Arie MP Tamba
Atas nama para penyair, / yang dengan puisi berjuang menerangi gua ruhani, / yang dalam jiwanya berkobar 6666 matahari, / Aku sujud ke haribaanMu duhai Yang Mahaapi. (Sitok Srengenge, "Takbir Para Penyair")
Ada yang berbeda pada malam Tadarus Puisi 1427 di TIM, 6 Oktober 2006 lalu. Bila tahun-tahun sebelumnya tadarusan diisi pembacaan puisi-puisi religius penyair Muslim, maka kali ini tampil di atas pentas para penyair dengan latar belakang agama beragam, seperti Saut Situmorang (Protestan), Joko Pinurbo (Katolik), Ida Ayu Oka Suwati Sideman (Hindu), dan Sitok Srengenge (Islam). “Lintas iman”, begitulah panitia menggarisbawahi keberbagaian latar belakang agama tersebut. Sebuah upaya untuk lebih memperluas ruang apresiasi bagi puisi-puisi religius, sekaligus menunjukkan betapa tak bertepinya pemaknaan religiusitas yang dapat diwadahi oleh puisi.
“Saya sendiri tak begitu pasti mana puisi yang religius, namun puisi-puisi saya semuanya religius,” begitulah pengantar Joko Pinurbo memulai pembacaan sebagai penampil kedua. Joko mencoba mencairkan istilah “lintas agama” yang dijadikan panitia melegitimasi acara, sebagai klaim yang boleh jadi tidak perlu ditegas-tegaskan. Sebab, bagi Joko, yang menjadi fokus adalah malam pertunjukan pembacaan puisi, dengan kekuatan sastra yang mampu ditawarkannya.
Pada pembacaan pertama, Joko membawakan Penumpang Terakhir. Sebuah puisi bertema kemanusiaan yang kompleks, antropologis, sosiologis, sekaligus religius. Tentang aku lirik yang memiliki kebiasaan mudik dan menumpangi becak langganannya. Setiap pulang kampung, aku selalu menemui abang becak/yang suka mangkal di bawah pohon beringin itu/dan memintanya mengantarku ke tempat-tempat/yang aku suka. Entah mengapa aku sering kangen/dengan becaknya. Mungkin karena genjotannya enak,/lancar pula lajunya.
Malam itu, aku lirik minta diantarkan ke kuburan, karena ingin menabur kembang di makam nenek moyang. Di pertengahan jalan, si aku lirik kasihan melihat tukang becak tua yang sudah mengayuh kepayahan. Si aku lirik pun meminta si tukang becak menjadi penumpang, dan si aku liriklah yang mendayung becak.
Sampai di kuburan aku berseru bangun dong, Pak,/tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas/tidurnya. Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan/kutaburkan di atas makam nenekmoyangku/atau di atas jenazah bang becak yang kesepian itu.
Malam itu, aku lirik menjadi penumpang terakhir bagi tukang becak, dan si tukang becak menjadi penumpang pertama sekaligus terakhir bagi aku lirik. Dan puisi ditutup dengan kemungkinan terbuka, si tukang becak boleh jadi meninggal dunia karena kelelahan, atau tertidur pulas di atas joknya. Yang pasti, tersuguh sebuah peristiwa rekaan sarat ironi, dengan kemungkinan kekayaan makna saling bersimpangan.
Siapa menjadi pendayung, siapa penumpang terakhir, untuk siapa bunga kematian ditaburkan, itulah persoalan hidup sehari-hari. Gonta-ganti peran antarmanusia, tak selamanya mudah dirunut. Hari ini menjadi tuan, besok menjadi jongos, hari ini selamat, besok dikuburkan. Tak mudah dilacak, seperti remangnya kehidupan itu sendiri.
Sarkasme atas psikologi banal
Dan seperti biasa, puisi Joko selalu membuka luas ruang cerita, dengan bentuk prosa yang sengaja dipenggal ke dalam bait-bait bebas yang lebih tepat disebut alinea. Hingga, aku lirik dalam puisi-puisi Joko pun sering lebih layak disebutkan sebagai narator. “Ini baru puisi religius,” kata Joko tersenyum, ketika memulai pembacaan puisi keduanya Sehabis Sembahyang.
Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku.
Terima kasih atas segala pemberianmu,
mohon lagi kemurahanmu: sekadar mobil baru
yang lembut dan lebih kencang lajunya
agar aku bisa lebih cepat mencapaimu.
Sarkasme pada diri sendiri dan psikologi yang banal, adalah santapan puitik yang ditawarkan Joko. Benturan posisi doa yang penuh takluk, dibiarkan berdampingan dengan ejekan ironik terhadap watak loba. Kenyataan batin yang sukar disangkal dan dipungkiri kemungkinannya, dengan kata-kata tersusun sedemikian ketat berreferensi keseharian. Dengan jeli, Joko memilah-milah kenyataan dan mempertautkannya sebagai renungan yang sukar ditolak.
Dan Joko belum berhenti. Sementara aku masuk ke rumahmu, kau malah/pergi ke kantor pos kecamatan,/mengambil jatah santunan seatus ribu./Berbekal kartu tanda miskin, kau rela antri/berjam-jam hingga bajumu yang masih baru/langsung luntur oleh cucuran peluhmu.
Berlanjut ke dua alinea berikutnya, tentang aku lirik yang menemukan Tuhan telah mengalami personalisasi sebagai fakis yang mendapatkan santunan, sempat menangis dan pingsan, lalu memperoleh jatahnya – namun kemudian dirampas aku lirik yang bersembahyang dalam puisi ini. Kekejaman manusia berlangsung kronologis, dengan penyerahan diri ke dalam doa dan kemasabodohan atas nasib orang lain.
Gugatan pada makna doa dan seperti apa manusia memaknainya, menjadi persoalan yang menyayat perasaan dan dihadirkan Joko. Seperti apa pencapaian bentuk dan isi puisi tak begitu penting lagi dipersoalkan, ketika persoalan yang dibawanya telah demikian menikam kesadaran. Ironi dan sarkasme, menjelujur tak habis-habisnya.
Berbeda dengan puisi-puisi Saut Situmorang sebagai penampil pertama, yang membawa serapah dan raungan. Saut mengangkat ziarah incest sebagai ziarah kreatif dan filosofis ke kebudayaan leluhur. Menghadapi langsung mitologi incest sebagai awal mula kehidupan suku, yang dulu mendera dan menimbulkan keterbatasan personifikasi, Saut sengaja kembali dan juga melepaskan diri. Hingga aku lirik menemukan dirinya: Aku lebih tinggi dari takdir, lebih kuasa dari/Yang Paling Kuasa/tiga benua/tiga raja penguasa/tiga warna keramat mulia/lebur dalam diriKu/jadi Aku!
Penyair yang pernah hidup 11 tahun di Selandia Baru ini secara unik meneriakkan puisi-puisi yang bagi saya lebih memaksimalisasikan antropologi Batak sebagai bahan kreatif, ketimbang perjalanan perantauan yang pernah memperkaya Sitor Situmorang. Barangkali, Saut Situmorang dengan sadar memang menghindari takdir Sitor Situmorang, Si Anak Hilang. Karena Saut menemukan hidup kreatif dalam tenaga serapah, penghujatan kritis terhadap kebudayaan leluhurnya. Tentu saja, dengan personifikasi baru: aku lirik dengan kemungkinan transendensi linguistik yang disengaja berlapis-lapis. mampuslah kau! Aku ambil kembali semua warisanKu! Dari rahimmu yang mandul kembali/dan lihatlah! Aku manortor sendiri mengejek langit dan bumi/suara gondangKu gemuruh menampar matahari terbakar.
Ida Ayu Oka Sudawati Sideman, menjadi penampil ketiga yang menurut saya agak dipaksakan panitia di antara para penyair “jantan” malam itu. Dengan puisi Sinta, Sideman seperti mengetahui bahwa ruang dan waktu pembacaan malam itu tidak begitu tepat baginya. Ia pun hanya membacakan Sinta, dan membiarkan pentas dikelebati tebaran kata-kata dengan gaya khas ketiga penyair Indonesia terbaik saat ini. Dan yang terakhir, tentu saja Sitok Srengenge, seorang penyair yang tak memerlukan lagi kata-kata pengantar ataupun ulasan panjang lebar tentang puisi-puisinya.
