendapati jawaban jalan tak ada ujung tentang kuasa terhadap tubuh perempaun. Labirin, menurut pengamatanku terhadap puisi-puisi Jokpin, mengandaikan perjalanan derita dan luka yang tidak pernah selesai. Sepanjang perempuan memiliki tubuh, sepanjang itu pula, sepertinya, jalan tak ada ujung yang harus ditempuh dalam derita dan luka. <br />
<br />
Akan selalu ada kuasa pada tubuh-tubuh perempuan. Dan tubuh itu, memang, satu-satunya yang bisa didera, dipenjara, dibuat derita, dan dikuasai. Dalam puisi Jokpin, itu tidak sepenuhnya terpenuhi, bahkan setelah orang-orang menyerukan revolusi dan revolusi beberapa kali melanda dunia. Perempuan-perempuan Jokpin masih berada dalam kondisi setengah bebas dan setengah menderita. “Tinggallah airmata yang menetes pelan/ ke dalam segelas bir yang menempel pada dada/ yang setengah terbuka, setengah merdeka.”// (Joko Pinurbo, “Perempuan Pulang Pagi”, 1997/2007). <br />
<br />
Terakhir, beruntunglah, Jokpin mulai mengurangi penulisan puisi tentang perempuan pada tahun-tahun belakangan, sejak tahun 2000-an. Aku berharap, tubuh-tubuh perempuan Jokpin mulai sembuh. Sehingga mereka bisa menjadi perempuan tanpa luka-derita, sehingga penggalan puisi ini tidak akan pernah kita temukan lagi: "Tak ada yang benar-benar mengenalinya / selain angin yang masih menyebutnya perempuan"//. []<br />
<br />
(Dimuat di <i>Litera</i> edisi Juli-September 2010)<br />
<br />
Surakarta, 13 Maret 2010<br />
<br />
<b>M. Fauzi</b>, yang lahir di Madura, masih berstatus mahasiswa sastra Inggris UNS, tapi hampir tidak pernah membaca buku sastra apalagi yang berbahasa Inggris, dan tidak mengambil kajian sastra atau linguistik. Dia mengambil Kajian Amerika (American Studies). Lebih suka menulis catatan tentang dirinya dan teman-temannya. Tulisan esai ini sekadar kecelakaan. Email: fauzi_sukri@yahoo.co.id <br />
<br />
<b>Sumber</b>: www.balesastrakecapisolo.blogspot.comJoko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-47466403124560976712011-01-10T23:27:00.000+07:002011-01-10T23:27:38.434+07:00Pergeseran Tradisi Lirik Menuju Bentuk NaratifJoko Pinurbo adalah salah satu sastrawan yang cukup diperhatikan di dalam kesusastraan Indonesia, khususnya genre puisi. Jokpin (Joko Pinurbo) menawarkan hal baru dalam konvensi puisi. Ia berusaha untuk menggeser keberadaan kekuatan lirik dalam puisi. Ada beberapa hal yang mendasarinya untuk meninggalkan lirik dalam puisi-puisinya. (?)<br />
<br />
Pada awal karirnya menulis puisi, puisi-puisi Jokpin juga masih dipengaruhi oleh tradisi lirik. Namun, setelah lama begelut dalam perpuisian Indonesia, ia mulai mencoba untuk sedikit menggeser tradisi lirik tersebut menjadi bentuk naratif. Pada dasarnya, Jokpin juga tidak menampik adanya kekuatan lirik di dalam puisi karena lirik merupakan suatu pola ekspresi dengan kebeningan suasana, keindahan bunyi, dan kejernihan perasaan. Akan tetapi bagi Jokpin tradisi lirik tersebut haruslah diolah kembali agar tidak terlalu lugu. Pengolahan ini ditunjukkan oleh Jokpin dengan gaya humor dalam puisi-puisinya. Gaya inilah yang menjadikan puisi tidak terkesan lugu. Ada semacam belokan ketika puisi itu dibaca.<br />
<br />
Bentuk naratif yang digunakan dalam puisi-puisi Jokpin menjadikan puisi tersebut mudah dinikmati oleh orang dalam berbagai kalangan. Sehingga puisi-puisi Jokpin pun dapat dikatakan sebagai cerita mini. Jokpin menggabungkan bentuk lirik dan naratif dalam puisi-puisinya. Hal inilah salah satu faktor yang menjadikan puisi-puisi Jokpin menarik untuk dibaca. Sebut saja salah satu puisinya yang berjudul Kredo Celana. Puisi tersebut masih menggunakan tradisi lirik dengan jeda-jeda dan ditulis dengan bait-bait. Akan tetapi setelah dibaca, akan terasa bahwa terdapat kekuatan naratif di dalamnya.<br />
<br />
<small><b>Kredo Celana</b><br />
<br />
Yesus yang seksi dan baik hati,<br />
kutemukan celana jeans-mu yang koyang<br />
disebuah pasar loak.<br />
Dengan uang yang tersisa dalam dompetku<br />
kusambar ia jadi milikku.<br />
<br />
Ada noda darah pada dengkulnya.<br />
Dan aku ingat sabdamu:<br />
“Siapa berani mengenakan celanaku<br />
akan mencecap getir darahku.”<br />
Mencecap darahmu? Siapa takut!<br />
Sudah sering aku berdarah,<br />
walau darahku tak segarang darahmu. <br />
<br />
Siapa gerangan telah melego celanamu?<br />
Pencuri yang kelaparan,<br />
pak guru yang dihajar hutang,<br />
atau pengarang yang dianiaya kemiskinan?<br />
Entahlah. Yang pasti celanamu<br />
pernah dipakai bermacam-macam orang.<br />
<br />
Yesus yang seksi dan murah hati,<br />
Malam ini aku akan baca puisi<br />
Di sebuah gedung pertunjukan<br />
Dan akan kupakai celanamu<br />
Yang sudah agak pudar warnanya.<br />
Boleh dong sekali-sekali aku tampil gaya.<br />
<br />
...<br />
<br />
(2007)</small><br />
<br />
Memperhatikan kutipan puisi di atas, dapat dilihat bahwa pola dalam puisi Jokpin masih berbentuk puisi lirik. Akan tetapi, Jokpin tidak lagi mengutamakan ekspresi perasaan, emosi personal, dan kualitas musikal, seperti yang ada pada puisi-puisi lirik pada umumnya. Ia justru memasukkan bentuk naratif dalam penceritaan puisinya. Bagi Jokpin sendiri, persoalannya bukan pilihan untuk meninggalkan lirik akibat dominasinya dalam puisi. Melainkan untuk mengatasi kurangnya dialog pada lirik. Serta mengembangkannya dengan diksi-diksi yang belum dituliskan oleh penyair-penyair sebelumnya. Lirik dalam perpuisian Indonesia terkesan monoton dan tidak ada usaha untuk memperkaya gaya penulisan. Seolah bahwa menulis puisi adalah seperti yang sudah ditulis oleh penyair-penyair besar masa lalu. Seperti tidak ada usaha untuk sedikit bergeser atau keluar dari pakem yang sudah ada.<br />
<br />
Pada dasarnya puisi-puisi Jokpin tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi lirik. Namun dengan variasi pengembangan corak, dari segi kosa kata, dan juga penjelajahan tema. Ia hanya mencoba mengembangkan gaya tulisan naratif supaya tidak terlalu dikuasai oleh tradisi lirik. <br />
Mengenai diksi, Jokpin memilih kosa kata yang sederhana bahkan sering dipakai dalam bahasa keseharian, yang biasanya tidak digunakan dalam bahasa puisi. Hal itu kemudian divariasi dengan gaya humoris untuk mengiringi kedalaman maknanya. Sehingga sebelum mulai memahami isinya, pembaca akan merasa bahwa puisi-puisi Jokpin sangat ringan. Sebagai contoh penggunaan diksi “celana” dalam beberapa puisinya. Diksi tersebut dapat saja mengandung tema kesepian. Bagi Jokpin kesepian masa kini akan sangat berbeda ekspresinya dengan zaman dulu. Jadi kesepian tidak hanya dapat di ekspresikan seperti sepinya Amir Hamzah atau Sapardi. Ia menggunakan metafor celana yang di dalamnya pun dapat digali berbagai macam tema kesepian. Metafor itu ia pilih karena tidak ingin terkungkung oleh senja atau hujan saja dalam mengekspresikan kesepian.<br />
<br />
Dan aku tersenyum juga membaca sajak Kredo Celana-nya Joko Pinurbo di hari minggu, dua hari sebelum hari Natal tiba. Lucu. Tapi kemudian aku meringis. Getir. Bukan karena merasa terhina karena Yesus jadi seperti bahan olok-olok. Malah sebaliknya, aku bisa merasakan bahwa seorang Joko Pinurbo bisa begitu bebasnya menikmati rasa keintiman dan kedekatan hubungan dia dengan Yesus-nya yang seksi dan murah hati dan rendah hati.<br />
Murah hati dan rendah hati? Ya. Dia yang adalah Tuhan bisa mau turun ke dunia.<br />
Mau menjelma jadi manusia dan sekaligus jadi Tuhan yang solider, mau merasakan bagaimana jadi manusia. Dan tak ada yang lebih seksi daripada orang yang mau murah hati dan rendah hati. Apalagi ia lahir sebagai bayi manis yang tertidur lelap di palungan dikelilingi bintang-bintang yang terang, serta sekumpulan gembala dan domba-dombanya yang riang.<br />
<br />
Dan lantas aku menjadi iri untuk punyai keintiman itu. Aku pun meringis dengan getir. Karena aku masih belum bisa membebaskan diri dari diriku sendiri untuk terjun bebas dalam keintiman yang dalam, yang membebaskan, yang penuh rasa, yang menggairahkan, bersama Yesus, yang tidak hanya dilihat seperti sekedar seorang junjungan, tapi seperti seorang teman lama SMA, dan seorang kekasih yang setia.<br />
<br />
Saya meringis. Getir. Dan rindu. Rindu celana-Nya. Dalam rangka mengungkap alam mimpi tersebut, ada semacam kehendak sang penyair untuk menyiasati soal menakutkan ini (kematian) dengan metafor-metafor humoristis. Puisi yang tampak bermain-main namun menyimpan kedalaman yang tak terduga.***<br />
<br />
<b>Sumber</b>: www.nairiru.blogspot.comJoko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-42956592279347996172011-01-10T23:19:00.000+07:002011-01-10T23:19:07.274+07:00"Celana Tidur" dan Sindiran bagi Si Serakah<small>CELANA TIDUR<br />
<br />
Walau punya bermacam-macam celana tidur,<br />
Ia lebih suka tidur tanpa celana,<br />
Supaya celana bisa tidur di luar tubuhnya<br />
Supaya tidurnya tidak rusak oleh celana</small><br />
<br />
Menurut Wolfgang Iser dalam bukunya yang berjudul <i>The Act of Reading</i>, sebuah teks sastra hanya akan punya makna setelah ia diinterpretasikan oleh seorang pembaca (1987:21). Pendapat ini membuat saya berani mencoba menemukan makna puisi Joko Pinurbo yang paling menggelitik, yaitu puisi berjudul "Celana Tidur" (2003). Saya memang belum punya kemampuan analisa yang memadai, mungkin nanti kalau sudah semakin banyak membaca karya sastra atau barangkali kuliah di Sastra Inggris UTY. Tapi, sebagaimana kata Rimmon-Kenan, seorang pembaca punya kebebasan menginterpretasikan sebuah karya sastra sesuai dengan kemampuannya sendiri sehingga tidak ada benar dan salah dalam menganalisa (1989:4). Yang ada hanyalah bagaimana analisanya, menarik atau tidak, bagus atau biasa-biasa saja, atau malah kacau. Tapi, kalau mengacu Rimmon-Kenan, semua itu tidak masalah. Karenanya, saya "pede" saja mengutak-utik puisi ini.<br />
<br />
Begitu membaca puisi yang judulnya saja nyeleneh, "Celana Tidur," saya merasa ada sesuatu yang nyantol di benak. Selama ini puisi-puisi yang saya baca selalu berkaitan dengan cinta. Karenanya, ketika nemu puisi aneh ini saya jadi tahu, ternyata banyak hal lain selain cinta yang juga ditulis dalam puisi. Puisi ini juga sangat pendek. Saya bertanya-tanya, bisa berkata apa si penyair dengan puisi sependek itu? Akhirnya, justru karena begitu pendek, hanya terdiri empat baris dan ditampilkan dengan lucu, puisi ini mengundang rasa penasaran saya karena dia benar-benar tidak biasa. Sekilas, judul puisi ini, "Celana Tidur," bisa membuat pembaca berpikiran bahwa yang dimaksud oleh mas atau Pak penyair adalah frasa benda "celana tidur" yang berarti celana yang dikenakan untuk tidur atau dengan kata lain celana sebagai seragam tidur. Tetapi, orang juga bisa melihat judul ini sebagai sebuah kalimat yang ditampilkan dengan gaya personifikasi, "Celana tidur." Celana sebagai subyek kalimat, tidur sebagai predikatnya. Apakah seperti itu maksud Joko Pinurbo? Apakah dia ingin menampilkan sebuah puisi yang jenaka? Apakah cuma ingin membuat gurauan bahwa celanapun bisa tidur seperti manusia? Itulah yang membuat puisi ini menggelitik. Mana yang benar, "celana tidur" sebagai kata benda yang berarti seragam tidur, ataukah "Celana tidur," sebuah personifikasi yang sengaja ditampilkan oleh Joko Pinurbo, pasti akan terjawab bila kita coba runut baris-baris yang mengikuti judul ini:<br />
