Joko Pinurbo; Mengapa Kematian, Penyairku?

AYU UTAMI

Kerap saya menonton ia membacakan sajaknya. Penyair ceking itu membaca tanpa ekspresi. Namun kekuatan kata-katanya senantiasa membuat orang tergelitik. Banyak kali sajaknya membuat penonton terbahak. Lain kali orang menghela nafas masygul. Acap mereka terkikik dan terganggu sekaligus. Sebetulnya, sajak utamanya jarang mengajukan keindahan, baik dalam citra maupun bunyi—dengan kata lain, sajaknya jarang ‘puitis’—tetapi sajak-sajak itu seolah melampaui estetika, menyentuh wilayah peka manusia.

Joko Pinurbo adalah antitesis ‘aliran Rendra’. Tentu ia bukan yang pertama jika dipertentangkan dengan Burung Merak itu. Di tahun 70-an ada puisi mbeling yang diperkenalkan Remy Sylado alias Japie Tambajong. Itu adalah puisi dan tulisan nakal dengan kata-kata kasar dan dasar yang dengan sengaja mau mengorak estetika sastra yang mapan. Toh si Burung Merak dan Bengkel Teater-nya menegakkan pengaruh yang tak terbantahkan pada generasi penyair berikutnya, baik dari bentuk puisi maupun segi pertunjukan. Tak ada sampai kini yang menandingi Rendra, pada masa jayanya, dalam menjelmakan puisi sebuah pertunjukan spektakular. Para peniru yang gagal pun tetap menghasilkan deklamasi.

Joko Pinurbo—generasi anak Rendra, lahir tiga puluh tahun setelah penyair besar itu—adalah kebalikan segalanya. Ia naik ke panggung dengan sederhana. Penampilannya seperti orang kebanyakan yang menjaga kesantunan umum—tanpa anting-anting, rambutnya pendek, ujung bawah kemeja dimasukkan dalam celana, kaus singlet di baliknya, sepatunya pantovel ataupun sepatu sandal bersahaja dan bukan buts yang perkasa. Lalu ia membaca tanpa atraksi, tanpa tekanan, tanpa teriak, tanpa drama. Tanpa kegarangan. Bahkan tanpa keindahan pada puisinya. Ia suka duduk diam-diam dan ia tak suka bersengketa.

Lantas di mana kekuatannya? Tentu ada sejumput sajaknya yang liris. Tetapi ia bukan Goenawan Mohamad atau Sapardi Djoko Damono—saya curiga ia dekat selera dengan dua sekawan penyair ini—yang secara keseluruhan menghasilkan sajak-sajak liris untuk dibaca dalam sunyi. Tidak Joko Pinurbo. Meskipun ia mengaku kagum pada karya liris penyair tua itu, kata-kata dalam sajaknya sendiri sering sungguh banal, sedang subjeknya sungguh sehari-hari. Ia bicara soal celana, toilet, kamar mandi—hal yang tidak menggugah, tidak erotis, dan terlalu domestik. Ia bukan Malin Kundang yang takjub pada bandar-bandar di penjuru dunia.[1] Pelesirnya hanya antara “kamar mandi dan ruang tamu”. Maka, kekuatan penyair ini ada pada alur sajaknya yang lateral, nyeleneh, namun serentak tulus. Ia istimewa sebab kenakalannya tidak politis melainkan apa adanya. Ketulusannya membedakan sajak-sajak ini dari puisi mbeling yang berpolitik.

Karya Joko dimungkinkan untuk nyeleneh lantaran bentuknya yang bercerita. Secara umum, sajaknya adalah sajak yang bercerita. Itu ciri utamanya. Barangkali sebagian bisa dianggap golongan cerita mini juga. Bentuk ini punya konsekuensi yang menguntungkan penyair. Yaitu, bahwa pembaca menduga sebuah alur dan sebuah akhir. Dari anggapan awal yang tak sepenuhnya disadari inilah Joko mengemudikan cerita mininya kepada alur dan akhir yang tak terduga, menyangkutkannya pada simpul-simpul yang aneh pula. Simpul-simpul ini kerap kali adalah tema-tema besar tersembunyi yang muncul secara ganjil seperti simptom ketegangan saraf.

