Prof. Dr. Okke Kusuma Sumantri Zaimar
(Staf Pengajar Program Studi Prancis FIB-UI)
Apabila saya bandingkan dengan puisi karya penulis modern Indonesia lainnya, seperti Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri, puisi Joko Pinurbo ini memang mempunyai gaya tersendiri. Puisi-puisi ini tidak bergaya "wah", melainkan penuh kesederhanaan. Memang beberapa kritikus (a.l. Ayu Utami) menganggap puisi-puisi Joko lebih dekat dengan gaya Goenawan Muhammad dan Sapardi Djoko Damono.
Melihat bentuknya, puisi Joko banyak sekali yang bersifat naratif, bahkan dalam sajaknya yang deskriptif pun ia tetap berceritera. 90% dari karya Joko Pinurbo bersifat naratif. Berbeda dengan puisi pada umumnya yang sangat mementingkan bentuk sajak atau pembagian per bait, sajak Joko banyak yang menampilkan bait seperti paragraf saja, bahkan sering kali sajak tampil tanpa bait, jadi merupakan satu kesatuan. Seperti sajak modern lainnya, sajak Joko sering tampil dalam bait-bait yang tidak sama jumlah lariknya. Ada pula pembaca yang mempermasalahkan rima pada sajak-sajak Joko Pinurbo. Meskipun tidak banyak mengandung rima, puisi Joko tetap mengalun. Sering kali rima digunakan sepenuhnya, baik rima selarik mau pun rima akhir larik. Berikut ini contoh rima selarik:
Mata air
Di musim kemarau semua sumber air di desa itu
mengering. Perempuan-perempuan legam
berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah desa di bawah pohon beringin
di celah bebukitan. Tawa mereka yang renyah
menggema nyaring di dinding-dinding tebing, pecah
di padang-padang gersang.(…)
(Pacar Senja, hal 128)
Dari cuplikan di atas, tampak bahwa meskipun tak ada rima akhir, larik ke 3, ke 6 dan 7 mengandung rima selarik bunyi / /, / / dan / / yang menimbulkan kesan pantulan gema, namun bagi penyair kita ini tampaknya apabila tidak diperlukan, rima tak perlu ada. Maka rima, terutama rima akhir, sering ditinggalkan. Susunan bahasa Indonesia yang digunakan Joko cukup rapih, lisensia puitika yang banyak digunakan hanyalah enjambemen, yaitu pemotongan kalimat sebelum selesai, kemudian dilanjutkan di larik berikutnya. Hal ini memberi kesan lompatan-lompatan, dan bila dihubungkan dengan makna dalam sajak di atas memberikan gambaran jalan yang sama sekali tidak rata, sehingga orang yang menggendong gentong itu perlu ekstra hati-hati, agar air yang dibawanya tidak tumpah. Berikut ini sebuah sajak lagi yang menampilkan rima khas sajak Joko Pinurbo.
Bercukur sebelum Tidur
Bercukur sebelum tidur,
membilang hari-hari yang hancur,
membuang mimpi-mimpi yang gugur,
memangkas semua yang ranggas dan uzur,
semoga segala rambut, segala jembut,
bisa lebih rimbun dan subur.
Lalu datang musim, dalam curah angin,
menumpahkan air ke seluruh dataran,
ke gunung-gunung murung
dan lembah-lembah lelah di seantero badan.
Jantungku meluap, penuh.
Sungai menggelontor, hujan menggerejai
di sektor-sektor irigasi di agrodarahku.
Malam penuh traktor, petani mencangkul
di hektar-hektar dagingku.
Tubuhku hutan yang dikemas
menjadi kawasan megaindustri
di mana segala cemas, segala resah
diolah di sentra-sentra produksi.
Tubuhku ibukota kesunyian yang diburu investor
dari berbagai penjuru.
Tubuhku daerah lama yang ditemukan kembali,
daerah baru yang terberkati.
