Sajak Kematian

(Seputar Indonesia, Minggu, 18 Maret 2007)

Oleh Ayu Utami

Saya melihat si Joko menjelma ke dalam sajaknya sendiri. Lelaki yang sederhana. Malah sejak lahir sakit-sakitan. Dia dulu seorang guru sekolah dasar,yang tidak pernah diangkat menjadi pegawai tetap.

Di sekolah dia kerap terkantuk, terutama saat menjaga ulangan, dan dia jatuh tertidur di meja guru dengan resleting celananya melorot, sementara anak-anak mulai mencontek. Sejak muda, bahkan mungkin sejak kecil, dia suka keluyuran ke kuburan. Kadang iseng. Kadang untuk bermain layangan. Kadang untuk menjemur celana.

Kadang pergi ke makam ibunya, makam ayahnya. Atau mencari makam gurunya, atau makam temannya. Pernah, dia sedang berbelanja celana baru ke sebuah pertokoan. Tapi dia tak bisa menemukan yang cocok setelah seratus percobaan. Tiba-tiba, begitu saja dia tinggalkan pramuniaga yang sedang membujuk, lalu ngacir ke kubur ibunya. Di sana dia bertanya, mana celana yang paling bagus untuk dia. Pendeknya, selalu ada alasan bagi dia untuk pergi ke kuburan.

Belakangan ini, dia juga menziarahi kubur-kubur baru para korban kecelakaan pesawat yang bisa ditemukan. Dia gila? Tidak. Hanya terlalu akrab dengan kematian. Dalam sajaknya, si Joko pun kepayahan. Dia tak lagi jadi guru. Kontrak kerjanya tidak diperpanjang lantaran dia tertidur melulu. Kemudian hari, seorang bekas murid sekolah yang pulang dari rantau menyadari bahwa gurunya di SD kini mengayuh becak, yang sedang dia tumpangi, menuju kuburan.

Lelaki tua dengan batuk mengamuk. Di tujuan, batuk sang tukang becak pun habis. Pergi bersama nyawanya, di kuburan, tempat tujuannya selalu selama ini. Joko Pinurbo si penyair masih hidup. Tinggal di Yogyakarta, tenang tampak luarnya, mungkin tidak di dalamnya. Di jiwanya kematian melambaikan tangan ke dalam, barangkali. Dia telah menulis ratusan sajak. Enam puluh persen di antaranya mengandung gambaran kubur: makam, kubur, nisan, liang, sunyi.

Dia adalah penyair I n d o n e s i a yang, setahu saya, paling terobsesi pada kematian. Obsesi, dalam arti teknis, adalah dorongan akan suatu hal yang begitu kuat, yang terus memunculkan diri, kadang di luar kontrol orang. ‘Obsesi’, dalam bahasa sehari-hari sekarang ini, telah inflasi dan menjadi tak ada bedanya dengan ‘cita-cita’. Obsesi: sutradara. Begitu kirakira kata sebuah iklan. Begitulah orang menumpulkan ketajaman sebuah kata.

Tapi, apa yang penting dalam sajak-sajak Joko di sini? Obsesi kematiannya muncul dalam wujud kuburan, tempat yang nyaris selalu muncul dalam puisinya. Tak ada penyair menggarap tema ini sekonsisten dia. Kuburan, saudara-saudara, adalah tempat yang mempertautkan mereka yang hidup dengan yang mati di dalam ruang dan waktu yang sama. Pada kebanyakan penyair lain, kematian adalah masa depan. Dan, pada Joko, tak ada upacara yang megah di sana.

Tak ada kegagahan dan heroisme dalam kematian. Pada kebanyakan sajak, kematian tetaplah tempat yang dilalui dengan dramatis. Kesedihan yang dramatis seperti dalam banyak sajak bencana. Atau ajal yang heroik. Tengoklah Chairil Anwar dalam Diponegoro: Sekali berarti, sudah itu mati. Atau, dalam Aku, yang dibuka dengan waktu kematian: Kalau sampai waktuku.... Kematian dalam sajak Joko adalah kematian orang biasa. Sehari-hari. Ironis.

Tidakkah demikian sesungguhnya kematian belakangan ini? Chairil Anwar adalah Angkatan 45, sebuah masa di mana kepahlawanan tidak kesiangan. Masa revolusi. Di zaman itu, ada memang jenis kematian yang heroik. Terutama kematian dalam pertempuran mempertahankan republik. Tapi, di tahun 2000-an banyak pahlawan kesiangan dan kematian tak wajar tidak lagi heroik. Bahkan, kematian tak alamiah itu disebabkan oleh kecelakaan pesawat, kapal, kereta, lalu lintas, over dosis, maupun bunuh diri. Harga nyawa menjadi murah belakangan ini rasanya.

Tidakkah, suasana mati tanpa kejayaan ini yang tergambar dalam sajak-sajak Joko Pinurbo—jika kita mau mencari puisi yang membawa atmosfer zaman? Tidak seperti tsunami dan gempa Aceh, musibah beruntun belakangan ini belum disambut dengan buku sajak ”Bencana Departemen Perhubungan!”.

Dan, itu barangkali lebih baik. Biasanya, tujuh puluh persen sajak yang termuat dalam kumpulan demikian lebih mengelus ego penyairnya ketimbang menyumbang bagi penghiburan mereka yang menderita. Tapi, kematian dalam sajak yang lebih tulus—sajak yang justru tidak punya pretensi menyahuti bencana—tetap bisa menjadi cermin zaman.

Cermin itu tentu bisa cekung, bisa cembung, bisa retak pula. Membaca begitu banyak musibah belakangan ini, saya jadi teringat sajak-sajak Joko. Di kuburan, ketika kematian lewat dan wajar, orang tak lagi bertanya kenapa seseorang mati.(*)