Osmosa Asal Mula adalah puisi Sitok yang menurut saya termasuk sebuah puisi Indonesia terbaik saat ini. Memperagakan permainan sampiran dan isi yang terus melebar dan berlanjut dengan sebuah ide yang pada satu bait menjadi penutup namun pembuka pada bait berikutnya, hingga penulisan puisi Osmosa Asal Mula keseluruhan sebenarnya bersifat melingkar, mengisyaratkan kebulatan hidup, sebagai wujud kesempurnaan ciptaan dan Sang Pencipta. Meski terdapat beragam pertanyaan yang tak pernah selesai, di dalam bulatan tersebut.
Aku bertanya kepada angin/Dari mana asalnya angin/Angin menggoyangkan pucuk-pucuk daun/Dan kesaksian pohon-pohon melukis lingkaran tahun //Aku bertanya kepada pohon/Darimana datangnya waktu/Pohon merekahkan kelopak bunga/Dan kusaksikan lebah hingga menghisap madu… dst.
Patut dicatat, kesadaran Sitok membacakan puisi Takbir Para Penyair yang terkenal itu dari balik panggung, ketika panggung diisi tiga penari Darwis menunjukkan keterampilannya. Tarian Darwis adalah sebuah tarian sufistik yang dipoluperkan oleh Rumi pada abad ke-13. Rumi dan para pengikutnya memuja Tuhan dengan tarian berputar, simbolisasi memutari sebuah kutub, menambah kekhusyukan sekaligus menandaskan ketaklukan. Malam itu, di antara suara Sitok yang lantang, para penari Darwis terus berputar:
Dan kami yang naif ini
beranikan diri mematik letik api
gagu menggugah madah debu
digetar rasa ingin sembahyang kepadaMU
(Dipublikasikan di Jurnal Nasional, 15 Oktober 2006)
Tampilkan postingan dengan label Arie MP Tamba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arie MP Tamba. Tampilkan semua postingan
Pola Puitik Jenaka
(Jurnal Nasional, Minggu, 16 Desember 2007)
Arie MP Tamba
Sejarah puisi Indonesia adalah sejarah yang serius. Serius dalam pemikirannya dan serius dalam puitikanya. Bukan sebuah dosa, memang, serius itu baik. Hanya saja, sikap serius itu kurang manusiawi. Derrida pun, pemikir yang dikenal dengan ketekunan membaca dan merombak ulang kanonik pemikiran, bermain-main dalam menafsirkan pemikiran Marxis. Kegarangan Marxis dipahami melalui karakteristik hantu ‘“ bapaknya Hamlet ‘“ dalam drama Sakespeare. Kegairahan dan kejernihan muncul di situ, di kinerja main-main dan akal-akalan.
Tubuh sastra Indonesia terlalu serius. Anggie Murnie dalam artikel “Menjelami Laoetan Kesoesteraan”, dimuat Pedoman Masjarakat (1941) menuliskan: “Seni bahasa atau kesoesteraan mempoenjai kedoedoekan jang tersendiri dalam hati dan djiwa si pembatjanja, tetapi seni bahasa atau kesoesteraan jang keloear dari djiwa dan hati, boekan kesoesteraan jang terbit oleh karena dipaksa dan dihedjan-hedjan”.
Tegas dan mantap. Anggie Murnie, sastrawan kondang di tahun 1930 sampai 1940-an, menutup pintu sastra yang dihasilkan dari paksaan dan hedjanan.
Surat Kepercayaan Gelanggang, yang oleh banyak pihak dianggap tonggak sastra modern Indonesia, memberi garis serius terhadap kesusastraan. “Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai”. Para Angkatan 45 siap dan sanggup mendesak-desakan konsepsi estetiknya.