Lalu tubuhku bukan siapa-siapa lagi.
Tubuhku negeri yang belum diberi nama.
Dan kuberi saja nama dengan sebuah ngilu
saat bercukur sebelum tidur.
(Pacar Senja, hal. 30)
Pada sajak di atas ini, kita lihat bahwa pada awalnya Joko menggunakan rima akhir sepenuhnya, kemudian makin lama, makin berkurang, meskipun ia masih menggunakan rima selarik ("ke gunung-gunung murung", dan "ke lembah-lembah lelah"), dan akhirnya rima ditinggalkan, seakan tidak dipedulikan sama sekali. Kesela-rasan bunyi itu ditinggalkan begitu saja, seakan suatu ejekan pada bentuk puisi lama, bahkan mungkin suatu ejekan pada "keharmonisan". Bentuk bait pun tidak ditampilkan, padahal dengan adanya tanda-tanda kesatuan kalimat, sangat mudah untuk menentukan batas-batas bait. Namun memang Joko tidak menghendaki hal ini. Dari segi isi, kita lihat bahwa tindakan yang sangat bersifat pribadi ini (Bercukur sebelum tidur) melalui gaya bahasa simile, telah bergeser menjadi suatu gambaran tentang hutan-hutan yang telah menjadi megaindustri "di mana segala cemas, segala resah diolah di sentra-sentra produksi" Dengan halus, Joko mengemukakan keadaan yang mengkhawatirkan itu dan memberinya nama "sebuah ngilu". Kata yang sederhana ini digunakan untuk menggambarkan seluruh perasaan khawatir dan cemas melihat negrinya diburu para investor.
Satu lagi sajak yang menggunakan rima penuh, karena mengandung repetisi:
Naik Bus di Jakarta
Sopirnya sepuluh.
Kernetnya sepuluh.
Kondekturnya sepuluh.
Pengawalnya sepuluh.
Perampoknya sepuluh.
Penumpangnya satu, kurus,
dari tadi tidur melulu;
kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali.
Sampai di terminal, kondektur minta ongkos:
"Sialan, belum bayar sudah mati!"
(Pacar Senja, hal. 118)
Lima larik awal menampilkan repetisi kata "sepuluh" di akhir larik, sehingga tentu menimbulkan rima penuh, namun kemudian pada larik ke 6, 7 dan 8 rima mulai berkurang untuk pada akhirnya hilang sama sekali. Inilah cara khas Joko mengatur rima. Dari segi makna, sepintas lalu sajak ini terasa lucu, terutama melihat oposisi antara angka sepuluh bagi sopir, kernet, kondektur, pengawal (yang biasanya hanya terdiri dari satu orang di setiap bus) dan perampok, dengan penumpang yang biasanya banyak, hanya disebut satu. Namun, kelucuan di awal sajak berubah menjadi tragedi di akhir sajak. Rupanya penumpang yang banyak itu cukup disebut satu, untuk mengemukakan kesamaan nasib mereka. Kesengsaraan hidup di kota besar hanya dinyatakan dengan "kusut matanya, kerut keningnya seperti gambar peta yang ruwet sekali". Kemudian, sesampai di terminal, ternyata penumpang itu telah mati, dan kata-kata yang diucapkan kondektur sangat menusuk "Sialan, belum bayar sudah mati!" Bagi kondektur, uang sebanyak dua atau tiga ribu rupiah lebih penting dari nyawa manusia. Joko Pinurbo tidak hanya fasih dalam menampilkan pribadi manusia dan segala persoalannya, namun dalam kesederhanaannya, dia juga sering menampilkan kehidupan masyarakat yang menyentuh.
Sajak berikutnya mengemukakan peristiwa kekacauan yang terjadi pada bulan Mei 1998. Peristiwa yang mengerikan itu ditampilkan dalam kesederhanaan Joko Pinurbo, seperti berikut ini:
Mei
Jakarta, 1998
Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kau persembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit, yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei.
