Keteguhan Jokpin Mencium Puisi

Pikiran Rakyat, Kamis, 02 Agustus 2007)

Denny Ardiansyah

Judul Buku : Kepada Cium; Kumpulan Puisi
Penulis : Joko Pinurbo
Tebal Halaman : viii; 42 halaman
Tahun Terbit : I, Februari 2007
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

PENYAIR kelahiran Sukabumi 11 Mei 1962 ini kembali melahirkan "anak-anaknya". Tampaknya benar kata Sapardi Djoko Damono, ketika mengulas buku kumpulan puisi pertama Joko Pinurbo (Celana; 1999), bahwa, "Ia berhak mendapat perhatian kita". Sebagaimana diketahui, buku kumpulan puisinya, Celana, telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Trouser Doll (2002). Jika Trouser Doll juga dihitung, Kepada Cium adalah buku kumpulan puisi ke-8 dari Joko Pinurbo.

Dia tetap saja setia dengan wilayah imaji yang sederhana, berkutat dengan pengalaman sehari-hari yang ringan. Dalam buku ini masih ada telefon genggam, kamar mandi, ronda, kuburan, dan (tentu saja:) celana. Dengan materi-materi yang ringan, buku kumpulan puisi ini memang diperuntukkan bagi siapa saja.

Laiknya sungai, puisi-puisi Joko Pinurbo (Jokpin) tidaklah meluap-luap tanpa henti. Tak pula senantiasa mengalir dengan tenang. Terasa sekali, untaian bait-baitnya begitu lengkap. Keras dan lembut, liar dan jinak terangkum pada tiap puisi Jokpin. Satu lagi, penggunaan kata-kata yang mudah dicerna membantu kita memahami puisi-puisinya.

Beberapa puisi dalam buku ini pendek saja. Namun, Jokpin tidak membiarkan kita secara pendek memaknainya. Yang tiap kita pikirkan pasti akan sangat berbeda terhadap puisi "Magrib" (hal. 21); "Di bawah alismu hujan berteduh / Di merah matamu senja berlabuh.". Hal sama akan kita temui dalam puisi "Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita?" (hal. 13); "Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan / dari cengkeraman luka".

Pengaruh teknologi yang kian mendesak kita hari ini pun tak luput dari perhatian Jokpin untuk direkam melalui puisi. Interaksi tatap-muka yang menjadi keutamaan dalam masyarakat manusia, kini makin tergeser karena turut campur teknologi. Jokpin seolah mempertanyakan (bahkan mempersoalkan) urgensi teknologi bagi umat manusia melalui puisi.

Dalam "Pesan dari Ayah" (hal. 3) misalnya, Jokpin berkisah puisi tentang satu keluarga; ada bapak, ibu, dan satu orang anak. Si anak merantau dan hubungan dengan orang tuanya dibantu dengan telefon genggam berfasilitas pesan pendek. Telefon genggam seolah merenggut perhatian sesama anggota keluarga. Si bapak lebih senang duduk berdua dengan telefon genggam di bawah pohon sawo yang tumbuh di belakang rumah. Melalui telefon genggam, kebajikan bapak pun seolah meluntur dengan menulis "Balas!" di akhir sebuah pesan pendek kepada anaknya. Puisi lima bait itu ditutup dengan kegetiran ironis Jokpin: "Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu / puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis / hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan, / lalu Ayah membopong tubuhku yang masih lugu / dan membaringkannya di ranjang ibu".

Jokpin pun senantiasa setia membawa kita pada ranah imaji yang mengimpitkan realitas dua-an: suka-duka, manis-pahit, ramai-sepi. Tentu saja, ini merupakan usaha keras Jokpin dalam melakukan sakralisasi terhadap tiap kata yang menghuni puisinya. Tak ada kata yang muncul secara percuma dalam larik-larik tiap puisi Jokpin. Bahkan, Jokpin kembali hadir dengan beberapa frase baru melalui buku ini. Tengok saja frase pada "Harga Duit Turun Lagi" (hal. 14): "dan ampunilah kemiskinan kami....". Atau "Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu." yang termaktub dalam "Kepada Uang" (hal. 18).

Satu sayang untuk buku ini. Ia lahir tanpa ada bubuhan dari orang lain. Pada beberapa buku kumpulan puisi sebelumnya, Jokpin hadir bersama ulasan dari Sapardi Djoko Damono ("Celana"; 1999), Ignas Kleden ("Di Bawah Kibaran Sarung"; 2001), Nirwan Dewanto ("Telepon Genggam"; 2003) dan Ayu Utami ("Pacar Senja"; 2005). Kehadiran para pengulas, tentu sangat bermanfaat sekali pada sebuah buku kumpulan puisi seorang penyair. Mereka bisa menjadi semacam penunjuk arah kepada pembaca ketika memasuki "rimba raya makna" yang menghampar dalam sebuah buku puisi.

Denny Ardiansyah, berkhidmat di Komunitas Sosial Suka Sastra/Kaos-Sastra