Manifes Kebudayaan, yang diyakini memperjuangkan humanisasi, pun bersikap keras terhadap penafsiran lawan-lawannya. Wiratmo Sukito tahun 1977 memberi catatan serius, “Dengan demikian sikap kompromistis Manifes harus dianggap sebagai tidak pernah ada (null and void)”. Sikap pentolan dari Manikebu ini menandaskan ketegasannya dalam berkonfrontasi dengan pilihan estetik dari Lekra. Sikap Lekra terhadap Manikebu pun, tidak lebih tidak kurang, sama. Artinya, sama-sama serius dan sama-sama tegang.
Sungguh, sejarah sastra dan puisi Indonesia dibentuk oleh ketegangan-ketegangan yang serius atau keseriusan yang tegang. Tidak ada tempat bagi main-main. Mereka, sastra Indonesia, seakan menyatakan, “masuklah keseriusan” dan “ silakan keluar permainan.”
Tetapi Joko Pinurbo, penyair kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962, membikin bentuk puisi berbeda. Sekali-sekali telepon genggam perlu juga diajak piknik atau jalan-jalan ke pantai, misalnya, supaya makin luas pandangannya. Makin lepas jangkauannya. Sebuah puisi kocak tentang telepon genggam (HP). Aku lirik (aku dalam puisi) berdialog dengan benda (HP). Mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Ada terjadi personifikasi. HP dinyatakan atau diposisikan sebagai manusia.
Adegan dalam puisi “Laut” semakin kocak ketika sesampai di pantai, aku lirik hanya diam saja. Sedangkan HP, layaknya turis, benda ini sibuk memotret awan dan air. Merekam derai dan desir. Bahkan, sembari rada menyindir, si HP malahan mengomentari aku lirik yang hanya tidur-tiduran: Silakan latihan mati.
Membaca puisi “Laut”, juga membaca puisi-puisi lainnya di kumpulan puisi Telepon Genggam (2003) dari Joko Pinurbo, penulis seakan menemukan spirit yang berbeda.
Sebuah spirit yang lain dibandingkan dengan umumnya spirit puisi dalam sejarah puisi Indonesia. Ialah, spirit main-main, jenaka, dan renyah. Lihatlah cuplikan puisi berjudul “Selamat Tidur” ini: Telepon genggam mau tidur. Capek. Seharian bermain monolog. Banyak peran. Konyol. Enggak nyambung.
Joko Pinurbo seakan berdiri di luar spirit sejarah puisi Indonesia. Seakan membikin arus sejarah sendiri. Arus sejarah yang memandang puisi bukanlah sosok yang musti menciptakan kerut-kerut di kening. Puisi jenaka. Memang, jika dirunut di masa-masa silam, ada pendahulu-pendahulu dari spirit puisi Joko Pinurbo.
Misalkan puisi Yudhistira ANM Massardi (1975) berjudul “Sajak Sikat Gigi”: Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur. Di dalam tidurnya ia bermimpi. Ada sikat gigi mengosok-gosok mulutnya supaya terbuka. Puisi-puisi Yudhistira tergolong unik dalam rentetan sejarah puisi Indonesia. Puisi-puisi kocak ini banyak diminati oleh kaum remaja. Padahal, biasanya, para remaja lebih mengenal puisi Chairil. Kenal puisi Chairil oleh sebab diperkenalkan sebagai bacaan wajib di sekolahan. Kelebihan dari puisi-puisi Yudhistira adalah pada sudut pandang jenaka, tema ringan, logika tidak berbelit-belit, ide cerdas, terkesan vulgar, dan spontan.
Secara teknik, Yudhistira tidak menampakkan kegagapan sintaktik maupun semantik. Jikalau menghadapi puisi Toeti Heraty, pembaca perlu konsentrasi sejenak atau mesti mengingat-ingat pelajaran filsafat, kasus runyam tersebut tidak perlu terjadi saat baca puisi Yudhistira. Pembaca kurang perlu susah-susah mencerna. Akrab.
Memang, kunci dari puisi Yudhistira adalah kedekatannya dengan pembaca. Kejenakaan dan spontanitas puisi-puisi tersebut sanggup mempersempit jarak antara teks dengan konteks, antara gagasan penciptaan dengan horison harapan pembaca.
