Tampilkan postingan dengan label Anwar Holid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anwar Holid. Tampilkan semua postingan

Menghamili Kata, Membuahi Makna

Telepon Genggam (Kumpulan Puisi)
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Kompas, Mei 2003
Tebal: x + 79 hlm
Harga: Rp.18.000,00


MEMBACA dan menafsir puisi Joko Pinurbo—dia akrab dipanggil Jokpin—bisa jadi merupakan dua hal berbeda. Tafsir-tafsir panjang dan sistematik Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, dan Nirwan Dewanto terhadap karya-karyanya tentu merupakan cara menikmati puisinya secara serius dan memaknainya sedalam mungkin. Nirwan Ahmad Arsuka yang mengulas dan mengomentari buku Telepon Genggam pun ternyata melakukan hal serupa. Mereka semua berusaha mencari kedalaman makna yang disembunyikan Jokpin dalam puisinya yang kebanyakan berselimut humor, kelucuan, dan ledekan. Tentu saja itu adalah usaha bermanfaat dan berguna, meski di sisi lain berisiko kehilangan nuansa dasar puisinya, bisa membuat orang awam ketakutan membaca atau membeli buku puisi, karena khawatir tak mampu menafsir sedalam dan seluas mereka. Padahal puisi Jokpin itu sudah mampu memberi kenikmatan mendasar bahkan jika tak ditafsirkan sama sekali.

Coba kita biarkan puisi Jokpin itu terbaca sendiri sebagaimana yang ditulisnya. Bisa jadi pembaca akan terpingkal-pingkal karena ternyata dia sangat nakal, dan begitu selesai mereka mungkin akan berani bicara, "Kalau seperti ini, saya juga pasti bisa bikin puisi!" Membaca menjadi sebuah kenikmatan, suatu perjalanan menyenangkan. Puisinya sudah bisa dinikmati begitu saja karena sejak pembacaan pertama terasa sajaknya tak memiliki pretensi tentang bahasa yang suci. Dia mencoba menghilangkan kesakralan bahasa yang tinggi atau rumit dipahami menjadi kelucuan, parodi, dan penyamaran. Dia sembunyikan puisi itu sebagai rimba, telepon genggam, foto, mahasiswa, boneka, ibu, anak kecil, binatang, perempuan pelukis, gadis manis, perempuan misterius, lelaki tanpa celana, ibu, buku, tanda baca, dan sudah tentu: tubuh, yang merupakan keahlian dan nyaris merupakan obsesi dari seluruh buku puisinya.

Begitu memasukinya, pembaca tidak berhadapan dengan struktur sajak yang rapi, rima teratur, bunyi manis, atau pilihan kata asing yang sukar dipahami dan butuh kamus untuk mencari kemungkinan makna tersiratnya. Yang dia sodorkan justru berbagai kosakata sehari-hari yang hampir tak ada bedanya dengan percakapan orang-orang di televisi atau bantah-bantahan di ruang umum. Kalau puisi ternyata bisa berbentuk seperti prosa yang hampir kehilangan ikatannya dengan bentuk, bunyi, dan ciri khas puisi lainnya, apa yang membuat puisi bebas karya Joko Pinurbo ini tampak istimewa?

Yang utama bisa jadi permainan bahasa dan makna. Kadang-kadang petanda permainan itu dengan sengaja dia tunjukkan dengan penggunaan huruf italic dan pengulangan. Dia berusaha mengejutkan dan menggoyahkan iman pembaca karena ternyata bahasa yang digunakannya sering penuh teka teki dan permainan. Dia mengejek pandangan umum dengan membolak-balikkan susunan kata, melemparkan kesan harafiah jauh-jauh ke laut, kemudian mencoba membiarkan kata itu berkembang dan main-main sendiri, atau dia pupuk, kalau tidak, akan dia buahi kata-kata itu biar membawa makna baru yang segar dan penuh isi.