<br />
Kemungkinan pertama, Joko Pinurbo bermaksud menampilkan celana tidur sebagai frasa benda dan celana tidur mungkin berarti sebuah seragam tidur. Hal ini tampak ketika di baris pertama dan kedua dia mengatakan, <br />
<br />
<small><i>Walau punya bermacam-macam celana tidur,<br />
Ia lebih suka tidur tanpa celana.</i></small><br />
<br />
Si tokoh dalam puisi ini ditampilkan sebagai seseorang yang punya bermacam-macam celana tidur, namun memilih tidur tanpa celana. Inilah yang juga membuat pembaca mungkin bertanya-tanya. Ada seseorang yang punya koleksi beraneka macam celana tidur. Pastilah dia seseorang yang kaya karena tidur saja harus mengenakan pakaian khusus dan mungkin tiap tidur dia harus memakai celana tidur yang berbeda-beda. Kalau celana tidur saja punya seabreg, pastilah untuk busana lain, seperti busana kerja, busana datang kondangan, dan busana untuk keperluan lain, dia juga punya segudang. Setahu saya, tidak semua orang tahu tentang celana tidur alias seragam tidur. Itu gaya hidup kalangan menengah ke atas. Hanya orang kaya yang tidur saja musti berganti pakaian.<br />
<br />
Atau, dia mungkin seorang pejabat yang punya banyak seragam, termasuk diantaranya seragam untuk tidur. Seperti kita ketahui, celana tidur adalah celana yang memang khusus dikenakan ketika akan tidur. Celana tidur sama sekali tidak cocok dikenakan dalam kesempatan lain, bahkan dalam acara-acara di rumah selain tidur. Ketika menemui tamu, orang akan segera berganti celana yang lebih sopan atau pantas dan bukannya mengenakan celana tidur. Jadi, celana tidur memang semacam seragam tidur. Paling tidak, begitulah pendapat umum tentang celana tidur.<br />
<br />
Sepintas orang akan merasa kedua baris di atas bernada lucu, namun kalau disimak ternyata tidak hanya lucu tapi juga ada kesan ironis. Kalau memang si tokoh tidak suka mengenakan celana ketika tidur, buat apa dia membeli beraneka macam celana tidur? Baris ini membuat pembaca menangkap kesan bahwa celana atau seragam tidur tidaklah berguna bahkan mengganggu. Mungkin, si tokoh dalam puisi ini ingin menyatakan bagaimana dia benci mengenakan seragam tidur. Mungkin, sebagai orang kaya atau pejabat dia punya begitu banyak uang sehingga ingin memiliki beraneka macam celana tidur dengan beraneka warna dan model serta dengan merek-merek terkenal dari luar negeri. Sebagai orang yang punya kedudukan, mungkin dia merasa harus punya koleksi celana paling hebat di dunia. Selain itu, dia membeli seragam tidur karena kebanyakan orang kaya lainnya juga punya dan mungkin sebagai pejabat dia merasa harus punya aneka macam celana tidur untuk membedakannya dengan orang biasa yang hanya bisa beli dua setel pakaian, untuk kerja sekaligus untuk di rumah, yang sehabis dicuci segera dipakai kembali.<br />
<br />
Lain sekali dengan tokoh dalam puisi Joko Pinurbo ini. Dia punya banyak dan bermacam celana tidur tapi akhirnya tidak suka mengenakannya waktu tidur. Mungkin celana-celana itu membuatnya risih. Mungkin dia merasa tidak leluasa dan tidak nyaman tidur bercelana. Ada kemungkinan, dia justru ingin mencemooh dirinya sendiri karena memiliki banyak celana tidur padahal dia sendiri tidak suka. Bisa saja dia akhirnya tersadar, betapa anehnya tidur saja pakai diatur-atur, musti pakai seragam seperti anak sekolah musti berseragam sekolah, atau seperti pegawai kantor pakai seragam kantor. Mungkin akhirnya dia merasa sebel juga karena hidupnya penuh seragam, sampai-sampai dalam aktivitasnya yang paling pribadi dan tidak berhadapan dengan umum, yaitu tidur, pun musti mengenakan seragam. Seragam bagaimanapun merupakan simbol identitas suatu kelompok. Si tokoh dalam puisi ini tidak suka mengenakan seragam tidur karena dia tidak mau tidurnya diembel-embeli beban yang terkait dengan identitas kelompoknya. Dia tidak mau tidurnya diganggu oleh aneka kewajiban sebagai anggota sebuah lembaga seperti itu. Dia tidak mau hidupnya diatur orang lain. Dia ingin menjadi dirinya yang apa adanya ketika tidur. Tidur adalah saat seseorang beristirahat dari segala aktivitas dan nyaris tidak sadarkan diri. Dalam keadaan seperti itu, si tokoh tidak mau terbebani. Dia tidak mau diganggu bahkan oleh selembar celana. Dia ingin menjadi dirinya apa adanya.<br />
<br />
"Tidur tanpa celana" berarti tidur telanjang, tanpa busana yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Bisa dibayangkan, tokoh yang ditampilkan ini adalah seorang laki-laki karena seragam tidur yang biasa dikenakan perempuan namanya gaun tidur atau daster, bukan celana tidur. Jadi, si laki-laki dalam puisi ini yakin bahwa ketika tidur dia tidak perlu mengenakan seragam karena dia tidak sedang tampil di hadapan orang lain yang menuntutnya "jaim" alias jaga image. Ketika tidur, mungkin yang ada di dekatnya hanya istri atau anggota keluarga lain yang sangat dekat sehingga dia tidak perlu malu-malu tampil apa adanya. Dalam hal ini dia seperti menandaskan bahwa tidak mau kemerdekaannya menjalani kehidupan pribadi diganggu oleh keharusan "jaim" oleh sebuah seragam tidur yang membuatnya harus bersikap seperti orang-orang lain pada umumnya. Laki-laki ini ingin menekankan bahwa dia punya identitas sendiri, dia punya kehidupan pribadi sendiri yang tidak bisa diganggu gugat. Dia tidak mau diatur-atur, dia ingin dimanusiakan, sebagaimana dia mencontohkan betapa dia juga "memanusiakan" celana dengan membuat sebuah personifikasi yang jenaka yaitu "Supaya celana bisa tidur di luar tubuhnya." Pernyataan ini terdengar kocak, lucu, namun bila dicermati, ada makna yang sangat dalam didalamnya. Si tokoh ingin merdeka dan memiliki kehidupan pribadi yang bebas dari aneka macam seragam sebagai simbol identitas yang ditempelkan oleh orang lain. Tetapi, dia tidak mau menang sendiri atau egois. Dia juga melakukan hal yang sama pada pihak lain, bahkan pada sebuah celana tidur. Celana tidur seperti dikatakan di atas, memang diperuntukkan untuk dikenakan waktu tidur.<br />
<br />
Tetapi, si tokoh dalam puisi ini berpendapat, selain menjalankan kewajiban dia juga musti diberi hak untuk merdeka menikmati kebebasan dari aneka beban dan kewajiban. Celana tidur pun berhak punya kehidupan pribadi. Dia tidak boleh hanya selalu digunakan oleh pemiliknya tanpa pernah diberi kesempatan melakukan sesuatu atas pilihannya sendiri. Yang dilakukan oleh si tokoh ini sangatlah aneh dan tentu saja sangat tidak lazim. Mungkin dia oleh kebanyakan orang dianggap sinting karena yang dilakukannya tidak biasa dilakukan orang, berpikir celana bisa tidur dan memberinya kesempatan tidur. Tapi tampaknya dengan cara ini Joko Pinurbo menandaskan betapa pentingnya tenggang rasa, kepedulian, dan kesediaan memberikan kemerdekaan bahkan kepada sebuah benda yang nyata-nyata adalah milik kita. Joko Pinurbo ingin menampilkan gambaran betapa indahnya bila orang bersedia memerdekakan apa yang dia miliki dari keegoisan dan keserakahan. Kesadaran si tokoh dalam puisi ini akan pentingnya sikap memerdekakan dan mencintai apapun yang dia miliki sangat tinggi sehingga dia tidak mau hanya memanfaatkan tapi juga memberi kesempatan untuk "tidur di luar tubuhnya" bahkan pada sebuah "celana tidur." Yang dimaksud si tokoh dengan pernyataan "di luar tubuhnya" barangkali adalah di luar kepentingan jasmaninya. Hal ini bisa jadi terkait dengan kegunaan celana sebagai pelindung sekaligus penutup alat kelamin, salah satu alat untuk mencapai kepuasan jasmani. Dia ingin celana terbebas dari tugas melindungi bagian tubuhnya dan memberinya kesempatan mencapai kepuasan jasmani, yang dalam puisi ini juga bisa diasosiasikan dengan aktivitas "tidur tanpa celana." Si tokoh ingin merdeka mencapai hasrat-hasrat jasmaniahnya tanpa dikekang oleh "seragam tidur," oleh berbagai macam aturan umum. Namun, tidak berarti dia bebas melakukannya tanpa aturan. Justru dalam kebebasan itu dia punya kesadaran mencintai dan memerdekakan si "celana tidur." Hal ini bukan lagi hasrat jasmaniah lagi melainkan sikap hati atau jiwa. Kalau dirasa-rasa, bagian ini mungkin bersifat batiniah, atau spiritual gitu. Bisa jadi, "tidur" pada baris keempat ini mungkin berbeda dengan "tidur tanpa celana" di bagian sebelumnya. Jika di bagian sebelumnya "tidur" bersifat jasmaniah karena terjadi pada "tubuhnya," kemungkinan besar "tidur" di bagian ini adalah tidur yang bersifat spiritual dan terkait dengan segala yang ada di "luar tubuhnya." Karennaya, personifikasi celana tidur ini sangat tepat. Dengan mencintai dan memerdekakan celana tidur dari keegoisannya, si laki-laki ini yakin, tidurnya tidak akan rusak oleh celana.<br />
<br />
Kesimpulannya, kalau seseorang bisa mencintai sebuah benda (celana tidur), dia tidak akan kesulitan mencintai sesama makhluk hidup. Kalau seseorang itu egois dan selalu cenderung memiliki sesuatu dengan serakah, dia akan berat merespek sesama. Jika dalam hidup orang bersikap begitu, dia pasti tidak akan mampu menyelaraskan kebutuhan jasmani dan rohaninya sehingga bila tiba saatnya "tidur," maka tidurnya akan "rusak oleh celana." "Tidur" yang dimaksud di sini barangkali tidur yang bersifat spiritual, mungkin yang dimaksud adalah "mati." Jika seseorang penuh dosa dan keserakahan, kematiannya akan ternoda atau "rusak oleh celana," oleh benda-benda duniawi yang diperoleh dengan cara yang serakah dan egois itu. Gambaran yang dipaparkan oleh baris-baris pertama puisi ini: punya bermacam-macam celana tidur, tapi "lebih suka tidur tanpa celana" memang sangat pas.<br />
<br />
Puisi Joko Pinurbo ini lebih mirip sindirian pada mereka yang serakah menumpuk harta tanpa tahu bagaimana memanfaatkannya dengan baik karena dia cuma ikut trend atau apa yang umum terjadi dalam masyarakat. Puisi ini merupakan hasil introspeksi yang menarik akan gaya hidup masa kini yang sangat materialistis dan membuat orang cenderung serakah dan egois, berusaha mendapat sesuatu yang sebenarnya mungkin kurang dia perlukan, atau menguber sesuatu sampai-sampai harus mengorbankan orang lain demi prestige atau gengsi dan keserakahan diri. (Chicha DR/ Stero/ XII IPS2) <br />
