Suatu Siang di Seminari

(TEMPO Edisi. 29/XXXVI/10 - 16 September 2007)

”… Aku duduk di pinggir ranjang, berpura-pura membaca majalah, padahal sebenarnya aku mengamati ibu sewaktu ia menutupi payudaranya yang melorot dengan kutang lepek warna kulit yang dibelinya di pasar buah. Celana dalamnya yang telah menguning dimakan usia menampakkan sebaris karet elastis di bagian pinggangnya yang kendor….”

KETUT Ayu Paramitha, siswi SMAN 4 Jakarta itu, serius membaca cerpen Telepon di Sore Hari karya Hao Yu-hsiang, pe nulis cerpen perempuan asal Taiwan. Di bagian itu tampak murid-murid laki-laki yang hadir tersenyum geli, malu malu kucing. Tanpa peduli dengan reaksi itu, Ayu Paramitha tetap dengan mimik tak berubah menuntaskan cerpen yang bercerita tentang telepon-telepon iseng yang selalu mengganggu rumah seorang nona. Telepon iseng yang mengungkap masa lalu ibu atau bapaknya.

Murid dari berbagai SMA di Jakarta siang itu berkumpul di SMA Kolese Kanisius, Menteng. Salah satu agenda Bienale Sastra Utan Kayu ini adalah membawa sejumlah sastrawan asing bersama sastrawan kita berkunjung ke sekolah-sekolah menengah. Hao Yu-hsiang, pengajar di Universitas Dong Hwa, kebagian di SMA Kolese Kanisius. Sastrawan tamu lain di SMU Negeri 78 dan Lab School Kebayoran.

Di sekolah-sekolah itu mereka membacakan karyanya, atau sebaliknya murid-murid itulah yang membaca terjemahan karya mereka. Lalu disediakan sesi tanya-jawab. Banyak yang bertanya tentang proses kreatif, tentang bagaimana menggali inspirasi.

”Saya kreatif kalau lagi bokek,” kata F. Rahardi, menjawab pertanyaan yang langsung disambut ger… oleh para siswa. Rahardi bercerita, pertama kali puisinya dimuat di majalah Basis pada 1970-an. Secara diam-diam seorang temannya mengirimkan sajak Rahardi ke majalah prestisius itu. ”Ternyata menulis juga ada ho nornya, sejak itu saya terus mengirim puisi ke media massa ,” katanya. Jerome Kugan, penyair Malaysia , bercerita bahwa kota adalah sumber inspirasi nya. Ia tinggal di sebuah kota kecil di Sabah , yang jumlah penduduknya tak banyak, bahkan jika ditelusuri semua penduduknya bersaudara.

Di Jawa tengah, para sastrawan disebar ke tiga tempat, antara lain Seminari Menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan, Asrama Perguruan Islam, dan SMU Taruna Nusantara. Di seminari, pada saat rombongan menyusuri koridor kelas, sebagian siswa tiba-tiba menoleh ke luar. Para murid itu terlihat sudah tak tahan lagi untuk bertemu mereka. Para sastrawan itu berkumpul di aula pukul 11.00. Semua murid seminari dari kelas 1 sampai 3—sebanyak 210 orang—hadir lengkap, duduk lesehan.

Joko Pinurbo didaulat untuk pertama membaca puisi. Ia adalah alumni seminari Mertoyudan yang kini jadi dosen. Dahulu di situ ia sering merenung di antara lapangan basket dan kandang babi. Puisinya berjudul Celana Ibu membuat tertawa murid yang kebanyakan akan jadi pastor itu.

Celana Ibu

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri.
”Paskah?” tanya Maria.
”Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.

Pada saat tanya-jawab, para murid seminari itu mengajukan perta nyaan dasar yang sulit dijawab. Misalnya bagaimanakah ukuran puisi yang berhasil itu. Para penulis berbeda-beda dalam hal ini. Mamang Dai me ngatakan puisi adalah kebenaran jati diri. ”Yang paling penting dalam puisi selalu ada kerelaan,” kata novelis Togo Kangni Alem.

Pertanyaan juga berkisar tentang apakah tempat suci penting sebagai sumber kreasi. Sharanya Manivannan menjawab memang tempat suci ba nyak memberikan inspirasi. ”Namun tempat suci sesungguhnya ada pada diri sendiri,” katanya. Ia lalu berce rita, dia memiliki seorang teman yang ateis yang setiap muncul di panggung seolah ada kekuatan besar yang membuat penampilannya bagus.

Suasana di Mertoyudan membuat Kangi Alem serasa bernostalgia, karena ternyata dahulu sekolah menengahnya juga di seminari. Ia lalu meminta anak-anak Mertoyudan itu menyanyikan lagu Latin. Langsung mereka serempak mengumandangkan lagu Gregorian: Tantum Ergo Sacramento—yang biasa dinyanyikan saat Paskah. Tantum ergo sacramentum, veneremur cernui: Et antiquum documentum….

Seno Joko Suyono, Anton Septian ( Jakarta ), Lucia Idayani (Yogya)