Tragedi Pada Minggu Pagi

Oleh Agung Dwi Ertato

MINGGU PAGI DI SEBUAH PUISI

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari masih remang dan hujan, hujan
yang gundah sepanjang malam
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi
berbasah-basah ke sebuah ziarah.

Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara
di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.

“Ibu hendak ke mana?” Perempuan muda itu menyapa.
“Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjukkan potret anaknya.
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.

Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.
Lalu katanya, “Ia telah menciumku
sebelum diseret ke ruang eksekusi.
Padahal Ia cuma bersaksi bahwa agama dan senjata
telah menjarah perempuan lemah ini.

Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;
pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk;
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari mulai terang, kata-kata
telah pulang dari makam,
iring-iringan demonstran makin panjang,
para serdadu berebutan kain kafan, dan dua perempuan
mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan?

(Joko Pinurbo, 1998)



/1/

Membaca sajak-sajak Joko Pinurbo (Jokpin), kita akan dihadapkan pada retorika yang bersifat humor namun menampilkan tragedi. Dalam proses kreatif Jokpin, ia sempat mengalami ketegangan antara puisi lirik dan puisi naratif. Jika membicarakan puisi lirik, tidak akan terlepas pada nama-nama seperti Goenawan Muhamad dan Sapardi Djoko Damono. Pada awal tahun 1970, perkembangan puisi lirik di Indonesia sangat pesat. Joko Pinurbo sendiri pernah mengaku bahwa dalam menulis puisi dia sangat terpengaruh pada Chairil Anwar, Goenawan Muhamad, dan Sapardi Djoko Damono (Koran Tempo, Minggu, 3 Juni 2007). Jokpin kemudian mencapai pada penemuan estetikanya yaitu mentransformasikan aku lirik ke pengucapan epik dengan penguatan kisah dari sifat lirik murni.

Tragedi di sekitar penyair kemudian ditangkap oleh penyair dan diubahnya menjadi sajak yang lebih humor namun menyimpan kepedihan yang dalam.

Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang
bertengger di dalam celana. Ia sewot juga.
“buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang
gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah ke mana.
(Celana, 3: 1996)


Tragedi tentang peristiwa tahun 1998 juga tidak luput dari kacamata Joko Pinurbo. Ada beberapa puisi yang sangat berkaitan dengan tragedi tahun 1998. Dalam puisi-puisi tersebut, Joko Pinurbo kembali menampilkan gaya yang khas—humor— namun kali ini Joko Pinurbo lebih banyak menampilkan unsur tragedi seperti yang ada pada sajak Minggu Pagi di Sebuah Puisi.


/2/

Seperti yang kita ketahui, pada tahun 1998, Indonesia mengalami gejolak politik. Gejolak politik kemudian disebut Reformasi 1998. Reformasi 1998 menghasilkan perubahan politik yang cukup signifikan. Namun, perubahan dalam proses perubahan tersebut terjadi berbagai masalah yaitu masalah demonstrasi (penembakan mahasiswa), penjarahan, dan masalah etnis (etnis tionghoa banyak menjadi korban).

Pada tahun 1998, banyak penyair yang menyoroti permasalahan tersebut. Beberapa di antaranya adalah Acep Zamzam Noor, W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, dll. Puisi-puisi yang dihasilkan oleh penyair tersebut sangat gamblang dan transparan dalam menyampaikan kemarahan terhadap tragedi 1998.

(3)

ada seorang perempuan
diam saja berdiri
di dekat tukang rokok
di seberang jalan raya itu

ada satpam memperhatikannya
dari ujung gang itu
ada polisi sekilas melihatnya
dari dekat gardu telepon itu
ada anak tetangga sebelah
menyapanya
ada guru sd
yang masih mengenalnya
menepuk bahunya
ada neneknya di rumah
yang sudah suka lupa —

ada suaminya ada anak-anaknya
(yang
mungkin
saja
sedang
memikirkannya
juga)
yang kini
(tentunya
mungkin
moga-moga
saja
tidak!)
berada dalam sebuah toko besar
(atau
tidak
lagi
bisa)
yang sedang terbakar