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur dan lebur
dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.
(Pacar Senja, hal. 120)
Sajak ini terdiri dari empat bait yang masing-masing tidak mementingkan rima. Sebagaimana juga dalam sajak-sajak Joko Pinurbo yang lain, kalimat-kalimatnya tersusun rapih, kadang-kadang menempati dua atau tiga larik, sehingga memungkinkan adanya lompatan sintaksis, enjambemen.
Dalam sajak ini, kerusuhan bulan Mei digambarkan bagai tubuh gadis yang cantik. Lagi pula, Mei bisa jadi nama seorang perempuan Cina, misalnya: Mei-Mei, Mei-Lan, Mei-Ling, dan seterusnya. Salah satu keahlian Joko Pinurbo adalah mengemukakan pisau bermata dua. Apabila pembaca menganggap Mei itu nama seorang perempuan, maka ia berhadapan dengan tragedy satu anak manusia, namun bila ia menganggap Mei sebagai personifikasi dari waktu (bulan Mei), maka ia berhadapan dengan tragedi bangsa yang terjadi pada bulan Mei 1998. Tak ada gambaran yang hebat mengenai peristiwa kerusuhan itu, namun justru api digambarkan bagai seseorang yang mencintai dan melumat kekasihnya. Namun, yang dilumatnya "cuma warna, cuma kulit, dan cuma ilusi". Jadi yang dibakar para perusuh itu bukanlah esensi manusia, melainkan hanya kulit luar dan bayangan saja. Gagasan ini dipertegas lagi dalam larik-larik berikutnya: "Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami dengan membakar habis tubuhmu yang cantik, Mei" Memang, kerusuhan bulan Mei itu muncul karena adanya kebohongan, dusta yang bisa membangun gagasan-gagasan yang maya, ilusi semata. Itulah sebabnya Joko menghubungkan api dengan mandi "Kau sudah mandi api". Sebagaimana dalam sajak-sajaknya yang lain, mandi bagi Joko adalah pembersihan diri. Itulah beberapa sajak Joko yang mengemukakan kegalauan masyarakat: berhektar-hektar hutan yang berubah menjadi megaindustri, kesengsaraan rakyat ibukota yang naik bus dan kerusuhan bulan Mei. Hal ini saya soroti untuk menepis anggapan bahwa dalam sajak-sajaknya, Joko Pinurbo hanya sibuk dengan diri manusia.
Selanjutnya, marilah kita cermati tema yang hadir pada sajak-sajak Joko Pinurbo. Dalam waktu yang terbatas ini, tentu tidak mungkin saya membahas semua sajak yang jumlahnya seratus itu, jadi saya hanya akan membahasnya secara keseluruhan karya dengan mengambil beberapa bagian sajak sebagai cuplikan. Untuk menemukan tema utama, maka akan saya cari motif dan sub-motif yang mendukung tema dengan melihat kosakata yang digunakan oleh penyair.Motif pertama yang tampak menonjol adalah motif kematian yang didukung oleh kata-kata: kuburan yang hadir hampir di semua sajak, kemudian kata makam, ke-randa, mayat, jenazah, bangkai, korban yang terbantai, kain kafan, batu-batu nisan, dan yang lainnya. Apa makna kematian bagi penyair? Kalau kita perhatikan, kematian bagi Joko Pinurbo tidaklah terlalu menakutkan, hampir di setiap sajaknya dia menggunakan kata kuburan. Misalnya dalam sajak "Celana 1":
(…)
"Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan."
(…) (Pacar Senja, hal.3)
Atau dalam sajak "Celana 3":
(…)
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
(…) (Pacar Senja, hal 5)
"Kisah Senja":
(…)
Istrinya masih asyik di depan cermin, menghabiskan
bedak dan lipstik, menghabiskan sepi dan rindu."