<br />
<b>Referensi</b><br />
1. Joko Pinurbo, "Celana Tidur".<br />
2. Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading. London: John Hopkins University Press.<br />
3. Rimmon-Kennan. 1989. Narrative Fiction. New York: Pocket books, Inc.<br />
<br />
<br />
<b>Sumber</b>: http://sastrainggris-uty.edu2000.org, Sunday, 21 September 2008Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-57032375569976080102010-08-30T12:45:00.003+07:002010-10-05T11:33:10.479+07:00Empat Merapal Sajak<b>Empat penyair terkemuka Indonesia membacakan sajak ciptaan mereka dalam sebuah pentas puisi di Teater Salihara.</b><br />
<br />
<i>Maria sangat sedih menyaksikan anaknya mati di kayu salib tanpa celana dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah. Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang ke kubur anaknya itu, membawa celana yang dijahitnya sendiri. "Paskah?" tanya Maria. "Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira. Mengenakan celana buatan ibunya, Yesus naik ke surga. </i><br />
<br />
Begitulah penyair Joko Pinurbo melukiskan saat-saat naiknya Yesus ke surga. Ia menuangkan peristiwa religius itu dengan sangat manusiawi dalam sajaknya yang bertajuk Celana Ibu. "Agama bukan sesuatu yang angker. Agama itu nyata dan dekat dengan kehidupan sehari-hari," katanya. <br />
<br />
Jokpin, begitu panggilan akrab sang penyair, sedang merayakan pesta puisi di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis malam pekan lalu. Jokpin tampil bersama tiga penyair terkemuka Indonesia lainnya--Remy Sylado, Acep Zamzam Noor, dan D. Zawawi Imron--dalam perhelatan Mendaras Puisi. Para penyair ini menyuguhkan karya mereka yang dekat dengan tradisi keagamaan di sekitar tempat mereka lahir dan tumbuh. <br />
<br />
Boleh dibilang, pentas puisi malam itu cukup istimewa, karena pengarangnya sendiri yang membacakan karya-karyanya. Seperti diketahui, belakangan ini acara pembacaan puisi lebih kerap dibawakan oleh kalangan artis dan selebritas. Tak mengherankan jika ruang Teater Salihara penuh sesak dipadati oleh pendengar dan penikmat sastra. Sampai-sampai, banyak di antara yang hadir terpaksa berdiri atau duduk di undakan. <br />
<br />
<i>Celana Ibu</i>, yang dibacakan Jokpin, mendapat sambutan sangat meriah. Tepuk tangan penonton yang bercampur gelak tawa terdengar riuh menyambut penampilan Jokpin. Artikulasi Jokpin yang sangat datar dengan logat Jawa yang begitu kental justru menimbulkan suasana berbeda. Terkesan nyeleneh dengan permainan logika yang unik. <br />
<br />
Jokpin pernah mengenyam pendidikan calon pastor di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Karya-karyanya banyak menghadirkan suasana keagamaan yang dekat dengan wilayah domestik. Tak jarang ia juga menyuguhkan sebuah ironi dalam sajak-sajaknya. <br />
<br />
Meski banyak karya Jokpin yang sudah dialihbahasakan, itu tidak berlaku untuk Celana Ibu. Masalahnya, idiom yang dipakai sebagai kata kunci tak lagi sesuai dengan ide cerita jika dialihbahasakan. Dalam prosesnya, Jokpin sering menemukan kata-kata kunci. Dari situlah ia kemudian membuat narasi untuk mendukung alur ceritanya. <br />
<br />
Lain halnya dengan penyair serba bisa, Remy Sylado. Malam itu, Remy membawakan sajaknya yang berjudul Enam Puluh Lima Tahun yang Astaga. Penyair berambut keperakan ini masih saja menampilkan puisi mbeling-nya, sebuah label yang selama ini melekat pada karya-karyanya. Sajak-sajaknya penuh sindiran dan slenthingan pedas terhadap negeri yang, menurut Remy, sudah morat-marit. <br />
<br />
Remy adalah pelopor puisi mbeling pada 1970-an. Puisinya sarat dengan pemberontakan terhadap kaidah estetika. Disertai empat penari yang membawa rebana sebagai alat musik, Remy membawakan karyanya dengan nuansa lain. "Kalau sudah di depan panggung, puisi menjadi sebuah pertunjukan," katanya. Karya tersebut khusus dibuat Remy untuk acara ini. <br />
<br />
Yang tak kalah menarik adalah penampilan Zawawi Imron. Ia tampil sangat ekspresif. Sesekali ia bercerita bebas tentang pengalamannya yang tak jarang mengundang tawa penonton. Zawawi pernah nyantri di Pesantren Lambicabbi, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Maka tak aneh jika puisinya sarat dengan religiositas Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya tak kehilangan unsur humor khas Zawawi. Kumpulan sajaknya, Bulan Tertusuk Ilalang, pernah mengilhami sutradara Garin Nugroho untuk membuat film dengan judul yang sama. <br />
<br />
Dan malam itu, penyair romantis sepertinya cocok diberikan untuk Acep Zamzam Noor ketika ia membacakan karyanya yang berjudul Sepotong Senja. Tak hanya itu, Acep juga menyuguhkan kelincahannya memainkan tema-tema urban dan pesantren serta religius yang dibenturkan dengan sekularisme. Lalu, melalui Sajak Nakal-nya yang sangat pendek, Acep memperlihatkan kenakalan imajinasinya.<br />
<br />
<b>ISMI WAHID</b><br />
<b>Koran Tempo Edisi Jumat, 27 Agustus 2010</b>Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-69481204066051417232010-08-30T12:42:00.001+07:002012-03-15T18:35:49.560+07:00Sastra dan Agama Berkelindan<em>Alif, alif, alif!/ Alifmu pedang di tanganku/Susuk di dagingku, kompas di hatiku/ Alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut/ Hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan/Terang/Hingga aku/ Berkesiur/ Pada/ Angin kecil/ Takdir-Mu</em> <br />
<br />
Fragmen puisi berjudul ”Dzikir” itu didaras dengan penuh penghayatan oleh penulisnya sendiri, D Zawawi Imron. Meski sudah berusia 65 tahun, suara penyair asal Madura itu tetap memendarkan energi.<br />
<br />
Saat ia melafalkan kata-kata puisi itu secara susul-menyusul terdengar mirip sebuah mantra atau zikir yang berulang-ulang. Suaranya yang keras dan agak serak memenuhi ruang teater.<br />
<br />
Sebagian penonton mungkin sudah akrab dengan puisi yang terkenal pada tahun 1980-an itu. Namun, tetap pendarasan itu menggedor kita untuk merenung soal kefanaan nasib dan hidup manusia serta hubungan kita dengan Tuhan. Penyebutan benda-benda sebagai manifestasi Tuhan mungkin mengajak kita memikirkan kemungkinan semangat penyatuan Tuhan dan semesta sebagaimana diyakini dalam filsafat emanasi.<br />
<br />
Penyebutan kata yang berulang mengingatkan kita pada doa, mantra, atau zikir yang dilantunkan dengan cara ritmis setelah shalat. ”Puisi ini hasil penghayatan saya akan Tuhan dan kehidupan. Ini pergulatan saya sejak lama yang kemudian muncul tanpa direka-reka dalam bentuk puisi,” kata Zawawi seusai membaca puisi.<br />
<br />
Pentas itu menjadi bagian dari pertunjukan ”Mendaras Puisi: Pembacaan Puisi di Bulan Puasa” di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (19/8) malam lalu. Hadir juga membacakan puisinya, penyair Acep Zamzam Noor, Joko Pinurbo, dan Remy Sylado. Dalam catatan panitia, para penyair ini dianggap berkarya dengan ilham dari iman atau agama.<br />
<br />
Memang, keimanan atau agama yang diyakini para penyair itu memperkaya bahasa ungkap para penyair. Tak seperti Zawawi menyerap semangat penghayatan ketuhanan untuk menciptakan puisi zikir, Acep Zamzam Noor merefleksikan pengalaman keagamaan dalam diksi penuh metafor. Puisi-puisinya banyak mengolah kesan tentang alam semesta yang dengan bahasa romantis.<br />
<br />
Simak saja karyanya yang berjudul ”Trasimeno”: Kulihat bukit-bukit bersujud/Pohon-pohon merunduk, daun-daun basah/ Lampu-lampu meredupkan cahaya/Angin dan kabut bergulung di angkasa/Senja membelitkan kerudung kuningnya/Semuanya bersujud kepadamu. Sebuah danau/Hamparan sajadah bagi semesta/ Adalah ketenangan yang sempurna.<br />
<br />
”Agama tak saya ungkapkan sebagai slogan yang permukaan, melainkan sebagai kesadaran batin yang penuh perenungan,” kata Acep yang lahir dan besar dalam lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. <br />
<br />
<b>Keseharian</b><br />
<br />
Bagi Joko Pinurbo, agama juga memang tak perlu dipanggungkan dalam puisi penuh jargon mentah. Dia memilih untuk mengolah religiusitasnya dalam agama Katolik dengan berangkat dari cerita sehari-hari, seperti tukang bakso, tukang ojek, tukang becak, lantas mengajak orang berempati kepada orang lain. Dari empati ini, lantas dia menyentuh nilai kemanusiaan yang lebih mendalam.<br />
<br />
Dia kerap mengulik narasi yang lebih manusiawi sehingga mudah menyentuh publik umum. Cerita Yesus, misalnya, dimainkan secara lebih lumer dengan mengeksplorasi sisi manusiawinya. Kadang, dia membenturkannya dengan suasana ironis yang nakal.<br />
<br />
Salah satu puisinya cukup terkenal karena pendekatan ini, yaitu yang berjudul ”Celana Ibu” (tahun 2004).<br />
<br />
<em>Maria sangat sedih menyaksikan anaknya/mati di kayu salib tanpa celana/dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah.Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit/dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang/ ke kubur anaknya itu, membawakan celana/ yang dijahitnya sendiri dan meminta/Yesus untuk mencobanya.”Paskah?” tanya Maria./ ”Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.<br />
Mengenakan celana buatan ibunya,/Yesus naik ke surga.</em><br />
<br />
Menurut Ayu Utami, kurator sastra di Salihara yang malam itu sekaligus menjadi pembawa acara, karya-karya penyair itu memperlihatkan, sastra dan iman atau agama bisa berkelindan tanpa satu menaklukkan yang lain. Agama memberi artikulasi bagi sastrawan saat melihat peristiwa. Hubungan itu berlangsung secara leluasa dan saling memberikan inspirasi dan nilai-nilai, tanpa jatuh menjadi dakwah yang verbal.<br />
<br />
Agama atau iman sudah lama mengendap dalam diri penyair, lantas mereka membuat karya. ”Mereka kemudian bisa bermain tanpa rasa kikuk, bebas, dan santai menggambarkan apa yang ada dalam dirinya. Ini selaras dengan semangat seni yang membebaskan dan membuka berbagai kemungkinan,” kata Ayu<br />
<br />
<b>Ilham Khoiri | Kompas | Minggu, 22 Agustus 2010</b>Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-82236914892518626152010-08-30T12:21:00.007+07:002010-09-14T15:21:30.381+07:00Celana PinurboCerpen <b>Aminudin R Wangsitalaja</b><br />
<br />
LAILA masih hanya mengagumi celana pendek yang tergantung di paku kamar mandi itu. Tak berani ia menyentuhnya. Padahal ingin sekali ia membelainya.<br />
<br />
Laila baru selesai mandi. Ia baru sadar jika di deretan paku penggantung pakaian itu tergantung sebuah celana pendek. Letaknya persis berjejer dengan pakaian Laila yang lain.<br />
<br />
