(Catatan Sapardi)

Kekuatan puisi Joko bersumber pada ironi yang ditata terutama dengan personifikasi, yang menyebabkan semua benda –tak terkecuali yang abstrak—menjadi manusiawi. Puisi Joko tidak disusun dalam kalimat yang tidak ada logikanya, dan memang seharusnya demikian sebab puisi harus disusun dalam bahasa yang logis. Barangkali sajaknya yang berjudul “Selepas Usia 60”, sajak yang paling saya sukai dalam antologi ini, dapat dijadikan contoh. Sajak ini sebuah lirik meskipun penyair menderetkan sejumlah adegan yang disusun dengan citraan yang sangat tajam. Seorang yang berdiri dekat jendela, tingkah anak kecil yang bermain silat, anak kecil yang belajar mengenakan celana, ibu yang mengintip –misalnya—membentuk citraan yang konkret, yang tidak membedakan kini dan lampau tetapi mengalir sebagai penghayatan terhadap kehidupan, mungkin tepatnya usia tua.

Kontras antara manula dan balita dalam sajak ini ternyata justru mengaburkan, di samping juga sekaligus menegaskan, batasnya. …. Teknik penulisan puisi Joko didasarkan pada penyusunan citraan; di dalamnya segala hal yang abstrak menjadi konkret. Ini landasan utama puisi. Puisi tidak abstrak; ia konkret sebab merupakan penghayatan, bukan slogan yang isinya berupa konsep. Satu bait sajak itu saya kutip untuk menegaskan hal itu.

Selepas usia 60 saya sering terdiam di muka jendela,
mengamati tingkah anak kecil yang lucu-lucu.
Saat sekecil mereka saya baru fasih mengucapkan nana,
maksudnya celana, dan saya belajar keras memakai celana
dan sering keliru: kadang terbalik, kadang seliritnya
menjepit dindaku. Ibu curang: diam-diam mengintip
lewat celah pintu. Baru setelah ananda terjengkang
karena dua kaki masuk ke satu lubang, ibu buru-buru
menyayang-nyayang pantatku: Jangan menangis, jagoanku.
Celana juga sedang belajar memakaimu
.


Dalam kutipan itu tampak bahwa kontras, ironi, dan paradoks menyatu lewat citraan dan metafor yang jernih, yang memungkinkan pembaca menangkap rangkaian gambar yang menawarkan berbagai tafsir. Dalam tafsir mana pun, tidak akan jelas apakah ini mengenai kesedihan atau kelucuan. Joko telah menempatkan penghayatannya terhadap kehidupan dalam suasana yang tergantung antara keduanya. Ini juga terbaca dari gambar tentang anak lelaki yang belajar memakai celana dan ucapan ibunya yang menyatakan bahwa “celana juga sedang belajar memakaimu”. Tidak lebih dan tidak kurang, kekuatan puisi Joko Pinurbo berlandaskan pada penguasaan bahasa yang kokoh. Kalimat, frasa, dan kata yang disusunnya menunjukkan taraf keterampilan berbahasa yang tinggi, yang menyebabkannya mampu memutarbalikkan logika secara logis.

(Sapardi Djoko Damono, Pengantar Antologi Puisi 10 Penyair,
Dari Seberang Cuaca, Warung Apresiasi, Jakarta, Oktober 2004)