Bagi sebagian besar sastrawan, penciptaan karya seni adalah semacam momentum, dimana batas-batas kemapanan ditembus melalui jalan-jalan penuh bahaya dan terjal.
Itu disebabkan karena daya cipta haruslah memunculkan kebaruan-kebaruan yang menukik kepada diri, diri yang hendak dibesarkan. Diri yang hendak menuntut pengakuan.
Kehidupan semacam kisah tragis melewati sebuah bentangan tali diantara dua tebing jurang, berjalan berbahaya, menoleh berbahaya, diam dan mundur apalagi, penyair kemudian memilih untuk berjalan dengan harmonisasi langkahnya menuju satu sisi tebingnya.
yesus itu anak jadah.
ia tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh mencintai ayahnya.
(“Pada Suatu Malam”-Sapardi Djoko Damono-Antologi Hujan Bulan Juni)
Jelaslah seperti penggalan sajak Sapardi itu, puisi bukan semata-mata kritik atas kemapanan agama misalnya, tetapi menjungkirbalikan bahasa yang terbit pada kehendak diri, kehendak berkuasa atas teks, hasil renungannya.
Saya kemudian merasa percaya kepada Al Ghazali tentang adanya dua sisi (Muhkamat dan Mutasyabihat) realitas kehidupan yang diceritakan ayat suci, dimana satu sisinya tak begitu saja dapat dengan mudah dipahami. Orang awam menurutnya tak perlu di beritahukan tentang satu sisi ini, dikhawatirkan justru akan tersesat pada teks yang bukan jangkauannya.
Yesus itu anak jadah, kata Sapardi, sebetulnya apa bedanya dengan Dipati Karna yang bermusuhan dengan Pandawa Lima, anak hasil persetubuhan dewi kunti dengan dewa cahaya, yang dengan kejadahannya justru menggugat kemapanan pandawa dari bapak seorang manusia?. Begitulah sejatinya kejadahan Yesus juga menggugat, mengenduskan revolusi secara lembut kepada budaya pharaoh di jamannya, namun Yesus bak sufi yang anggun, sehingga penggugatan itu semacam penafian egoisme dirinya menjadi ketakpuasan terus menerus atas cinta yang ia persembahkan pada Ayahnya, Sang Ada, yang hidup di alam supera realitas itu.
Namun pemaparan itu tak berarti bahwa penggalan puisi diatas menjadi bebas nilai dari berbagai kalangan, terutama kalangan agama. Sapardi tetap memperhitungkan jalan tragis yang dilangsungkan dalam upacara penciptaan sajaknya, kalau tak begitu sajak seolah kehilangan nyawanya: kontroversi-kontroversi sebagai nilai besar kehendak berkuasa atas teks, yang memanggil sang-aku ditengah hiruk pikuk sejarahnya sebagai seorang penyair…
Kita juga dikenalkan misalnya dengan puisi Joko Pinurbo tentang hari paskah,
Celana Ibu
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri.
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
Bagi kita parodi puisi Joko Pinurbo ini tidak ringan. Ia mengumpulkan banyak energi apa yang disebut Umberto Eco sebagai aeropaghite, bahwa kebenaran sejatinya dapat di terangkan melalui antitesisnya. Oleh karenanya puisi Jokpin melalui pembakaran ganda (double-firing) dalam perenungannya, raihan roh yang sudah berhasil menjangkau hakikat kemudian direduksi pada sesuatu keringanan: tawa.
Maka jelaslah kuasa Jokpin atas teks menjadi unik. Seperti mobil teknologi modern double-firing maka sajaknya melesat dalam kecepatan tinggi, tawa yang dihadirkan itu semacam pisau bedah super tajam mampu menjangkau jantung puisinya untuk pembaca.
Kita akan menyaksikan dua pembaca dalam puisi jokpin, pembaca yang terlena dalam tawa, dan pembaca yang memanfaatkan tawa sebagai obat ampuh dalam menelisik makna yang dikandung. Dan kelas pembaca terakhir jumlahnya lebih sedikit dari yang disebutkan pertama.
pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri.
