Humor Serius Joko Pinurbo, Telaah Singkat Kumpulan Puisi 'Celana'

Hikmat Darmawan


Latar belakang

Saya langsung tertarik untuk menelaah kumpulan puisi Celana karya Joko Pinurbo yang diterbitkan oleh IndonesiaTera pada 1999 ini karena tergelitik oleh nada humor pada beberapa puisi di dalamnya yang sempat kami baca selintas. Perkenalan lebih jauh dengan puisi-puisi tersebut menyingkapkan sesuatu yang lain, yaitu ternyata Joko Pinurbo adalah seorang penyair yang sangat serius.

Joko Pinurbo, atau biasa dipanggil Jokpin, mengaku dalam buku kecil ini telah menyair sekitar 20 tahun (dihitung pada 1999). Tepatnya, Jokpin mengaku dalam kata pengantarnya, “Sudah sekitar 20 tahun saya belajar menyair”[1] (cetak miring dari kami). Untuk kurun 20 tahun (belajar) menyair, tentu saja 44 buah puisi dalam 65 halaman adalah terhitung sedikit. Jika Jokpin adalah penyair produktif selama 20 tahun tersebut, maka itu berarti kumpulan ini merupakan hasil seleksi yang sangat ketat. Sebaliknya, jika selama 20 tahun tersebut Jokpin tidak produktif, kemungkinan ia sendiri memang sangat selektif terhadap karya-karya yang hendak ia tampilkan/terbitkan.
Kedua kemungkinan itu mengindikasikan bahwa Jokpin adalah seorang penyair yang memandang serius proses penerbitan puisi-puisinya, sehingga ia hanya mau mengeluarkan sedikit saja (tapi yang, kemungkinan, ia yakini sebagai terbaik di antara yang lain).

Pada saat yang sama, Jokpin mencuat ke permukaan sastra Indonesia justru karena humor-humor dalam puisi-puisinya. Sapardi Djoko Damono, dalam catatan penutup untuk buku ini, menyoroti hal ini. Penyair senior sekaligus pengajar sastra di Universitas Indonesia ini mengawali sorotannya dengan mengungkap pembacaan puisi Jokpin suatu malam pada 1998 di Teater Utan Kayu. Dalam acara pelisanan puisi tersebut, banyak penonton tertawa.

Sapardi menulis bahwa banyak alasan orang tertawa atas pelisanan sebuah puisi. Bisa jadi karena gaya atau cara melisankan puisi sang penyair, bisa juga karena pelisanan itu dirancang dalam sebuah pertunjukan yang akan memancing tawa. Semua tawa itu tak ada hubungannya dengan isi puisi itu sendiri. Namun dalam pelisanan puisi-puisi Jokpin, orang-orang malam itu tertawa karena isi puisi itu sendiri. Sapardi mencatat, kemungkinan karena kata-kata dalam puisi Jokpin semacam Celana (3) memang menggali bahan lelucon yang agak saru (porno) di masyarakat kita: masalah burung dalam celana.

Sapardi kemudian melanjutkan ulasannya, bahwa kita bisa curiga puisi ini tak sepenuhnya tentang celana, atau tentang “burung” di dalam celana. Menurut Sapardi, Jokpin menyandingkan lelucon itu dengan latar kuburan yang membuat pembaca terbawa pada sebuah imaji kematian atau kemuraman. Sapardi juga mengaitkan hal ini dengan puisi-puisi Jokpin lain dalam buku ini. Jokpin, menurut Sapardi, menggunakan “…teknik surrealis, yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar kita.”[2]

Sapardi meyakini bahwa pendekatan yang memanfaatkan ilmu psikologi, khususnya teori tentang analisis mimpi dari Freud akan banyak gunanya dalam membaca sajak-sajak Jokpin ini. Saya akan mencoba mengulas lebih jauh sajak-sajak tersebut, sambil memanfaatkan semiotika sebagaimana yang diuraikan A. Teeuw dalam buku pengantarnya akan ilmu sastra.[3] Namun kami hanya akan menerapkan pendekatan ini secara sederhana, karena makalah ini hanyalah sebuah analisa atau telaah sederhana dan bukan sebuah penelitian sastra lengkap seperti yang diidealisasikan oleh A. Teeuw dalam buku tersebut.

