(KOMPAS, Selasa, 28 Januari 2003)
LALU ia ngacir, tanpa celana dan berkelana mencari kubur ibunya, hanya untuk menanyakan, "Ibu, kau simpan di mana celana lucu yang kupakai waktu bayi dulu?". Celana dan kuburan, di tangan Joko Pinurbo, menjadi rangkaian kata yang tersatukan. Ia membongkar makna kata dan menghidupkan makna baru lewat hal yang sepele dan seram, seperti celana, vagina, ranjang, kuburan, ziarah, dan kematian.
Lihatlah caranya dalam puisi Atau di kumpulannya terbaru (tahun 2002), Pacarkecilku. Penggalannya, Ketika saya akan masuk ke kamar mandi dari balik pintu tiba-tiba muncul perempuan cantik bergaun putih menodongkan pisau ke leher saya. "Pilih cinta atau nyawa?" ia mengancam,... "Pilih perkosa atau nyawa".
Bayangkan, 'perempuan' yang 'cantik' dan 'bergaun putih', menodongkan pisau, ingin memerkosa dan eee.., kok di kamar mandi.
Begitulah dunia penyair; membangun dunia imajinasi yang tak mungkin dibayangkan oleh para ilmuwan dan ekonom, namun ternyata masih kalah dengan ilusionis terkenal. "David Copperfield (sang penyulap itu) membangun dunia beyond imagination yang melampaui imajinasi penyair," kata Faruk HT dalam buku Beyond Imagination, Sastra Mutakhir dan Idelogi. Yang terakhir ini gara-gara penyair Sutardji CB membuat puisi David Copperfield, Realitas '90. Sampai tingkat tertentu, apa yang diperbuat Joko juga sudah menyentuh beyond imagination, sesuatu yang di luar bayangan kita.
Joko baru panen penghargaan. Ia menerima Hadiah Sastra Lontar 2001 untuk buku puisi Celana, Sih Award 2001 untuk trilogi puisi Celana 1, 2, 3, Penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2002 untuk buku puisi Di Bawah Kibaran Sarung dan Lima Besar Khatulistiwa Literary Award 2002 untuk buku puisi Pacarkecilku. Ia mengikuti berbagai forum sastra, antara lain Festival Puisi Antarbangsa Winternachten Overzee di Jakarta tahun 2001, dan Festival Sastra Winternachten di Belanda tahun 2002.
Penyair berdarah Jawa ini lahir (tahun 1962) di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, dari keluarga guru sekolah dasar yang menetap di tlatah Sunda tersebut. Sulung dari lima bersaudara ini menamatkan SD-nya di sana dan melanjutkan studi ke Yogyakarta.
Apa pengaruh bahasa Sunda pada puisinya?
"Saya tidak menguasai satu pun bahasa daerah secara baik. SD dapat bahasa Sunda, SMP di Yogya, dan pendidikan Seminari Mertoyudan di Magelang yang heterogen, lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Saya tak bisa memainkan bahasa daerah (Jawa) sefasih Linus Suryadi AG misalnya, dengan idiom-idiomnya. Nah, itu problem," cetus suami dari seorang guru SMP bernama Nurnaeni ini.
Puisinya banyak menyoroti ranjang atau kamar mandi. Ternyata itu erat berhubungan dengan sejarah kehidupan yang sarat dengan penyakit yang hampir merenggut nyawanya.
"Sejak kecil saya ini sakit-sakitan, bronkhitis dan tipus berbarengan lama sekali dan dikira hampir mati, aku (ketika diwawancara, ia memakai kata aku dan saya bergantian) merasa rada sensitif terhadap tubuh dan perasaan. Lalu lebih banyak merenung tentang tubuh dan sekitarnya, misalnya, tentang kamar mandi, ranjang, dan semua yang masih berhubungan dengan ekologi tubuh," ungkap bapak dari Paska (10) dan Azalea (8) ini.
Puisi Joko kebanyakan dimulai dengan hal-hal kecil yang tak dimaksudkan untuk memaknai suatu gejala sosial, serta kata yang dekat dengan wilayah mistis. Sejak sakit ia tertarik pada kuburan, yang baginya semula mengerikan, tetapi kemudian menjadi indah.
"Yang disebut pengalaman mistis itu sering saya alami. Kalau aku menulis puisi itu, sering ada sosok anak kecil laki-laki di samping saya, ia menangis malam-malam," tuturnya. Joko tidak mencoba mengasah kepekaan mistisnya itu secara khusus, atau memasuki komunitas yang mempercayai hal-hal semacam itu.
