Oleh Agung Dwi Ertato
“Puisi adalah suara lain.” (Octavio Paz)
“These words were created by me with my blood,
with my pains they were created!” (Pablo Neruda)
I
Quote Octavio Paz dan Potongan puisi Pablo Neruda mengawali esai saya ini. Ada sesuatu yang menarik di balik quotes tersebut. Pablo Neruda mengajarkan pada kita tentang puisi. Puisi yang dimaksudkan oleh Neruda adalah kumpulan kata-kata yang dibuat melalui darah melalui kepedihan dari pembuatnya. Kepedihan dan darah tersebut terbentuk melalui peristiwa-peristiwa yang pernah dialami atau dengan kata lain sebagai pengalaman pribadi dari seorang pengarangnya. Sedangkan Octavio Paz, beranggapan bahwa “Puisi adalah suara lain”. Menurut Paz, “Puisi tidak menyuarakan sejarah atau antisejarah, namun suara yang dalam sejarah senantiasa mengatakan sesuatu yang berbeda.” Lalu bagaimana dengan kondisi sastra atau perpuisian khususnya di Indonesia?
Tentu saja hal ini juga terjadi di Indonesia. Roman pertama Indonesia yang terbit pada prakemerdekaan, Siti Nurbaya, juga merupakan bagian dari darah Marah Roesli yang ia peroleh dari kehidupan kolonial di Hindia Belanda. Bagaimana dengan perpuisian? Puisi Indonesia Modern dipelopori oleh wacana estetika Chairil Anwar yang menawarkan (menjadikan tawar) perpuisian Indonesia dari pengaruh-pengaruh kesusastraan Melayu dan menggantinya dengan perpuisian yang lebih individualis. Wacana estetika tersebut kemudian diteruskan atau dirombak oleh penyair-penyair sesudahnya seperti Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Goenawan Muhamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Taufik Ismail, Danarto, Putu Wijaya, Afrizal Malna, Dorothea, Nenden Lilis, Oka Rusmini, hingga Joko Pinurbo. Namun, sebelum Chairil Anwar, Amir Hamzah juga telah menanamkan embrio dalam perpuisian Indonesia Modern. Embrio tersebut adalah konvensi tentang kesunyian yang dialami oleh penyair seperti yang terdapat pada buku kumpulan puisi Amir Hamzah, Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Kesunyian tersebut juga bisa diartikan sebagai darah dari penyair yang ia dapatkan dari perenungan tentang kondisi psikologi eksistensial atau kondisi sosial sekitarnya.
Karya sastra tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan keadaan sosial masyarakat yang menaungi penulis atau sastrawan. Sastrawan sendiri hidup di antara lingkungan sosial masyarakat. Menurut Sapardi Djoko Damono, “Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial.” ( Damono: 1978). Di Indonesia, sastra memang sangat dipengaruhi dengan kondisi sosial tempat puisi dibuat. Entah itu, sastrawan dalam membuat puisi memilih wacana estetik ‘perenungan akan kesunyian’ maupun ‘melihat kondisi sosial secara langsung’. Kondisi sosial sangat berpengaruh kuat dalam penciptaan karya sastra. Kondisi sosial politik merupakan sangat berpengaruh terhadap karya sastra di Indonesia, terutama ketika hegemoni Orde Baru berkuasa. Banyak sastrawan secara langsung atau tidak langsung menyoroti permasalahan yang disebabkan oleh hegemonik Orde Baru tersebut seperti Taufik Ismail, W.S. Rendra, Goenawan Muhamad, Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Joko Pinurbo, dan lain-lain.
II
Dalam esai ini, saya akan lebih memfokuskan pembicaraan saya pada nama terakhir yang saya sebut di atas yaitu Joko Pinurbo. Ada hal yang unik dari pertunjukkan estetik Joko Pinurbo hingga akhir Orde Baru dan pasca-Orde Baru. Pertunjukkan tersebut tentu saja sangat berkaitan dengan wacana yang sedang menaungi pada awal kepenyairan Joko Pinurbo. Awal kepenyairan Joko Pinurbo sendiri dimulai pada tahun 1979 dengan munculnya puisi Prajurit di Malam Sebelum Perang.