Meski jenaka, puisi-puisi dari Yudhistira tidak jatuh pada kebanalan, pun juga kegagapan. Di situ tampak, Yudhistira menguasai teknik estetika puisi. Kata-kata mengalir lancar dan tema tergarap secara tajam. HB. Jassin pun pernah mencatatkan: “Ia adalah pengamat yang tajam dari masyarakatnya, tapi ia tidak mendramatisir keadaannya. Penderitaan dihadapinya dengan analisa yang dengan sendirinya menjadi humor dan demikian dihadapi dengan dewasa dan jauh dari kecengengan”.
Apakah pandangan-penerimaan Jassin merupakan pandangan umum “masyarakat” sastra serius? Ada satu peristiwa ganjil di situ. Pada tahun 1978, Yudhistira bersama-sama dengan Sutardji CB, Sitor Situmorang, dan Abdul Hadi menerima penghargaan atas penerbitan buku puisi tahun sebelumnya (1977). Ternyata, dari pembicaraan-pembicaraan di surat kabar, para penyair yang “sudah jadi” seperti Abdul Hadi WM sama sekali tidak senang disejajarkan dengan penyair badut yang “tidak serius” sebangsa Yudhistira.
Bahkan, Sutardji menulis: “Humor dalam sajak-sajak Yudhis tidak mempunyai daya tukik yang dalam dan hanyalah datar bagaikan kedataran sebuah lapangan terbang”. Alhasil, atas suatu pertimbangan yang ganjil dan mengada-ada, panitia menarik kembali penghargaan atas puisi-puisi Yudhistira.
Tetapi mungkin perkaranya tidak sesederhana itu. Beberapa penyair, bisa jadi mayoritas, memang mengkehendaki sejarah puisi yang serius, tegang, dan tidak main-main. Chairil
Anwar meradang, menerjang. Soebagio Sastrowardoyo berteriak hosannah, hosannah. Tardji merebakkan mantra-mantra gaib. Rendra pun mengisap lisong sembari menghujat Indonesia Raya. Sungguh sejarah yang penuh ketegangan.
Ada memang Goenawan Mohamad (GM), penyair yang juga konglomerat ini menggulirkan “sastra sebagai pasemon”. Apakah GM berupaya mewarnai sejarah puisi yang tegang dengan riap-riap kejenakaan. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Pada pidatonya di Leiden (25 Mei 1992), di hadapan tamu-tamu penyerahan Hadiah A. Teeuw, GM mengklarifikasi terhadap anggapan sebagian orang yang menyangka “pasemon” adalah sejenis “guyonan”: “Pasemon bukan saja mencerminkan suatu tahap kepiawaian tertentu (yang dalam konsep Jawa sering identik dengan “kehalusan”).
Ia juga semacam simptom dari sebuah masyarakat yang menerima kebudayaan sebagai
trauma”. Dari klarifikasi GM, dua kata patut mendapat catatan, “kehalusan” dan “trauma”. Keduanya menandaskan bahwa gagasan GM tentang pasemon bukanlah gagasan yang jenaka, verbal, dan main-main. GM juga termasuk dalam gerbong sejarah puisi yang serius, tegang, dan penuh kalkulasi. Hanya saja, memang, pasemon GM seakan-akan jenaka, seakan-akan main-main.
Lihat saja puisi GM, “Nina Bobo”: Tidurlah bocah, sampai ketukan di tengah malam, sampai engkau bangkit dan seluruh pulau mendengarkan: Bahwa bom yang pecah membagi bumi. Puisi ini sama sekali tidak berpuitika jenaka. Walaupun telah berjudul “Nina Bobo” dan walaupun telah mempergunakan tokoh bocah, GM tidaklah sedang berjenaka. Sebab, ada dua karakter utama puisi jenaka, yaitu bersifat spontan dan verbalitas pengungkapan. Keduanya tidak hadir dalam pasemon GM. Yang tersaji hanyalah kehalusan dan trauma.