(Fragmen ketiga dari Ayat-ayat Api, Sapardi Djoko Damono, 2000)


Pada kutipan sajak di atas, Sapardi dengan gamblang menggambarkan peristiwa 1998 dengan jelas dan kontekstual. Kebiasaan Sapardi dalam menulis puisi adalah ia jarang menulis puisi secara kontekstual pada peristiwa-peristiwa besar. Berbeda dengan Sapardi, Joko Pinurbo menangkap peristiwa 1998 menggunakan metafor-metafor yang mengaburkan peristiwa tersebut jika dibaca sepintas. Pada sajak Minggu Pagi di Sebuah Puisi, Joko Pinurbo menggunakan menggunakan analogi peristiwa 1998 dengan peristiwa paskah yang dialami oleh Yesus.

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari masih remang dan hujan, hujan
yang gundah sepanjang malam
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi
berbasah-basah ke sebuah ziarah.
.

Paskah menjadi suatu kisah yang pedih dan sendu pada hari Minggu pagi yang seharusnya diisi oleh suatu kebahagian. Minggu pagi identik dengan hari libur yang biasa digunakan oleh orang-orang untuk melepas kelelahan setelah bekerja selama seminggu. Kebahagiaan hari Minggu kemudian dirusak oleh berita pagi yang memberikan berita tentang tragedi. Tragedi tersebut kemudian dikuatkan dengan suasana hari yang masih remang disertai hujan yang gundah sepanjang malam. Ziarah menambah kengerian hari Minggu. Ziarah menandakan suatu perjalanan menuju kubur.

Apa yang ditampilkan dalam bait pertama tidak lain adalah penggambaran suasana. Kata Paskah, remang, hujan, pergi, basah, dan ziarah memberikan efek suasana yang melankolia. Kata Paskah memberikan suasana yang mencekam. Paskah dalam ajaran Kristiani adalah peristiwa Yesus disalib. Sebelum penyaliban, Yesus disiksa hingga berdarah-darah, hingga ia sangat tersiksa tak bisa lagi mengatakan sesuatu hal hingga pada akhirnya ia disalib di bukit Golgota. Dari kata Paskah saja gambaran tentang tragedi sudah tergambar penuh luka dan darah.

Pada bait kedua sampai kelima kisah Paskah dijabarkan. Isian tragedi Pada Minggu Pagi kemudain berawal dari bait dua. Kengerian tragedi lebih ditampilkan. Darah-darah berceceran sepanjang jalan. Tidak ada suara sepanjang jalan. Yang tersisa adalah langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.

Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara
di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.


Darah menandai keadaan yang penuh luka, penuh rasa perih dan pedih. Penderitaan yang terjadi menyebabkan suasana yang sunyi sehingga jalan kecil tak dilewati kata-kata.

“Ibu hendak ke mana?” Perempuan muda itu menyapa.
“Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjukkan potret anaknya.
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.

Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.
Lalu katanya, “Ia telah menciumku
sebelum diseret ke ruang eksekusi.
Padahal Ia cuma bersaksi bahwa agama dan senjata
telah menjarah perempuan lemah ini.

Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;
pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk;
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”


Pada bait ketiga sampai kelima, penyair menampilkan gaya naratif. Gaya tersebut menggunakan dialog-dialog yang sering digunakan pada karya sastra jenis prosa. Gaya tersebut menimbulkan efek yang tersirat melalui percakapan. Metafor-metafor menyelinap di antara percakapan antara dua perempuan.

Pada bait ketiga dan keempat, kata penculikan, perusuh, terperkosa, eksekusi, senjata, menjarah, perempuan, dan lemah merupakan penanda bagi keadaan kota yang chaos. Keadaan kota yang sangat berantakan. Kota yang tidak mempunyai norma dan bahkan agama telah menjarah perempuan lemah. Golgota menjadi anologi Jakarta yang merupakan tempat penculikan dan surga para perusuh.Golgota merupakan tempat penyaliban Yesus. Tempat tersebut merupakan tempat kejam. Kepedihan yang dialami Yesus terjadi di Golgota. Bisa dikatakan bahwa Golgota merupakan tempat yang kejam. Lalu bagaimana dengan Jakarta? Jakarta tidak ubahnya seperti Golgota. Jika Golgota adalah tempat penyiksaan Yesus, Jakarta lebih parah lagi. Jakarta menjadi surga para perusuh. Ini berarti bahwa Jakarta adalah tempat tindak kejahatan bermukim. Hal tersebut menjadikan Jakarta menjadi kota yang kejam.

