DUA tahun yang lalu, majalah ini (dalam edisi milenium) menampilkan sekian tokoh, pokok, dan peristiwa yang telah mapan dalam sejarah kesenian modern di Indonesia—masa yang kurang-lebih terentang dari 1900 ke 1970. Namun, patut segera disadari bahwa kemapanan bukanlah kebajikan utama dalam proses berkesenian. Sebagaimana terbukti dalam sejarah seni dunia, apa yang dianggap penting di suatu masa dapat menjadi remeh-temeh di masa yang lain, dan apa yang termasyhur oleh publisitas di masa kini bisa lenyap tanpa bekas di masa datang. Adalah tugas sejarawan seni dan kritikus seni untuk menguji terus-menerus ketangguhan karya seni.
Jika kini majalah ini kembali memilih sejumlah nama lagi, itu karena kesenian kita tumbuh dan berubah. Sejak awal 1990-an, ada banyak karya baru muncul—sebagian bahkan mampu mengubah paradigma lama kesenian kita sekaligus meraih pengakuan internasional. Secara khusus kami—sebuah tim yang terdiri atas Leila S. Chudori, Yusi A. Pareanom, Seno Joko Suyono, Hermien Y. Kleden, Tony Prabowo, dan Nirwan Dewanto—mengamati seniman dan pelaku seni berusia 18-45 tahun. Keajekan (konsistensi) dalam produktivitas dan terlebih lagi mutu adalah kriteria utama kami dalam memilih nama-nama: mereka yang berada di puncak kreativitas dan mempunyai prospek yang bagus. Bukankah prospek tak lain proyeksi dari himpunan karya yang sudah menunjukkan garis perkembangannya sendiri?
Memihak pertumbuhan bukanlah perkara mudah. Ada begitu banyak sastrawan yang lahir, misalnya, tapi sebagian besar adalah penyair yang mendaur ulang gaya dan teknik perpuisian yang sudah mapan, serta penulis prosa yang menghasilkan cerita pendek yang sarat dengan tema klise dan tokoh stereotip. Mereka terjebak ke dalam rutin pekerjaan: mereka tak kunjung menyegarkan dan memperbarui medium utama mereka, yakni bahasa. Dengan ukuran ini, majalah ini sulit membayangkan prospek mereka ke depan (kecuali mereka sendirilah kelak yang mengubah orientasi penciptaan). Tapi penyair Joko Pinurbo dan novelis Ayu Utami adalah dua nama yang sungguh menyimpang dari arus umum itu. Dua kumpulan sajak Pinurbo, Celana dan Di Bawah Kibaran Sarung, menunjukkan bahwa puisi bisa ditulis dengan bahasa yang cair dan sehari-hari tapi tajam, penuh dengan ironi dan humor hitam. Sedangkan dua novel Ayu, Saman dan Larung, menandaskan bahwa novel adalah bentuk yang kaya, yang bisa menampung berbagai genre sejak puisi sampai budaya-pop, dan bukan sekadar alat untuk menyiarkan pandangan moral atau politik sebagaimana terjadi dalam khazanah sastra kita selama ini.
Ajek berkarya dalam rentang 10 tahun terakhir adalah jalan mahasulit. Tak ada koreografer muda usia yang tinggal di gelanggang menjaga mutu dan eksperimen kecuali Boi G. Sakti. Memang ada sejumlah koreografer muda yang muncul satu-dua kali, untuk kemudian hilang tanpa bekas. Pada umumnya mereka hanya berkarya untuk festival khusus, seperti Pekan Penata Tari Muda (kini sudah tidak ada) atau Indonesian Dance Festival; di luar itu, mereka seperti gersang-membeku. Sejak 1987, Boi menunjukkan perkembangan menarik, khususnya dalam menggali khazanah teater-tari yang eklektik. Bersama kelompok tari Gumarang Sakti yang diwarisinya dari ibunya, almarhumah Gusmiati Suid, ia mengocok tari Minang dengan pelbagai khazanah tari modern dengan gagasan skenografi yang kuat. Karyanya Di Jalan Tua yang tampil dalam Art Summit III 2001 barangkali adalah pencapaian puncaknya yang layak bersaing dengan karya tari dari mancanegara.
