Jalan Setapak Berduri

Nirwan Dewanto

LUKISAN pemandangan gaya Hindia Molek telah memukau saya di masa kecil, tapi perlahan-lahan saya tahu bahwa keindahan semacam itu hanya menjadikan saya seorang penggirang palsu, pemuja buta negeri sendiri. Perihal sastra (berbahasa) Indonesia sepanjang 2003, saya tak mampu membentangkan lukisan jelita. Menelusuri lanskap penulisan itu niscayalah mengungkai royan dan cedera pada diri sendiri. Kenapa gerangan kita masih mencipta bila khazanah dunia adalah lautan tak berhingga karya gemilang? Untuk sekadar mempertebal polusi—ataukah menambahkan kecemerlangan pada wajah dunia?

Puisi mutakhir kita konon adalah penjelajahan makna sampai ke ujung cakrawala tak terduga. Tapi para penyair muda kita terbebani—bukan terberkahi—oleh para pendahulu mereka. Warisan sastra nasional dihadapi tidak dengan sikap kritis, namun ketakjuban. Ya, ini sudah berlangsung paling tidak dua dasawarsa terakhir—sungguh terlalu lama. Sehingga sejumlah bentuk dan idiom dibaku-bekukan di alam bawah sadar dan suatu ketika ”dihidupkan” lagi dengan pretensi kebaruan—atau sekadar keganjilan? Hasilnya: sejenis abstraksi, namun dalam arti negatif.

Puisi sesungguhnya dibangun oleh frasa-frasa, tapi itu tak berarti bahwa gramatika ditelantarkan. Frasa adalah kalimat yang tak lengkap: dengan itulah kata dimaksimalkan kekuatannya. Dengan rumpang antar-frasa kita mendapatkan permainan antara sunyi dan bunyi, rupa dan kekosongan, kata-hati dan kata-kepala. Dengan kata lain, sebuah ambiguitas. Saya khawatir para penyair terkini bukan mengolah frasa, tapi tak bisa berkalimat. Begitu banyak nomina abstrak dan begitu miskin kosa kata terpakai. Rima menjadi hanya bunyi di ujung baris, bukan gema dalam frasa. Metafor menjadi batal atau mubazir, karena semantika diabaikan. Puisi sekadar peng-aku-an yang tanpa ironi.

Saya takjub kenapa, misalnya, pengaruh puisi Sapardi Djoko Damono begitu kuatnya hingga hari ini, sebagaimana terlihat pada Joko Pinurbo dan Dorothea Rosa Herliany: yang pertama meluweskan gaya Sapardi, yang kedua meruwetkannya. Benar, para penyair terbaru niscaya memerlukan dasar dari mana mereka bisa melompat tinggi-tinggi. Bahkan tak sedikit penyair, misalnya Ulfatin Ch., yang bergantung bukan hanya pada puisi Sapardi, tapi juga terjemahannya (antara lain penyair Yunani George Seferis). Tapi Pinurbo, Rosa, Ulfatin, juga para penyair Bali yang kini melimpahi gelanggang—pendeknya, seluruh generasi mereka—sudah sampai ke tahap jenuh, mahajenuh, masing-masing. Mereka mesti ”membunuh” Sapardi, Goenawan Mohamad, dan segenap warisan puisi lirik Indonesia. Mereka harus berpaling sepenuhnya ke sumber-sumber lain.

Sedangkan prosa Indonesia tampaknya enggan terikat kepada warisan kaum pendahulunya. Akibat pertama yang patut disayangkan: menulis dari langit. Para penulis cerita pendek terkini, misalnya, sudah lupa akan harta cemerlang di masa silam: misalnya Sitor Situmorang, Asrul Sani, Idrus, Motinggo Boesje, Umar Kayam—realisme yang mau bertarung dengan dunia, realisme yang tak memperalat bentuk, dan karena itu menghargai kecerdasan pembaca. Sedangkan sebagian besar cerita pendek realis dalam satu dasawarsa ini hanya mampu menyajikan gambar dokumenter yang tanggung belaka: sekadar mencoba mengharukan seraya mengajari pembaca dengan pesan moral dan politis.