Aku mau piknik sebentar ke kuburan. Tolong jaga
rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri masuk
mengambil buku harian dan surat-suratmu."
(…)
(Pacar Senja, hal. 18)
Dalam "Boneka 2":
(…)
"Mungkin ia sudah bosan dengan kita," gajah berkata.
"Mungkin sudah hijrah ke lain kota" anjing berkata.
"Mungkin pulang ke kampung asalnya" celeng berkata.
"Ah, ia sedang nonton dangdut di kuburan,"
monyet berkata. "Siapa tahu ia tersesat
di tanah leluhur kita," yang lain berkata.
(…)
(Pacar Senja, hal. 26)
"Pulang Malam":
(…)
Di atas puing-puing mimpi
dan reruntuhan waktu
tubuh kami hangus dan membangkai
dan api siap melumatnya
jadi asap dan abu.
Kami sepasang mayat
ingin kekal berpelukan dan tidur damai
dalam dekapan ranjang. (Pacar Senja, hal 69)
"Kain Kafan":
Kugelar tubuhku di atas ranjang
seperti kugelar kain kafan yang telah dibersihkan.
(…)
Kulipat tubuhku di atas ranjang
seperti kulipat kain kafan
yang kaujadikan selimut tadi malam. (Pacar Senja, hal.79)
"Perias Jenazah":
(…)
Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah
yang akan diriasnya sangat mirip dengan dirinya.
Kemudian ia menangis tersedu-sedu sambil dipeluknya
jenazah perempuan yang malang itu. "Biar kurias parasmu
dengan air mataku sampai sempurna ajalmu."
Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggald
an tak ada yang meriasnya. Jenazahnya tampak lembut
dan cantik, dan arwah-arwah yang pernah didandaninya
pasti akan sangat menyayanginya.
(…)
(Pacar Senja, hal. 37)
Sajak "Mudik":
(…)
Nenek sedang meninggal dunia.
Tubuhnya terbaring damai di ruang do’a,
ditunggui boneka-boneka lucu kesayangannya.
(…)
(Pacar Senja, hal. 95-96)
Demikianlah gambaran kematian. Kuburan bagi Joko adalah tempat nampang, tempat menunggu kekasih, tempat piknik, tempat nonton dangdut. Dalam "Pulang Malam" memang ada gambaran yang agak keras "tubuh kami hangus dan membangkai", tetapi gambaran yang keras itu dihaluskan kembali pada bait selanjutnya "Kami sepasang mayat ingin kekal berpelukan dan tidur damai dalam dekapan ranjang.", sedangkan gambaran kain kafan disamakan saja dengan kain putih dan selimut. Gambaran kematian yang mengharukan tampak pada sajak "Perias Jenazah". Jenazah itu dirias dengan air mata. Dan ketika pada gilirannya si perias jenazah itu meninggal, jenazahnya kelihatan lembut dan cantik, meski pun tak ada yang meriasnya, karena ia disayangi oleh arwah-arwah yang pernah diriasnya. Dalam sajak "Mudik" kematian juga tidak menampilkan wajah yang menakutkan, melainkan wajah ketenangan dan kedamaian.
Marilah kita lihat motif yang ke dua, yaitu motif berlarinya waktu. Motif ini sangat menonjol. Bahkan lebih dari 25% dari judul sajak menggunakan kosakata yang mengandung komponen makna waktu, yaitu: "Terkenang Celana Pak Guru", "Perjamuan Petang", "Selepas Usia 60", "Kisah Senja", "Gadis Malam di Tembok Kota", "Bercukur sebelum Tidur", "Perempuan Senja", "Gadis Enam Puluh Tahun", "Kecantikan Belum Selesai", "Pacar Senja", "Kisah Semalam", "Doa sebelum Mandi", "Pulang Malam", "Penumpang Terakhir", "Telpon Tengah Malam", "Tuhan Datang Malam Ini", "Minggu Pagi di Sebuah Puisi", "Mei", "Ronda", "Baju Bulan", "Bayi di Dalam Kulkas", "Surat Malam untuk Paska", "Selamat Tidur", "Penjual Kalender", "Februari yang Ungu". Ini baru judul saja, tentu perhitungan ini tidak akurat. Seharusnya semua sajak diteliti satu per satu. Meskipun demikian, melihat jumlah judul sajak, kita sudah dapat melihat bahwa tema waktu sangat dominan. Kini marilah kita lihat bagaimana "wajah" waktu ditampilkan oleh penyair.