PRAJURIT DI MALAM SEBELUM PERANG
ya akulah abdimu
dari kandung leluhurku aku telah lahir
kubawa namanya dalam berkatmu
di tengah hutan memancar kesegaran mata air yang berlinang
dengan jari-jari perkasa
kauhembuskan napasku
dan kualirkan darah
dalam tubuhku yang mungil
hingga sungai pun tetap mengalir
dan bocah-bocah yang berbaris di tebingnya
bersorak gembira
lalu ingin kupersembahkan padamu:
setetes darah yang amis
sekerat daging yang tawar
sehelai rambut yang rapuh
sepotong tulang yang lapuk
dan sebaris napas yang cair
– korban ini begitu sederhana
...
(dikutip dari “Humor yang Polits, Humor yang Tragis” , Bandung Mawardi.)
Jika dilihat secara seksama puisi tersebut masih terpengaruh oleh wacana estetik puisi lirik yang memang merebak pada masa itu. Sebelum membahas pertunjukkan estetika Joko Pinurbo hingga akhir Orde Baru dan pasca Orde Baru, tentu saja ada baiknya kita kembali membaca perkembangan Sastra Indonesia pada masa Orde Baru.
Agus R. Sarjono pernah menulis esai tentang perkembangan Sastra Indonesia pada masa Orde Baru. Dalam tulisan tersebut Agus R. Sarjono membagi periodisasi menjadi empat yaitu Sastra dan Orde Baru I, Sastra dan Orde Baru II, dan Sastra dan Orde Baru III & IV. Setiap periode tersebut mempunyai ciri-ciri tersendiri. Namun, dari semua periode tersebut, sejak periode Sastra dan Orde Baru II, 1980-an, pemerintahan di Indonesia mulai menunjukkan sikap represif terhadap para penentang pemerintahan termasuk sastrawan.
Di dunia sastra, sikap represif yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru adalah dengan politik bahasa. Pemerintah menggunakan jargon-jargon seperti bebas bertanggung jawab, menggunakan bahasa yang baik dan benar, dan lain-lain. Jargon-jargon tersebut tentu saja menyebabkan penguasa politik lebih hegemonik hingga puncaknya pada peristiwa Mei 1998 sebagai akhir kekuasaan hegemonik Orde Baru.
Michael Bodden menyebutkan pula bahwa, “Pemerintahan Orde Baru melakukan kontrol kebudayaan hingga terbentuk kebudayaan yang sejenis.” Ia juga menambahkan bahwa, “Kontrol tersebut menyebabkan hegemonik dari pemerintahan Orde Baru di bidang Kebudayaan”(Bodden: 1998). Kekuasaan hegemonik memunculkan kaum-kaum postmodern di Indonesia yang ingin menentang kekuasan hegemonik Orde Baru.
III
Joko Pinurbo adalah penyair yang tumbuh dan berkembang pada era kekuasaan hegemonik Orde Baru. Seperti yang telah disebutkan di atas, Joko Pinurbo mulai menulis puisi sejak tahun 1979. Pria kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962 melakukan metamorfosis estetik kepenyairannya. Metamorfosis tersebut merupakan pertunjukkan estetik yang ditampilkan oleh Joko Pinurbo dalam menentang hegemoni penguasa Orde Baru. Pertunjukkan tersebut terekam dalam buku kumpulan puisi Joko Pinurbo, Pacar Senja (2005).
Pacar Senja merupakan buku puisi yang berisi puisi-puisi Joko Pinurbo yang tersebar dalam beberapa buku puisi sebelumnya, Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003, dan Kekasihku (2004). Melalui pertunjukkan estetikanya, ia mendapatkan Penghargaan Buku Puisi Pusat Kesenian Jakarta (2000), Hadiah Sastra Lontar (2001), Sih Award (2001), dan Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2002).
Bagaimana metaforsis estetika yang dilakukan Joko Pinurbo hingga berakhirnya hegemoni Orde Baru yang ditandai dengan Reformasi 1998?
Dalam buku Pacar Senja, puisi yang berusia paling tua adalah puisi ‘Layang-layang’ (1980). Di dalam puisi tersebut kita bisa melihat wacana estetik yang digunakan Joko Pinurbo pada awal kepenyairannya.
LAYANG-LAYANG
Dulu pernah kau belikan sebuah layang-layang
pada hari ulang tahun.
Aku pun bersorak sebagai kanak-kanak
tapi hanya sejenak.
Sebab layang-layang itu kemudian hilang,
entah ke mana ia terbang.
Seperti aku pun tak pernah tahu kapan kau hilang
dan kembali ketemu
Lehermu masih hangat meskipun selalu dikikis waktu.
Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan
selain dibasahkuyupkan di bawah hujan.
Tapi kutemukan juga layang-layang itu di sebuah dahan
meskipun tanpa benang dan tinggal robekan.
Aku ingin berteduh di bawah pohon yang rindang.
1980
(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 133)
Puisi tersebut dibuat Joko Pinurbo pada usia 18 tahun. Tergolong muda sekali, bahkan Chairil Anwar baru mempublikasikan puisinya pada umur 20 tahun. Di usia semuda itu, wacana estetik yang digunakan oleh Joko Pinurbo masih terpengaruh oleh wacana estetik penyair terdahulunya seperti Goenawan Muhamad dan Sapardi Djoko Damono. Aku lirik masih sebagai aku yang individu dan sajak tersebut masih masih berkisar pada permasalahan eksistensi psikologi.
Tradisi puisi lirik juga masih kuat diikuti oleh Joko Pinurbo—memang pada masa itu wacana estetik puisi masih berkisar pada jenis puisi lirik yang dikembangkan oleh Goenawan Muhamad dan Sapardi Joko Damono. Pada tahun 1989, wacana estetik Joko Pinurbo mulai bergeser atau bermetamorfosis melalui puisi ‘Tukang Cukur’ walaupun pada tahun 1990, Joko Pinurbo masih menunjukkan pengaruh estetika puisi lirik seperti pada puisi ‘Hutan Karet’ dan ‘Pohon Bungur’. Puisi ‘Tukang Cukur’ setidaknya menjadi titik awal perubahan orientasi dalam puisi-puisinya pada masa menjelang akhir Orde Baru dan pasca-Orde Baru.
TUKANG CUKUR
Ia membuat padang rumput yang subur
Di kepalaku. Ia membabat rasa damai
Yang merimbun sepanjang waktu.
“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar,
hotel, dan restoran. Tentu juga sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah.
Ia menyayat-nyayat kepalaku,
mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.
“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”
Suara guntingnya selalu menggangu tidurku.
1989
(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 17)
Dalam puisi ‘Tukang Cukur’, wacana estetik Joko Pinurbo pelan-pelan bergeser. Ia sudah tidak lagi menggunakan wacana estetik puisi lirik yang dulu ia gunakan pada awal kepenyairannya. Ia mulai menggunakan gaya narasi dalam lirik-lirik puisinya. Menggunakan potongan cerita atau kisah pendek namun tetap menggunakan metafora-metafora yang menimbulkan ironi. Puisi ‘Tukang Cukur’ juga merupakan perlawanan terhadap modernisasi yang dilakukan kuasa Orde Baru. Simbol-simbol modernisasi terlihat pada kata bandar, hotel, restoran, sekolah, rumah bordil, dan tempat ibadah. Kata-kata tersebut merupakan penanda bagi kehidupan kota yang menuju metropolitan. Pada masa Orde Baru pembangunan sangat didengung-dengungkan melalui PELITA (Pembangunan Lima Tahunan). Pembangunan tersebut persis seperti yang digambarkan oleh Joko Pinurbo dalam puisi ‘Tukang Cukur’.
Relasi kuasa yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru menginginkan Indonesia menuju modern melalui kerja-kerja budaya yang sangat diatur ketat guna menuju Indonesia yang berbudaya tunggal atau penyeragaman budaya. Relasi kuasa itu kemudian ditentang oleh beberapa penyair dan tentu saja Joko Pinurbo salah satunya. Relasi kuasa Orde Baru diciptakan menggunakan bahasa sebagai alat tersebut. Bahasa sengaja dimatikan oleh pemengang kekuasaan dengan pemaknaan seragam. Hal ini menjadi keresahan bagi beberapa penyair karena bahasa merupakan ‘rumah’ bagi puisi. Dampak dari penyeragaman pemaknaan bahasa oleh Orde Baru adalah kesadaran masyarakat Indonesia tentang kesusastraan mulai berkurang. Namun, beberapa penyair, termasuk Joko Pinurbo, menggunakan bahasa untuk melawan balik hegemoni Orde Baru. Pada tahun 1989, Afrizal Malna juga menggunakan bahasa sebagai sarana melawan arus hegemoni Orde Baru.
….
Di stasiun, orang-orang berdiri. Mereka saling berdiam di hadapan spiker. Tahu, jam-jam berlalu, tidak membawa siapa pun pergi ke rumah sendiri. Sebuah kota penuh spiker, tahu, tidak perlu mendengar suaramu.
