Joko Pinurbo, lelaki ini dikenal “dingin” ketika mengisahkan peristiwa hidup sehari-hari lewat puisi. Ia menyimpan obsesi keliling Tanah Air “memotret” sejarah dan membingkainya dalam reportase puisi.
“Sampai mati pun tidak kesampaian [impian berkeliling Indonesia],” katanya suatu siang, saat ditemui di Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, Jogja pekan lalu. Setelah mengucapkan kalimat itu, lelaki bertubuh kurus dengan wajah tirus beralis tebal ini lalu diam suntuk, matanya menerawang jauh.
“Saya mau melakukan perjalanan budaya dan menuliskannya lewat puisi. Tapi butuh modal banyak. Kalau ada yang modali mungkin bisa, iya, bisa saja,” lanjutnya seakan menampik rasa pesimistisnya.
Jokpin, begitu ia akrab disapa, mendambakan keliling Indonesia sejak dulu. Tapi keinginannya itu selalu diurungkan mengingat perjalanan akan menghabiskan biaya cukup besar untuk hidup berbulan-bulan di setiap pelosok. “Di Indonesia belum ada [puisi sejarah], kalau prosa atau novel sudah, seperti Ahmad Tohari yang menuliskan sejarah asalnya,” ujarnya.
Membaca referensi di media internet saja baginya tidak cukup meski diakui dunia maya sangat kaya pengetahuan. Atau, seperti hobinya membaca buku filsafat dan sejarah saja tidak mewakili. Jokpin harus menyelami, darah dagingnya harus menyentuh langsung, barulah ia bisa menuliskan.
Sebenarnya, saat inilah waktu yang tepat untuknya berkelana dan lebih produktif. “Sekarang saya agak leluasa [untuk produktif menulis] karena tidak direpotkan urusan hidup. Anak-anak sudah besar, saya juga bukan pegawai lagi, saya pengangguran,” tuturnya, datar.
Ironi
Lelaki kelahiran Sukabumi, 50 tahun silam ini dikenal sebagai penyair dengan karya bersifat naratif, tidak mementingkan rima. Jokpin membuktikan dengan ciri khasnya, dimana puisi tidak tampil sebagai sesuatu yang angker. Ia dingin-dingin saja ketika menuliskan tentang kuburan atau celana kesukaannya.
Ayah dua anak ini tidak susah-susah dan sederhana serta ringan mengungkapkan peristiwa dalam puisi, seperti penampilannya yang tidak tampak istimewa. Baginya, puisi adalah sebuah kebersahajaan dan kesungguhan.
Ia tidak perlu dibebani oleh misi-misi di luar dirinya, yang pada akhirnya menjerumuskannya pada deretan kata yang pekik. Puisi-puisi Jokpin merupakan ironi-ironi hidup manusia sehari-hari yang diungkapkan dengan kata ringan.
Ia merasa tidak perlu meletakkan puisi sebagai sesuatu yang ‘sakral’ meski tidak berarti ia menyepelekan kepenyairannya. Misalnya, peristiwa penyalipan dan kebangkitan Yesus Kristus berjudul Celana Ibu, puisi yang paling ia sukai.
Jokpin mampu membuang jauh wejangan dari puisinya, meski ia lama bergumul dengan kitab suci dan bahkan peristiwa itu merupakan puncak iman umat Kristiani. Ia menaklukkan narasi yang kasar, menampilkan tokoh Maria dengan kata-kata yang tampak sepele namun mengundang perenungan.
Disiplin
Tak hanya peristiwa dasyat yang ia rangkum dalam puisi. Ke manapun pergi, Jokpin selalu membawa buku catatan kecil untuk menuliskan kata kunci. Lalu, lahirlah puisi-puisi tentang pedagang keliling, penjual bakso, tukang parkir, penjual pangsit dan banyak lagi.
“Saya lebih suka mengatakan bahwa pergulatan hidup kita sehari-hari termasuk aktivitas kerja cari duit, ronda, dan lain-lain merupakan bagian penting dari sumber ilham bagi proses kreatif,” katanya.
Di balik karyanya yang tampak sepele itu, Jokpin tetap memegang disiplin berkarya terutama tata bahasa. Subjek, predikat, objek dan keterangan (SPOK) tidak pernah dilepasnya dari puisi terpendeknya sekalipun. Misalnya, berjudul Kepada Puisi; Kau adalah Mata, Aku Air Matamu.
Membuat puisi satu baris bukan perkara mudah. Jokpin berjuang agar narasinya tetap utuh, setting dan tokoh seakan disembunyikan tapi tetap “bicara”. Ia memeras setiap kata sehingga kata-kata itu memiliki pamor.
Sejak beberapa tahun ini, Jokpin mempublikasi puisinya di jejaring sosial twitter dan blog sehingga para Jokpiana (penggemar Jokpin) bebas mengakses. Kini, ia sedang sibuk menyiapkan dua buku sekaligus yang berisi kumpulan puisinya pada 2007-2012. Seraya mengikuti proses itu, Jokpin mengaku masih gelisah.
“Saya berharap bisa mengunjungi situs-situs kuno dan kebiasaan orang-orang di setiap pulau di Indonesia,” kata Jokpin menegaskan kembali impiannya.
Tri Wahyu Utami
Harian Jogja, Minggu, 26 Agustus 2012