Sastra dan bahasa sehari-hari: masalah pertama Celana

Ada sebuah pandangan lazim dalam pembacaan sastra yang membedakan karya sastra dengan yang bukan sastra dari segi pemakaian bahasanya. Dengan kata lain, ada anggapan yang cukup banyak diikuti bahwa bahasa sastra berbeda dari bahasa bukan sastra.

Anggapan ini agak tertantang ketika kita membaca beberapa puisi Jokpin dalam kumpulan ini. Kesan umum adalah puisi-puisi ini “enteng”, menggunakan bahasa sehari-hari, dan karena itu berbeda dari karya sastra lazimnya. Patut kita selidiki, dari mana kesan “enteng” tersebut timbul.

Sebab pertama adalah dari kesengajaan Jokpin menggunakan kosa kata sehari-hari atau bahasa lisan yang sering kita gunakan dalam keseharian kita. Jokpin tidak mengharamkan kata-kata semacam “kok”, “nampang”, “sewot”, “ngacir”, “celana kolor”, “Emoh”, “Saya”, dan semacamnya. Kehadiran kata-kata sehari-hari ini mengurangi unsur defamiliarisasi dalam pilihan kata yang biasanya menjadi ukuran nilai kesastraan sebuah puisi.

Namun bukan hanya masalah kosa kata saja yang membangun kesan “enteng” atau “bermain-main” dalam puisi-puisi Jokpin ini. Sebab, di samping kosa kata keseharian itu, Jokpin kerap juga menggunakan kata-kata yang tidak biasa kita temukan dalam percakapan sehari-hari. Misalnya, kata “cabar”, “cerau”, “galau”, atau “pasai” (contoh-contoh ini dapat kita temukan dalam puisi “Tuhan Datang Malam Ini”, halaman 47). Sering juga Jokpin menggunakan istilah-istilah yang tak lazim, seperti “mosak-masik” (Dalam “Kisah Seorang Nyumin”), “konspirasi kecemasan” dan “birokrasi kematian” (“Ranjang (3)”).

Istilah-istilah tersebut memang kadang terasa berlebihan. Misalnya istilah “konspirasi kecemasan” dan “birokrasi kematian” tersebut. Kesan berlebihan ini justru menganulir kesan sastrawi puisi ini. Seakan kita dituntun untuk curiga bahwa Jokpin bukan sedang menciptakan sebuah keluhungan tapi lebih sedang bermain-main dengan konvensi sastra.

Di samping itu, ada kecenderungan lain pada pilihan istilah-istilah dalam kumpulan puisi ini: Jokpin tampak tak keberatan menggunakan kosa kata dan istilah-istilah puitis yang telah klise dalam puisi Indonesia. Misalnya, kata “sembilu”, “sudut kenangan”, “nyeri”, “sunyi”, “ngilu”. Kecenderungan ini turut membangun kesan bermain-main dan santai dalam puisi-puisi Jokpin ini.

Ada satu lagi unsur yang menyumbang pada kesan “enteng” dan “bermain-main” puisi-puisi ini, yakni susunan kalimat. Jokpin seperti mengabaikan kelaziman berpuisi dengan menyusun kalimat dalam berbagai aturan yang ketat. Untuk jelasnya, mari kita lihat beberapa kutipan berikut:

“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”

("Celana (1)")


Sudah sekian tahun mayatku hilang
Ngelayap ke mana saja dia ya, kok belum juga pulang.
“Tenang saja. Aku cuma mau iseng cari hiburan,
nonton komedi manusia di kebun binatang.”
Begitu ia dulu pamitan.

("Di Sebuah Entah")

Baik jika kita membaca kedua contoh di atas dalam hati, maupun dengan dilisankan, tetap timbul sebuah kesan bahwa puisi di atas sungguh “enteng” dan bermain-main.

