Jokpin Masih di Yogya

oleh Faruk

JENDELA

Di jendela tercinta ia duduk-duduk
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.

Mereka memandang takjub ke seberang,
melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr….

Sesaat mereka membisu.
Gigil malam mencengkeram bahu.
“Rasanya pernah kudengar suara byuurrr
dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”
“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip leher baju.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.

“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”

Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang
dan membiarkan jendela tetap terbuka.
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,
menerangi tidur mereka yang bersahaja
seperti doa yang tak banyak meminta.

(2010)

Sudah banyak puisi tentang jendela hingga ia bisa dikatakan sudah menjadi metafora yang mati, seperti kata biasa digunakan dalam wacana non-puisi seperti iklan dan sebagainya. Karena itu, membaca judul puisi ini orang akan langsung memahaminya sebagai symbol mengenai ruang-antara yang mempertemukan dua dunia, dunia pribadi yang sempit dengan dunia luar yang luas. dengan jendela wawasan orang menjadi luas, tidak menjadi seperti “katak dalam tempurung”. Dalam puisi modernis kadang jendela mempertemukan dunia dunia yang bertentangan, antara yang pribadi dengan yang sosial.

Puisi di atas menggunakan metafora tersebut dengan muatan makna yang dekat dengan yang pertama. Ada dunia keluarga yang sempit dan ada alam yang luas. dunia luar yang luas itu tidak hanya alam, tapi juga waktu, buku, televise. Pada level hubungan yang lain ada juga hubungan antara diri sebagai yang sempit dengan ibu, orang lain, sebagai yang luas. biarpun keduanya itu dibayangkan terpisah, tetapi sebenarnya kedua kutub itu juga tak mau berpisah. Ketidakinginan berpisah itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa mereka ngotot untuk bersatu. Kesatuan antara keduanya dibiarkan mengalir tanpa dipaksakan, dibiarkan mengalir secara alamiah. Kesatuan itu dilakukan cukup dengan membiarkan jendela terbuka, cukup seperti doa yang tidak banyak meminta.

Dengan terbukanya jendela itu kedua kutub di atas terpisah, tetapi juga tetap bersatu. Mereka disatukan oleh jendela. Dalam kesatuan itu anak ada dalam ibu, ibu ada dalam anak, alam di luar ada di rumah, dalam keluarga, dalam diri mereka berdua. Dalam relasi yang demikian, keluasan yang paling jauh dapat memuncak pada diri yang paling sempit. Karena itu, akumulasi dari kebersamaan, kemenduaan itu justru memuncak dalam kesendirian: puisi.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.


Seperti halnya cinta. Cinta adalah perasaan yang sangat pribadi, tetapi sekaligus yang mempertalikan seseorang dengan orang lainnya, keluarga dengan masyarakat, masyarakat dengan dunia, manusia dengan alam, dunia sini dengan dunia sana. Hanya dalam cinta manusia dapat melawan dan membebaskan diri dari trauma. Semacam “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” walaupun, di dalam puisi ini, kesatuan tersebut tidak dapat diartikan sebagai sebuah leburnya perbedaan. Yang mempersatukan keduanya adalah jendela yang di satu pihak memisahkan, di lain pihak menyatukan.

Dari segi metafora jendela ini tidak ada yang baru pada puisi di atas. Puisi itu bisa dikatakan masih tetap bagian dari tradisi. Jendela adalah jembatan bagi kesatuan antara yang di sini dengan yang di sana, yang sempit dengan yang luas. Meskipun demikian, sebagaimana yang terungkap dalam perbandingannya dengan kesatuan yang lama dalam pepatah “bersatu kita…” di atas, jendela itu menambahkan nuansa makna yang lain. Jendela tidak hanya menyatukan, tetapi juga memisahkan. Jendela adalah “kesatuan dalam keragaman, keragaman dalam kesatuan, kesamaan dan perbedaan, perbedaan dalam kesamaan”.

Sejajar dengan itu, bila judulnya mempersatukan puisi ini dengan tradisi, isinya penuh dengan kejutan yang mendefamiliarisasi, mengasingkan, dibandingkan dengan tradisi itu. Marilah kita pahami tradisi itu sebagai yogya, sebagai persada studi klub, sebagai sabana. Marilah kita pahami yogya sebagai diri, sebagai keluarga, sebagai masyarakat tradisional yang berhadapan dengan orang lain (ibu), dengan alam, dengan buku, dengan televise, dengan alam, dengan waktu.

Cara bertutur Jokpin dalam puisi itu adalah cara bertutur yang sangat khas yogya. Kehidupan sehari-hari, alam, pedesaan, rakyat kecil, kebersahajaan, dan sebagainya, dengan urutan narasi yang cenderung runtut. Namun, metaforanya adalah metafora yang penuh kejutan jika dibandingkan dengan cara bertutur Yogya. Ada jejak metafora afrizalian, penyair Jakarta yang sekarang di yogya itu, di dalamnya, misalnya objek yang bertukar tempat dengan subjek, alam yang menyempit jadi bagian dari diri. Dalam puisi di atas metafora yang serupa ini antara lain terlihat dalam kutipan berikut.

dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.

“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip di leher baju.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.


Metafora yang penuh kejutan seperti itu banyak sekali terdapat dalam puisi-puisinya yang lain. Lebih dari itu, puisi-puisi Jokpin juga tidak ragu untuk meloncat dari yang liris ke yang amat prosaic, dari yang serius ke yang hiburan, budaya popular seperti superman.

Jokpin adalah penyair yogya yang pernah mengembara ke kota dan kemudian kembali ke yogya. Akan tetapi, kembalinya ke yogya tidak membuatnya mencari kembali yang lama dan menutup jendela. Jokpin masih penyair yogya, masih pewaris psk, tetapi dengan jendela yang terbuka ke mana-mana. Jokpin penyair yogya yang hidup berdua, bersama waktu, bersama buku, bersama televise.

JOKPIN ADALAH UMBU YANG BARU.

*Diskusi Puisi PKKH UGM #12, 29 Mei 2013