Apakah ini celana pendek Pak Pinurbo? Kenapa, jika ya, beliau lupa memakainya kembali atau membawanya ke kamar atau merendamnya di ember jika memang sudah kotor?<br />
<br />
Laila lantas ingat bahwa Pak Pinurbo sebenarnya tidak suka memakai celana pendek. Beliau selalu bercelana panjang atau jika di dalam rumah memakai sarung. Jika Pak Pinurbo memakai sarung, sering beliau mengibasngibaskan sarung itu entah apa sebabnya, yang kemudian di pengamatan Laila sarung itu seolah berkibar-kibar. Laila kemudian sering membayangkan yang nakal-nakal, misalnya ingin berteduh di bawah kibaran sarung itu.<br />
<br />
Sepengetahuan Laila memang Pak Pinurbo tidak pernah memakai celana pendek.<br />
Justru Laila-lah yang sangat suka bercelana pendek di rumah karena gerak menjadi lebih leluasa. Laila tidak suka celana panjang apalagi rok. Ini membuat Pak Pinurbo pernah meledeknya, “Laila ini perempuan, tapi kok hobinya bercelana pendek?“<br />
<br />
“Kenapa memangnya, Pak? Memangnya perempuan tidak boleh bercelana pendek?“ <br />
<br />
“Karena perempuan bukan lakilaki, padahal lakilaki memakai celana pendek...“<br />
<br />
“Ah, Pak Pinurbo tak paham feminisme!“<br />
<br />
“Saya penulis buku-buku keperempuanan, jangan salah.“<br />
<br />
Tentu saja Laila tak ingin meneruskan percakapan itu. Ia sudah jenuh menjadi aktivis pemberdayaan perempuan. Lagian, Pak Pinurbo tentu hanya bergurau atau sengaja memancing diskusi. Pak Pinurbo sendiri memang penulis buku-buku keperempuanan. Dan Pak Pinurbo tahu jika Laila aktivis LSM perempuan. Pak Pinurbo sering meledek Laila dengan memancing-mancing perdebatan soal laki-perempuan. Di luar itu, sebetulnya Laila sendiri memang selalu tidak mampu mendebat atau sekadar berbincang lama dengan Pak Pinurbo ini.<br />
<br />
Laila baru selesai mandi. Tak habis pikir ia kenapa Pak Pinurbo mau juga bercelana pendek. Mungkinkah karena Pak Pinurbo tidak pernah bercelana pendek itu sehingga ketika ia memakainya dan mencopotnya saat mandi ia menjadi lupa memakainya lagi? Bahkan, Pak Pinurbo mungkin lupa jika baru saja memakai celana pendek?<br />
Laila gugup. Tak berani ia menyentuh celana pendek itu padahal ia ingin sekali melakukannya.<br />
<br />
Mungkin Pak Pinurbo tergesa-gesa. Tak tahu beliau jika celananya tertinggal. Ke mana gerangan sepagi ini? Setahu Laila Pak Pinurbo sudah memutuskan berhenti kerja. Ini juga melengkapi ketakpahaman Laila terhadap cara berpikir Pak Pinurbo.<br />
<br />
Kepribadian dan cara berpikir Pak Pinurbo memang menarik, meski terkadang terkesan tidak rasional, tidak taktis, tidak pragmatis. Dalam hal kerja, misalnya, Pak Pinurbo sebetulnya sudah berada dalam posisi mapan kini. Ia adalah kepala editor di sebuah penerbit buku. Meski penerbit ini masih kecil, tapi cukup prospektif. Nah, tiba-tiba saja Pak Pinurbo bersikap hendak keluar dari pekerjaannya. Orang lain terengah-engah mencari cantolan kerja, beliau enteng saja melepas apa yang sudah di genggamannya.<br />
<br />
“Kerja bukan hanya berkaitan dengan soal materi, Dik Laila,“ ujar Pak Pinurbo.<br />
<br />
Laila tergagap dipanggil “dik“. Lagilagi ia tak akan bisa berdebat dengan Pak Pinurbo. Terlalu tak terjangkau sosok itu baginya. Dalam pembelaan Laila kepada dirinya sendiri, ini bukan soal ketidaktegaran perempuan di depan laki-laki. Tidak. Tidak karena Laila perempuan sehingga Laila tidak mampu mendebat Pak Pinurbo. Atau kalaupun mungkin juga karena Laila perempuan, tapi bukan dalam konteks perempuan yang berkontradiksi dengan laki-laki.<br />
<br />
Kenyataanlah bahwa Pak Pinurbo berkarisma secara khusus bagi Laila, yang secara kebetulan Laila adalah perempuan yang menyimpan respons tersendiri terhadap laki-laki ini.<br />
<br />
Laila sudah selesai mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Ia mulai men genakan T-shirt setelah sebelumnya sudah dikenakannya apa-apa yang seki ranya perlu dikenakan sebelum T-shirt itu. Ia memandangi lagi celana pendek itu. Pikirannya agak kacau. Pak Pinurbo tiba-tiba mau bercelana pendek. Lebih kacau lagi pikiran Laila setelah ia sadar bahwa justru ia yang pagi itu tidak bercelana pendek. Padahal biasanya saat tidur pun Laila memilih bercelana pen dek.<br />
<br />
Celana pendek yang tergantung di paku di dinding kamar mandi itu tampak sungguh menarik. Ia menimbulkan getaran. “Mudah-mudahan memang milik Pak Pinurbo,“ pikir Laila.<br />
<br />
Kamar mandi ini memang dipakai bersama, untuk pemilik rumah dan Pak Pinurbo. Sudah dua tahun Pak Pinurbo indekos di salah satu kamar rumah pasangan suami istri Syubanudin-Utami. Laila anak tunggal pasangan suami istri itu.<br />
<br />
Laila sebetulnya sudah saatnya menjadi sarjana, tapi agaknya hal itu tidak bakal kesampaian. Laila terlalu progresif dalam pikiran dan tindakan. Ia mulamula intens menjadi aktivis dalam gerakan-gerakan, terutama gerakan kiri dan perempuan. Kehidupan cintanya carutmarut karena ia selalu salah membaca cinta. Lagipula, Laila terlalu mengedepankan stigma kyriarkis setiap bergaul dengan laki-laki. Pada kemudiannya Laila tampak lebih mewakili prototipe gadis yang putus asa. Ia tak bisa berkonsentrasi meneruskan studinya padahal di satu sisi ia betul-betul mulai jenuh dengan ide-ide aktivisme.<br />
<br />
Kehadiran Pak Pinurbo memberi santapan rohani tersendiri bagi hari-hari Laila yang mulai sepi. Pak Pinurbo sosok yang tampak pendiam, perenung, dan problematis awalnya, tapi kemudiannya ia adalah sosok yang menarik dalam joke dan statement-statemen-nya. Ia masih muda, tiga puluh usianya. Belum beristri, tapi keluarga Syubanudin tetap memanggilnya dengan sebutan “Pak“ untuk kebiasaan menghormati orang. Laila juga suka melafalkan sapaan “Pakî ini dengan intonasi yang khusus.<br />
<br />
Permainan intonasi memunculkan permainan baru dalam hal emosi. Laila menyukai permainan semacam ini.<br />
<br />
Pak Pinurbo seorang yang berpengalaman sebagai editor dan penulis. Beliau menulis beberapa hal, dari puisi sampai tulisan-tulisan tentang perempuan. Ini membuat Laila respek. Laila memang mulai jenuh dengan wacana perempuan dan segala wacana aktivisme, tanpa sebab yang betul-betul jelas bagi Laila sendiri. Kehadiran Pak Pinurbo dengan jokes yang menarik seputar wacana keperempuanan mengembalikan kenangan-kenangannya semasa menjadi aktivis. Kenangan ini menjadi menarik karena Pak Pinurbo memberinya cara pembacaan yang tidak politis dan tidak ideologis terhadap wacana laki-perempuan ini.<br />
<br />
Tiba-tiba juga Laila kemudian menyukai puisi. Perasaannya yang akhirakhir ini sering kacau entah oleh apa mulai agak tenang. Bahkan Laila mulai lagi ingat sembahyang.<br />
<br />
Oleh ketertarikannya pada puisi membuat imajinasi Laila hidup. Terlalu hidup malah. Laila mulai membayangkan rasanya jika bisa terbang, ia akan menggoda burung-burung sambil mengintip laki-laki yang dipacari perempuannya di sebuah perbukitan. Laila mulai membayangkan jika ia jadi lakilaki, ia hanya akan bercelana pendek saja tanpa pakaian lain berlari-lari memutari kampung secara bebas tanpa ada yang risih. “Oh, alangkah nyamannya hanya bercelana pendek,“ gumam Laila.<br />
<br />
Laila tidak paham kenapa Pak Pinurbo tidak suka celana pendek. Kenapa lebih merasa nyaman bersarung? Sarung mungkin memang nyaman dipakai, tapi itu kampungan. Bagi Laila Pak Pinurbo harus disadarkan.<br />
<br />
Laila bayangkan alangkah menariknya Pak Pinurbo dengan hanya bercelana pendek. Laila imajinasikan juga, kalau kedua-dua mereka menyukai bercelana pendek, Laila ingin tukar-menukar celana pendek dengan Pak Pinurbo. Laila ingin memakai celana pendek Pak Pinurbo dan Laila berharap Pak Pinurbo mencoba juga celana pendek Laila. Paskah?<br />
<br />
Bagi Laila Pak Pinurbo harus disadarkan. Tapi Pak Pinurbo mungkin sama sekali tidak pernah punya celana pendek. Langkah pertama adalah Laila akan diam-diam membeli celana pendek dan diam-diam pula menghadiahkannya kepada Pak Pinurbo, entah lewat paket tak berpengirim atau biar lebih puitis taruh saja langsung di bawah bantal di kamar Pak Pinurbo.<br />
<br />
Tapi, beranikah Laila masuk kamar Pak Pinurbo? Setiap Laila hendak ke kamar mandi memang selalu harus melewati depan kamar Pak Pinurbo dan setiap itu pula kakinya agak berat dilangkahkan. Jalannya berdebar.<br />
<br />
Jadi, bagaimana pula ia akan berani memasuki kamar itu?<br />
<br />
Laila sudah selesai mandi. Ia masih memandangi celana pendek yang tergan tung di paku di dinding kamar mandi itu.<br />
<br />
Ia tak berani menyentuhnya dan hanya membayangkan Pak Pinurbo tadi telah memakai celana itu.<br />
<br />
“Laila! Kau selalu lama jika mandi!“ terdengar suara keras ibunya dan gedoran pintu kamar mandi.<br />
<br />
“Ya, Bu. Sudah selesai...,“ sanggah Laila gugup.<br />
<br />
Laila keluar kamar mandi. Ia sudah memakai T-shirt dan handuk dililitkan di pinggangnya. Laila bergegas menuju kamar, tak berani menengok ke pintu kamar Pak Pinurbo ketika melewatinya.<br />
<br />
“Laila! Celana pendekmu ketinggalan!“ omel Ibu.<br />
<br />
Laila tidak mendengar.<br />
<br />
“Laila! Ini celana barumu yang kaubeli kemarin itu!“ omel Ibu.<br />
<br />
Laila tidak mendengar.<br />
<br />
“Laila! Baru kaupakai semalam celana ini, kau sudah bosankah?“ omel Ibu.<br />
<br />
Laila tidak mendengar.<br />
<br />
“Laila! Ambillah dulu celanamu.<br />
<br />
Awas kubuang nanti. Kau tak sayang dengan celana bagus ini? Kautahu, sayangku, Pak Pinurbo semalam memuji celana barumu ini!?“ omel Ibu berkepanjangan.<br />
<br />
Dan apakah Laila mendengar?<br />
<br />
<br />
<br />
-------------<br />
Sumber: <br />
www.suaramerdeka.com<br />
28 Mei 2010Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-76526853113750931692010-05-05T11:01:00.001+07:002010-05-05T11:05:02.155+07:00Sajak-sajak Joko Pinurbo: Lubuk Kontemplasi Arus Dangkal Hedonisme(Kompas, Minggu, 30 September 2007)<br />
<br />
<b>J. Sumardianta</b><br />
<br />
“Bukalah mata tuan dan lihatlah. Di tempat petani meluku tanah yang keras. Di tempat pembuat jalan meratakan batu. Di situlah Tuhan. Bersama mereka Tuhan berpanas dan berhujan. Turunlah ke tanah berdebu itu, seperti Dia. Bangkitlah dari samadi. Hentikan meronce bunga dan membakar setanggi. Meski pakaian tuan lusuh dan kotor. Cari Dia dalam bekerja, dengan keringat di kening tuan.”<br />
<br />
Sajak gubahan Rabindranath Tagore, pujangga besar India, di atas merupakan cermin kepekaan terhadap hidup dan alam yang sarat dengan kebajikan teosofis. Kearifan teosofi mengajarkan bahwa Tuhan bisa ditemukan di mana-mana. Tuhan bisa dijumpai saat petani membajak dan menggaru sawah. Saat kuli bangunan memecah batu penjuru. Saat peternak menyabit rumput. Saat buruh bekerja di pabrik. Saat bakul berjualan di pasar. Pendeknya, kehadiran Tuhan mudah dirasakan dalam kegiatan riil eksistensial yang sepintas terkesan tidak ada kaitannya dengan hidup religius dan bakti.<br />