Jika kita telusuri, kemungkinan kesan ini timbul karena Jokpin memang meminjam struktur kalimat dalam percakapan sehari-hari untuk puisi-puisi tersebut. Jika saja susunan tertulis kalimat-kalimat di atas diurutkan secara menyamping seperti prosa, dan tidak dipatahkan demi membentuk baris-baris yang menjadi kelaziman puisi, maka kalimat-kalimat itu akan terbaca lancar sebagai sesuatu yang prosaik sekaligus terasa akrab kita jumpai dalam percakapan sehari-hari.

Dengan kata lain, susunan kalimat-kalimat di atas tidak mementingkan metrum, rima, efek bunyi, dan langgam-langgam puisi lazimnya. Puisi-puisi tersebut seperti ingin dengan santai menyampaikan sebuah cerita yang aneh. Memang, kita bisa segera merasakan juga betapa puisi-puisi ini menyajikan sebuah keadaan yang aneh. Dalam contoh pertama, keanehan terletak pada pengisahan si “aku” yang sedang mencari celana yang “paling pas dan pantas/ buat nampang di kuburan”. Apakah ada celana yang pas untuk nampang di kuburan? Apakah memang ada kegiatan “nampang di kuburan?”

Dalam contoh kedua, lebih-lebih lagi terasa situasi aneh itu. Pertama, sang narator mengaku “sudah sekian tahun mayatku hilang”. Jika mayat si narator hilang, mengapakah sang narator masih bisa menuturkan kisah pada kita? Lebih aneh lagi, setelah mengungkap keheranannya soal ke mana saja si mayat itu “ngelayap”, si narator mengisahkan bagaimana si mayat dulu pamit: iseng, ingin cari hiburan. Seakan tak cukup aneh, puisi ini lanjut mengisahkan bahwa si mayat ingin nonton “komedi manusia di kebun binatang.”

Dari dua contoh tersebut, kita bisa melangkah pada sebuah dugaan bahwa segala kebermainan dan kesan “enteng” puisi-puisi Jokpin tersebut adalah sebuah kesengajaan si penyair dalam rangka menyembunyikan (atau menghaluskan?) sesuatu yang lebih serius dan subversif sifatnya. Tapi apa sesungguhnya yang ingin ia ungkapkan?

Humor sebagai “logika bengkok”: siasat metafor Celana

Jadi kita telah tiba pada dugaan bahwa kebermainan dan kesan “enteng” puisi-puisi Jokpin ini adalah sebuah kesengajaan untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih serius. Berikut ini adalah pendekatan lebih jauh tentang aspek yang segera menonjol dari puisi-puisi dalam kumpulan ini, aspek yang juga disoroti oleh Sapardi Djoko Damono: aspek humor puisi-puisi Jokpin.

Cukup bermanfaat untuk meminjam pengertian humor yang sederhana dari Arswendo Atmowiloto[4], bahwa humor hakikatnya tak lain dari “logika bengkok”. Pengertian logika bengkok sendiri hampir mirip dengan plesetan yang diterapkan di tingkat makna. Contohnya adalah: dalam kenyataan, muka yang ditendang kuda pastilah akan terasa sakit, malah mungkin ada tulang-tulang yang patah; namun dalam humor, muka penyok ditendang kuda adalah sesuatu yang tak menyakitkan tapi menerbitkan kesan apes dan konyol belaka.

“Logika bengkok” ini bisa diterapkan baik pada humor-humor slapstick (humor-humor yang bersifat fisik, dan sering dianggap jenis humor paling rendah) hingga ke humor-humor situasi yang canggih. Di tingkat yang canggih, seperti dalam episode-episode Mad About You atau kartun-kartun Far Side Gallery karya Garry Larson, “logika bengkok” dapat memiliki kualitas metaforik atau simbolik.

Agaknya, potensi humor inilah yang ditangkap dan diolah Jokpin. Mari kita ambil contoh sebuah humor yang barangkali paling banyak diingat oleh para penggemar puisi-puisi Jokpin, yakni idiom “burung dalam celana”.