Kebanyakan koreografer kita memulai karirnya sebagai penari, tak terkecuali Boi. Namun, menari dan mencipta tari adalah dua hal yang berbeda. Penari yang mencoba "naik pangkat" dengan menjadi koreografer kebanyakan gagal dalam menguji ulang dan menciptakan kembali khazanah gerak yang pernah mereka akrabi; walhasil, mereka hanya "mengarang-ngarang" tari tanpa nalar. Maka sudah sepantasnya kita menghargai penari sederajat dengan penata tari. Dua penari yang datang dari khazanah Jawa, Martinus Miroto dan Eko Supriyanto, layak dicatat. Sekalipun piawai dalam tradisi asal mereka, mereka begitu terbuka dalam menyerap pelbagai khazanah dalam lingkungan global. Yang menonjol adalah kehadiran mereka di panggung-panggung kolaborasi internasional.
Dari khazanah musik baru, kami memilih dua komposer: Tony Prabowo dan Wayan Sadra. (Catatan: Tony tak lagi bergabung dengan tim ketika kami harus memilih nama.) Hampir mirip dengan tari, penciptaan musik "serius" juga hanya terdorong oleh festival semacam Pekan Komponis Muda (yang kini juga sudah tiada): banyak komposer yang "sekali berarti, sudah itu mati." Tapi keduanya terus berkarya, lebih banyak untuk panggung internasional (dan di situlah mereka beroleh pengakuan), sejak awal 1990-an: Tony dengan bertolak dari prinsip musik modern Barat (sekalipun ia pernah mempunyai kelompok yang terdiri atas pemusik asal Sumatra Barat) dan Sadra bereksperimen tanpa batas dengan khazanah musik Nusantara, khususnya Jawa dan Bali. Ada komposer lain yang kami pertimbangkan, yakni A.L. Suwardi, yang eksperimennya dengan genta dan piano bekas dalam Art Summit III 2001 telah membuka kemungkinan baru dalam khazanah gamelan Jawa. Namun, Suwardi sudah bertahun-tahun tak tampil berkarya, hal yang membuat ia tak bisa bersanding dengan Tony dan Sadra.
Nama lain yang layak mendapat kredit tinggi adalah konduktor Avip Priatna dan pianis Ananda Sukarlan. Avip satu-satunya pemimpin paduan suara di negeri kita yang sukses membawa kelompoknya, Paduan Suara Universitas Parahyangan dan Batavia Madrigal Singers, dalam tiga hal sekaligus: membawakan karya musik baru dengan tafsir yang tepat, menjadikan paduan suara sebagai tontonan bermartabat, dan meraih sejumlah penghargaan internasional yang penting. Sedangkan Ananda, yang kiprah utamanya di Eropa, adalah pianis kita yang memainkan karya-karya klasik ataupun kontemporer dengan teknik dan pemahaman yang tinggi. Ia satu-satunya solis kita yang beroleh pengakuan dunia; ia, antara lain, bermain di bawah arahan konduktor-komposer Pierre Boulez.
Berbeda dengan cabang seni yang lain, seni rupa adalah bidang yang dibanjiri nama-nama. Pasar, pengakuan internasional, pendidikan, dan sayembara seni rupa adalah perangsang penting bagi para pendatang baru. Di tengah keramaian demikian—tempat kaum perupa bereksperimen memburu gaya dengan sewenang-wenang—Heri Dono dan Agus Suwage mencitrakan kemantapan tersendiri dalam satu dasawarsa terakhir. Merengkuh bentuk dari kartun, wayang, seni rupa jalanan, mainan anak-anak, dan pelbagai produk budaya pop, Heri membuat lukisan, instalasi, dan seni rupa pertunjukan (performance art). Sedangkan Suwage bebas menggabungkan coret-moret, komik, realisme, fotografi, tulisan, dan cuplikan dari pelukis lain: hasilnya adalah ejekan tajam terhadap diri dan masyarakatnya.