<br />
Khasanah spiritual Jawa mengajarkan aforisma, “Urip iki sejatine sastra gumelar ing jagat. Pinanggiha Gusti ing sembarang kalir. Temokno Gusti ing tek kliwer lan ing obah mosike uripmu (Hidup ini sesungguhnya susastra yang terhampar di jagat raya. Tuhan bisa ditemukan dalam segala. Temukanlah Tuhan dalam kehidupan keseharianmu yang berpeluh dan penuh bercak kesulitan).” <br />
<br />
Aforisma teosofis itulah yang terhampar pada antologi sajak-sajak Joko Pinurbo (Jokpin): Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), dan yang terbaru Kepada Cium (2007). <br />
<br />
Penyair Yogyakarta kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi, 1962 ini misalnya menafsirkan peristiwa Paskah yang agung dan heroik dengan idiom mistisisme konkret kehidupan sehari-hari. Jokpin membumikan peristiwa kebangkitan Yesus justru dengan sikap humor agak main-main. Karya keselamatan Sang Nabi ditampilkan dalam momen paling manusiawi. Dalam “proyek” keselamatan toh Yesus tetap memerlukan “celana”. Dan “celana” itu dijahit sendiri oleh Maria, ibuNya.<br />
<br />
Sajak “Celana Ibu” (2004) memudahkan orang nampi Allah minangka jejering kekeran ingkang winadi (memahami misteri Allah yang tak terselami). Maria sangat sedih menyaksikan anaknya / mati di kayu salib tanpa celana / dan hanya berbalutkan sobekan jubah / yang berlumuran darah. // Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit / dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang / ke kubur anaknya itu, membawa celana / yang dijahitnya sendiri. // “Paskah?” tanya Maria. / “Pas sekali, Bu,“ jawab Yesus gembira. // Mengenakan celana buatan ibunya, / Yesus naik ke surga.<br />
<br />
Sajak “Terkenang Celana Pak Guru” (1997) memperlihatkan penggubahnya adalah gabungan genius dari ketrampilan seorang penyair menciptakan bahasa dan kedalaman refleksi seorang pemikir yang bersikeras hendak mengubah tragika nasib menjadi ironi yang melegakan. Masih pagi sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas. / Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk, / kemudian terkulai di atas meja. / Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk / sambil mengucapkan, “Selamat pagi, Pak Guru.” // Pak guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya / seakan mau mengatakan, “Bapak sangat lelah.” // Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. / Pak Guru telah berjanji menceritakan kisah para pahlawan / yang potretnya terpampang di seluruh ruang. / Tapi kami tak tega membangunkannya. / Kami baca di papan tulis, “Baca halaman 10 dan seterusnya. / Hafalkan semua nama dan peristiwa.” // Sudah siang, Pak Guru belum juga siuman. / Hanya rits celananya yang setengah terbuka / seakan mau mengatakan, “Bapak habis lembur semalam.” // Ada yang cekikikan. / Ada yang terharu dan mengusap / matanya yang berkaca-kaca. / Ada pula yang lancang membelai-belai gundulnya / sambil berkata, “Kasihan kepala yang suka ikut penataran ini.”<br />
<br />
Sajak-sajak Jokpin --di tengah kecenderungan pendangkalan oleh hedonisme yang begitu gandrung kapilangu (mendewakan kenikmatan materi, derajat, pangkat, kekuasaan, dan uang)-- menawarkan kedalaman suasana kontemplatif. Suasana meditatif yang kebak luber kocak-kacik (bergelimang) nilai dan makna itu, misalnya, diwakili sajak “Kepada Cium” (2006): Seperti anak rusa menemukan sarang air / di celah batu karang tersembunyi, // seperti gelandangan kecil menenggak / sebotol mimpi di bawah rindang matahari, // malam ini aku mau minum di bibirmu. // Seperti mulut kata menemukan susu sepi / yang masih hangat dan murni, // seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri / pada luka lambung yang tak terobati.<br />
<br />
Transendensi merupakan kebutuhan psikologis dasariah manusia. Manusia, di samping memenuhi kerinduan akan pengalaman adikodrati dengan berdoa dan beribadah, juga memiliki alternatif untuk mencukupi kehausan transendensi dengan musik, sastra, olah raga, dan sebagainya. <br />
<br />
Koleksi sajak-sajak Jokpin bagaikan hiperbarik (terapi oksigen tingkat tinggi) tempat orang bisa menghirup transendensi setelah sekian lama diguncang kepengapan disolasi. Puisi “Sehabis Sembahyang” (2005) menertawakan perangai tamak manusia yang miskin perasaan syukur kendati sudah bermandikan kesejahteraan dan perlindungan. Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku. / Terima kasih atas segala pemberianmu, / mohon lagi kemurahanmu: sekedar mobil baru / yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya / agar aku bisa lebih cepat mencapaimu.<br />
<br />
Sajak-sajak Jokpin preseden bagus ketangguhan orang-orang kalah di zaman penuh daya-dera yang menggilas. Sajak “Malam Suradal” (2006) mengabarkan bahwa seganas-ganasnya jaman kala bendu sesunguhnya telah gagal menghentikan manusia untuk bertekuk lutut menyerah pada nasib. Sebelum ia berangkat bersama becaknya, / istrinya berpesan, “Jangan lupa beli minyak tanah. / Aku harus membakar batukmu yang menumpuk / di sudut rumah.” / Dan anaknya mengingatkan, “Besok aku harus bayar sekolah. / Aku akan giat belajar agar kelak dapat membetulkan nasib Ayah.” <br />
<br />
Ya, di jaman edan karena digiling mesin ketidakpastian turbulensi, ukuran kesuksesan tidak lagi melulu diukur dari akumulasi kekayaan, status sosial, jabatan, dan kekuasaan. Parameternya, saat terjatuh di jurang kegagalan, manusia tetap punya nyali untuk mengambil hikmah dari kemalangan. <br />
<br />
Seperti dikatakan filsuf Nietzche, “Segala sesuatu yang tidak membunuhku akan membuatku kuat.” Berani menghadapi kepedihan yang disertai rasa malu. Memiliki daya pegas untuk tetap berkembang melampaui risiko sebagai konsekuensi pilihan hidup. Mengambil hikmah dari kemalangan menuntut pengakuan akan fakta tragis tapi indah: bahwa tidak semua masalah memiliki solusi dan tidak semua perbedaan bisa didamaikan. <br />
<br />
Kehidupan manusia modern terlanjur dipenjara house (bangunan gedung yang sumpek dan gerah), bukan bersemayam di hunian yang membuat krasan dan betah (home). Sajak “Cita-Cita” (2003), dalam kerangka mistisisme konkret, mengandung sugesti perihal mendasarnya kebutuhan manusia akan ruang batin untuk hening. Dalam kata-kata William Shakespeare, “Mampu menanggung penderitaan yang bersemayam di jantung kreativitas.” Pendeknya, manusia yang senantiasa didera suasana hiruk pikuk gaduh, mesti nggegulang amrih mboten kajiret bebalutaning gesang (terlatih dan memiliki keberanian untuk melepas beban hidup).<br />
<br />
Setelah punya rumah, apa cita-citamu? / Kecil saja: ingin bisa sampai di rumah saat senja supaya saya / dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela . // Ah cita-cita. Makin hari kesibukan makin bertumpuk, // uang makin banyak maunya, jalanan macet, / akhirnya pulang terlambat. / Seperti turis lokal saja, singgah menginap / di rumah sendiri buat sekedar melepas penat.<br />
<br />
Penampilannya kadang terkesan udik. Posturnya kerempeng. Siapa pun yang mengenal dan memergoki Jokpin untuk pertama kali pasti tidak menyangka kalau lelaki santun bersahaja berwajah tirus itu seorang penyair yang bukan sembarangan. Sajak-sajak Jokpin seakan representasi hidup kesehariannya yang sak madyo (ugahari), climen (apa adanya). Itu sebabnya, penyair produktif ini gemar mengajak pembaca bertamasya ke tapal batas absurd nasib manusia antara yang getir dan yang jenaka. Sajak-sajak Jokpin sering menggelikan hati, sekaligus membuat pembaca terbujur kaku ditelikung imajinasi liarnya. ***<br />
<br />
*<b>J. Sumardianta</b>, guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta.Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-68991112759149563732010-05-05T10:57:00.002+07:002010-05-05T11:42:54.854+07:00Jokpiniana I : A reflection on dangdutWork on the opera is going quite well. Haven't made up my mind about the dialogues & recitatives, but I have done some arias and choreographical music. I decided a few days ago to take a break from it and compose my short (4-minute) choral piece commissioned by the ITB (Bandung Institute of Technology, one of the oldest and most prestigious universities in Indonesia) Choir for their tour to Italy.<br />
<br />
The piece will be for SSAATTBB choir.For about one year I have been fascinated by the (very) short poems of Joko Pinurbo "Jokpin". You can find them (if you understand Indonesian) in <a href="http://jokopinurbo.blogspot.com/">http://jokopinurbo.blogspot.com/</a> . I have been toying the idea of putting several poems into one short piece, and writing for the choir has provided me the opportunity to do so. So, <b>Jokpiniana</b> will be a series of choir pieces, or shall we say "choir etudes", and this one for ITB will be the first of I-dunno-how-many-will-there-be etudes for choir. In this piece I concentrate especially on his fantastic poem "Dangdut" which provides me the ostinato, but I will treat it antiphonally. Dangdut is a very popular rhythm that is very close to the heart of most of Indonesians. One always say that it belongs to the low-class people, but hey, all the diplomats at the Indonesian embassies around the world always organize dangdut parties. They even have dangdut artists TO BE FLOWN FROM INDONESIA for their "cultural" events. I must say that they are more representative of Indonesian culture than, let's say, me or my colleagues of "classical music" who are pretentious enough of searching things such as "What is Indonesian classical music ? What is Indonesian opera?" and other useless soul-searching questions. Dangdut IS our identity !<br />
<br />
Sumber: <a href="http://andystarblogger.blogspot.com/">http://andystarblogger.blogspot.com/</a>Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-8198526829801716662010-05-05T10:42:00.002+07:002010-05-05T10:52:33.990+07:00Joko Pinurbo: Penyair Muda yang Penuh Potensi<b>Prof. Dr. Okke Kusuma Sumantri Zaimar</b><br />
(Staf Pengajar Program Studi Prancis FIB-UI) <br />
<br />
Apabila saya bandingkan dengan puisi karya penulis modern Indonesia lainnya, seperti Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri, puisi Joko Pinurbo ini memang mempunyai gaya tersendiri. Puisi-puisi ini tidak bergaya "wah", melainkan penuh kesederhanaan. Memang beberapa kritikus (a.l. Ayu Utami) menganggap puisi-puisi Joko lebih dekat dengan gaya Goenawan Muhammad dan Sapardi Djoko Damono. <br />
<br />
