“Private Symbol” dalam Celana, Tukang Cukur, dan Bulu Matamu: Padang Ilalang Karya Joko Pinurbo

Oleh Yuni Kuswidarti

Bulu mata, tukang cukur, becak, kulkas, salon kecantikan, patroli, dan kurcaci. Mungkin kata-kata yang baru saja saya tulis adalah kata-kata yang biasa kita dengar dan kita ucapkan sehari-hari. Setiap kata mempunyai makna masing-masing yang dengan mudah kita kuasai dan kita ucapkan tanpa berpikir lagi. Dari kata-kata sehari-hari itu, Joko Pinurbo dapat menulis beberapa kumpulan sajak, diantaranya: Celana (sajak-sajak 1986-1998), Di Bawah Kibaran Sarung (sajak-sajak 1999-2000), Pacar Kecilku (sajak-sajak 2001-2002).

Sebelum membahas lebih dalam mengenai sajak-sajak Joko Pinurbo, perlu diketahui bahwa berdasarkan bentuk dan isi, kata-kata dalam puisi dibedakan antara (1) lambang, (2) utterance atau indice, dan (3) simbol. Yang dimaksud dengan lambang adalah jika kata-kata itu mengandung makna seperti makna dalam kamus (makna leksikal) sehingga acuan maknanya tidak menunjuk pada berbagai macam kemungkinan lain (makna denotatif). Utterance atau indice yaitu kata-kata yang mengandung makna sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian, misalnya kata “Jalang” dalam bait puisi Chairil Anwar, “aku ini binatang jalang” telah berbeda maknanya dengan “wanita jalang itu telah berjanji mengubah nasibnya” . Sedangkan simbol, yaitu jika kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif) sehingga untuk memahaminya seseorang harus menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual).

Dalam esai ini, saya akan lebih menyoroti simbol yang digunakan oleh Joko Pinurbo dalam sajak-sajaknya. Simbol dalam puisi dapat dibedakan antara (1) blank symbol, yaitu meskipun acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkan maknanya, karena acuan maknanya sudah bersifat umum, misalnya “tangan panjang” atau “mata keranjang” (2) natural symbol, yaitu bila simbol itu menggunakan realitas alam, misalnya “cemarapun gugur daun” atau “ganggang menari” (3) private symbol, yaitu bila simbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan penyairnya, misalnya “aku ini binatang jalang” atau “mengabut nyanyian”.

Biasanya penyair memilih kata-kata yang lebih indah dan jarang dipakai di kehidupan sehari-hari, tapi lain halnya dengan Joko Pinurbo. Joko Pinurbo merupakan sorang penyair yang menulis puisi dengan liar. Kata-kata yang ada di depannya ia lahab dan ia sulab menjadi bait-bait puisi yang maknanya jadi berbeda. Kata-kata pertama yang saya tulis miring dalam esai ini, adalah beberapa judul puisi Joko Pinurbo dari kumpulan sajaknya yang pertama, yang diberi tajuk “Celana”.

Joko Pinurbo lebih banyak menggunakan private symbol dalam sajak-sajaknya. Sebagai penyair Joko Pinurbo benar-benar mengambil kesempatan untuk memakai kata dengan bebas dan memberikan makna untuk kata itu dengan bebas pula. Yang saya tahu penyair bebas menggukan kata apapun dalam puisinya, entah dengan makna asalnya maupun berubah manjadi beberapa makna baru. Tugas pembaca adalah menikmati, merasakan, menemukan dan memikirkan makna apa yang terkandung dalam sebuah puisi. Seperti halnya Joko Pinurbo, untuk membuat puisi sebenarnya tidak harus melulu menggunakan kata yang ‘indah-indah’, kata yang sederhana dari apa yang kita gunakan sehari-haripun dapat diambil dan dijadikan sebuah puisi. Dalam esai ini, saya akan mengutip dan mengira-ngira beberapa makna kata dalam puisi Joko Pinurbo yang berganti makna dari keseharian menjadi makna yang baru. Karena tugas pembaca adalah mencari atau menemukan ‘makna’ dalam sebuah puisi, maka saya akan melakukannya.

Salah satu alasan kenapa saya menyukai sajak-sajak Joko Pinurbo adalah yang sudah panjang lebar saya tulis di atas, bahwa Joko Pinurbo secara kreatif dapat menyusun beberapa kata biasa menjadi barisan-barisan yang menarik dan enak dibaca, terkadang menggelitik, dan membuat penasaran, termasuk pemilihan judul-judul puisinya. Puisi pertama yang menjadi tajuk dalam kumpulan puisi pertamanya “Celana”. Dalam kumpulan puisi “Celana” ada trilogi puisi dengan judul yang sama, yaitu Celana 1, Celana 2, dan Celana 3. Dalam esai ini saya ingin mendalami puisi yang pertama yaitu “Celana 1”.

Celana, 1

Ia ingin membeli celana baru
Buat pergi ke pesta
Supaya tampak lebih tampan
Dan menarik

Ia telah mencoba seratus model celana
Di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga
Yang merubung dan membujuk-bujuknya
Ia malah mencopot celananya sendiri
Dan mencapakannya.

“kalian tidak tahu ya
Aku sedang mencari celana
Yang paling pas dan pantas
Buat nampang dikuburan.”