1989
(“Spiker di Jendela Kereta”, Afrizal Malna,dalam Arsitektur Hujan, hal. 36)
Afrizal Malna juga mempersoalkan arus modernitas yang dibangun oleh penguasa Orde Baru, sama seperti Joko Pinurbo. Namun, bahasa yang digunakan oleh Afrizal dan Joko Pinurbo berbeda walaupun Joko Pinurbo masih cenderung sedikit menguntit wacana estetik yang dibangun Afrizal Malna. Penggunaan kata-kata yang digunakan Joko Pinurbo masih mencitrakan unsur-unsur gelap seperti menyayat. Unsur-unsur gelap juga terdapat pada klausa-klausanya. Ia menyayat-nyayat kepalaku, aku akan mencukur lentik bulu matamu. Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu. Citraan tersebut merupakan unsur gelap dan bersifat ironi. Bagi mereka yang hidup dan tumbuh dalam kekuasaan hegemonik Orde Baru seperti Joko Pinurbo, tentu saja akan merasakan getirnya pencukuran yang dilakukan oleh Tukang Cukur atau akan merasakan seperti Afrizal Malna, kota-kota yang tidak perlu mendengarkan suaramu.
IV
Pada periode awal 1990-an hingga mendekati masa keruntuhan kekuasaan hegemoni Orde Baru, wacana estetik yang dilakukan Joko Pinurbo terus berkembang dan menemukan bentuk khasnya. Pada tahun 1990-an, Joko Pinurbo membuat puisi dengan gaya yang berbeda, tidak lagi kembali pada tradisi puisi lirik ataupun terjebak pada kegelapan puisi à la Afrizal Malna. Ia mengembangkan gayanya sendiri berupa gaya humor dengan menggunakan bahasa yang sering kita jumpai sehari-hari seperti celana, ranjang, dan sarung.
Pada periode itu pula, Orde Baru sedang gencar-gencarnya melakukan represif terhadap penentangnya. Buktinya adalah pembredelan sejumlah media massa seperti Tempo. Joko Pinurbo, dalam sajak ‘Tuhan Datang Malam Ini’, berhasil menangkap peristiwa pemberedelan Tempo. Kritiknya terhadap hegemoni Orde Baru memang tak sekeras W.S. Rendra, namun ironi muncul pada puisi tersebut.
....
Tuhan datang malam ini
di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus
dan celoteh sepi. Ia datang dengan sebuah headline
yang megah: “Telah kubredel ketakutan
dan kegemetaranmu. Kini bisa kaurayakan kesepian
dan kesendirianmu dengan lebih meriah.”
Dengar, Tuhan melangkah lewat dengan sangat gemulai
di atas halaman-halaman yang hilang,
rubrik-rubrik terbengkelai.
....
(“Tuhan Datang Malam Ini”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja, hal. 111)
Metafora yang dilakukan oleh Joko Pinurbo untuk penguasa Orde Baru adalah Tuhan. Orde Baru pada masa tahun 1990-an memang seperti “Tuhan”. Penguasa dengan mudah membredel media massa yang menentang penguasa Orde Baru. Orde Baru seperti “Tuhan”, mempunyai kekuasaan tak berbatas di Indonesia.
.....
Dan Tuhan datang malam ini
di gudang gelap, di bawah tanah, yang cuma dihuni
cericit tikus dan celoteh sepi.
Ia datang bersama empat ribu pasukan,
lengkap dengan borgol dan senapan.
Dengar, mereka menggedor-gedor pintu dan berseru:
“Jangan halangi kami. Jangan lari dan sembunyi.
Kami cuma orang-orang kesepian.
Kami ingin bergabung bersama Anda
di sebuah kolom yang teduh, kolom yang rindang.
Kami akan kumpulkan senjata
dan menyusunnya jadi sebuah komposisi kebimbangan.”
Tuhan, mereka sangat ketakutan.
Antarkan mereka ke sebuah rubrik yang tenang.