Melihat bentuknya, puisi Joko banyak sekali yang bersifat naratif, bahkan dalam sajaknya yang deskriptif pun ia tetap berceritera. 90% dari karya Joko Pinurbo bersifat naratif. Berbeda dengan puisi pada umumnya yang sangat mementingkan bentuk sajak atau pembagian per bait, sajak Joko banyak yang menampilkan bait seperti paragraf saja, bahkan sering kali sajak tampil tanpa bait, jadi merupakan satu kesatuan. Seperti sajak modern lainnya, sajak Joko sering tampil dalam bait-bait yang tidak sama jumlah lariknya. Ada pula pembaca yang mempermasalahkan rima pada sajak-sajak Joko Pinurbo. Meskipun tidak banyak mengandung rima, puisi Joko tetap mengalun. Sering kali rima digunakan sepenuhnya, baik rima selarik mau pun rima akhir larik. Berikut ini contoh rima selarik: <br />
<br />
<b>Mata air </b><br />
<br />
Di musim kemarau semua sumber air di desa itu<br />
mengering. Perempuan-perempuan legam<br />
berbondong-bondong menggendong gentong<br />
menuju sebuah desa di bawah pohon beringin<br />
di celah bebukitan. Tawa mereka yang renyah<br />
menggema nyaring di dinding-dinding tebing, pecah<br />
di padang-padang gersang.(…)<br />
<br />
(Pacar Senja, hal 128)<br />
<br />
Dari cuplikan di atas, tampak bahwa meskipun tak ada rima akhir, larik ke 3, ke 6 dan 7 mengandung rima selarik bunyi / /, / / dan / / yang menimbulkan kesan pantulan gema, namun bagi penyair kita ini tampaknya apabila tidak diperlukan, rima tak perlu ada. Maka rima, terutama rima akhir, sering ditinggalkan. Susunan bahasa Indonesia yang digunakan Joko cukup rapih, lisensia puitika yang banyak digunakan hanyalah enjambemen, yaitu pemotongan kalimat sebelum selesai, kemudian dilanjutkan di larik berikutnya. Hal ini memberi kesan lompatan-lompatan, dan bila dihubungkan dengan makna dalam sajak di atas memberikan gambaran jalan yang sama sekali tidak rata, sehingga orang yang menggendong gentong itu perlu ekstra hati-hati, agar air yang dibawanya tidak tumpah. Berikut ini sebuah sajak lagi yang menampilkan rima khas sajak Joko Pinurbo. <br />
<br />
<b>Bercukur sebelum Tidur </b><br />
<br />
Bercukur sebelum tidur,<br />
membilang hari-hari yang hancur,<br />
membuang mimpi-mimpi yang gugur,<br />
memangkas semua yang ranggas dan uzur,<br />
semoga segala rambut, segala jembut,<br />
bisa lebih rimbun dan subur.<br />
Lalu datang musim, dalam curah angin,<br />
menumpahkan air ke seluruh dataran,<br />
ke gunung-gunung murung<br />
dan lembah-lembah lelah di seantero badan.<br />
Jantungku meluap, penuh.<br />
Sungai menggelontor, hujan menggerejai<br />
di sektor-sektor irigasi di agrodarahku.<br />
Malam penuh traktor, petani mencangkul<br />
di hektar-hektar dagingku.<br />
Tubuhku hutan yang dikemas<br />
menjadi kawasan megaindustri<br />
di mana segala cemas, segala resah<br />
diolah di sentra-sentra produksi.<br />
Tubuhku ibukota kesunyian yang diburu investor<br />
dari berbagai penjuru.<br />
Tubuhku daerah lama yang ditemukan kembali,<br />
daerah baru yang terberkati.<br />
Lalu tubuhku bukan siapa-siapa lagi.<br />
Tubuhku negeri yang belum diberi nama.<br />
Dan kuberi saja nama dengan sebuah ngilu<br />
saat bercukur sebelum tidur.<br />
<br />
(Pacar Senja, hal. 30)<br />
<br />
Pada sajak di atas ini, kita lihat bahwa pada awalnya Joko menggunakan rima akhir sepenuhnya, kemudian makin lama, makin berkurang, meskipun ia masih menggunakan rima selarik ("ke gunung-gunung murung", dan "ke lembah-lembah lelah"), dan akhirnya rima ditinggalkan, seakan tidak dipedulikan sama sekali. Kesela-rasan bunyi itu ditinggalkan begitu saja, seakan suatu ejekan pada bentuk puisi lama, bahkan mungkin suatu ejekan pada "keharmonisan". Bentuk bait pun tidak ditampilkan, padahal dengan adanya tanda-tanda kesatuan kalimat, sangat mudah untuk menentukan batas-batas bait. Namun memang Joko tidak menghendaki hal ini. Dari segi isi, kita lihat bahwa tindakan yang sangat bersifat pribadi ini (Bercukur sebelum tidur) melalui gaya bahasa simile, telah bergeser menjadi suatu gambaran tentang hutan-hutan yang telah menjadi megaindustri "di mana segala cemas, segala resah diolah di sentra-sentra produksi" Dengan halus, Joko mengemukakan keadaan yang mengkhawatirkan itu dan memberinya nama "sebuah ngilu". Kata yang sederhana ini digunakan untuk menggambarkan seluruh perasaan khawatir dan cemas melihat negrinya diburu para investor. <br />
<br />
Satu lagi sajak yang menggunakan rima penuh, karena mengandung repetisi: <br />
<br />
<b>Naik Bus di Jakarta </b><br />
<br />
Sopirnya sepuluh.<br />
Kernetnya sepuluh.<br />
Kondekturnya sepuluh.<br />
Pengawalnya sepuluh.<br />
Perampoknya sepuluh.<br />
Penumpangnya satu, kurus,<br />
dari tadi tidur melulu;<br />
kusut matanya, kerut keningnya<br />
seperti gambar peta yang ruwet sekali.<br />
Sampai di terminal, kondektur minta ongkos:<br />
"Sialan, belum bayar sudah mati!"<br />
<br />
(Pacar Senja, hal. 118)<br />
<br />
Lima larik awal menampilkan repetisi kata "sepuluh" di akhir larik, sehingga tentu menimbulkan rima penuh, namun kemudian pada larik ke 6, 7 dan 8 rima mulai berkurang untuk pada akhirnya hilang sama sekali. Inilah cara khas Joko mengatur rima. Dari segi makna, sepintas lalu sajak ini terasa lucu, terutama melihat oposisi antara angka sepuluh bagi sopir, kernet, kondektur, pengawal (yang biasanya hanya terdiri dari satu orang di setiap bus) dan perampok, dengan penumpang yang biasanya banyak, hanya disebut satu. Namun, kelucuan di awal sajak berubah menjadi tragedi di akhir sajak. Rupanya penumpang yang banyak itu cukup disebut satu, untuk mengemukakan kesamaan nasib mereka. Kesengsaraan hidup di kota besar hanya dinyatakan dengan "kusut matanya, kerut keningnya seperti gambar peta yang ruwet sekali". Kemudian, sesampai di terminal, ternyata penumpang itu telah mati, dan kata-kata yang diucapkan kondektur sangat menusuk "Sialan, belum bayar sudah mati!" Bagi kondektur, uang sebanyak dua atau tiga ribu rupiah lebih penting dari nyawa manusia. Joko Pinurbo tidak hanya fasih dalam menampilkan pribadi manusia dan segala persoalannya, namun dalam kesederhanaannya, dia juga sering menampilkan kehidupan masyarakat yang menyentuh. <br />
<br />
Sajak berikutnya mengemukakan peristiwa kekacauan yang terjadi pada bulan Mei 1998. Peristiwa yang mengerikan itu ditampilkan dalam kesederhanaan Joko Pinurbo, seperti berikut ini:<br />
<br />
<b>Mei</b><br />
<i>Jakarta, 1998</i><br />
<br />
Tubuhmu yang cantik, Mei<br />
telah kau persembahkan kepada api.<br />
<br />
Kau pamit mandi sore itu.<br />
Kau mandi api.<br />
<br />
Api sangat mencintaimu, Mei.<br />
Api mengucup tubuhmu<br />
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.<br />
<br />
Api sangat mencintai tubuhmu<br />
sampai dilumatnya yang cuma warna<br />
yang cuma kulit, yang cuma ilusi.<br />
<br />
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei<br />
adalah juga tubuh kami.<br />
Api ingin membersihkan tubuh maya<br />
dan tubuh dusta kami dengan membakar habis<br />
tubuhmu yang cantik, Mei.<br />
<br />
Kau sudah selesai mandi, Mei.<br />
Kau sudah mandi api.<br />
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya<br />
ketika tubuhmu hancur dan lebur<br />
dengan tubuh bumi;<br />
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan<br />
nama dan warna kulitmu, Mei. <br />
<br />
(Pacar Senja, hal. 120) <br />
<br />
Sajak ini terdiri dari empat bait yang masing-masing tidak mementingkan rima. Sebagaimana juga dalam sajak-sajak Joko Pinurbo yang lain, kalimat-kalimatnya tersusun rapih, kadang-kadang menempati dua atau tiga larik, sehingga memungkinkan adanya lompatan sintaksis, enjambemen.<br />
<br />
Dalam sajak ini, kerusuhan bulan Mei digambarkan bagai tubuh gadis yang cantik. Lagi pula, Mei bisa jadi nama seorang perempuan Cina, misalnya: Mei-Mei, Mei-Lan, Mei-Ling, dan seterusnya. Salah satu keahlian Joko Pinurbo adalah mengemukakan pisau bermata dua. Apabila pembaca menganggap Mei itu nama seorang perempuan, maka ia berhadapan dengan tragedy satu anak manusia, namun bila ia menganggap Mei sebagai personifikasi dari waktu (bulan Mei), maka ia berhadapan dengan tragedi bangsa yang terjadi pada bulan Mei 1998. Tak ada gambaran yang hebat mengenai peristiwa kerusuhan itu, namun justru api digambarkan bagai seseorang yang mencintai dan melumat kekasihnya. Namun, yang dilumatnya "cuma warna, cuma kulit, dan cuma ilusi". Jadi yang dibakar para perusuh itu bukanlah esensi manusia, melainkan hanya kulit luar dan bayangan saja. Gagasan ini dipertegas lagi dalam larik-larik berikutnya: "Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami dengan membakar habis tubuhmu yang cantik, Mei" Memang, kerusuhan bulan Mei itu muncul karena adanya kebohongan, dusta yang bisa membangun gagasan-gagasan yang maya, ilusi semata. Itulah sebabnya Joko menghubungkan api dengan mandi "Kau sudah mandi api". Sebagaimana dalam sajak-sajaknya yang lain, mandi bagi Joko adalah pembersihan diri. Itulah beberapa sajak Joko yang mengemukakan kegalauan masyarakat: berhektar-hektar hutan yang berubah menjadi megaindustri, kesengsaraan rakyat ibukota yang naik bus dan kerusuhan bulan Mei. Hal ini saya soroti untuk menepis anggapan bahwa dalam sajak-sajaknya, Joko Pinurbo hanya sibuk dengan diri manusia.<br />
<br />
Selanjutnya, marilah kita cermati tema yang hadir pada sajak-sajak Joko Pinurbo. Dalam waktu yang terbatas ini, tentu tidak mungkin saya membahas semua sajak yang jumlahnya seratus itu, jadi saya hanya akan membahasnya secara keseluruhan karya dengan mengambil beberapa bagian sajak sebagai cuplikan. Untuk menemukan tema utama, maka akan saya cari motif dan sub-motif yang mendukung tema dengan melihat kosakata yang digunakan oleh penyair.Motif pertama yang tampak menonjol adalah motif kematian yang didukung oleh kata-kata: kuburan yang hadir hampir di semua sajak, kemudian kata makam, ke-randa, mayat, jenazah, bangkai, korban yang terbantai, kain kafan, batu-batu nisan, dan yang lainnya. Apa makna kematian bagi penyair? Kalau kita perhatikan, kematian bagi Joko Pinurbo tidaklah terlalu menakutkan, hampir di setiap sajaknya dia menggunakan kata kuburan. Misalnya dalam sajak "Celana 1":<br />
<br />
(…)<br />
"Kalian tidak tahu ya,<br />
aku sedang mencari celana<br />
yang paling pas dan pantas<br />
buat nampang di kuburan."<br />
(…) (Pacar Senja, hal.3)<br />
<br />
Atau dalam sajak "Celana 3":<br />
(…)<br />
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih<br />
yang menunggunya di pojok kuburan.<br />
(…) (Pacar Senja, hal 5)<br />
<br />
"Kisah Senja":<br />