Sajak "Di Salon Kecantikan":
(…)
Senja semakin senja.
Jarinya meraba kerut di pelupuk mata.
Tahu bahwa kecantikan hanya perjalanan sekejap
yang ingin diulur-ulur terus
namun toh luput juga.
Karena itu ia ingin mengatakan,
Mata, kau bukan lagi bulan binal
yang menyimpan birahi dan misteri.
Ia pejamkan matanya sedetik
dan cukuplah ia mengerti
bahwa gairah dan gelora
harus ia serahkan pada usia.
Toh ia ingin tegar bertahan
dari ancaman memori dan melankoli.
Ia seorang pemberanidi tengah kecamuk sepi.
(…)
Mengapa harus menyesal?
Mengapa takut tak kekal?
Apa beda selamat jalan dan selamat tinggal?
Kecantikan dan kematian bagai saudara kembar
yang pura-pura tak saling mengenal.
"Aku cantik. Aku ingin tetap mempesona.
Bahkan jika ia yang di dalam cermin
merasa tua dan sia-sia."
Yang di dalam kaca tersenyum simpul
dan menunduk malu
melihat wajah yang diobrak-abrik tatawarna.
Alisnya ia tebalkan dengan impian.
Rambutnya ia hitamkan dengan kenangan.
Dan ia ingin mengatakan,
Rambut, kau bukan lagi padang rumput
yang dikagumi para pemburu.
(…)
"Aku minta sedikit waktu lagi
buat tamasya ke dalam cemas.
Malam sudah hendak menjemputku
di depan pintu."
(…)
Senja semakin senja.
Kupu-kupu putih hinggap di pucuk payudara.
Tangannya meremas kenyal yang mrucut
dari sintal dada.
Dan ia ingin mengatakan,
Dada, kau bukan lagi pegunungan yang indah
yang dijelajahi para pendaki.
(…)
(Pacar Senja, hal. 19-22)
Berbeda dengan "kematian", wajah "waktu" menampilkan kecemasan yang sangat kuat. Si narator tahu bahwa ia harus menyerahkan segalanya pada usia, namun ia tetap "tegar melawan ancaman memori dan melankoli" Jeritan hatinya sangat menyentuh. Ia mempertanyakan mengapa harus menyesal dan mengapa takut tak kekal. "menyesal" dan "tak kekal" adalah dua hal yang tak dapat dirubah lagi dengan berlarinya waktu tanpa memperdulikan usahanya untuk menentang waktu dengan menggunakan salon kecan-tikan. Ia tahu bahwa usahanya akan sia-sia, namun di akhir sajak, dia menjadi tabah. Motif berlarinya waktu ini, tampak pula dalam sajak "Pacar Senja":
(…)
"Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas ciummenjadi bekas." (…) (Pacar Senja, hal. 45)
Sementara itu, ada pula gambaran waktu yang tidak begitu menakutkan, contoh sajak "Mudik":
(…)
Waktu kadang begitu simple dan sederhana:
Ibu sedang memasang senja di jendela.
Kakek sedang menggelar hujan di beranda.
Ayah sedang menjemputku entah di setatsiun mana.
(…)
Begitu simpel dan sederhana, sampai aku tak tahu
butiran waktu sedang meleleh dari mataku.