Lalu ia ngacir
Tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“ibu, kau simpan di mana celana lucu
Yang kupakai waktu bayi dulu?”

(1996)

Saya menangkap sebuah makna “kesucian” atau “keaslian diri” atau dapat juga diartikan “kebersihan diri” dalam puisi “Celana 1”. Bait pertama yang mencerahkan pemikiran saya justru pada bait keempat, yang menyatakan bahwa seseorang itu akan nampang ke keburan, atau berarti mati. Dari situlah saya memaknai bahwa kata “celana” adalah sebuah kesucian. Karena seseorang sebelum mati pasti akan mencari sebuah kesucian atau kebersiahan diri, sama seperti saat ia masih bayi. Seseorang yang masih hidup, dan akan mati, pastilah mencari-cari kesucian itu kemanapun. Dalam puisi ini, Joko mengibaratkan pecarian itu seperti mencari celana ke toko-toko, ia mencoba berbagai celana, namun tak ada yang pas dengan dirinya. Kemudian pada bait terakhir, ia ingin menanyakan pada ibunya kemana celana yang ia pakai saat bayi. Celananya saat bayi adalah simbol kesucian yang ia cari, yang merupakan keaslian dirinya, ketika belum mendapat “campuran” dari dunia luar yang penuh bujukan.

Puisi kedua yang membuat saya ingin menyelami lebih dalam maknanya, adalah puisi yang berjudul “Tukang Cukur”.

Tukang Cukur

Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
di kepalaku. Ia membabat rasa damai
yang merimbun sepanjang waktu.

“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel,
dan restoran. Tentunya juga sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah.”

Ia menyayat-nyayat kepalaku.
Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.

“aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.
Dan kalau perlu akan ku pangkas daun telingamu.”

Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.

(1989)

Pertama kali membaca puisi ini, saya kurang bisa menangkap apa yang diutarakan Joko Pinurbo melalui puisi ini. Namun, saya memberanikan diri untuk menyimpulkan dan mengira-ngira makna yang terkandung di dalam puisi “Tukang Cukur”. Melalui puisi ini, Joko Pinurbo menyampaikan adanya perubahan pada bumi. Tukang cukur disini bisa dikatakan sebagai pengusaha atau pemerintah yang membabat padang rumput yang tumbuh subur “di kepalaku”. Yang dimaksud Joko “Di kepalaku” disini, adalah kepala bumi itu sendiri, yang sudah mulai gundul karena banyak di bangun gedung-gedung megah.

Setelah membaca puisi ini, saya semakin menyakini bahwa memang Joko Pinurbo adalah seorang penyair yang liar, apapun yang ia lihat seakan dapat mewakili setiap pemikiran dan uneg-unegnya. Tukang Cukur adalah seorang pemangkas rambut, yang sebenarnya tidak ada hubugannya dengan bumi. Namun dengan imajinasinya, Joko Pinurbo dapat menciptakan makna baru dari “Tukang Cukur” itu.

Puisi berikutnya dalam kumpulan puisi Joko Pinurbo yang judulnya menggelitik hati saya yaitu Bulu Matamu: Padang Ilalang.

Bulu Matamu: Padang Ilalang

Bulu matamu: padang ilalang.
Di tengahnya: sebuah sendang.

Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir
Datang bertapa untuk membuktikan apakah benar
Wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang.

Ia tak percaya, maka ia menyelam.
Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus maha dalam.
Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam.

Bulu matamu: padang ilalang.

(1989)

Dalam puisi ini Joko seaakan ingin mempertanyakan apakah benar perasaan seseorang dapat dilihat dari kedalaman mata. Pada bait pertama puisi ini Joko memperlihatkan dengan jelas kepada pembaca “Bulu matamu: padang ilalang. Di tengahnya: sebuah sendang”, jika bulu mata diibaratkan padang ilalang, dan sendang berada di tengah padang ilalang, maka “mata” yang diibaratkan sebagai sendang itu, karena mata berada di tengah-tengah bulu mata. “wajah bulan” yang terdapat pada baris ketiga bait kedua, diibaratkan sebagai perasaan. Karena sama seperti perasaan, wajah bulan itu bisa dikatakan “abstrak”, tidak tergambar dengan jelas atau tidak bisa dilihat dengan jelas. Pada bait ketiga, Joko menulis tentang seseorang yang membuktikan pernyataan itu. ia mencoba menyelami kedalaman mata seseorang, dan ternyata seseorang itu terjebak dalam kedalaman mata, yang diibaratkan sebuah sendang.

Pada akhirnya, setelah saya membaca sajak-sajak karya Joko Pinurbo, pemahaman saya mengenai penciptaan private symbol oleh penulis puisi akan menjadi lebih bervariasi, mempunyai kedalamn makna, dan memikat hati pembaca jika penyair bermain imajinasi dengan liar. Penggunaan kata dalam puisi tidak harus memilih kata-kata yang indah-indah saja pada umumnya, namun apapun yang kita lihat, dengar, dan rasakan dapat menjadi sumber inspirasi terciptanya sebuah puisi.***


Horison Online  Kamis, 12 April 2012
Sumber:
http://networkedblogs.com/wjwI9
http://horisononline.com