(…)<br />
Istrinya masih asyik di depan cermin, menghabiskan<br />
bedak dan lipstik, menghabiskan sepi dan rindu."<br />
Aku mau piknik sebentar ke kuburan. Tolong jaga<br />
rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri masuk<br />
mengambil buku harian dan surat-suratmu."<br />
(…)<br />
(Pacar Senja, hal. 18)<br />
<br />
Dalam "Boneka 2":<br />
(…)<br />
"Mungkin ia sudah bosan dengan kita," gajah berkata.<br />
"Mungkin sudah hijrah ke lain kota" anjing berkata.<br />
"Mungkin pulang ke kampung asalnya" celeng berkata.<br />
"Ah, ia sedang nonton dangdut di kuburan,"<br />
monyet berkata. "Siapa tahu ia tersesat<br />
di tanah leluhur kita," yang lain berkata.<br />
(…)<br />
(Pacar Senja, hal. 26)<br />
<br />
"Pulang Malam":<br />
(…)<br />
Di atas puing-puing mimpi<br />
dan reruntuhan waktu<br />
tubuh kami hangus dan membangkai<br />
dan api siap melumatnya<br />
jadi asap dan abu.<br />
Kami sepasang mayat<br />
ingin kekal berpelukan dan tidur damai<br />
dalam dekapan ranjang. (Pacar Senja, hal 69)<br />
<br />
"Kain Kafan":<br />
Kugelar tubuhku di atas ranjang<br />
seperti kugelar kain kafan yang telah dibersihkan.<br />
(…)<br />
Kulipat tubuhku di atas ranjang<br />
seperti kulipat kain kafan<br />
yang kaujadikan selimut tadi malam. (Pacar Senja, hal.79)<br />
<br />
"Perias Jenazah":<br />
(…)<br />
Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah<br />
yang akan diriasnya sangat mirip dengan dirinya.<br />
Kemudian ia menangis tersedu-sedu sambil dipeluknya<br />
jenazah perempuan yang malang itu. "Biar kurias parasmu<br />
dengan air mataku sampai sempurna ajalmu."<br />
Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggald<br />
an tak ada yang meriasnya. Jenazahnya tampak lembut<br />
dan cantik, dan arwah-arwah yang pernah didandaninya<br />
pasti akan sangat menyayanginya.<br />
(…)<br />
(Pacar Senja, hal. 37)<br />
<br />
Sajak "Mudik":<br />
(…)<br />
Nenek sedang meninggal dunia.<br />
Tubuhnya terbaring damai di ruang do’a,<br />
ditunggui boneka-boneka lucu kesayangannya.<br />
(…)<br />
(Pacar Senja, hal. 95-96)<br />
<br />
Demikianlah gambaran kematian. Kuburan bagi Joko adalah tempat nampang, tempat menunggu kekasih, tempat piknik, tempat nonton dangdut. Dalam "Pulang Malam" memang ada gambaran yang agak keras "tubuh kami hangus dan membangkai", tetapi gambaran yang keras itu dihaluskan kembali pada bait selanjutnya "Kami sepasang mayat ingin kekal berpelukan dan tidur damai dalam dekapan ranjang.", sedangkan gambaran kain kafan disamakan saja dengan kain putih dan selimut. Gambaran kematian yang mengharukan tampak pada sajak "Perias Jenazah". Jenazah itu dirias dengan air mata. Dan ketika pada gilirannya si perias jenazah itu meninggal, jenazahnya kelihatan lembut dan cantik, meski pun tak ada yang meriasnya, karena ia disayangi oleh arwah-arwah yang pernah diriasnya. Dalam sajak "Mudik" kematian juga tidak menampilkan wajah yang menakutkan, melainkan wajah ketenangan dan kedamaian. <br />
<br />
Marilah kita lihat motif yang ke dua, yaitu motif berlarinya waktu. Motif ini sangat menonjol. Bahkan lebih dari 25% dari judul sajak menggunakan kosakata yang mengandung komponen makna waktu, yaitu: "Terkenang Celana Pak Guru", "Perjamuan Petang", "Selepas Usia 60", "Kisah Senja", "Gadis Malam di Tembok Kota", "Bercukur sebelum Tidur", "Perempuan Senja", "Gadis Enam Puluh Tahun", "Kecantikan Belum Selesai", "Pacar Senja", "Kisah Semalam", "Doa sebelum Mandi", "Pulang Malam", "Penumpang Terakhir", "Telpon Tengah Malam", "Tuhan Datang Malam Ini", "Minggu Pagi di Sebuah Puisi", "Mei", "Ronda", "Baju Bulan", "Bayi di Dalam Kulkas", "Surat Malam untuk Paska", "Selamat Tidur", "Penjual Kalender", "Februari yang Ungu". Ini baru judul saja, tentu perhitungan ini tidak akurat. Seharusnya semua sajak diteliti satu per satu. Meskipun demikian, melihat jumlah judul sajak, kita sudah dapat melihat bahwa tema waktu sangat dominan. Kini marilah kita lihat bagaimana "wajah" waktu ditampilkan oleh penyair. <br />
<br />
Sajak "Di Salon Kecantikan":<br />
<br />
(…)<br />
Senja semakin senja.<br />
Jarinya meraba kerut di pelupuk mata.<br />
Tahu bahwa kecantikan hanya perjalanan sekejap<br />
yang ingin diulur-ulur terus<br />
namun toh luput juga.<br />
Karena itu ia ingin mengatakan,<br />
Mata, kau bukan lagi bulan binal<br />
yang menyimpan birahi dan misteri.<br />
Ia pejamkan matanya sedetik<br />
dan cukuplah ia mengerti<br />
bahwa gairah dan gelora<br />
harus ia serahkan pada usia.<br />
Toh ia ingin tegar bertahan<br />
dari ancaman memori dan melankoli.<br />
Ia seorang pemberanidi tengah kecamuk sepi.<br />
(…)<br />
Mengapa harus menyesal?<br />
Mengapa takut tak kekal?<br />
Apa beda selamat jalan dan selamat tinggal?<br />
Kecantikan dan kematian bagai saudara kembar<br />
yang pura-pura tak saling mengenal.<br />
"Aku cantik. Aku ingin tetap mempesona.<br />
Bahkan jika ia yang di dalam cermin<br />
merasa tua dan sia-sia."<br />
Yang di dalam kaca tersenyum simpul<br />
dan menunduk malu<br />
melihat wajah yang diobrak-abrik tatawarna.<br />
Alisnya ia tebalkan dengan impian.<br />
Rambutnya ia hitamkan dengan kenangan.<br />
Dan ia ingin mengatakan,<br />
Rambut, kau bukan lagi padang rumput<br />
yang dikagumi para pemburu.<br />
(…)<br />
"Aku minta sedikit waktu lagi<br />
buat tamasya ke dalam cemas.<br />
Malam sudah hendak menjemputku<br />
di depan pintu."<br />
(…)<br />
Senja semakin senja.<br />
Kupu-kupu putih hinggap di pucuk payudara.<br />
Tangannya meremas kenyal yang mrucut<br />
dari sintal dada.<br />
Dan ia ingin mengatakan,<br />
Dada, kau bukan lagi pegunungan yang indah<br />
yang dijelajahi para pendaki.<br />
(…) <br />
(Pacar Senja, hal. 19-22)<br />
<br />
Berbeda dengan "kematian", wajah "waktu" menampilkan kecemasan yang sangat kuat. Si narator tahu bahwa ia harus menyerahkan segalanya pada usia, namun ia tetap "tegar melawan ancaman memori dan melankoli" Jeritan hatinya sangat menyentuh. Ia mempertanyakan mengapa harus menyesal dan mengapa takut tak kekal. "menyesal" dan "tak kekal" adalah dua hal yang tak dapat dirubah lagi dengan berlarinya waktu tanpa memperdulikan usahanya untuk menentang waktu dengan menggunakan salon kecan-tikan. Ia tahu bahwa usahanya akan sia-sia, namun di akhir sajak, dia menjadi tabah. Motif berlarinya waktu ini, tampak pula dalam sajak "Pacar Senja":<br />
<br />
(…)<br />
"Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat<br />
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas ciummenjadi bekas." (…) (Pacar Senja, hal. 45)<br />
<br />
Sementara itu, ada pula gambaran waktu yang tidak begitu menakutkan, contoh sajak "Mudik":<br />
<br />
(…)<br />
Waktu kadang begitu simple dan sederhana:<br />
Ibu sedang memasang senja di jendela.<br />
Kakek sedang menggelar hujan di beranda.<br />
Ayah sedang menjemputku entah di setatsiun mana.<br />
(…)<br />
Begitu simpel dan sederhana, sampai aku tak tahu<br />
butiran waktu sedang meleleh dari mataku.<br />
Dalam sajak di atas, waktu tidak tampil sebagai sosok yang menakutkan, melainkan sebagai hal yang mengharukan, karena butiran waktu yang meleleh adalah air mata kenangan yang dimiliki si aku narrator. Hal yang sama tampak pula dalam sajak "Penjual Kalender":<br />
<br />
(…)<br />
Lelaki tua berulang kali menghitung receh di tangan,<br />
barang dagangannya sedikit sekali terbeli.<br />
"Makin lama waktu makin tidak laku," ia berkeluh sendiri.<br />
Anaknya tertidur pulas di atas tumpukan kalender<br />
yang sudah mereka jajakan berhari-hari.<br />
Lelaki tua membangunkan anaknya. "Tahun baru<br />
sudah tiba, Plato. Ayo pulang. Besok kembalikan saja<br />
kalender-kalender ini kepada pengrajin waktu."<br />
(…)<br />
Tuan kecil segera ingin menyambung tidurnya.<br />
Ibunya menepuk pantatnya: "Kau telah dinakali waktu,<br />
Buyung? Kok tubuhmu terhuyung-huyung?"<br />
Ia ibu yang pandai merawat waktu. Terberkatilah waktu.<br />
Dengan sabar dibongkarnya tumpukan kalender itu.<br />
Ha! Berkas-berkas kalender itu sudah kosong,<br />
ribuan angka dan hurufnya lenyap semua. Dalam sekejap<br />
ribuan kunang-kunang berhamburan memenuhi ruangan.<br />
<br />
Gambaran waktu pada sajak di atas tidak bersifat gamblang seperti yang lainnya. Memang waktu telah berlalu, sehingga kalender itu tidak laku lagi. Di satu pihak, waktu seakan dianggap sebagai benda, ada pengrajin waktu yang mengaturnya. Di lain pihak, waktu juga dipersonifikasikan, sehingga si ibu menanyakan apakah anaknya telah dinakali waktu. Memang tanpa terasa, waktu sering menipu atau menakali manusia. Namun pada akhir sajak, dikatakan bahwa berkat kepandaian ibunya merawat waktu, atau menggunakan waktu, maka angka-angka dan huruf pada kalender dapat berubah menjadi kunang-kunang. Binatang-binatang kecil yang hidup di waktu malam berkelap-kelip, bercahaya dan nampak indah. Mungkin saja hal itu merupakan metafora dari harapan-harapan manis si ibu. Kejengkelan pada waktu tampak dalam sajak "Anjing":<br />
<br />
Rumahku dijaga dua anjing cerdas: anjing sungguhan<br />
dan anjing-anjingan. Anjing sungguhan sungguh cerewet<br />
dan sok polisi: sepi berkelebat sedikit saja<br />
ia sudah panik, lalu menyalak keras sekali.<br />
Anjing-anjingan sungguh kalem lagi pemalu:<br />
maklum, tubuhnya terbuat dari waktu, eh batu.<br />
Entah mengapa malam lebih takut pada anjing-anjingan<br />
ketimbang pada anjing sungguhan sehingga anjing<br />
sungguhan jadi cemburu. "Aku yang sibuk menjaga<br />
rumah ini, kau yang lebih ditakuti. Dasar anjing!"<br />
kata anjing sungguhan kepada anjing-anjingan.<br />
<br />
Sajak ini lebih bersifat "canda", sehingga penampilan waktu di sini tidak menakutkan. Klausa "tubuhnya terbuat dari waktu, eh batu" menunjukkan canda itu. Namun kejengkelan terhadap waktu sangat terasa. Seruan si anjing asli : "Dasar anjing!" menunjukkan perasaan jengkel itu.<br />
<br />
Selanjutnya, sebagai motif yang ke tiga kita lihat motif manusia yang terdiri yaitu Ibu, Bayi, dan Tubuh. Yang termasuk sub-motif Ibu adalah: perempuan, kekasih, pacar, gadis, dan lain-lain. 13 dari 100 judul sajak, termasuk sub-motif Ibu. Judul-judul itu adalah: "Celana Ibu", "Gadis malam di Tembok Kota", "Perempuan Senja", "Gadis Enam Puluh Tahun", "Pacar Senja", "Ranjang Ibu", "Penyair Kecil", "Pohon Perempuan", "Mei", "Perempuan Jakarta", "Pacar Kecilku", "Kekasihku", "Ibuku".<br />
<br />
Ibu adalah sosok yang digambarkan kuat dan penuh kreasi.. Dia memberikan bekal pada putra-putrinya, bahkan Jesus pun sebelum pergi ke surga mendapat bekal dari ibunya. Hal ini tampak dalam sajak "Celana Ibu":<br />