Dalam sajak di atas, waktu tidak tampil sebagai sosok yang menakutkan, melainkan sebagai hal yang mengharukan, karena butiran waktu yang meleleh adalah air mata kenangan yang dimiliki si aku narrator. Hal yang sama tampak pula dalam sajak "Penjual Kalender":
(…)
Lelaki tua berulang kali menghitung receh di tangan,
barang dagangannya sedikit sekali terbeli.
"Makin lama waktu makin tidak laku," ia berkeluh sendiri.
Anaknya tertidur pulas di atas tumpukan kalender
yang sudah mereka jajakan berhari-hari.
Lelaki tua membangunkan anaknya. "Tahun baru
sudah tiba, Plato. Ayo pulang. Besok kembalikan saja
kalender-kalender ini kepada pengrajin waktu."
(…)
Tuan kecil segera ingin menyambung tidurnya.
Ibunya menepuk pantatnya: "Kau telah dinakali waktu,
Buyung? Kok tubuhmu terhuyung-huyung?"
Ia ibu yang pandai merawat waktu. Terberkatilah waktu.
Dengan sabar dibongkarnya tumpukan kalender itu.
Ha! Berkas-berkas kalender itu sudah kosong,
ribuan angka dan hurufnya lenyap semua. Dalam sekejap
ribuan kunang-kunang berhamburan memenuhi ruangan.
Gambaran waktu pada sajak di atas tidak bersifat gamblang seperti yang lainnya. Memang waktu telah berlalu, sehingga kalender itu tidak laku lagi. Di satu pihak, waktu seakan dianggap sebagai benda, ada pengrajin waktu yang mengaturnya. Di lain pihak, waktu juga dipersonifikasikan, sehingga si ibu menanyakan apakah anaknya telah dinakali waktu. Memang tanpa terasa, waktu sering menipu atau menakali manusia. Namun pada akhir sajak, dikatakan bahwa berkat kepandaian ibunya merawat waktu, atau menggunakan waktu, maka angka-angka dan huruf pada kalender dapat berubah menjadi kunang-kunang. Binatang-binatang kecil yang hidup di waktu malam berkelap-kelip, bercahaya dan nampak indah. Mungkin saja hal itu merupakan metafora dari harapan-harapan manis si ibu. Kejengkelan pada waktu tampak dalam sajak "Anjing":
Rumahku dijaga dua anjing cerdas: anjing sungguhan
dan anjing-anjingan. Anjing sungguhan sungguh cerewet
dan sok polisi: sepi berkelebat sedikit saja
ia sudah panik, lalu menyalak keras sekali.
Anjing-anjingan sungguh kalem lagi pemalu:
maklum, tubuhnya terbuat dari waktu, eh batu.
Entah mengapa malam lebih takut pada anjing-anjingan
ketimbang pada anjing sungguhan sehingga anjing
sungguhan jadi cemburu. "Aku yang sibuk menjaga
rumah ini, kau yang lebih ditakuti. Dasar anjing!"
kata anjing sungguhan kepada anjing-anjingan.
Sajak ini lebih bersifat "canda", sehingga penampilan waktu di sini tidak menakutkan. Klausa "tubuhnya terbuat dari waktu, eh batu" menunjukkan canda itu. Namun kejengkelan terhadap waktu sangat terasa. Seruan si anjing asli : "Dasar anjing!" menunjukkan perasaan jengkel itu.
Selanjutnya, sebagai motif yang ke tiga kita lihat motif manusia yang terdiri yaitu Ibu, Bayi, dan Tubuh. Yang termasuk sub-motif Ibu adalah: perempuan, kekasih, pacar, gadis, dan lain-lain. 13 dari 100 judul sajak, termasuk sub-motif Ibu. Judul-judul itu adalah: "Celana Ibu", "Gadis malam di Tembok Kota", "Perempuan Senja", "Gadis Enam Puluh Tahun", "Pacar Senja", "Ranjang Ibu", "Penyair Kecil", "Pohon Perempuan", "Mei", "Perempuan Jakarta", "Pacar Kecilku", "Kekasihku", "Ibuku".