Permasalahan kelamin dimunculkan pada bait kelima. Vagina secara harfiah mempunyai arti alat kelamin perempuan. Dalam sajak tersebut Vagina mempunyai makna kuburan. Kuburan yang sangat gelap dan sunyi-senyap. Kuburan tempat jasad yang penuh luka bermukim. Pada akhirnya kematian sangat identik dengan tragedi.

Kisah Paskah yang terdapat pada puisi tiba-tiba lagi muncul ketika hari mulai terang. Serombongan demonstran dihadang oleh para serdadu. Keadaan chaos akan terulang lagi dan tidak lagi terjadi pada sebuah puisi. Keadaan tersebut merupakan tragedi pada minggu pagi.


/3/

Setelah mendapatkan makna-makna dari tanda-tanda yang terdapat pada sajak Minggu Pagi di Sebuah Puisi, kita akan mengkaitkan dengan peristiwa yang terjadi atau konteks sosial masyarakat pada tahun sajak tersebut dibuat. Sajak Minggu Pagi di Sebuah Puisi dibuat oleh Joko Pinurbo pada tahun 1998. Seperti yang kita ketahui bahwa pada tahun 1998, Indonesia mengalami keadaan yang chaos. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Jakarta menjadi tempat yang sunyi dan mencekam. Penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan terjadi di kota Jakarta.

Berita-berita tentang kerusuhan Jakarta setiap hari menjadi headline di media massa maupun media elektronik. Bahkan, pada hari Minggu yang seharusnya diisi oleh berita ringan, diisi oleh berita tentang tragedi kerusuhan. Minggu yang seharusnya menjadi hari melepaskan kepenatan menjadi hari penuh kecemasan.

Joko Pinurbo berhasil menangkap tragedi tersebut ke dalam sajaknya. Metafor-metafor yang digunakan berbeda dari penyair-penyair lain dalam menangkap peristiwa tersebut. Jika Sapardi menangkap peristiwa tersebut ke dalam metafor api, Joko Pinurbo menangkap peristiwa tersebut ke dalam metafor Paskah, via dolorosa, golgota, dan vagina. Kesemua metafor tersebut tetap menggambarkan tragedi yang sangat menyayat, tragis, kelam, dan sendu seperti tragedi pada tahun 1998. Tragedi Paskah yang terjadi pada sajak Joko Pinurbo dikisahkan pada Minggu Pagi di Sebuah Puisi sedangkan tragedi Mei 1998 dikisahkan pada media massa maupun media elektronik setiap hari pada bulan dan tahun tersebut bahkan pada Minggu pagi sekalipun.


/4/

Joko Pinurbo sebagai penyair mempunyai ciri khas. Ia mampu mengolah bahasa, menampilkan, menerjemahkan peristiwa-peristiwa di sekitarnya menggunakan metafor-metafor yang tak lazim digunakan penyair-penyair lainnya. Ia mampu menangkap tragedi Mei 1998 sebagai Paskah bagi Indonesia—tragedi pada hari Minggu. Sapardi Djoko Damono menyebutkan bahwa Joko Pinurbo dengan teknik surealis berusaha memberikan tanggapan terhadap berbagai masalah sosial dan konflik batin manusia.***

Sumber Acuan
Damono, Sapardi Djoko. 1999. “Burung dalam Celana” dalam Joko Pinurbo Celana. Magelang: Indonesia Tera.
________. 2000. Ayat-ayat Api. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Pinurbo, Joko. 1999. Celana. Magelang: Indonesia Tera.
________. 2005. Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
________. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Utami, Ayu. 2005. “Joko Pinurbo: Mengapa Kematian, Penyairku?” dalam Joko Pinurbo Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.

Sumber: http://agungdwiertato.blogspot.com, Sabtu, 03 April 2010