Salah satu sajaknya yang paling dikenang orang, bahkan dibaca dan diapresiasi oleh anak-anak sekolah,[3] adalah sajak “Celana, 3”. Celana, benda sehari-hari ini—semua manusia modern memakai celana, adalah salah satu subjek penting, muncul berulang kali dengan peran utama maupun sebagai sekadar properti. Tampak hubungan erat antara sajak “Celana, 1” dan “Celana, 3”. Bahkan seri 3 seperti melanjutkan seri 1. Keduanya mengusulkan tokoh utama seorang pria yang / ingin membeli celana baru / buat pergi ke pesta / supaya tampak lebih tampan / dan meyakinkan. / (Lalu, pria itu) mencoba seratus model celana / di berbagai toko busana / namun tak menemukan satu pun / yang cocok untuknya. / Bahkan di depan pramuniaga / yang merubung dan membujuk-bujuknya / ia malah mencopot celananya sendiri / dan mencampakkannya. / “Kalian tidak tahu ya, / aku sedang mencari celana / yang paling pas dan pantas / buat nampang di kuburan.” / Lalu ia ngacir / tanpa celana / dan berkelana / mencari kubur ibunya / hanya untuk menanyakan, / “Ibu, kausimpan di mana celana lucu / yang kupakai waktu bayi dulu?”

Suatu ketika, akhirnya, pria itu / telah mendapatkan celana idaman / yang lama didambakan / meskipun untuk itu ia harus berkeliling kota / dan masuk ke setiap toko busana. / Ia memantas-mantas celananya di cermin / sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya / pantat tepos yang sok perkasa. / “Ini asli buatan Amerika,” katanya / kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca. / Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih / yang menunggunya di pojok kuburan. / Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.” / Tapi perempuan itu lebih tertarik / pada yang bernaung di dalam celana. / Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!” / Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru / yang gagah dan canggih modelnya, / dan mendapatkan burung yang selama ini / dikurungnya sudah kabur entah ke mana. /

Dua paragraf itu disusun memanjang dari dua sajak, “Celana, 1” dan “Celana, 3”, yang membuka kumpulan puisi ini. Biasanya, ketika dibacakan, orang menangkap kelucuan yang bersifat ironis pada ‘si tolol yang berlagak di dalam kaca’, ‘pantat tepos yang sok perkasa’, ‘nampang di kuburan’, ‘burung yang kabur entah ke mana’, ‘celana yang dipakai waktu bayi’. Membacanya kita pun tahu keduanya tidak memanjakan telinga kita dengan keindahan rima, pertukaran bunyi, atau segala jurus puisi yang terduga maupun yang menakjubkan. Kesederhanaanya bukan kebersahajaan haiku yang menghadirkan benda-benda harian ke dalam kesadaran liris. Tiada ungkapan, tiada penyejajaran, pun personifikasi. Tak ada kata-kata yang nampak berkilat setelah digosok dengan berkeringat. Tiada pertanyaan-pertanyaan menggugat atau aforisme menyengat. Saya kira keduanya memang tidak ingin mengajukan keindahan yang mengejutkan. Biasanya, sekali lagi, penonton tergelitik mendengar dua sajak itu. Dan ini menarik.

Sebab, sesungguhnya, di sana ada yang menghubungkan kita dengan sesuatu yang tak terelakkan dalam kehidupan manusia. Bukan komedi melainkan tragedi: kematian, serta masa kanak-kanak yang permulaannya tak mungkin diingat, yaitu dari rahim ibu. Inilah sesungguhnya dua tema dasar berkaitan yang senantiasa menghantui sajak-sajak Joko Pinurbo. Keduanya bersatu pada sebuah bayangan berupa liang, entah itu liang kuburan atau liang rahim. Liang yang datang bersama warna gelap. Yang satu merupakan awal, yang lain adalah akhir. Dan tema besar itu pun datang sambil lalu dalam sajak “Celana, 1” maupun “Celana, 3”, seolah bukan hal utama, tapi kita bisa melihat bahwa ia menghantui dan menyerang tiba-tiba. Dalam gambaran tentang kuburan. Sang tokoh pergi ke kubur ibu, sementara pacarnya menanti di kuburan. Mengapa kuburan?

Setidaknya sepertiga dari kumpulan puisi ini mengandung kata ‘kuburan’, ‘makam’, ‘nisan’, ‘keranda’, ‘jenazah’, ‘mayat’, ‘mati’ di satu sisi, serta di sisi lain ‘vagina’, ‘garba’, ataupun gambaran yang merupakan substitusi dari ‘rahim’. Jika kita memasukkan kata dan deskripsi lain yang secara semantik berhubungan lebih longgar dengan kematian dan rahim—misalnya tentang penyakit, rasa sakit, ketuaan, kain kafan, tubuh perempuan sebagai tubuh ibu yang susut digerogoti oleh kerja mengandung, melahirkan, menyusui—niscaya hampir tiga perempat kumpulan ini mempunyai dorongan yang sama, sebuah tendensi morbid—dalam arti yang lebih netral. Di beberapa puisi, deret sintagmatik ‘makam’ berkelindan dengan deret sintagmatik ‘vagina’. Seperti dalam puisi “Di Sebuah Vagina” (2002) yang menyiratkan kematian tanpa penyelamatan:

Di sebuah vagina peziarah-peziarah kecil
terbujur hancur sebelum sempat kauberi nama. 

Sebuah sajak lain ditulisnya ketika tokoh pembela rakyat miskin dan seorang rohaniwan Katolik yang dengannya ia amat dekat, Romo Mangun, meninggal dunia. Kali ini, kematian dalam Sajak “Perahu” (1999) mengisyaratkan harapan, meski penyair tetap memelihara ironinya:

Memang ia kandas, dan tenggelam, ke lembah Maria.
Seperti hidup yang karam ke dalam doa. 

Di sini amat jelas ia menggambarkan manusia mati kembali kepada rahim, gelap dan gaib. Namun, ‘kuburan’ sebagai gambaran nyata menempati frekuensi tertinggi untuk menghubungkan kita dengan kematian. Tokoh dalam sajak cerita mini Joko sering sekali keluyuran atau seperti mampir di kuburan tanpa rencana, seolah iseng sehari-hari. Bagi saya ini juga amat menarik. Sebab, kuburanlah yang mempertautkan manusia hidup dan yang mati sambil tetap berjarak.

Goenawan Mohamad, penyair yang disegani Joko Pinurbo, juga menulis tentang kematian. Suasana muram kental dalam sajak maupun esainya. Kematian adalah bagian dari riwayat manusia:

(Maka aneh. Ketika ia mati musim belum lagi mati.
Ketika ia ditanamkan, bunga tumbuh di pusat makam
Dan ketika ia dilupakan matahari
berkata pelan: sayang, memang sayang)

(Goenawan Mohamad, “Riwayat”, 1962)

Aneh barangkali. Tapi ini satu dari amat sedikit, mungkin tak lebih dari lima, sajak Goenawan Mohamad yang mengandung kata makam atau kuburan. Kematian datang, menghantui, dengan cara lain dalam puisi Goenawan Mohamad.

Dalam banyak hal Goenawan Mohamad mempengaruhi Joko. Perkembangan karya Goenawan Mohamad sendiri tak lepas dari pengaruh sajak-sajak Chairil Anwar. Joko Pinurbo lahir tahun 60-an, ketika Goenawan mulai mengepakkan sajaknya. Goenawan lahir tahun 40-an, ketika Chairil mencapai puncak karyanya. Chairil lahir tahun 20-an, ketika Indonesia diperkenalkan kepada sastra dunia. Mereka adalah tiga generasi penyair Indonesia yang masing-masing berjarak 20 tahun (Chairil Anwar, 1922; Goenawan Mohamad, 1941; Joko Pinurbo, 1962). Ketiganya memiliki keterpukauan akut pada kematian. Salah satu sajak awal Chairil Anwar, bahkan sajak paling muka dalam kumpulan yang diterbitkan Horison untuk memperingati 50 tahun kematiannya,[4] adalah “Nisan”. Ia tulis untuk neneknya, tanpa satupun kata mengenai makam:

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta

(Chairil Anwar, Nisan, 1942)

Sajak ini ditulis persis 20 tahun sebelum sajak “Riwayat” Goenawan Mohamad di atas. Inilah kematian yang ditulis Chairil dengan semacam kerelaan, ketika final sungguh sudah tercapai—agak berbeda dengan karyanya yang lain. Di lain tempat kematian hadir sebagai mambang yang membayangi, ditunggu, ditakjubi dan tak ditakuti—sebab ia belum benar-benar datang. Penyair menyambutnya sebagai akhir riwayat dengan gagah. Sekali berarti / Sudah itu mati dalam sajak “Diponegoro” menyiratkan nada angkuh yang sama dengan sajak “Aku” yang mahsyur itu: Kalau sampai waktuku / ‘Ku mau tak seorang pun ‘kan merayu / Tidak juga kau / Tak perlu sedu sedan itu (…) Aku mau hidup seribu tahun lagi / Di kali yang berbeda kematian adalah akhir yang tak terelakkan, tragedi manusia yang toh tak perlu didramatisasi. Maka kematian menjadi liris seperti pada sajak berikut:

kelam dan angin lalu mempesiang diriku
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan kau bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

(Chairil Anwar, “Yang Terampas dan Yang Putus”, 1949)

Kita tahu di tahun yang sama dengan penulisan sajak itu, Chairil Anwar dimakamkan di pemakaman umum Karet. “Nisan” adalah sajak pertamanya, ini adalah yang terakhirnya. Inilah yang kedua: kematian yang liris dan dekat dengan kerinduan yang sensual yang tak terpenuhi. Yang pertama adalah kematian yang heroik. Dua hal yang ada pada Chairil dipertajam oleh Goenawan. Dalam karya Goenawan Mohamad eros dan thanatos menjadi padat, kerelaan dan keganasan berkelindan. Dan Goenawan menambahkan deretan pertanyaan menggugat serta aforisme rangkai jawaban. Apakah kematian sebenarnya? seolah bergaung sepanjang kepenyairannya. Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu (“Asmaradana”, 1971). Perpisahan adalah sebuah isyarat kematian (“Di Pasar Loak”, 1994) Apakah mati sebenarnya?(…) Barangkali mati adalah transformasi, perjalanan ramarama yang sedih yang menghilang ke arah roh: keabadian yang tak tahu telah berubah lazuardi (“Untuk Frida Kahlo”, 1993-94). Namun pertautan antara eros dan thanatos paling nyata dalam sajak “Sang Minotaur”, yang membedakan jauh Goenawan dari Chairil perihal kematian:

(…) kau goyangkan susumuke arah seram dan seluruh bau asam
tatkala hasrat menjulurkan lidahyang merah
ke syahwatyang membasah.
Setelah itu, siuman. Dan kematian
(“Sang Minotaur”, 1996)