Upaya itu dia tekadkan beberapa kali, misalnya di bagian ke-5 sajak "Sudah Saatnya" dengan seperti ini: sudah saatnya kata-kata yang mandul kita hamili; yang pesolek ngapain dicolek, toh lama-lama kehabisan molek. Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi berahi. Supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan berbuah lagi. Di puisi terakhir buku ini, "Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi", dia mewisuda lulusan kata-kata dengan sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan mereka harus pergi cari kerja sendiri. Jokpin agaknya makin enggan menggunakan bait dan baris. Sebagai gantinya dia berdayakan alinea (paragraf) yang lazim dilakukan penulis prosa. Dengan begitu dia berada di antara ketegangan jalan yang ditempuh Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri, meskipun kecondongan pada penyair senior pertama itu lebih terasa, karena bisa dilihat dari cara dia memarodikan sajak Sapardi atau menulis dalam gaya Sapardi, misalnya bahwa terjadinya rima terasa bukan diupayakan sebagai kesengajaan, melainkan lahir dari suatu konsekuensi atau suasana. Sedangkan dari Sutardji Jokpin mendapatkan ruh pembebasan kata, meski tak sampai mengambil jalan mantra.

Dalam hal memain-mainkan bahasa, Jokpin sudah tak lagi segan dan ragu. Bisa jadi dia merupakan eksponen utama penyair kontemporer Indonesia yang tak pernah lelah mencoba melelehkan kekakuan bentuk dan bahasa puisi, mendekatkannya begitu rupa kepada pembaca bahkan dengan menggunakan kosakata profan sekalipun, sehingga pembaca tak lagi berjarak dengan bahasa dan ungkapan. Meski terkesan mudah dan terang karena penggunaan teknik itu, sebagaimana kata semua kritik, puisi Jokpin tidak bisa jatuh jadi murahan. Itu karena dia ternyata pandai menyembunyikan kedalaman, misteri, dan menunggu munculnya kejutan, salah satunya dalam "Selamat Tinggal" yang hanya terdiri dari kalimat pendek: Ia tidurkan telepon genggamnya di kuburan, lalu ia buang ke laut. Rasanya puisi seperti itu pasti bukan untuk kaum awam, melainkan justru harus didedah berpanjang-panjang oleh sejumlah pakar. Tapi pasase ini pasti mengundang tawa karena mengejek kepura-puraan: "Anda lupa ya bahwa Anda belum pernah bertemu saya? Mengapa harus mengingat-ingat?"

Telepon Genggam memperlihatkan proses lebih lanjut bahwa unsur main-main Jokpin memang menonjol sekali, melebihi yang pernah dilakukannya pada tiga buku sebelumnya, sambil di sana-sini meletupkan parodi, memunculkan kejutan, aforisme, dan truisme. Dari yang sederhana, misalnya mengganti "malang dapat ditolak, untung dapat diraih" hingga perlambang serius, contohnya "mandikanlah dia hingga tak tersisa lagi luka." Dia gemar sekali memasukkan unsur keseharian, makian, olok-olok ke dalam puisi-prosanya bisa jadi karena ingin tahu sebenarnya apa dampak penggunaan itu terhadap pembacaan dan pemaknaan. Perkiraannya ada dua kemungkinan, pertama Jokpin ingin mendekatkan puisi kepada pembaca dengan mencari kekuatan ungkapan sebagaimana iklan televisi yang suka pernyataan hiperbolik kepada pemirsa. Agar pembaca terus terpana dan tak berhenti sebelum selesai. Kedua dia ingin agar puisinya bisa merambah ke mana saja, dengan subjek, kosakata, diksi, dan gaya yang baru. Kemungkinannya bisa sangat luar biasa, sebab citra-citra yang digunakan Jokpin tak pernah usang. Untuk buku ini jumlahnya tak perlu banyak, cukup 32 buah, rasanya Jokpin bisa menjamin pembaca akan memiliki pengalaman baru atau terheran-heran ternyata ada puisi yang bisa lancar sekali dibaca, bahasanya bersih, membuat segar, tak membuat orang terbata-bata atau terhenti terhalang kosakata tak dimengerti atau bisa bikin alergi.

