oleh Burhan Kadir
ASU
Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah. Tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.
Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.
Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.
Pernah saya bertanya, “Asu itu apa, Yah?”
“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
“Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
“Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, “Selamat sore, asu.”
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, “Selamat sore, su!”
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
“Tolong, tolong! Anjing, anjing!”
(2011)
ASU; sebuah kata yang sangat simple, jika dibawah ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar maka kata ini akan menjelma menjadi anjing, entah itu betina atau jantan dan entah itu anjing yang lucu atau malah anjing yang bisa membuat rabies. Akhir-akhir ini aku sering mendengar kata ASU mengalun ditelingaku, meski tidak sampai merabah hatiku, tapi kata ini bila dipakai mengumpat cukup bisa membuat darah keluar bila diucapkan dalam keadaan marah, tapi itu hanya bisa terjadi di kampungku, sebuah kampung yang letaknya 80 KM dari arah kota Makassar. Artinya pun sama “Anjing”.
Sepertinya bapak Joko Pinurbo pun sangat berkesan dengan kata ASU ini, sebuah kata umpatan tapi penuh rasa sayang, tapi dalam hal tema puisi tampaknya ini hal yang baru, karena belum pernah saya temui puisi yang berjudul ASU sebelumnya. Mari kita menengok kata demi kata setelah kita melewati judulnya, bait pertama puisi ini:
Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah. Tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal
Mungkin sebuah kepantasan bila mas Joko Pinurbo diberi lebel sebagai penyair kontemporer, penulis puisi kekinian, puisi yang sudah memiliki kebebasan berekspresi, baik dari bentuk, rima dan diksi yang dipilih. Mungkin beliau ingin mengembalikan puisi kembali ke hakikatnya yaitu sebuah doa. Sebagai penulis puisi yang menggunakan gaya naratif ketimbang puisi dengan gaya larik lirik yang lebih susah untuk diselami, saya tidak mengatakan puisi naratif gaya mas Joko Pinurbo sangat gampang diselami, tapi maksud saya adalah pemilihan diksi dalam puisinya sangat ringan namun tetap sarat akan misteri dan kedalaman.
Bait pertama ini terlihat bagaimana mas Joko Pinurbo kembali bermain-main kata dengan gayanya yang sangat prosaik, menulis puisi seperti menceritakan sesuatu hal yang sangat biasa, dengan diksi yang begitu ringan. Sebuah kuburan di atas bukit, dalam perjalanan bertemu dengan anjing yang besar, matanya merah, tatapannya yang tajam dan saya yakin setiap orang yang mengalaminya pasti akan mundur beberapa jengkal hinggah menjadi sebuah langkah pasti, yakni terror mental akan apa yang diperbuat anjing itu kepada kita. Bercerita tentang kuburan pastinya yang terngiang adalah kematian, bagaimana penyair melihat dan memandang sebuah kematian, apakah ini terror sang penulis yang membeberkan bahwa kematian itu menakutkan atau setelah kematian itu yang malahsangat menakutkan. Namun dibalik itu beliau tetap saja bergurau, dengan mengatakan mundur beberapa jengkal, sepertinya bila ini benar-benar terjadi pada kita, maka bukan sejengkal langkah mundur yang kita lakukan tapi mengambil langkah seribu.
Ini yang menjadi salah satu kekhasan dari mas Joko Pinurbo, menggunakan metafora-metafora yang humoris untuk melihat bagaimana kematian itu. Dia memandang bahwa kematian bukanlah hal yang harus kita takuti. Namun sebaliknya kita harus menyambutnya dengan senang. Seperti pada puisi-puisinya yang lain.
Lalu pada bait ke dua:
Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.
Pada bait kedua ini kembali hanya menawarkan pada kita sebuah cerita yang biasa, sebuah kecemasan dan bagaimana dampak bila kita tergigit oleh anjing gila, seseorang akan demam lama dan saking panasnya bisa membuat korban gigitan itu menjadi gila, tidak sadarkan diri atau dengan kata lain kesurupan, ini kata yang masyarakat beragama sering pakai. Meski terlihat seperti puisi yang berbait-bait namun pada dasarnya ini hanya sebuah cerita yang bersambung. Sebagai seorang penyair yang merekam hal-hal terkecil disekelilingnya. ‘Anjing gila’ mungkin saja sebuah idiom yang digunakan untuk mengganti kata ‘kematian’, bahwa begitu banyak orang yang begitu takut mati, bahkan memikirkannya pun menjadi enggan. Sampai-sampai mereka berbuat didunia ini seperti bahwa kematian tidak akan menjemputnya, begitu takut seperti telah tergigit anjing gila, berbuat hal-hal yang sepertinya diluar kesadarannya, lupa bahwa kematian akan datang pada semua orang, contohnya seperti kelakuan sebagian besar para pejabat dan public figure kita ditanah air ini.
