Judul buku : Kepada Cium
Penulis : Joko Pinurbo
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I – Februari 2007
Tebal : 42 hlm
Kau adalah mata, aku air matamu.
(Kepada Puisi, Joko Pinurbo, 2003)
Kira-kira demikianlah pengakuan tulus Joko Pinurbo kepada puisi, dunia kata-kata yang digelutinya sejak ia masih remaja. Puisi bagi penyair bertubuh ceking yang biasa disapa Jokpin ini, adalah hidupnya. Menyatu. Tak terpisahkan. Bagaikan mata dengan air mata.
“Puisi adalah kekasihku. Adalah kebahagiaanku”, ujarnya saat saya mewawancarainya pada satu kesempatan tahun lalu. “Aku merasa eksis sebagai Jokpin berkat puisi. Aku paling bisa bicara dengan diriku dan dengan dunia di luar diriku melalui puisi”, tambahnya lagi seperti ingin menegaskan betapa puisi adalah segalanya bagi lelaki Jawa kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962 ini.
Dari tubuh yang tampak ringkih itu telah lahir ratusan puisi; di antaranya tertuang dalam 6 buah buku yang sudah kita kenal : Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecil (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), dan Pacar Senja (2005) serta buku ke tujuhnya yang baru saja terbit : Kepada Cium (2007).
Buat saya yang awam, puisi-puisi penyair ini bagaikan oase menyejukkan tapi sekaligus juga memerihkan hati. Menyejukkan, sebab di sana saya menemukan kejujuran yang relijius, bukan saja kepada Tuhan tetapi juga kepada diri sendiri. Puisi-puisi itu seakan cermin diri kita (manusia) yang serakah dan munafik sembari tetap terus merayu-rayu Tuhan dalam setiap doa-doa kita. Misalnya saja pada puisi Sehabis Sembahyang (hlm 11) dan Di Perjamuan (hlm.30) ini :
Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku.
Terima kasih atas segala pemberianmu,
Mohon lagi kemurahanmu : sekadar mobil baru
Yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya
Agar aku bisa lebih cepat mencapaimu
(Sehabis Sembahyang, 2005)
Aku tak akan minta anggur darahMu lagi.
Yang tahun lalu saja belum habis,
Masih tersimpan di kulkas.
Maaf, aku sering lupa meminumnya,
Kadang bahkan lupa rasanya.
Aku belum bisa menjadi pemabuk
Yang baik dan benar, Sayang
(Di Perjamuan, 2006)
Dan memerihkan, itu sudahlah pasti. Yang perih-perih menyayat hati itu dengan mudah bisa kita dapatkan, karena sebagian besar puisi-puisi Jokpin merupakan potret/rekaman nasib orang miskin yang berlumur penderitaan, seperti tukang becak umpamanya (dalam buku ini ada 3 puisi tentang tukang becak, profesi yang masih banyak ditemukan di Yogyakarta di mana penyair kita ini bertinggal). Kendati demikian, puisi-puisi tersebut tak lantas tampil mewujud berupa puisi cengeng yang mengiba-iba memohon belas kasihan. Malah yang sering terjadi adalah puisi arif yang dengan bijak menertawakan kemalangan:
Tengah malam pemulung kecil itu datang
memungut barang-barang yang berserakan
di lantai rumah : onggokan sepi, pecahan bulan,
bangkai celana, bekas nasib, kepingan mimpi.
Sesekali ia bercanda juga :
“Jaman susah begini, siapa suruh jadi penyair?
Sudah hampir pagi masih juga sibu melamun.
Lebih enak jadi teman penyair.”
Dikumpulkannya pula rongsokan kata
yang telah tercampur dengan limbah waktu.
Aku terhenyak : “Hai, jangan kauambil itu.
Itu jatahku. Aku kan pemulung juga.”
Kemudian dia pergi dan masuk ke relung tidurku.
(Pemulung Kecil, 2006)
Tetapi kali ini yang paling membuat saya begitu tersentuh (percaya nggak? Saya sampai meneteskan air mata membacanya) adalah sajak Harga Duit Turun Lagi (hlm.14). Dalam sajak itu, Jokpin berkisah tentang seorang anak yang mati menggantung dirinya sendiri karena malu telah menunggak uang sekolah selama berbulan-bulan. Kemiskinan yang melilit orang tuanya menyebabkan bocah kecil itu putus asa dan memilih mengakhiri hidupnya yang baru saja mulai. Barangkali, puisi ini dicipta Jokpin karena terinspirasi peristiwa riil serupa yang terjadi di beberapa tempat di tanah air (salah satu kasus ditemukan di Provinsi Jawa Tengah) beberapa waktu silam.
Sajak ini serasa menggedor-gedor perasaan saya. Kebetulan saya membacanya di tengah-tengah ramainya berita perihal pengadaan sejumlah besar laptop seharga 20 juta rupiah untuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Emosi saya yang telah tersulut marah oleh berita tersebut semakin terbakar oleh sajak ini. Alangkah tumpulnya mata hati para pejabat ini, tak terusik oleh realita memilukan yang dialami rakyat seperti bocah malang itu. Untunglah, belakangan usulan sinting yang tanpa nurani itu, dibatalkan.
Untung juga Jokpin tak lupa untuk beromantis-romantis ihwal cinta. Pada puisi Kepada Cium, Magrib ,Wintermachten, 2002, dan Cinta Telah Tiba, kita bisa temukan romantisme yang manis itu. Ia pun sempat pula mengabadikan dua peristiwa bencana alam besar yang pernah menimpa negeri ini, yaitu tsunami di Aceh (Aceh, 26 Desember 2004) dan gempa bumi di Yogya (Surat dari Yogya)
Buku tipis ini seluruhnya memuat 33 buah sajak Jokpin yang dibuat dalam kurun waktu 2005-2006. Sebagian besar telah pernah dipublikasi di harian Kompas.
Menurut saya yang sekadar seorang penikmat puisi, sepanjang kariernya Jokpin telah sukses menelurkan puisi-puisi yang baik dan indah, yakni puisi-puisi yang – seperti pernah dikatakannya – mampu menyentuh dan menghidupkan perasaan dan pikiran; membuat imajinasi makin cerdas; dan bisa menyihir (pembacanya). Dan saya - dengan segala kesadaran serta tanpa paksaan mengakui - adalah salah satu ‘korban’ sihir cium, eh..maksud saya, puisi-puisi itu :)
Endah Sulwesi 1/4/2007
http://www.perca.blogdrive.com/