Ada juga seni rupa yang sungguh menyimpang dari arus besar. Inilah karya yang, tanpa membubuhkan cap pribadi, tampil langsung di ruang publik. Di tembok-tembok Kota Yogya, kelompok Apotik Komik menampilkan komik berukuran raksasa. Sementara itu, Taring Padi menampilkan realisme sosial dalam baliho, poster, ataupun media lain, demi "penyadaran politik untuk rakyat banyak." Keberanian kedua kelompok itu untuk menyangkal pasar dan menjumpai langsung khalayak ramai patut mendapat penghargaan tersendiri.
Kehadiran sutradara Garin Nugroho dengan film layar lebarnya sepanjang 10 tahun terakhir tak pelak telah menghindarkan sinema Indonesia dari kematian. Kini, jika perfilman kita terlihat menggeliat bangkit dengan sejumlah sutradara baru yang bersemangat, kita pantas menyimpulkan bahwa Garinlah yang menjadi gara-gara. Tapi membuka ruang alternatif di tengah lautan penonton yang terjajah oleh sinetron dan film Hollywood sungguh pekerjaan yang tak kurang peliknya. Adalah Shanty Harmayn, bersama Natacha Devillers, yang dalam tiga tahun ini piawai melembagakan acara tahunan Jakarta International Film Festival. Inilah upaya untuk membangun penonton kritis dan memperluas cakrawala sinema kita. Sementara itu, Mira Lesmana berhasil meruntuhkan ketidakpercayaan penonton pada film dalam negeri melalui produksinya, Petualangan Sherina, yang terbukti dibanjiri penonton.
Dari khazanah teater, sejumlah kelompok baru yang pernah meramaikan panggung sampai pertengahan 1990-an kini hanya tinggal nama. Sejumlah sutradara dan aktor muda tak cukup beriman untuk bertahan menghidupi profesi teater. Ketidakkonsistenan, kehancuran dini, adalah salah satu masalah terbesar kesenian kita. Dalam kondisi ini, pantas dicatat kehadiran Rahman Sabur dan kelompoknya, Teater Payung Hitam, yang setia mengusung teater yang berlandaskan eksplorasi tubuh aktor. Juga Slamet Gundono, yang menghidupkan kembali wayang suket (rumput) ke konteks mutakhir.
Di dunia sana, fotografi sejak dulu sudah merupakan cabang seni. Tapi, di negeri kita, fotografi baru-baru ini saja mendapat perhatian dan telaah serius sebagaimana kesenian yang lain, khususnya sejak berdirinya Galeri Foto Jurnalistik Antara di awal 1990-an. Oscar Motulah dan Kemal Jufri adalah dua fotografer kita yang tak henti-hentinya merekam pelbagai aspek kehidupan social politik orang Indonesia: mereka menggabungkan jurnalisme yang tajam dengan estetika yang peka.
Jika kami memilih nama-nama, itu bukankah untuk mengawetkan mereka ke dalam museum khazanah nasional. Tantangan terbesar bagi mereka adalah pembaruan diri terus-menerus, demi memperluas cakrawala kesenian kita. Sesungguhnya khazanah seni kita masih miskin kompetisi: terlalu sedikit jumlah seniman, terlalu cepat datang pengakuan nasional, terlalu miskin telaah dan kritik seni. Kepada semua seniman kita, tanpa kecuali, penting diingatkan bahwa mereka masih harus bekerja keras untuk meraih ukuran yang wajar—ukuran yang berlaku di tingkat dunia. Apa boleh buat, ukuran nasional masih dihantui kesedang-sedangan (mediokritas).
Bagaimanapun, sebagian—belum semua—nama itu sudah menyentuh panggung internasional dan agaknya menyadari betapa sulitnya untuk menjadi bagian dari warga dunia.
Tim Panelis
TEMPO No. 44/XXX 31 Desember 2001