Ibu adalah sosok yang digambarkan kuat dan penuh kreasi.. Dia memberikan bekal pada putra-putrinya, bahkan Jesus pun sebelum pergi ke surga mendapat bekal dari ibunya. Hal ini tampak dalam sajak "Celana Ibu":
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri.
"Paskah?" tanya Maria.
"Pas sekali, Bu." jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
(Pacar Senja, hal. 14)
Di sini kita lihat kecintaan seorang ibu. Bahkan Yesus menerima celana buatan ibunya dengan gembira.Sang ibu sedih melihat penderitaan anaknya, dan ia berusaha untuk menguranginya. Celana bukan berarti pakaian biasa, melainkan juga penutup aurat yang pertama. Celana untuk sang putra dijahit sendiri oleh ibundanya, di situlah letak kecintaan si ibu. Ibu juga kerap digambarkan menderita, seperti tampak pada "Ranjang Ibu":
Ia gemetar naik ke ranjang
sebab menginjak ranjang serasa menginjak
rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.
Dan bila sesekali ranjang berderak datau berderit,
serasa terdengar gemeretak tulang
ibunya yang sedang terbaring sakit.
(Pacar Senja, hal. 84)
Begitu besar penderitaan si Ibu, sehingga sang anak selalu merasa mendengar gemeretaknya tulang ibu. Hal ini menunjukkan bahwa si ibu selalu bekerja keras. Sajak lain menggambarkan kebahagiaan seorang anak yang berada dalam asuhan ibunya.
Ibuku
Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku.
Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan
ibuku, sambil membayangkan dan bertanya ini itu.
Aku pun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat
yang belum kukenali. Ketika bangun, kurasakan basah
di celana. Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda.
(Pacar Senja, hal. 145)
Betapa penuh kebahagiaan si narator yang sedang dimanja oleh ibunya.Inilah kebahagiaan masa kecil yang tak terlupakan. Selain memanjakan, si ibu juga mendidiknya dengan baik, ia selalu menyuruhnya membaca, sehingga setelah dewasa, si anak merasa ibunya telah menjadi buku dan akan tetap menuntunnya. Kecintaan seorang ibu pada anaknya, memang tak terbatas. Bahkan anaknya yang durhaka pun masih ingin dilindunginya. Gagasan ini tampak dalam sajak "Pohon perempuan" (Pacar Senja, hal. 119). Joko Pinurbo banyak menggambarkan perempuan dalam penderitaannya. Sajak "Perempuan Jakarta" menampilkan penderitaan seorang perempuan malam di Jakarta.
(…)
Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan
dengan airmata yang disembunyikan.
Di halaman para demonstran pesta pora
mengibarkan kata, mengibarkan celana.
"Ayo, kita sergap dia!"
"Ayo tangkap saya!" ia menantang
sambil pamerkan pantatnya yang matang.
Mereka lalu mengepungnya,
ingin meraih wajahnya, meraih sakitnya.
"Rebutlah aku!" ia merayu
dan mereka siap menyerbu.
(…)
(Pacar Senja, hal.121)
Penderitaan perempuan nakal tampak lebih mengigit lagi dalam sajak "Gadis Malam di Tembok Kota":
(…)
Wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang menyimpan jeritan;
dada segar yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni rumput berduri.
(…)
Dan dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya
dada yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
yang menyerahkan diri pada sembilu.
(Pacar Senja, hal. 23, 24)
Setelah pembahasan motif secara agak mendalam, kini marilah kita lihat keseluruhan motif, meskipun, karena ketiadaan waktu, motif selanjutnya tidak akan dibicarakan secara rindi bersama sajak-sajaknya. Meskipun demikian, pembahasan berikut akan menampilkan hubungan antara satu motif dengan yang lainnya sehingga tema dapat lebih dipahami dengan baik.