Tapi tak lengket dengan sang warisan bisa juga berarti lentur mengolah sumber dari mana saja, entah itu tradisi-sumber, budaya massa, atau khazanah sastra dunia. Lihatlah, misalnya, cerita pendek Raudal Tanjung Banua, Kurnia Effendi, dan Nur Zain Hae. Mereka adalah pengarang yang berhasil mendayagunakan kependekan: cerita pendek bukan lagi ringkasan dari risalah panjang, tetapi mikrokosmos di mana kita bisa bermain tangkap-dan-lari dengan tokoh. Pengarang bukan lagi tukang khotbah, tetapi benar-benar menjelma narator. Di situlah watak sadar diri maupun efek penjarakan membuat pembaca sebagai ”pencipta kedua” yang ikut memperkaya atau melengkapkan kisah.

Bukan karena pukau feminisme kita mencatat pengarang perempuan. Khazanah sastra kita bersifat maskulin bukan karena dihuni oleh banyak pengarang jantan, tapi karena begitu banyak tema dan idiom yang terkubur atas nama akhlak atau terbaku-bekukan oleh cara pandang sang bapa atau sang suami. Maka cerita pendek Dinar Rahayu, misalnya, menjadi berharga karena ia membuat seksualitas jadi terang-benderang dan puitis sekaligus. Suatu erotisisme tanpa heroisme: berahi yang menantang pornografi. Sedangkan pada cerita pendek Linda Christanty, kita mendapatkan ampuhnya suara politik justru karena yang politis itu sekadar hadir sebagai kilas balik tipis dari laku dan wicara para tokoh. Realisme Linda mencekam justru karena ia antididaktik.

Novel sesungguhnya adalah bentuk paling cocok untuk menyatakan pandangan dunia di luar filsafat dan sistem pemikiran yang lain. Novelis adalah ia yang menyatakan pandangan dunia dengan menyejajarkan, bahkan meleburkan, diri dengan tokoh-tokohnya. Tanpa berbuat begitu, ia hanyalah sejenis antropolog semu, sejarawan semu, pesulap semu, dan berbagai semu yang lain: demikianlah yang kita dapati pada sebagian besar novel kita.

Adapun Nukila Amal layak diperhitungkan bukan karena ia perempuan, bukan pula karena ia berasal dari daerah pinggiran (Maluku Utara). Cala Ibi, novelnya, adalah pelaksanaan semacam gagasan matematis, misalnya saja pencerminan dan penggandaan, ke dalam bentuk sastra, dan hanya dalam bentuk inilah gagasan itu kita hayati. Ke dalamnya ia mengocok berbagai sumber: misalnya sejarah lokal, Buddhisme Zen, bahasa iklan, komik Tintin, Alice in Wonderland, grafis Escher, dan sastra tinggi. Dalam setiap bab ia mengajukan teka-teki, di situ pula ia memendam jawabnya, bagaikan sepasang kembaran yang saling menantang sebagaimana tokoh Maia dalam novel itu. Rupanya, hanya pembaca yang mau memperbaharui cara bacanya yang bisa menikmati permainan Nukila.

Menengok penulisan esai, kita tak henti geleng-geleng kepala. Esai bukan lagi sebuah surat upaya (sesuai dengan etimologinya), yaitu upaya menawarkan perspektif yang tajam atas satu pokok, namun sekadar pameran jargon dan nama comotan, seakan dengan itulah si penulis asyik-masyuk dengan pemikiran dunia mutakhir. Tapi pameran demikian hanyalah membungkus kosongnya nalar dan gagasan. Lihat, tulisan ternyata memperpanjang kelisanan. Maka harapkan jangan kritik sastra, tetapi gunjing sastra. Bila kebetulan si penulis esai itu penyair, kentaralah bahwa ia tak menguasai (tata) bahasa. Kian terbuktilah bahwa puisi sekadar cacat berbahasa, bukan?

Dengan pengecualian kecil, terjemahan sastra dan pemikiran dunia mutakhir bukan mendekatkan kita ke dunia, malah sebaliknya. Ternyatalah para penerbit ”alternatif”—ah, nama yang keliru pakai pula—tidak berniat membuat buku yang baik namun hanya menjual tampang buku dan nama pengarang. Dan para ”penerjemah” itu bukan hanya tak menguasai bahasa asing, tapi juga bahasa Indonesia dan khazanah yang diterjemahkannya. Inilah juga perlakuan lisan atas tulisan: sebuah kelisanan baru. Tulisan ternyata memperkuat laku pra-ilmiah kita, dan ini kiranya berlaku bagi amalan sastra kita pada umumnya.