Sejarah puisi Indonesia, penulis menyangka, telah berlaku tidak adil pada puisi berbentuk jenaka. Pola puitik jenaka atau main-main atau kocak telah dengan sengaja dipinggirkan, dimarjinalkan. Padahal, fakta membuktikan, puisi Yudhistira telah berhasil mempersempit jarak antara teks (baca: puisi) dengan pembacanya. Terutama pembaca remaja. Suatu prestasi yang jarang diraih oleh penyair serius atau penyair tegang. Padahal juga, bila dirunut lebih ke masa silam, usia puisi berpola puitik jenaka sama tuanya dengan jenis-jenis puisi lain.
Pantun jenaka misalnya. Pantun sudah dibikin atau dikenal luas, jauh sebelum orang Jawa pintar berbahasa Indonesia. Bisa jadi, perlakuan adil terhadap pola puitik jenaka akan memberi warna lebih cerah atas perkembangan puisi Indonesia. Saat ini, Joko Pinurbo telah memulai. Di tangan Joko Pinurbo, puisi tampak lebih komunikatif, jernih, renyah, cemerlang. Penulis juga meyakini, pola puitik jenaka masih menyediakan kemungkinan-kemungkinan eksplorasi tidak terbatas.
Arie MP Tamba
Sejarah puisi Indonesia adalah sejarah yang serius. Serius dalam pemikirannya dan serius dalam puitikanya. Bukan sebuah dosa, memang, serius itu baik. Hanya saja, sikap serius itu kurang manusiawi. Derrida pun, pemikir yang dikenal dengan ketekunan membaca dan merombak ulang kanonik pemikiran, bermain-main dalam menafsirkan pemikiran Marxis. Kegarangan Marxis dipahami melalui karakteristik hantu ‘“ bapaknya Hamlet ‘“ dalam drama Sakespeare. Kegairahan dan kejernihan muncul di situ, di kinerja main-main dan akal-akalan.
Tubuh sastra Indonesia terlalu serius. Anggie Murnie dalam artikel “Menjelami Laoetan Kesoesteraan”, dimuat Pedoman Masjarakat (1941) menuliskan: “Seni bahasa atau kesoesteraan mempoenjai kedoedoekan jang tersendiri dalam hati dan djiwa si pembatjanja, tetapi seni bahasa atau kesoesteraan jang keloear dari djiwa dan hati, boekan kesoesteraan jang terbit oleh karena dipaksa dan dihedjan-hedjan”.
Tegas dan mantap. Anggie Murnie, sastrawan kondang di tahun 1930 sampai 1940-an, menutup pintu sastra yang dihasilkan dari paksaan dan hedjanan.
Surat Kepercayaan Gelanggang, yang oleh banyak pihak dianggap tonggak sastra modern Indonesia, memberi garis serius terhadap kesusastraan. “Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai”. Para Angkatan 45 siap dan sanggup mendesak-desakan konsepsi estetiknya.
Manifes Kebudayaan, yang diyakini memperjuangkan humanisasi, pun bersikap keras terhadap penafsiran lawan-lawannya. Wiratmo Sukito tahun 1977 memberi catatan serius, “Dengan demikian sikap kompromistis Manifes harus dianggap sebagai tidak pernah ada (null and void)”. Sikap pentolan dari Manikebu ini menandaskan ketegasannya dalam berkonfrontasi dengan pilihan estetik dari Lekra. Sikap Lekra terhadap Manikebu pun, tidak lebih tidak kurang, sama. Artinya, sama-sama serius dan sama-sama tegang.
Sungguh, sejarah sastra dan puisi Indonesia dibentuk oleh ketegangan-ketegangan yang serius atau keseriusan yang tegang. Tidak ada tempat bagi main-main. Mereka, sastra Indonesia, seakan menyatakan, “masuklah keseriusan” dan “ silakan keluar permainan.”
Tetapi Joko Pinurbo, penyair kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962, membikin bentuk puisi berbeda. Sekali-sekali telepon genggam perlu juga diajak piknik atau jalan-jalan ke pantai, misalnya, supaya makin luas pandangannya. Makin lepas jangkauannya. Sebuah puisi kocak tentang telepon genggam (HP). Aku lirik (aku dalam puisi) berdialog dengan benda (HP). Mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Ada terjadi personifikasi. HP dinyatakan atau diposisikan sebagai manusia.