Simbolisasi celana apa sebetulnya yang hendak disampaikan Jokpin?. Saya merasa jokpin sudah berhasil meneruskan apa yang tadi diawal disampaikan oleh Sapardi, bahwa Maria yang umur hidupnya lebih panjang dari Yesus sendiri telah merenda celana Yesus, bahwa kekuasaan atas dunia itu perlu, bahwa kemenangan atas peristiwa itu keharusan. Daya cipta Maria atas celana dalam puisi Jokpin adalah tanda dari kedigdayaan itu…
Maka apa yang hendak dilakukan penyair dengan puisi adalah menciptakan kebaruan-kebaruan yang muncul dari luar lingkaran tradisi, bahkan dari modernitas itu sendiri. Untuk kuasa dirinya atas teks, atas pembaca.
Meski dengan itu kerja cipta penyair adalah melalui jalan bahaya, jalan mutashabiyat. Dalam dunia sufi jalan ini di refleksikan menjadi jalan “salah” atau kalandar, jalan yang menutupi kesan baik atas makna yang ditampilkan, menghindari ujub atas kesalehan yang telah menjangkau kepada kebenaran tetapi ditumpahkannya pada kehendak berkuasa atas kerja seni.
***
Alih-alih spiritual itu ada pada titik tengah lingkaran kehidupan, penyair malah berlari menjauhinya, menembus pekat tanah, dari akar sebuah pohon yang menjulang ke langit.
Semacam logika kotak sianidanya Schrondinger, bahwa tanpa pengamatan dan berdirinya cahaya, toh kehidupan itu tetap berlangsung. Kebenaran ada karena hadir sang buruk, sang buruk adalah manifestasi dari kebenaran itu sendiri.
Dari spirit ini Harie Giebs hadir dengan sajak-sajaknya yang berwarna kalandar. Ia menampilkan kebenaran dari sisi gelapnya. Ia bicara seksualitas, amoralitas, dan mekanisasi sains dalam bentuknya yang unik. Keliaran itu kemudian mencapai puncaknya ketika Giebs berbicara Tuhan dengan gemilang…
“Kau, perempuan yang belum selesai. Payudaramu masih imaginatif. Vaginamu masih dalam ketakketerbatasan materi. Manifestasi empiris yang belum aku proyeksikan dengan titik. Tanda-tanda”. (Aku, dalam tiga puisi: Aku, NY dan Aku dan NY) Kata Giebs.
Betapa simbolitas yang liar itu telah mengantarkan kita kepada realitas sejati. Pada titik, titik spiritual yang kembali menorehkannya pada tanda-tanda, sebagai derivasi ayat-ayat suci Tuhan dalam sekumpulan benda kosmologi terspritualisasi.
Jika jokpin telah berhasil merentang makna pada urat tawa, Sapardi pada pembongkaran dogmatis, maka Giebs pada unsur seksual itu. maka ketiganya telah berhasil melepaskan ketertindasan dari kekuasaan teks. Kekuasaan teks yang ada secara turun-menurun dipertanyakan, dinilai kembali, di benturkan dengan realitas, maka yang muncul adalah kekuasaan atas teks. Dari sana mereka telah keluar dari labirin skriptural ayat suci demi kekuatan yang tumbuh, sehingga menjelma menjadi manusia-unggul (insan kamil), sebagai refleksi dari ayat suci yang mereka yakini.
Dari sini jelaslah bahwa karya seni apapun bentuknya adalah bentuk aktualisasi diri, syiar dan tasbih, (Kuntowijoyo-Muslim Tanpa Masjid) lalu mendapatkan momentumnya: Kehendak berkuasa, sublimasi dan gnosis…
Lalu essai pendek ini akan diakhiri dengan sebuah pertanyaan kritis Sang Maestro seni kaligrafi Indonesia, Pak AR:
Sejaumana karya seni Agamis dapat membawa umatnya kepada keimanan?, atau secara spesifik misalnya: Sejauhmana puisi Islam dapat membuat orang jadi bertambah keimanannya?***
Cikarang, 7 Februari 2010
Sumber: facebook