Teman saya Hasif Amini, penerjemah dan redaktur puisi di sebuah koran utama, membuat neologisme untuk semua itu: illiterature, paduan dari illiterate (buta huruf) dan literature (sastra). Sastra dengan sikap buta huruf. Sastra tanpa penguasaan bahan, bentuk, dan wawasan. Saya kira illiterature adalah sifat akut sastra kita, tapi juga pelbagai sektor modern kita yang mana pun: tindak yang bukan hanya mengabaikan budaya tulisan, tapi juga menggerogotinya.

Lihatlah sastra di dunia maya. Cyberspace tidak menjadi alternatif—apalagi subversi—terhadap dunia cetak, tetapi tong besar di mana kesedang-sedangan diperbolehkan, bahkan direstui. Seakan setiap manusia adalah pencipta kebudayaan, karya apa pun bisa tampil tanpa campur tangan otoritas tertentu. Inilah demokratisasi, kata para pembela sastra cyber. Tapi demokrasi adalah kompetisi dan kontrol mutu, bukan? Nyatalah cyberspace hanya menggandakan kelisanan juga. Tak terlihat di sana penciptaan hipertekstual, misalnya: hanya pemuatan karya yang entahlah mutunya. Tidak terlihat sikap baru dalam mengolah kepustakaan (yang tersedia online), sehingga makin teballah omong-omong gaya kampung itu. Tapi mari berpikir positif, Saudara: ruang maya adalah tempat penyemaian benih, sebentar lagi kita akan memetik buahnya.

Illiterature juga tampak pada Hadiah Sastra Khatulistiwa yang tahun ini berhadiah Rp 75 juta itu. Tentu kita berterima kasih pada sang penggagas dan penaja yang dalam tiga tahun terakhir ini bisa membuat penerbitan sastra meningkat terus. Tapi lihatlah, betapa ganjil cara penjurian Khatulistiwa: (i) penilaian dilakukan dalam tiga tahap; (ii) juri pada tiap maupun antar-tahap tak saling tahu; (iii) setiap juri menyampaikan penilaian tertutup dalam peringkat; (iv) juri pada tahap berikut harus memilih hasil dari juri tahap sebelumnya. Cara begini akan menghasilkan pemenang yang bisa siapa saja: suatu pengingkaran terhadap rasionalitas, kompetisi, dan pencapaian. Hadiah sastra yang mencampurkan puisi, cerita pendek, dan novel ini gagal menjadi pengawal mutu sastra. Khatulistiwa adalah penghargaan sastra ”paling ajaib” di dunia ini.

Tindak penciptaan dan penilaian sastra semestinya adalah semacam kritik diri. Sudah terlalu sering orang sastra merasa dirinya pembawa pencerahan, entah bagi masyarakatnya atau tradisi sastranya sendiri. Itu hanya dongeng, Saudara. Kita masih menderita buta huruf. Kita tidak membaca, kita cuma membolak-balik halaman buku. Kita tidak menguji pemikiran dari luar, namun menganggapnya sebagai jimat baru. Kita tak menulis, tapi mengarang-ngarang belaka. Kita tak bisa menilai diri, karena terpisah dari ukuran yang wajar dalam sastra-sastra dunia. Pascamodernisme konon akan melandasi kita sebagai kekuatan alternatif terhadap dunia: ternyata ia hanya membiakkan bawaan pramodern kita.

Akankah sejumlah anomali, sejumlah nama, yang disebut dalam tulisan ini menjadi kian berharga di masa mendatang? Tidak selalu—ataukah selalu tidak, sebagaimana terjadi selama ini? Camkanlah bahwa sang anomali tak lain adalah pilihan yang terpaksa kita buat di tengah musim pancaroba. Terserahlah kepada kita sendiri, apakah kita mampu memperbesar anomali demikian untuk dapat melompat ke tata acuan yang baru. Ataukah kita sekadar mengindahkan nama-nama itu sebagai penyegar di haribaan sastra nasional yang begitu meninabobokan ini? Dan bila saya telah melihat lanskap tak senonoh, yang seperti lukisan Kelugasan Baru Otto Dix dan George Grosz, mungkin karena saya nekat melalui jalan setapak berduri yang tak digemari orang. Inikah jalan yang akan mengantar saya ke kaki langit yang lebih benderang—atau sekadar ke pinggir jurang?

TEMPO 44/XXXII 29 Desember 2003