Kematian memisahkan tubuh dari jasad. Berbedalah ketiga penyair itu dalam menghayati tubuh melalui sajak mereka. Tubuh dalam karya Chairil Anwar adalah tubuh yang luka, terbuang namun angkuh, tubuh si jalang yang siap menerkam demi harga diri. Tubuh dalam sajak Goenawan Mohamad adalah tubuh yang erotis, dalam terluka, sedih, maupun tidak. Tubuh dalam puisi Joko Pinurbo adalah tubuh rombeng, morat-marit, dan tak sempat peduli soal harga diri. Tubuh tanpa keangkuhan. Tubuh sepah dengan sedikit sisa gairah. Tubuh yang nyaris tak terbedakan dari jasad. Di sinilah, cara memandang perihal tubuh dan kematian pada Joko yang berbeda dari pendahulunya menyebabkan sebuah bentuk penulisan puisi yang khas pula: puisi banal[5] yang tulus. Bahkan, barangkali puisi banal yang sumeleh.

Tubuhyang mulai akrab
dengan saya ini
sebenarnya mayat
yang saya pinjam
dari seorang korban tak dikenal
....

(“Tubuh Pinjaman”, 1999)

Tapi, bagaimana menguji ketulusan sebuah puisi?
Joko Pinurbo mencipta sejumlah puisi liris. Tetapi bukan itu yang membuatnya istimewa. Bukan itu pembaharuannya dalam kesusastraan Indonesia. Kita bisa mulai dengan kembali melihat ‘kuburan’, unsur yang terlalu kerap muncul dalam karyanya. ‘Kuburan’ bukan hal yang hadir kebetulan. ‘Kuburan’ adalah simptom dalam kepenyairan Joko Pinurbo.
Dalam sajak Chairil Anwar maupun Goenawan Mohamad, kematian bisa mengambil wujud heroik maupun liris. Ini menyiratkan kematian sebagai akhir—akhir yang sendu maupun yang gagah. Di sini tak ada jarak antara hidup dan mati, sebab ketika mati maka hidup berhenti. Penghayatan tentang jarak tak ada sebab kematian dan kehidupan tidak menghuni ruang waktu yang sama. Keduanya ada pada matra yang berbeda di mana jarak tak dimungkinkan. Maka tak heran, kuburan hampir tak muncul dalam sajak Chairil maupun Goenawan.
Sebab, kuburan membuat kematian dan kehidupan menempati ruang waktu yang sama. Di sini jarak tercipta antara yang mati dan yang hidup. Di dalam sudut pandang ini, kematian bukan akhir, melainkan ada bersama-sama kehidupan. Karena ada bersama-sama, maka keduanya berjarak. Kuburan adalah tanda sebuah jarak. Jarak mengimplikasikan, secara paradoksal, ruang yang sama.
Jarak—itulah yang istimewa dalam puisi Joko Pinurbo. Ia memandang tragedi manusia dengan berjarak. Ia berbicara tentang kematian dengan ambiguitas akan keterlibatannya. Sebetulnya kematian adalah sesuatu yang eksistensial dan final—manusia tak bisa mati berulang kali—tapi tak ada kata-kata yang dahsyat pada penggarapan atas tema itu. Tak ada unsur sajaknya yang menghidupkan lagu duka, bunga terakhir, dan nyanyian penghormatan. Sebaliknya, kuburan berhubungan dengan hal-hal profan dalam hidup manusia: menunggu pacar, mencari jengkerik, selain untuk menabur kembang. Toh kuburan ada di mana-mana, senantiasa mengingatkan sesuatu kepada kita.
Cara Joko menghayati dalam jarak telah menghasilkan bentuk penulisan sajak yang khas. Sajak cerita yang ambigu. Ambiguitas itu dimungkinkan oleh kebanalannya. Sajaknya menyodorkan ambiguitas antara keseharian dan tragedi, kekanak-kanakan dan keseriusan, ketakpedulian dan kesedihan, antara kementahan (kata-kata) dan kedalaman (subjek). Ketulusan sajak Joko Pinurbo setidaknya dibuktikan oleh konsistensi bentuk sajaknya dan penghayatannya akan jarak. Pula, kita tak menemukan sikap sinis atau sarkas kepada kemapanan. Ia, saya kira, tidak menulis dengan cara ini untuk melawan estetika apapun. Sebab, dalam sajak-sajakya yang liris kita bisa melihat pendekatannya yang berbeda. Ia, saya percaya, menulis begini lebih karena jujur pada penghayatannya.
Lalu, di mana letak penyair dalam masyarakatnya adalah persoalan yang sama peliknya dengan memetakan peran sajak dalam kebudayaan. Tak seperti Chairil Anwar dan Goenawan Mohamad, Joko Pinurbo tidak produktif menulis esai. Ia belum pernah menulis sebagaimana Goenawan menulis “Potret Seorang Penyair sebagai si Malin Kundang”. Ia tak membikin manifesto atau perlawanan sebagaimana Remy Sylado.
Saya bayangkan ia berperan dalam memelihara kejujuran dan kesederhanaan sastra. Joko Pinurbo dengan berhasil menciptakan sajak yang tulus, banal (karena itu pula mutakhir), dan dasar—yang menghubungkan kita kembali dengan dorongan purba untuk terpukau pada liang gelap: liang vagina, liang kubur, bahkan liang kakus. Biasanya penyair mempunyai sebuah sajak yang mengisahkan pergulatan kepenyairannya. Saya menemukannya dalam satu dari sajak-sajaknya yang paling saya kenang, “Bertelur” (2001). Menulis sajak adalah perjuangan melahirkan sesuatu yang mungkin ditolak.