<br />
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya<br />
mati di kayu salib tanpa celana<br />
dan hanya berbalutkan sobekan jubah<br />
yang berlumuran darah.<br />
<br />
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit<br />
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang<br />
ke kubur anaknya itu, membawakan celana<br />
yang dijahitnya sendiri.<br />
<br />
"Paskah?" tanya Maria.<br />
"Pas sekali, Bu." jawab Yesus gembira.<br />
<br />
Mengenakan celana buatan ibunya,<br />
Yesus naik ke surga.<br />
<br />
(Pacar Senja, hal. 14)<br />
<br />
Di sini kita lihat kecintaan seorang ibu. Bahkan Yesus menerima celana buatan ibunya dengan gembira.Sang ibu sedih melihat penderitaan anaknya, dan ia berusaha untuk menguranginya. Celana bukan berarti pakaian biasa, melainkan juga penutup aurat yang pertama. Celana untuk sang putra dijahit sendiri oleh ibundanya, di situlah letak kecintaan si ibu. Ibu juga kerap digambarkan menderita, seperti tampak pada "Ranjang Ibu":<br />
<br />
Ia gemetar naik ke ranjang<br />
sebab menginjak ranjang serasa menginjak<br />
rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.<br />
Dan bila sesekali ranjang berderak datau berderit,<br />
serasa terdengar gemeretak tulang<br />
ibunya yang sedang terbaring sakit. <br />
<br />
(Pacar Senja, hal. 84)<br />
<br />
Begitu besar penderitaan si Ibu, sehingga sang anak selalu merasa mendengar gemeretaknya tulang ibu. Hal ini menunjukkan bahwa si ibu selalu bekerja keras. Sajak lain menggambarkan kebahagiaan seorang anak yang berada dalam asuhan ibunya.<br />
<br />
<b>Ibuku</b><br />
<br />
Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku.<br />
Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan<br />
ibuku, sambil membayangkan dan bertanya ini itu.<br />
Aku pun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat<br />
yang belum kukenali. Ketika bangun, kurasakan basah<br />
di celana. Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda.<br />
<br />
(Pacar Senja, hal. 145)<br />
<br />
Betapa penuh kebahagiaan si narator yang sedang dimanja oleh ibunya.Inilah kebahagiaan masa kecil yang tak terlupakan. Selain memanjakan, si ibu juga mendidiknya dengan baik, ia selalu menyuruhnya membaca, sehingga setelah dewasa, si anak merasa ibunya telah menjadi buku dan akan tetap menuntunnya. Kecintaan seorang ibu pada anaknya, memang tak terbatas. Bahkan anaknya yang durhaka pun masih ingin dilindunginya. Gagasan ini tampak dalam sajak "Pohon perempuan" (Pacar Senja, hal. 119). Joko Pinurbo banyak menggambarkan perempuan dalam penderitaannya. Sajak "Perempuan Jakarta" menampilkan penderitaan seorang perempuan malam di Jakarta.<br />
<br />
(…)<br />
Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan<br />
dengan airmata yang disembunyikan.<br />
Di halaman para demonstran pesta pora<br />
mengibarkan kata, mengibarkan celana.<br />
"Ayo, kita sergap dia!"<br />
"Ayo tangkap saya!" ia menantang<br />
sambil pamerkan pantatnya yang matang.<br />
Mereka lalu mengepungnya,<br />
ingin meraih wajahnya, meraih sakitnya.<br />
"Rebutlah aku!" ia merayu<br />
dan mereka siap menyerbu.<br />
(…)<br />
(Pacar Senja, hal.121)<br />
<br />
Penderitaan perempuan nakal tampak lebih mengigit lagi dalam sajak "Gadis Malam di Tembok Kota":<br />
<br />
(…)<br />
Wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;<br />
leher langsat yang menyimpan jeritan;<br />
dada segar yang mengentalkan darah dan nanah;<br />
dan lubang sunyi, di bawah pusar,<br />
yang dirimbuni rumput berduri.<br />
<br />
(…)<br />
Dan dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya<br />
dada yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka<br />
yang menyerahkan diri pada sembilu. <br />
<br />
(Pacar Senja, hal. 23, 24)<br />
<br />
Setelah pembahasan motif secara agak mendalam, kini marilah kita lihat keseluruhan motif, meskipun, karena ketiadaan waktu, motif selanjutnya tidak akan dibicarakan secara rindi bersama sajak-sajaknya. Meskipun demikian, pembahasan berikut akan menampilkan hubungan antara satu motif dengan yang lainnya sehingga tema dapat lebih dipahami dengan baik.<br />
<br />
Setelah pembicaraan tentang sub-motif perempuan, kini akan dilihat kehadiran sub-motif laki-laki. Sub-motif ini tidak begitu banyak, dalam judul sajak terdiri dari 6 judul, yaitu : "Terkenang Celana Pak Guru", "Tukang Cukur", "Penjual Buah", "Loper Koran", "Ronda", "Penjual Bakso", dan lain-lain. Sub-motif ini tidak akan disoroti karena tidak dominan. Yang menarik adalah sub-motif benda dan ruang, yaitu tempat tidur, ranjang, kamar mandi yang cukup banyak terlihat dalam judul., yaitu: "Toilet", "Pulang Mandi", "Di Sebuah Mandi", "Do’a sebelum Mandi", "Antar Aku ke Kamar Mandi", "Mandi". Setelah itu ada "Ranjang Putih", "Tahanan Ranjang", "Ranjang Ibu", "Rumah Kontrakan". Dari analisis sajak, tampak bahwa yang banyak digunakan penyair untuk menyebut ruang adalah kamar mandi dan ranjang. Kamar mandi sering muncul sebagai pembersih jiwa dan raga, pembersih dosa. Sedangkan ranjang justru digunakan untuk berbuat dosa. Peristiwa mandi banyak dikemukakan demikian juga peristiwa hubungan seksual, bahkan juga perkosaan. Seks banyak ditampilkan dalam berbagai sajak, meskipun dalam judul hanya ada satu: "Di Sebuah Vagina". Obsesi pembicaraan tentang seks ini, timbul dari keinginan untuk menggambarkan penderitaan kaum perempuan, sebagai objek yang dieksploitir.<br />
<br />
Sementara itu pakaian merupakan motif penting. Meskipun demikian, sebagaimana juga ruang, tak banyak jenis pakaian yang muncul. Yang sering kita lihat adalah celana yang digunakan sebagai judul tiga buah puisi berturut-turut ("Celana 1", "Celana 2" dan "Celana 3"). Selain itu, sarung atau kain sarung juga sering muncul dalam sajak Joko. Keduanya mempunyai persamaan, yaitu penutup tubuh bagian bawah (penutup aurat yang utama). Tak ada lagi pakaian lain yang sering disebut, kecuali celana dan kain sarung. Misalnya, dalam sajak perjamuan petang, celana memegang peran penting.<br />
<br />
Akhirnya, tema apakah yang dapat terbentuk dari motif-motif ini? Telah dikemukakan bahwa motif kuburan dan motif berlarinya waktu adalah dua motif yang sangat dominan. Keduanya berkaitan erat, karena ujung berlarinya waktu adalah kuburan. Yang agak istimewa adalah gambaran kuburan tidaklah menakutkan, melainkan tempat yang menyenangkan (tempat pertemuan kekasih, tempat piknik atau nonton dangdut). Sebaliknya, tema waktu tampak sebagai sesuatu yang menakutkan, menyedihkan dan menjengkelkan. Jadi rupanya waktulah yang menjadi persoalan dalam sajak-sajak ini. Mungkin kekhawatiran untuk menjadi tua, tidak cantik dan kehilangan keperkasaan, merupakan hal yang menakutkan. Bahkan lebih menakutkan dari kematian itu sendiri. Sementara itu banyaknya gambaran tentang hubungan seks beserta ranjangnya dan tempat pembersihan dosa (kamar mandi) yang dilanjutkan dengan gambaran mengenai kebahagiaan bersama ibu mendukung tema awal kehidupan. Tema ini bersambung dengan kehidupan dalam masyarakat , dalam kekhawatiran akan berlalunya waktu dengan cepat dan semua akan berakhir di kuburan. Jadi, dapat dikatakan bahwa tema keseluruhan sajak Joko Pinurbo adalah siklus kehidupan manusia.<br />
<br />
*Disajikan dalam seminar Gelar Sastra Dunia, FIB-UI, 19-20 Juli 2005Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4290229572927418291.post-41918014834388946502010-05-05T10:34:00.001+07:002010-09-02T16:02:26.391+07:00(Catatan Sapardi)Kekuatan puisi Joko bersumber pada ironi yang ditata terutama dengan personifikasi, yang menyebabkan semua benda –tak terkecuali yang abstrak—menjadi manusiawi. Puisi Joko tidak disusun dalam kalimat yang tidak ada logikanya, dan memang seharusnya demikian sebab puisi harus disusun dalam bahasa yang logis. Barangkali sajaknya yang berjudul “Selepas Usia 60”, sajak yang paling saya sukai dalam antologi ini, dapat dijadikan contoh. Sajak ini sebuah lirik meskipun penyair menderetkan sejumlah adegan yang disusun dengan citraan yang sangat tajam. Seorang yang berdiri dekat jendela, tingkah anak kecil yang bermain silat, anak kecil yang belajar mengenakan celana, ibu yang mengintip –misalnya—membentuk citraan yang konkret, yang tidak membedakan kini dan lampau tetapi mengalir sebagai penghayatan terhadap kehidupan, mungkin tepatnya usia tua.<br />
<br />
Kontras antara manula dan balita dalam sajak ini ternyata justru mengaburkan, di samping juga sekaligus menegaskan, batasnya. …. Teknik penulisan puisi Joko didasarkan pada penyusunan citraan; di dalamnya segala hal yang abstrak menjadi konkret. Ini landasan utama puisi. Puisi tidak abstrak; ia konkret sebab merupakan penghayatan, bukan slogan yang isinya berupa konsep. Satu bait sajak itu saya kutip untuk menegaskan hal itu.<br />
<br />
<small>Selepas usia 60 saya sering terdiam di muka jendela, <br />
mengamati tingkah anak kecil yang lucu-lucu. <br />
Saat sekecil mereka saya baru fasih mengucapkan <i>nana</i>, <br />
maksudnya celana, dan saya belajar keras memakai celana <br />
dan sering keliru: kadang terbalik, kadang seliritnya <br />
menjepit dindaku. Ibu curang: diam-diam mengintip <br />
lewat celah pintu. Baru setelah ananda terjengkang <br />
karena dua kaki masuk ke satu lubang, ibu buru-buru <br />
menyayang-nyayang pantatku: <i>Jangan menangis, jagoanku. <br />
Celana juga sedang belajar memakaimu</i>.</small><br />
<br />
Dalam kutipan itu tampak bahwa kontras, ironi, dan paradoks menyatu lewat citraan dan metafor yang jernih, yang memungkinkan pembaca menangkap rangkaian gambar yang menawarkan berbagai tafsir. Dalam tafsir mana pun, tidak akan jelas apakah ini mengenai kesedihan atau kelucuan. Joko telah menempatkan penghayatannya terhadap kehidupan dalam suasana yang tergantung antara keduanya. Ini juga terbaca dari gambar tentang anak lelaki yang belajar memakai celana dan ucapan ibunya yang menyatakan bahwa “celana juga sedang belajar memakaimu”. Tidak lebih dan tidak kurang, kekuatan puisi Joko Pinurbo berlandaskan pada penguasaan bahasa yang kokoh. Kalimat, frasa, dan kata yang disusunnya menunjukkan taraf keterampilan berbahasa yang tinggi, yang menyebabkannya mampu memutarbalikkan logika secara logis.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">(Sapardi Djoko Damono, Pengantar Antologi Puisi 10 Penyair,</div><div style="text-align: right;"><i>Dari Seberang Cuaca</i>, Warung Apresiasi, Jakarta, Oktober 2004)</div>Joko Pinurbohttp://www.blogger.com/profile/08385547280353409209noreply@blogger.com