Kenangannya terhadap masa kecil melukai sekaligus memberinya semangat untuk terus menggugat dan menulis. Pengalaman itu mengajarkan, dulu ia hampir mati, ternyata bisa bertahan hidup. Ia mempelajari puisi Indonesia, dan menemukan bahwa tidak ada yang memperhatikan celana atau kamar mandi. "Kalaupun ada, dipakai sekadar tempelan, belum ada yang mendiskusikan secara khusus," kata penyair lulusan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP (kini Universitas) Sanata Dharma tahun 1987 ini.
Keliru kalau kita berharap memperoleh romantisme keindahan alam atau kemolekan tubuh wanita dalam pusinya. Dalam kumpulan Di Bawah Kibaran Sarung, kadang ia mengalihkan lanskap alam ke tubuh, bahwa tubuh itu seperti juga alam; suatu saat subur, lalu meranggas. Tetapi, pembaca tak akan mendapatkan tubuh yang sempurna, yang menuturkan dengan tuntas sebuah keindahan. Joko biasanya lantas kembali ke pengalaman tubuh yang sejak kecil sakit.
"Puisi saya tak ada yang sifatnya kebetulan. Intuisi itu penting, tetapi selebihnya olah pikir. Saya agak menolak dunia puisi seakan-akan dunia magis dan dunia intuisi," tandasnya.
Dalam berbagai kumpulan puisi, terutama sebelum tahun 1995, puisi Joko tak beda dengan penyair yang lain, mendayu-dayu penuh dengan romantisme. Joko sadar, kalau ia hanya mengolah kata semacam itu, ia tidak akan menjadi apa-apa. Kemudian ia mengolah pengalaman masa kecil dengan kreatif, termasuk menemukan gaya penuturan yang familiar komunikatif. Ciri lainnya, substansi puisinya tak ingin menyembunyikan misteri makna, meskipun maknanya tetap misterius.
Joko mengaku terkesan dengan berbagai karya Linus Suryadi AG yang mengambil humor dan kekonyolan hidup sehari-hari. "Aku sangat terkesan dengan puisinya yang berjudul Kali Progo. Aku sangat terpengaruh, hidup itu mengalir sajalah, tidak usah ngoyo," ujar Joko, yang bakatnya "ditemukan" pertama kali oleh Linus.
Joko mulai menulis sejak di SMU. Mungkin seandainya didukung fasilitas dalam keluarganya, ia bisa memulainya lebih pagi. Waktu kecil ia sudah senang bermain fantasi, punya kebiasaan menulis di awang-awang, lalu dituangkan di lembaran kertas sembarangan. Bakatnya mulai terdorong keluar, ketika di seminari mendapat berbagai provokasi. Ia kadang lebih mendahulukan kesenangannya menulis daripada mendengarkan pelajaran. Ia berterima kasih kepada Kardinal Darmaatmadja SJ, yang mendesaknya agar menekuni bidang sastra dan kemudian mencarikan bea siswa agar bisa melanjutkan studinya.
Masa pertumbuhan Joko di jagat Yogyakarta dikepung madzab besar yang diciptakan penyair semisal Goenawan Mohammad atau Sapardi Djoko Damono. Sangat sulit melepaskan dari belitan "kekuasan" mereka.
"Kalau soal produktivitas, penyair Indonesia luar biasa. Namun, bertahan dalam jangka waktu lama untuk tekun dan berusaha menemukan 'bahasa' sendiri itu berat. Saya hampir putus asa. Sebelum Celana terbit, saya, ya, mengulang-ulang para penyair sebelumnya, untung saya punya kesabaran dan kegigihan sendiri," tambahnya.
Agar bisa lepas dari pengaruh penyair senior, Joko bahkan membuat “bagan” atau “peta” kepenyairan Indonesia yang berisi gaya, tema, dan keunggulannya. "Saya studi benar tentang mereka. Mereka itu mulai dari Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Gunawan, Sapardi, dan Sutardji, itu yang pokok. Ketika peta itu sudah jadi, saya bertekad untuk keluar dari kungkungan mereka. Penyair yang baik itu bisa menyerap ilmu mereka, namun mampu mempunyai langgam sendiri," paparnya.
Dengan mengekplorasi tema-tema remeh seperti celana, Joko merasa bukan sekadar mengulang gaya mereka yang sudah mapan itu. Apa sih kepuasannya sebagai penyair?
"Wah, gimana ya. Secara material, ya tidak, malah nombok. 25 tahun aku menyair, apa yang diterima? Meskipun aku dapat berbagai penghargaan, hadiahnya kan tidak spektakuler. Yang membuat aku puas itu, aku bisa ikut dalam berbagai peristiwa internasional. Bahasa Indonesia yang dikatakan miskin, ternyata bisa juga menjadi alat ungkap yang luar biasa. Karena itu aku akan setia dalam jalur ini, belum tertarik dengan prosa," ungkap Joko.
(Bambang Sigap Sumantri)