Joko Pinurbo makin dalam masuk ke bentuk puisi-prosa. Ini kecenderungan cukup kuat yang harus "diwaspadai" ke mana muaranya, sementara sejumlah penulis prosa malah mencari keindahan dan menempuh eksperimentasi lewat kalimat-kalimat puitik dan penuh metafora. Puisi terpanjang di buku ini, "Laki-laki Tanpa Celana", sudah sempurna betul sebagai prosa, lengkap dengan permainan waktu dan percakapan. Apa dia betul-betul kerasukan adagium William Wordsworth bahwa puisi adalah "kata yang tepat dalam susunan yang tepat", maka tak ragu lagi menempuh jalan itu?[]

Anwar Holid

Sihir Pemulung Kata

Anwar Holid
(Selisik-Republika, Minggu, 17 Juni 2007)

Nyaris semua kritik menyatakan salah satu puncak puisi Indonesia era 2000-an ada di pundak Joko Pinurbo (Jokpin). Bahkan blurb buku puisinya dengan bersemangat menyatakan: masa depan puisi Indonesia terletak pada tangannya.

Bukti pengakuan itu tentu sejumlah prestasi: memenangi Khatulistiwa Literary Award berkat Kekasihku (2004); buku-bukunya laris, padahal hampir semua penerbit pikir panjang bila hendak menerbitkan buku puisi saking trauma betapa sulit menjual buku puisi. Menurut seorang editor GPU, Kepada Cium, terjual 800 kopi dalam tiga minggu pertama masuk ke toko pada awal April 2007. Pencapaian itu sulit disamai penyair lain.

Kepada Cium, kumpulan puisi kedelapan dia, amat lain dari segi materi dibandingkan buku dia sebelumnya. Beda paling signifikan yaitu hilangnya tradisi tambahan esai terhadap puisi dalam edisi tersebut, termasuk tak ada endorsement sastrawan lain maupun pujian dari kritikus terkemuka. Ini bisa jadi semacam keyakinan makin besar bahwa Jokpin berani menyerahkan puisi kepada pembaca tanpa harus ditemani kritik maupun komentar yang biasanya cenderung dingin, serius, dan membatasi kebebasan pembaca yang ingin menikmati puisi seenak-enaknya.

Buku ini sangat tipis, hanya terdiri dari 33 puisi yang rata-rata relatif pendek. Kesan tipis ini disiasati dengan menambah sejumlah drawing karya Mirna Yulistianti, editor buku tersebut. Hasilnya, buku tampil tambah manis. Karena tipis, Kepada Cium bisa selesai dalam sekali baca, mungkin hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk menamatkannya.

Tapi, juga justru karena tipis, pembaca akan mudah sekali terpikat oleh puisi-puisi itu, dan mereka akan mengulang-ulang membaca. Jokpin tak menerangkan kenapa memutuskan hanya memuat 33 puisi, padahal dalam periode 2005-2006 dia produktif dan karyanya terus bermunculan di media massa. Barangkali dia ingin memastikan pilihan tersebut bakal menyihir publik, sesuai ucapannya, "Puisi yang baik adalah yang bisa menyihir."

Setelah bolak-balik membaca Kepada Cium, yang paling terasa ialah Jokpin mengurangi kadar main-main yang mencapai puncaknya dalam Telepon Genggam (2003). Dia mengembara, memain-mainkan imajinasi dan logika, namun semua disampaikan hati-hati, lebih tenang, dan bilapun lucu, efeknya hanya menimbulkan senyum simpul, atau nyengir getir saking sangat menyindir.