CELANA (3)

Ia telah mendapatkan celana idaman yang lama
didambakan, meskipun untuk itu ia harus
berkeliling kota dan masuk ke setiap toko busana.

Ia memantas-mantas celananya di cermin sambil
dengan bangga ditepuk-tepuknya pantat tepos
yang sok perkasa. “Ini asli buatan Amerika,”
katanya kepada si tolol yang berlagak
di dalam kaca.

Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan. Ia memamerkan
celananya: “Ini asli buatan Amerika.”

Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang
bertengger di dalam celana. Ia sewot juga.
“buka dan buang celanamu!”

Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang
gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah ke mana.

Dalam puisi itu, terasa benar humor saru seputar soal perkelaminan. Jokpin dengan nakal mengambil bulat-bulat sebuah idiom yang sangat umum di masyarakat, yakni penyebutan kelamin lelaki dengan kata “burung”. Dalam kenakalan ini, Jokpin seperti mengingatkan bahwa pada hakikatnya, ungkapan “burung” adalah kegiatan bermetafor yang sangat dasar. Dan Jokpin mengangkat metafor yang menggelikan ini ke aras yang selama ini dianggap “luhung”, yakni puisi.

Dan dengan ini, Jokpin memberi kita sebuah kepastian makna yang menggelikan sekaligus menggoyahkan kepastian itu. Di satu sisi, pembaca Indonesia umumnya tahu pasti bahwa “burung” yang dibicarakan Jokpin adalah kelamin lelaki (dan karena itu kita merasa geli). Di sisi lain, bagaimanakah bisa “burung” tersebut “kabur entah ke mana”? Tentu sukar kita menerima bahwa ini adalah sebuah ungkapan harfiah. Dengan demikian, kita melihat bahwa Jokpin mengembalikan idiom “burung” (atau tepatnya “burung dalam celana”) ke dalam kapasitas metaforiknya. Tapi masih tersisa pertanyaan, lantas apa sebetulnya yang dibicarakan Jokpin dalam puisi tersebut?

Alam Mimpi Freudian: Kata-kata Kunci dalam Celana

Memang benarlah saran Sapardi, bahwa psikoanalisa Freudian bisa sangat membantu pemahaman kita terhadap kumpulan puisi Celana ini. Tanpa terlalu membenam pada persoalan teoritis psikoanalisa, kita bisa memusatkan perhatian pada salah satu unsur terpenting teori ini, yakni bahasan tentang analisa mimpi.

Asumsi dasar psikoanalisa Freud adalah adanya dinamika hubungan antara alam sadar dan alam bawah sadar yang menentukan perilaku serta kepribadian seseorang. Freud percaya bahwa untuk dapat menganalisa kepribadian seseorang, kita harus mengeluarkan apa yang tersembunyi dalam alam bawah sadar itu. Pada masa sebelum Freud, cara yang lazim digunakan untuk mengorek alam bawah sadar tersebut adalah dengan hipnotis. Freud menampik hipnotis, dan meyakini bahwa pembongkaran alam bawah sadar itu harus dilakukan dalam keadaan sadar. Metode yang dikembangkan Freud adalah analisis mimpi dan asosiasi bebas.

Dalam metode analisis mimpi, Freud berasumsi bahwa alam mimpi mengandung simbol-simbol dari pengalaman di alam sadar yang disublimasi ke alam bawah sadar. Dalam metode asosiasi bebas, Freud percaya bahwa tanggapan spontan atas kata-kata tertentu mencerminkan sesuatu yang tersimpan di alam bawah sadar kita. Dengan kata lain, psikoanalisa Freudian memercayai sepenuhnya fungsi simbol dan arti penting kata.

Kita bisa menerapkan pendekatan ini untuk mencoba memahami kumpulan puisi Celana. Dalam kumpulan ini, kita menemukan ada beberapa kata yang menjadi motif (muncul berulang-ulang) yang kami anggap sebagai kata-kata kunci dalam kumpulan puisi ini. Misalnya, tentu saja, kata “celana”. Paling tidak, ada 5 puisi dalam kumpulan ini yang menggunakan kata “celana”: Celana (1), Celana (2), Celana (3), Boneka Dalam Celana, dan Terkenang Celana Pak Guru.

Kata ini berkait dengan beberapa kata atau istilah kunci lain: “burung”, “seluk-beluk yang di dalam celana”, “boneka di dalam celana”, dan sebagainya. Dalam salah satu puisi, Jokpin dengan jenaka menggambarkan beberapa “penghuni di dalam celana”: “Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi tentang hal-ihwal yang di dalam celana:/ada raja kecil yang galak dan suka/ memberontak/ ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk/merenungi rahasia alam semesta/ada gunung berapi yang menyimpan/sejuta magma” (Celana (2)). Bahkan dalam puisi itu digambarkan betapa “Columbus/ pun akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana/ dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.” (Celana (2))

Bukan hanya mengacu pada kelamin pria, idiom ini juga terkait dengan kelamin perempuan. Misalnya, “gua garba yang diziarahi/para pendosa dan pendoa”, atau “lubang sunyi, di bawah pusar, yang dirimbuni semak berduri”. Jelaslah dari kata-kata dan idiom-idiom kunci ini, masalah perkelaminan, dan dengan demikian juga masalah ketubuhan, adalah hal sangat penting dalam puisi-puisi Jokpin.

Apakah Jokpin sedang mengemukakan keyakinan yang sama dengan Freud bahwa seks adalah intisari masalah manusia, hakikat dasar yang menyebabkan kepribadian timbul? Tubuh memang bisa sangat mengungkung jiwa seseorang. Seks, lebih-lebih di zaman modern yang serba terbuka tentang masalah ini, menjadi kenyataan baru yang bisa sangat mengungkung.

Sebelum “celana”, Jokpin banyak mengolah kata “ranjang” (dalam kumpulan ini, ia membuat 12 puisi berjudul Ranjang yang diberi nomor urut 1-12). Tapi dalam puisi-puisi ranjang tersebut, Jokpin mengaitkannya dengan kata kunci lain: “kematian” dan “mayat”. Dua kata kunci ini juga muncul di seantero kumpulan ini. Misalnya:

Kami sepasang mayat
ingin kekal berpelukan
dan tidur damai
dalam dekapan ranjang.

Atau:

Darah berceceran di atas ranjang.
Jejak-jejak pemburu membawa kami
tersesat di tengah hutan.

Dari sini kita bisa lihat bahwa soal-soal seksualitas pada puisi-puisi Jokpin galibnya tersangkut dalam peliknya soal ketubuhan; dan selanjutnya, soal ketubuhan itu sendiri, ternyata terkait dengan soal yang eksistensial bagi manusia: bagaimana seseorang menghadapi persoalan maut, menghadapi kenyataan akan kefanaan dirinya.

Upaya Jokpin menggeluti masalah eksistensial ini diwujudkan dalam pengungkapan sebuah dunia mimpi. Puisi-puisinya mengambil gaya bertutur, atau bersifat naratif, dengan bahasa yang tak terlalu di-“berat-beratkan”, dalam rangka mengungkap alam mimpi tersebut. Ada semacam kehendak sang penyair untuk menyiasati soal menakutkan ini (kematian) dengan metafor-metafor humoristis.

[1] Joko Pinurbo, Celana, Penerbit IndonesiaTera, Yogyakarta, 1999.
[2] Idem.
[3] A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, cetakan kedua, Pustaka Jaya dan Girimurti Pasaka, Jakarta, Jakarta, 1988.
[4] Pengertian humor ini pernah ditulis Arswendo dalam sebuah rangkaian tulisan tentang humor di Majalah Hai pada 1980-an. Sayangnya, kami tak berhasil menemukan edisi yang memuat tulisan tersebut.



Sumber: www.hikmatdarmawan.multiply.com