Adegan dalam puisi “Laut” semakin kocak ketika sesampai di pantai, aku lirik hanya diam saja. Sedangkan HP, layaknya turis, benda ini sibuk memotret awan dan air. Merekam derai dan desir. Bahkan, sembari rada menyindir, si HP malahan mengomentari aku lirik yang hanya tidur-tiduran: Silakan latihan mati.
Membaca puisi “Laut”, juga membaca puisi-puisi lainnya di kumpulan puisi Telepon Genggam (2003) dari Joko Pinurbo, penulis seakan menemukan spirit yang berbeda.
Sebuah spirit yang lain dibandingkan dengan umumnya spirit puisi dalam sejarah puisi Indonesia. Ialah, spirit main-main, jenaka, dan renyah. Lihatlah cuplikan puisi berjudul “Selamat Tidur” ini: Telepon genggam mau tidur. Capek. Seharian bermain monolog. Banyak peran. Konyol. Enggak nyambung.
Joko Pinurbo seakan berdiri di luar spirit sejarah puisi Indonesia. Seakan membikin arus sejarah sendiri. Arus sejarah yang memandang puisi bukanlah sosok yang musti menciptakan kerut-kerut di kening. Puisi jenaka. Memang, jika dirunut di masa-masa silam, ada pendahulu-pendahulu dari spirit puisi Joko Pinurbo.
Misalkan puisi Yudhistira ANM Massardi (1975) berjudul “Sajak Sikat Gigi”: Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur. Di dalam tidurnya ia bermimpi. Ada sikat gigi mengosok-gosok mulutnya supaya terbuka. Puisi-puisi Yudhistira tergolong unik dalam rentetan sejarah puisi Indonesia. Puisi-puisi kocak ini banyak diminati oleh kaum remaja. Padahal, biasanya, para remaja lebih mengenal puisi Chairil. Kenal puisi Chairil oleh sebab diperkenalkan sebagai bacaan wajib di sekolahan. Kelebihan dari puisi-puisi Yudhistira adalah pada sudut pandang jenaka, tema ringan, logika tidak berbelit-belit, ide cerdas, terkesan vulgar, dan spontan.
Secara teknik, Yudhistira tidak menampakkan kegagapan sintaktik maupun semantik. Jikalau menghadapi puisi Toeti Heraty, pembaca perlu konsentrasi sejenak atau mesti mengingat-ingat pelajaran filsafat, kasus runyam tersebut tidak perlu terjadi saat baca puisi Yudhistira. Pembaca kurang perlu susah-susah mencerna. Akrab.
Memang, kunci dari puisi Yudhistira adalah kedekatannya dengan pembaca. Kejenakaan dan spontanitas puisi-puisi tersebut sanggup mempersempit jarak antara teks dengan konteks, antara gagasan penciptaan dengan horison harapan pembaca.
Meski jenaka, puisi-puisi dari Yudhistira tidak jatuh pada kebanalan, pun juga kegagapan. Di situ tampak, Yudhistira menguasai teknik estetika puisi. Kata-kata mengalir lancar dan tema tergarap secara tajam. HB. Jassin pun pernah mencatatkan: “Ia adalah pengamat yang tajam dari masyarakatnya, tapi ia tidak mendramatisir keadaannya. Penderitaan dihadapinya dengan analisa yang dengan sendirinya menjadi humor dan demikian dihadapi dengan dewasa dan jauh dari kecengengan”.
Apakah pandangan-penerimaan Jassin merupakan pandangan umum “masyarakat” sastra serius? Ada satu peristiwa ganjil di situ. Pada tahun 1978, Yudhistira bersama-sama dengan Sutardji CB, Sitor Situmorang, dan Abdul Hadi menerima penghargaan atas penerbitan buku puisi tahun sebelumnya (1977). Ternyata, dari pembicaraan-pembicaraan di surat kabar, para penyair yang “sudah jadi” seperti Abdul Hadi WM sama sekali tidak senang disejajarkan dengan penyair badut yang “tidak serius” sebangsa Yudhistira.
Bahkan, Sutardji menulis: “Humor dalam sajak-sajak Yudhis tidak mempunyai daya tukik yang dalam dan hanyalah datar bagaikan kedataran sebuah lapangan terbang”. Alhasil, atas suatu pertimbangan yang ganjil dan mengada-ada, panitia menarik kembali penghargaan atas puisi-puisi Yudhistira.
Tetapi mungkin perkaranya tidak sesederhana itu. Beberapa penyair, bisa jadi mayoritas, memang mengkehendaki sejarah puisi yang serius, tegang, dan tidak main-main. Chairil
Anwar meradang, menerjang. Soebagio Sastrowardoyo berteriak hosannah, hosannah. Tardji merebakkan mantra-mantra gaib. Rendra pun mengisap lisong sembari menghujat Indonesia Raya. Sungguh sejarah yang penuh ketegangan.
Ada memang Goenawan Mohamad (GM), penyair yang juga konglomerat ini menggulirkan “sastra sebagai pasemon”. Apakah GM berupaya mewarnai sejarah puisi yang tegang dengan riap-riap kejenakaan. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Pada pidatonya di Leiden (25 Mei 1992), di hadapan tamu-tamu penyerahan Hadiah A. Teeuw, GM mengklarifikasi terhadap anggapan sebagian orang yang menyangka “pasemon” adalah sejenis “guyonan”: “Pasemon bukan saja mencerminkan suatu tahap kepiawaian tertentu (yang dalam konsep Jawa sering identik dengan “kehalusan”).
Ia juga semacam simptom dari sebuah masyarakat yang menerima kebudayaan sebagai
trauma”. Dari klarifikasi GM, dua kata patut mendapat catatan, “kehalusan” dan “trauma”. Keduanya menandaskan bahwa gagasan GM tentang pasemon bukanlah gagasan yang jenaka, verbal, dan main-main. GM juga termasuk dalam gerbong sejarah puisi yang serius, tegang, dan penuh kalkulasi. Hanya saja, memang, pasemon GM seakan-akan jenaka, seakan-akan main-main.
Lihat saja puisi GM, “Nina Bobo”: Tidurlah bocah, sampai ketukan di tengah malam, sampai engkau bangkit dan seluruh pulau mendengarkan: Bahwa bom yang pecah membagi bumi. Puisi ini sama sekali tidak berpuitika jenaka. Walaupun telah berjudul “Nina Bobo” dan walaupun telah mempergunakan tokoh bocah, GM tidaklah sedang berjenaka. Sebab, ada dua karakter utama puisi jenaka, yaitu bersifat spontan dan verbalitas pengungkapan. Keduanya tidak hadir dalam pasemon GM. Yang tersaji hanyalah kehalusan dan trauma.
Sejarah puisi Indonesia, penulis menyangka, telah berlaku tidak adil pada puisi berbentuk jenaka. Pola puitik jenaka atau main-main atau kocak telah dengan sengaja dipinggirkan, dimarjinalkan. Padahal, fakta membuktikan, puisi Yudhistira telah berhasil mempersempit jarak antara teks (baca: puisi) dengan pembacanya. Terutama pembaca remaja. Suatu prestasi yang jarang diraih oleh penyair serius atau penyair tegang. Padahal juga, bila dirunut lebih ke masa silam, usia puisi berpola puitik jenaka sama tuanya dengan jenis-jenis puisi lain.
Pantun jenaka misalnya. Pantun sudah dibikin atau dikenal luas, jauh sebelum orang Jawa pintar berbahasa Indonesia. Bisa jadi, perlakuan adil terhadap pola puitik jenaka akan memberi warna lebih cerah atas perkembangan puisi Indonesia. Saat ini, Joko Pinurbo telah memulai. Di tangan Joko Pinurbo, puisi tampak lebih komunikatif, jernih, renyah, cemerlang. Penulis juga meyakini, pola puitik jenaka masih menyediakan kemungkinan-kemungkinan eksplorasi tidak terbatas.
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo

Langganan:
Postingan (Atom)