1997
(“Tuhan Datang Malam Ini”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 112)
Tuhan yang dimetaforkan oleh Joko Pinurbo sebagai penguasa Orde Baru adalah orang-orang yang kesepian dan orang-orang yang mengumpulkan senjata dan menyusunnya jadi komposisi kebimbangan. Gambaran represif penguasa Orde Baru terlihat pada metafor Tuhan. Penguasa memang sering melakukan tindakan represif dengan senjata dan menciptakan ‘kedamaian’ yang dipaksakan tetapi sebenarnya adalah sebuah komposisi kebimbangan. Ironi, baru dimunculkan pada bait terakhir. Bait terakhir dicetak dengan huruf miring. Hal ini merupakan bagian yang coba ditekankan oleh Joko Pinurbo bahwa orang-orang yang ditekan oleh sikap represif penguasa Orde Baru ternyata masih memohonkan “doa” kepada Tuhan (yang sebenarnya) untuk penguasa Orde Baru agar mereka “sadar”.
Beberapa puisi Joko Pinurbo lainnya seperti “Celana 1”, “Celana 2”, “Celana 3”, “Boneka 1”, “Boneka 2”, dan “Boneka 3” tetap menggunakan gaya humor tapi masih disisipi permasalahan sosial. Ia tetap menyisipi kritik sosial yang terjadi pada masa hegemoni Orde Baru.
...
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”
Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bertengger di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”
...
(“Celana 3”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 5)
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Joko Pinurbo melakukan kritik terhadap pengaruh asing dalam pemerintahan Orde Baru. Pengaruh asing tersebut disimbolkan pada Ini asli buatan Amerika. Amerika Serikat berpengaruh besar terhadap Indonesia terbukti dengan adanya Freeport di Indonesia bahkan hingga sekarang. Pengaruh tersebut juga terjadi di bidang ekonomi hingga menyebabkan krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Kritik tersebut terbungkus melalui bahasa humor –melalui percakapan sehari-hari. Puisi “Celana 3” memang tidak menggunakan bahasa puitik. Kekuatan puisinya adalah bahasa humor yang sederhana. Hal ini merupakan bagian dari metamorfosis wacana estetik yang diusung Joko Pinurbo dalam puisi-puisinya.
Pada puisi “Boneka 1”, Joko Pinurbo kembali menampilkan kritik terhadap kehidupan bernegara di Indonesia. Ia tetap mengusung wacana estetiknya yaitu narasi humor melalui percakapan.
BONEKA, 1
Setelah terusir dan terlunta-lunta
di negerinya sendiri,
pelarian itu akhirnya diterima
oleh sebuah keluarga boneka.
“Kami keluarga besar yang berasal
dari berbagai suku bangsa.
Kami telah menciptakan adat istiadat
menurut cara kami masing-masing,
hidup damai dan merdeka
tanpa menghiraukan lagi asal-usul kami.
Anda sendiri, Tuan, datang dari negeri mana?”
“Saya datang dari negeri yang pemimpin
dan rakyatnya telah menyerupai boneka.
Saya tidak betah lagi tinggal di sana
karena saya ingin tetap menjadi manusia.”
...
(“Boneka 1”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 25)
Ia mengibaratkan pemerintah Orde Baru sebagai boneka. Boneka merupakan simbol mainan. Hal ini berarti bahwa pemerintah Orde Baru merupakan mainan asing terutama Amerika. Simbol lain dari boneka adalah sebagai benda mati. Pemimpin bangsa dan rakyat di Indonesia sudah menjadi benda mati, tidak lagi menjadi manusia yang mempunyai hati dan perasaan—manusia yang memanusiakan manusia lainnya.
V
Mei 1998 merupakan akhir dari hegemoni Orde Baru di Indonesia. Berakhirnya hegemoni Orde Baru berawal dari krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada medio akhir 1997 dan menyebabkan kerusuhan Mei 1998. Dalam buku Kerusuhan Mei: 1998 Fakta, Data, dan Analisa menyebutkan bahwa, “Kerusuhan Mei 1998 disebabkan oleh krisis ekonomi dan IMF memiliki peran penting dalam menciptakan krisis moneter yang meluas menjadi krisis ekonomi.” Program-program yang ditawarkan IMF lebih bersifat politis ketimbang ekonomis. Pemerintah Orde Baru juga mendapatkan tekanan dari berbagai pihak internasional. Akibatnya adalah harga-harga barang melambung dan menyebabkan kerusuhan di Indonesia.