Di buku ini dia jelas berusaha mengekang hasrat mengembangkan puisi jadi flash fiction agar betul-betul tetap merupakan puisi asli. Dari sana kita bisa yakin atas komentar Dr Okke Kusuma Sumantri Zaimar bahwa keahlian Joko Pinurbo mengemukakan pisau bermata dua bukan bualan untuk meyakin-yakinkan publik maupun demi menyenang-nyenangkan penyair.

Tahun 2005-2006 merupakan periode perih bagi Indonesia; pada awal 2005 terjadi tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, kemudian menyusul berbagai bencana alam, banjir bandang, kebocoran lumpur panas Lapindo, termasuk gempa di Yogyakarta, yang sempat merusakkan rumah Jokpin dan meruntuhkan rumah dua adiknya. Dia pun menulis puisi tentang tsunami dan gempa, juga terpukul oleh kejadian fatal yang menimpa anak-anak karena kalah oleh kemiskinan. Wajar bila beberapa puisi bernuansa sedih, sekaligus religius dan peka sosial. Yang terbaik melampiaskan perasaannya terhadap keperihan, antara lain Kepada Uang, Harga Duit Turun Lagi, dan Sehabis Sembahyang.

Menilik subyek yang muncul, Jokpin justru banyak mengulang atau makin mengulik tema yang dulu dia perkenalkan dalam Telepon Genggam. Kepada Cium banyak menggunakan citra telepon genggam, kesulitan komunikasi, kondisi sosial, dan tentu saja terus mencari sisi baru citra lama yang membuat penyair ini legendaris: celana, celana dalam, kasih sayang, kenangan masa kecil, perihal tubuh dan benda-benda rumah. Sisanya macam-macam: menafakuri waktu, harapan, absurditas menghadapi kenyataan hidup, mengejek kepura-puraan, dan eksplorasi terhadap puisi dan bahasa itu sendiri.

Dengan begitu, Kepada Cium menghasilkan dua jenis puisi: yang langsung bisa dinikmati, bermakna jelas, menyinggung perasaan -- jenis mata pisau pertama, karena langsung mengarah, menusuk ego manusia yang profan, ragawi, senantiasa kurang puas dan sulit sekali bersyukur. Lainnya kabur, unik, mengedepankan naluri, menarik-narik pembaca ke batas samar antara makna tersirat dan harfiah -- jenis mata pisau kedua, yang mengarah lebih pada permainan tafsir dan berbagai kemungkinan.

Membahas 'pisau bermata dua', bisa diperdebatkan apakah itu suatu keunggulan atau justru merupakan tanda ambiguitas dan ciri kelemahan? Bila merujuk pada Saini KM dalam Puisi dan Beberapa Masalahnya, ambiguitas di antaranya disebabkan oleh kegagalan penyair dalam menemukan lambang yang tepat untuk pikiran dan perasaannya, atau penyair sendiri ragu-ragu serta belum memutuskan apa sebenarnya yang menjadi pokok renungannya, sikap dan perasaan apa yang dialami dalam hubungannya dengan pokok tersebut.

Puisi sangat pendek Jokpin sangat potensial menghadirkan ambiguitas, misalnya Ranjang Kecil, Magrib, Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita. Barangkali disebabkan ketersediaan ruang penafsiran dari teks itu pun sangat sempit. Pembaca awam pasti kesulitan menentukan maksud persis sang penyair sebenarnya apa. Ambiguitas sering sengaja disisakan penyair agar melahirkan polemik, macam-macam tafsir, bahkan mistifikasi.

Kepada Cium tampaknya merupakan kado tanda ulang tahun ke-44 Jokpin. Dalam bingkisan itu dia memasukkan banyak isi, dari yang universal, menyangkut perhatian semua insan hingga ke detil batin individu, yang intim, hanya bisa diresapi khusyuk sendirian.

(Anwar Holid, editor buku )