Mungkin juga beliau hendak menyampaikan bahwa sekarang keadaan semua orang sama, dimana-mana selalu ada sosok “Anjing Gila” menebar kesakitan-kesakitan yang sama dan membuat orang-orang seperti tidak sadarkan diri akan apa yang dialaminya, menjadi sesuatu yang sangat biasa, nerimo karna kita hanya rakyat kecil yang kebanyakan. Beliau seperti mengumpakan sosok anjing gila itu sebagai pemerintah sekarang ini, mengumpakan media sebagai sosok anjing gila yang menebar teror lewat berita-beritanya, yang selalu sama dan menakutkan.
Lalu pada bait ke tiga dan ke empat:
Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.
Pernah saya bertanya, “Asu itu apa, Yah?”
“Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
“Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
“Asu itu anjing yang suka minum susu,” jawab saya.
Kepiawaian Mas Jokpin mengolah sudut pandang anak-anak dengan amat menyentuh. Dalam pandangannya, keadaan bagamana pun hubungan ayah dan anak adalah sesuatu yang sangat luar biasa dan diluar penginderaan. Dialog-dialog yang dihadirkan seolah memecah kebekuan pada bait-bait sebelumnya, bagaimana sosok ASU digambarkan sebagai idiom yang saling bertolak belakang namun seketika membuat kita cair akan sebuah kata ASU, dia bukan lagi sosok anjing gila, bukan umpatan kemarahan yang membuat darah mendidih, bahwa hubungan yang didasari rasa kasih sayang mampu membuat idiom itu luluh dengan sendirinya. Tidak semua ASU adalah anjing yang bisa membuat orang kesurupan dan gila hingga tak mengenal sesamanya, kata bisa menjadi malaikat namun juga bisa menjelma setan.
Pada bait terakhir:
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, “Selamat sore, asu.”
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, “Selamat sore, su!”
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
“Tolong, tolong! Anjing, anjing!”
Sepertinya waktu begitu lama namun cepat berlalu, Mas Jokpin dengan lihai membuat kita seperti berjalan maju mundur dan seketika berlari hinggah jauh kedepan, dan ketangkasannya bermain-main dengan waktu-flashback dan rentang yang melompat-lompat. Kesan kekanak-kanakan dengan gambaran dialog dengan anjing membuat kita seolah-olah tergelitik, iyya memang hanya anak-anak yang sering berdialog dengan anjing, karena kepolosan seorang anak-anak bahwa ketakutan harus dihadapi dengan sewajarnya, seperti anak-anak yang tidak tahu apa itu takut, apa itu kematian, dia sepertinya mengabarkan kepada kita semua bahwa kematian itu mesti dihadapi dengan senang, polos dan bersahabat.
Mas Jokpin adalah penulis yang sepertinya tidak perlu dibebani oleh misi-misi di luar dirinya, yang pada akhirnya menjerumuskannya pada deretan kata yang pekik. Puisi-puisi mas Jokpin merupakan ironi-ironi hidup manusia sehari-hari yang diungkapkan dengan kata ringan. Walaupun dia berbahasa seperti bercerita dalam setiap puisinya, tapi selalu ada keanehan, misteri dan kejutan pada bahagian akhir puisi. Dan penyudah puisi Mas Jokpin itulah sebenarnya yang berjaya mencuit hati kita dan adakalanya kita temui kejutan yang tidak disangka serta ia seperti ending dari puisi diatas, lalu sapa yang berdialog dan berdamai dengan anjing tadi, siapa yang melolong minta tolong.
Dibalik karyanya yang tampak sepele itu, Jokpin tetap memegang disiplin berkarya terutama tata bahasa. Subjek, predikat, objek dan keterangan (SPOK) tidak pernah dilepasnya dri puisi terpendeknya sekalipun. Inilah bentuk sebuah puisi kontemporer, beragam bentuk dan rupa lebih mengutamakan makna dalam puisi itu sendiri ketimbang makna di luar puisi (bentuk puisi) seperti pada gaya puisi-puisi lama. Meski pada alam puisi yang lain pasti ada seniman dan penyair lain yang tidak suka dengan gaya prosaik dalam sebuah puisi, masih mendewakan dan merasa bahwa sebuah puisi haruslah sebuah kata yang puitik, punya struktur baku sebagai syarat sah sebuah puisi, bukan sekedar potongan-potongan prosa biasa. Namun ini adalah perkembangan puisi Indonesia seperti yang disajikan Mas Jokpin dalam tiap puisi-puisinya, yang lebih menitikberatkan kebebasan dalam mengekspresikan berbagai struktur pembangun puisinya.
Terima kasih atas kesempatan untuk menyelami misteri Puisi-Puisi mas Jokpin.
* Diskusi Puisi PKKH UGM #12, 29 Mei 2013