Kondisi negara yang carut-marut menggerakkan mahasiswa untuk berunjuk rasa menuntut reformasi di Indonesia. Puncak unjuk rasa tersebut adalah tertembaknya mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Pada tanggal 13 Mei 1998 hingga 15 Mei 1998 kerusuhan mulai menyebar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Kerusuhan berubah menjadi kerusuhan rasial terbukti dengan pembakaran pertokoan yang mayoritas didiami oleh etnis Tionghoa. Bulan Mei 1998 kemudian menjadi bulan mencekam bagi sejarah Indonesia. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mundur dari jabatan presiden. Peristiwa tersebut kemudian disebut sebagai Reformasi Mei 1998 dan sebagai akhir dari hegemoni Orde Baru.
Beberapa penyair kemudian menulis tentang Reformasi Mei 1998, seperti Taufik Ismail, W.S. Rendra, Agus R. Sarjono, Sitok Srengenge, Hamid Jabbar, Ikranegara, Danarto, Slamet Sukirnanto, Soni Farid Maulana, dan Iyut Fitria. Puisi karya nama-nama tersebut dimuat dalam majalah Horison bulan Juni 1998. Bahkan, penyair yang sering menulis tentang kegelisahan eksistensial ikut pula menulis puisi yang menggambarkan Reformasi Mei 1998. Wacana estetik pada periode ini berubah menjadi wacana estetik kontekstual karena sebagian besar sastrawan menulis tentang peristiwa Mei 1998.
Joko Pinurbo, dalam buku puisi Pacar Senja, juga mengikuti wacana estetik di akhir hegemoni Orde Baru. Peristiwa Mei 1998 disebut Agus R. Sarjono sebagai peristiwa terdahsyat di penghujung abad 20, sehingga tidak ada alasan lain untuk tidak menulis peristiwa tersebut kecuali alasan kemanusiaan dan kritik sosial terhadap kondisi tersebut. Perasaan carut marut Joko Pinurbo terhadap peristiwa tersebut terdapat pada puisi “Patroli”, “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, dan “Mei”.
Dua buah puisi Joko Pinurbo, “Patroli” dan “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, menggambarkan kondisi aksi unjuk rasa pada Mei 1998. Pada puisi “Patroli”, Joko Pinurbo tetap menggunakan wacana estetiknya, dengan gaya narasi humor penuh ironi. Puisi tersebut merupakan potongan cerita seperti yang terdapat pada puisi-puisi lain Joko Pinurbo namun perbedaannya dalam puisi “Patroli” lebih jelas kontekstualnya yaitu Mei 1998.
PATROLI
Iring-iringan panser mondar-mandir
di jalur-jalur rawan di seantero sajakku.
Di sebuah sudut yang agak gelap komandan
melihat kelebat seorang demonstran
yang gerak-geriknya dianggap mencurigakan.
Pasukan disiagakan dan diperintahkan
untuk memblokir setiap jalan.
Semua mendadak panik. Kata-kata kocar-kacir
dan tiarap seketika. Komandan berteriak,
“Kalian sembunyikan di mana penyair kurus
yang tubuhnya seperti jerangkong itu?
Pena yang baru diasahnya sangat tajam
dan berbahaya.”Seorang peronda
memberanikan diri angkat bicara,
“Dia sakit perut, Komandan, lantas terbirit-birit
ke dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi
di sana.” “Sialan!” umpat komandan geram sekali,
lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli.
Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu
tiba-tiba muncul dari dalam kakus sambil
menepuk-nepuk perutnya. “Lega,” katanya.
Maka kata-kata yang tadi gemetaran
serempak bersorak dan merapatkan diri
ke posisi semula. Di kejauhan terdengar letusan,
api sedang melahap
dan menghanguskan mayat-mayat korban.
(1998)
Dalam puisi tersebut, sikap represif militer terhadap demonstran digambarkan melalui gaya narasi. Komandan, panser, patroli merupakan simbol militer sedangkan simbol demonstran digambarkan oleh kata-kata. Peristiwa Mei 1998 memang seperti yang digambarkan oleh Joko Pinurbo. Militer membubarkan para demonstran menggunakan panser dan menembaki demonstran tersebut hingga menimbulkan korban jiwa bagi demonstran. Humor yang muncul pada puisi tersebut terdapat pada bagian “Si jerangkong tiba-tiba muncul dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya.” Si jerangkong kurus tersebut sampai harus bersembunyi di dalam kakus—tempat yang berkonotasi jorok—hanya untuk mengelabui militer yang represif terhadapnya. Hal itulah yang terjadi pada masa hegemoni Orde Baru hingga berakhirnya masa tersebut, para aktivis, yang disimbolkan melalui si Jerangkong, harus bersembunyi untuk menghindari sikap represif (sikap represif tersebut biasanya dengan cara penculikan) dari penguasa Orde Baru.