Setelah pembicaraan tentang sub-motif perempuan, kini akan dilihat kehadiran sub-motif laki-laki. Sub-motif ini tidak begitu banyak, dalam judul sajak terdiri dari 6 judul, yaitu : "Terkenang Celana Pak Guru", "Tukang Cukur", "Penjual Buah", "Loper Koran", "Ronda", "Penjual Bakso", dan lain-lain. Sub-motif ini tidak akan disoroti karena tidak dominan. Yang menarik adalah sub-motif benda dan ruang, yaitu tempat tidur, ranjang, kamar mandi yang cukup banyak terlihat dalam judul., yaitu: "Toilet", "Pulang Mandi", "Di Sebuah Mandi", "Do’a sebelum Mandi", "Antar Aku ke Kamar Mandi", "Mandi". Setelah itu ada "Ranjang Putih", "Tahanan Ranjang", "Ranjang Ibu", "Rumah Kontrakan". Dari analisis sajak, tampak bahwa yang banyak digunakan penyair untuk menyebut ruang adalah kamar mandi dan ranjang. Kamar mandi sering muncul sebagai pembersih jiwa dan raga, pembersih dosa. Sedangkan ranjang justru digunakan untuk berbuat dosa. Peristiwa mandi banyak dikemukakan demikian juga peristiwa hubungan seksual, bahkan juga perkosaan. Seks banyak ditampilkan dalam berbagai sajak, meskipun dalam judul hanya ada satu: "Di Sebuah Vagina". Obsesi pembicaraan tentang seks ini, timbul dari keinginan untuk menggambarkan penderitaan kaum perempuan, sebagai objek yang dieksploitir.
Sementara itu pakaian merupakan motif penting. Meskipun demikian, sebagaimana juga ruang, tak banyak jenis pakaian yang muncul. Yang sering kita lihat adalah celana yang digunakan sebagai judul tiga buah puisi berturut-turut ("Celana 1", "Celana 2" dan "Celana 3"). Selain itu, sarung atau kain sarung juga sering muncul dalam sajak Joko. Keduanya mempunyai persamaan, yaitu penutup tubuh bagian bawah (penutup aurat yang utama). Tak ada lagi pakaian lain yang sering disebut, kecuali celana dan kain sarung. Misalnya, dalam sajak perjamuan petang, celana memegang peran penting.
Akhirnya, tema apakah yang dapat terbentuk dari motif-motif ini? Telah dikemukakan bahwa motif kuburan dan motif berlarinya waktu adalah dua motif yang sangat dominan. Keduanya berkaitan erat, karena ujung berlarinya waktu adalah kuburan. Yang agak istimewa adalah gambaran kuburan tidaklah menakutkan, melainkan tempat yang menyenangkan (tempat pertemuan kekasih, tempat piknik atau nonton dangdut). Sebaliknya, tema waktu tampak sebagai sesuatu yang menakutkan, menyedihkan dan menjengkelkan. Jadi rupanya waktulah yang menjadi persoalan dalam sajak-sajak ini. Mungkin kekhawatiran untuk menjadi tua, tidak cantik dan kehilangan keperkasaan, merupakan hal yang menakutkan. Bahkan lebih menakutkan dari kematian itu sendiri. Sementara itu banyaknya gambaran tentang hubungan seks beserta ranjangnya dan tempat pembersihan dosa (kamar mandi) yang dilanjutkan dengan gambaran mengenai kebahagiaan bersama ibu mendukung tema awal kehidupan. Tema ini bersambung dengan kehidupan dalam masyarakat , dalam kekhawatiran akan berlalunya waktu dengan cepat dan semua akan berakhir di kuburan. Jadi, dapat dikatakan bahwa tema keseluruhan sajak Joko Pinurbo adalah siklus kehidupan manusia.
*Disajikan dalam seminar Gelar Sastra Dunia, FIB-UI, 19-20 Juli 2005