Dengan perjuangan berat alhamdulillah akhirnya aku
bisa bertelur. Telurku lahir dengan selamat,
warnanya hitam pekat. 

Aku ini seorang peternak: saban hari
mengembangbiakkan kata, dan belum kudapat kata
yang bisa mengucapkan kita.
Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku ini.

Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama
tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam
sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan.

Kalau aku lagi asyik mengeram, diam-diam telurku
suka meloncat, memantul-mantul di lantai,
kemudian menggelinding pelan ke toilet,
dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset
cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang.

Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa
kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya
dari ranjang mereka.

Ah telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga.
Kau menggelembung, memecah, memuncratkan darah.

Itu bukan telurku! Mereka berseru.

Jakarta, Januari 2005
Catatan
[1]Adalah Goenawan Mohamad yang dalam “Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang” menceritakan keterasingan sang penyair setelah ia bertemu dengan dunia luar. Sapardi Djoko Damono, dalam esei pengiring atas Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 (Metafor, 2001) menggambarkan Goenawan sebagai anak desa, si Malin Kundang, yang telah pergi ke bandar-bandar. Kita tidak menemukan keterpukauan pada kota asing dalam sajak Joko Pinurbo.
[2]Saya tidak hendak mengatakan bahwa berpolitik adalah jelek. Tapi, kebanyakan karya yang nakal lahir dari pemberontakan terhadap bentuk sebelumnya dan umumnya disertai manifesto atau teori mengenai perlawanannya. Dan ini sama sekali bukan hal yang jahat dalam perkembangan seni.
[3]Sajak ini dibacakan dalam program Siswa Bertanya Sastrawan Bicara yang diselenggarakan Majalah Horison dan Ford Foundation di beberapa sekolah negeri di akhir tahun 1990-an-2000-an. Murid-murid diminta membuat penafsiran.
[4]Derai-derai Cemara: Puisi dan Prosa Chairil Anwar (penyunting Taufik Ismail). Horison, 1999.
[5]Saya harus berterima kasih pada Erik Prasetya yang memperkenalkan konsep ‘estetika banal’ dalam penerokaan fotografi atas kota Jakarta-nya selama sepuluh tahun.

*Dimuat dalam Joko Pinurbo, Pacar Senja -- Seratus Puisi Pilihan (Grasindo, 2005)