Pada puisi “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, Joko Pinurbo lebih menggunakan ironi. Joko Pinurbo menggambarkan kerusuhan Mei 1998 seperti peristiwa penyaliban Yesus di bukit Golgota. Sebelum penyaliban, Yesus di arak menuju Golgota melewati via dolorosa. Via dolorosa kemudian penuh dengan darah Yesus.
MINGGU PAGI DI SEBUAH PUISI
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari masih remang dan hujan, hujan
yang gundah sepanjang malam
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi
berbasah-basah ke sebuah ziarah.
Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara
di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.
...
(“Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja, hal. 114)
Pada kerusuhan Mei 1998, banyak korban berjatuhan di beberapa sudut kota Jakarta. Pembakaran terjadi di pertokoan-pertokoan Tionghoa. Darah-darah banyak tersebar di jalan-jalan kota Jakarta. Jakarta seperti via dolorosa yang banyak bercak-bercak darah. Bahkan pada kerusuhan tersebut langit kehilangan warna dan jejak kehilangan suara hanya untuk berduka pada kerusuhan tersebut. Simbol-simbol tersebut merupakan ironi yang diungkapkan oleh Joko Pinurbo untuk menggambarkan kerusuhan Mei 1998 melalui puisi.
Pada puisi “Mei” tidak ada lagi humor yang biasanya menjadi ciri khas puisi Joko Pinurbo. Joko Pinurbo kembali pada gaya liris yang penuh ironi. Puisi “Mei” sendiri di tulis pada tahun 2000, pasca-Orde Baru. Hal ini menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 1998 sangat membekas dalam ingatan.
MEI
: Jakarta, 1998
Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kaupersembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur
dan lebur dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.
2000
(“Mei”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 120)
Membaca puisi “Mei” Joko Pinurbo mengingatkan saya pada puisi Sapardi Djoko Damono “Ayat-ayat Api” terutama fragmen pertama. Ada kesamaan kelirisan dari kedua sajak tersebut.
...
mei, bulan kita itu, belum ditinggalkan penghujan
...
(“Ayat-ayat Api”, Sapardi Joko Damono, dalam Ayat-ayat api, hal. 115)
Kedua puisi tersebut sama-sama menangkap kerusuhan Mei 1998 dan mempunyai kemiripan lirisnya. Apa yang menyebabkan Joko Pinurbo menanggalkan sejenak wacana estetiknya berupa humor yang biasa ia gunakan dalam beberapa puisinya? Tentu saja, peristiwa kerusuhan Mei 1998 itu sendiri yang begitu pilu dan menyedihkan sampai-sampai Joko Pinurbo kembali pada wacana estetik tradisi puisi lirik, kembali pada aku lirik yang mengalami perenungan. Mei disimbolkan sebagai perempuan cantik yang menjadi korban kerusuhan Mei 1998.
Jika kita melihat seksama diksi yang dipilih Joko Pinurbo sebagai judul puisinya, maka kita akan mendapatkan nama Tionghoa. Mei adalah nama perempuan Tionghoa yang berarti cantik. Kerusuhan Mei 1998 menjadi kerusuhan rasial. Banyak korban etnis Tionghoa yang menjadi korban kerusuhan. Mei merupakan simbol korban Tionghoa yang dibakar tanpa tahu apa kesalahannya—tak ada lagi yang mempertanyakan nama dan warna kulitmu, Mei.
VI
Pascakeruntuhan hegemoni Orde Baru, wacana estetik Joko Pinurbo berubah sedikt demi sedikit. Beberapa puisinya ada yang berupa aforisma-aforisma pendek (pada puisi “Kepada Puisi”, 2003).
KEPADA PUISI
Kau adalah mata, aku airmatamu.
2003
(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 147)
Pada puisi “Kepada Puisi”, Joko Pinurbo melakukan percobaan-percobaan estetik. Tidak lagi berupa narasi panjang maupun narasi humor. Joko Pinurbo mempertunjukkan kerja kreatifnya dengan kata-kata yang padat dan hanya menggunakan satu larik saja.
Beberapa puisinya juga ada yang berbentuk puisi sentimentil (pada puisi “Pacar Senja”, 2003).
PACAR SENJA
Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.
Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja
mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk,
setengah saja, pacar senja tersipu-sipu.
“Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.”
Cinta seperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu
melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja
yang masih megap-megap oleh ciuman senja.
“Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium
menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.
Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.”
Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap.
Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak
dalam gemuruh ombak.
2003
(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal .45)
Letak sentimental puisi tersebut adalah pada pemilihan tema yang digarap oleh Joko Pinurbo. Jarang sekali Joko Pinurbo menampilkan tema-tema percintaan. Pada periode pasca-Orde Baru, Joko Pinurbo mencoba memainkan tema percintaan. Yang menjadi unik, Puisi “Pacar Senja” tidak tenggelam pada arus romantik seperti penyair setelah Sapardi Djoko Damono, namun masih saja menimbulkan ironi. Ironi tersebut terdapat pada bait keempat.
Beberapa lagi masih terdapat wacana estetik yang orisinil dan khas yaitu narasi humor tragisnya (pada puisi “Celana Ibu”, 2004)
CELANA IBU
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana cinta buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
2004
(Pacar Senja, Joko Pinurbo, hal. 14)
Pada puisi tersebut, Joko masih menjaga eksistensi wacana estetik khasnya. Kekuatan puisi tersebut tidak pada diksi yang puitik namun pada alur narasi yang dibangun oleh tokoh-tokoh dalam sajak. Tokoh-tokoh tersebut menimbulkan ironi. Peristiwa paskah yang tragis masih bisa kita tertawakan. Kata paskah menjadi ambigu ketika dikaitkan dengan kata pas. Itulah kekuatan ironi yang dikembangkan dalam puisi-puisi Joko Pinurbo.
VII
Perubahan wacana estetik merupakan kewajaran karena penyair pasti mengalami dinamika dalam pencapaian estetiknya sejalan dengan pengalaman hidupnya bersinggungan dengan dunia nyata, dunia yang penuh dinamika sosial.
Yang menjadi unik, biografi estetika Joko Pinurbo diberi nama Pacar Senja yang diambil dari puisi sentimentilnya.
...
Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.
...
Cinta seperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
...
(“Pacar Senja”, Joko Pinurbo, dalam Pacar Senja hal. 45)
Pertunjukkan estetik Joko Pinurbo hingga 2004, seperti sebuah tragic comedy, berisi humor-humor yang tragis. Pacar Senja merupakan sebuah pertunjukkan estetik Joko Pinurbo yang terus bersinggungan dengan lingkungan sosialnya dari masa Orde Baru hingga pascaruntuhnya hegemoni Orde Baru. Pertunjukkan estetiknya seperti Pacar Senja yang sentimentil dan tak ada matinya.
Daftar Pustaka
Bodden, Michael. 2004. “Satuan-satuan Kecil dan Improvisasi Tak Nyaman Menjelang Akhir Orde Baru” dalam Keith Foulcher dan Tony Day (ed.), Clearing a Space. Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
____________________. 2000. Ayat-ayat Api. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Jusuf, Ester Indahyani, dkk. 2007. Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data, dan Analisa. Jakarta: SNB dan APHI.
Kleden, Ignas. 2004. “Membaca Kiasan Badan: Kumpulan Sajak Joko Pinurbo” dalam Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Freedom Institute.
Malna, Afrizal. 1995. Arsitektur Hujan. Yogyakarta: Bentang.
Mawardi, Bandung. 2010. “Humor yang Politis, Humor yang Tragis” dalam Zen Hae (ed.), Dari Zaman Citra Ke Metafiksi: Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ. Jakarta: KPG.
Paz, Octavio. 2002. Puisi dan Esai Terpilih terjemahan Arif. B. Prasetyo. Yogyakarta: Bentang.
Pinurbo, Joko. 2005. Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.
Redaksi Horison, Tim (ed.). 1998. “Puisi-puisi Reformasi” dalam majalah Horison, XXXII/6/1998.
Sarjono, Agus R. 1998. “Sastra Indonesia dalam Empat Orde Baru” dalam Majalah Horison, XXXII/7-8/1998.
Utami, Ayu. 2005. “Joko Pinurbo: Mengapa Kematian, Penyairku” dalam Joko Pinurbo, Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.
Sumber: http://agungdwiertato.blogspot.com/
Pacar Senja:
Sebuah Biografi Estetika Joko Pinurbo
(Pertunjukan Estetik Joko Pinurbo Hingga Akhir dan Pasca Orde Baru)
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo