Humor yang Politis, Humor yang Tragis

(Mengingat Yudhis, Menikmati Jokpin)

Bandung Mawardi

Jika nanti aku tamat, kibarkan celanaku
yang dulu hilang di atas makamku.


(Joko Pinurbo, “Sukabumi”, 2007)

Joko Pinurbo (Jokpin) layak dibicarakan sebagai penyair penting yang mungkin bisa diletakkan dalam wacana pasca-Afrizal Malna. Penempatan ini memiliki latar belakang dalam proses kreatif, pencapaian estetika, dan pembicaraan dari tukang kritik puisi Indonesia mutakhir. Joko Pinurbo hanya menjadi pembicaran kecil dalam rumusan Angkatan 2000 oleh Korrie Layun Rampan. Pembicaraan kecil itu seakan didesain dengan sadar ketika Korrie membicarkan Afrizal Malna dengan jatah besar dan melakukan pentahbisan sebagai pemimpin literer perpuisian mutakhir. Puisi-puisi Joko Pinurbo dinilai Korrie (2000) memperlihatkan penemuan estetika yang merupakan perkembangan aku lirik ke pengucapan epik dengan penguatan arus kisah dari sifat lirik murni. Pergeseran dan penemuan estetika oleh Joko Pinurbo bahkan cenderung menjadi suatu ikhtiar untuk keluar dari tradisi puisi lirik. Pembicaraan lirik sebagai narasi dalam perpuisian Indonesia belum berhenti karena ada ikhtiar untuk konstruksi besar untuk keberadaan dan pertumbuhan puisi lirik. Penilaian berulang dengan penekanan yang berbeda dinyatakan oleh Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. (2001) yang menyatakan bahwa Joko Pinurbo berusaha untuk melepaskan diri dari tradisi lirik. Perbedaan puisi-puisi Joko Pinurbo dengan tradisi puisi lirik adalah penggunaan anasir naratif untuk menyampaikan penghayatan hidup tanpa kehilangan pesonanya sebagai dunia rekaan yang prismatis.

Mengingat kembali lirik mengantarkan pembaca puisi Indonesia modern pada sosok-sosok penyair yang tekun menempuh alur lirik: Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. Pembesaran dan penguatan lirik terjadi pada tahun 1970-an meski Goenawan sudah mulai membuka alur besar itu sejak 1960-an. Tiga penyair itu terus menulis puisi sampai usia tua dengan lirik-lirik yang memengaruhi penyair belakangan dan membuat alur sendiri-sendiri. Pengaruh besar lirik itu bisa ditemukan dalam puisi-puisi para penyair mutakhir. Hasif Amini (2003) yang berperan sebagai redaktur puisi Kompas menyebutkan bahwa puisi-puisi mutakhir masih menunjukkan adanya kecenderungan terhadap tradisi lirik. Kecenderungan itu terkadang sebagai penerusan atau ikhtiar membuat alternatif-alternatif lain dengan kekuatan-kekuatan yang berbeda. Representasi kecenderungan puisi lirik itu terbaca dari publikasi puisi dalam media massa dan penerbitan buku pada tahun 1990-an dan 2000-an.

Perpuisian lirik Indonesia bisa dibicarakan dengan mengacu rumusan puisi Sapardi Djoko Damono (1983) yang mungkin masih layak dijadikan sebagai anutan besar lirik: “Kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi. Kata-kata tidak sekadar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata-kata dalam bahasa sehari-hari dan prosa umumnya, tetapi sekaligus sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair. Meskipun perannya sebagai penghubung tak bisa dilenyapkan, namun yang utama adalah sebagai objek yang mendukung imaji. Hal inilah yang membedakannya dari kata-kata dalam bukan puisi.” Rumusan itu terus dianut, diterjemahkan, dan ditafsirkan oleh para penyair mutakhir. Mungkinkah rumusan itu pun menjadi anutan proses kreatif Joko Pinurbo? Pertanyaan ini susah dijawab dengan lugas tanpa menghadirkan proses kreatif dari penyair dan merujuk pada penyair yang membesarkan lirik sebelumnya. Jawaban untuk pencapaian estetika Joko Pinurbo terasa dekat dan mengena ketika kembali menelusuri pada Goenawan Mohamad yang turut menentukan nasib perpuisian lirik mutakhir.

Jawaban yang mungkin ekplisit mengenai pengaruh perpuisian Joko Pinurbo bisa dibaca dalam puisi Jokpin yang berjudul “Selamat Malam Jakarta” (1997). Puisi ini dengan terbuka mengisahkan suatu peristiwa penyair yang sadar atas kata. Inilah kutipan pendek dari puisi “Selamat Malam Jakarta”:

Aku mencari Alwy, Beny, Hendry di warung kopi.
Semuanya sedang bobo di atas tumpukan puisi.

Maka ngumpet saja aku di kamar mandi,
membaca dukaMu abadi.

Aku ingin cepat pulang ke Yogya,
menemui kata-kata yang sering kukhianati isinya.

Rujukan atas dukaMu abadi adalah pembacaan terhadap buku puisi awal sapardi Djoko Damono dengan judul sama yang terbit awal pada tahun 1969. Buku puisi itu dinyatakan Goenawan Mohamad sebagai “Nyanyi Sunyi Kedua” yang menguatkan posisi lirik dalam peperuisian Indonesiea modern. Kesibukan membaca itu menjadi petunjuk kuat bahwa Jokpin melakukan penelusuran dan pemahaan lirik yang dibesarkan Sapardi Djoko Damono. Pertemuan Jokpin dengan Sapardi Djoko Damono dalam buku puisi Celana semakin menguatkan adanya pengaruh dan referensial terhadap lirik-lirik Sapardi Djoko Damono dalam proses kreatif awal Joko Pinurbo. Buku Celana memuat “Kata Penutup” yang dituliskan Sapardi Djoko Damono dengan judul esai “Burung dalam Celana Joko Pinurbo”. Sapardi menyebutkan bahwa bahwa semua puisi Joko Pinurbo dalam buku Celana cenderung menggunakan teknik surealis yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar. Penggunaan teknik surealis itu membuat Sapardi Djoko Damono curiga ada konsep-konsep dari psikoanalisa Sigmund Freud. Sapardi Djoko Damono menutup esainya dengan komentar yang konstruktif bahwa Joko Pinurbo dengan teknik surealis berusaha memberikan tanggapan terhadap berbagai masalah sosial dan konflik batin manusia.

Ayu Utami (2005) menjadi pembicara penting untuk mengetahui perbandingan, pengaruh, dan penelusuran puisi-puisi Joko Pinurbo yang dirrelasikan dengan penyair Chairil Anwar dan Goenawan Mohamad: “Dalam banyak hal, Goenawan Mohamad mempengaruhi Joko. Perkembangan karya Goenawan Mohamad sendiri tak lepas dari pengaruh sajak-sajak Chairil Anwar. Joko Pinurbo lahir tahun 60-an, ketika Goenawan mulai mengepakkan sayapnya. Goenawan lahir tahun 40-an, ketika Chairil mencapai puncak karyanya. Chairil lahir tahun 20-an, ketika Indonesia diperkenalkan kepada sastra dunia. Mereka adalah tiga generasi penyair Indonesia yang masing-masing berjarak 20 tahun (Chairil Anwar, 1922; Goenawan Mohamad, 1941; Joko Pinurbo, 1962). Ketiganya memiliki keterpukauan akut pada kematian.” Arsitektur perpuisian yang dibuat Ayu Utami itu bisa diterima dengan membuat perhatian tertentu pada tematis dan sistem-pola lirik yang dipakai tiga penyair.

Keterpengaruhan Joko Pinurbo sudah dinyatakan terbuka sejak tahun 1997 dalam sebuah esai “Puisi di Tengah Wacana Kekuasaan” (Horison, No. 11, Th XXXII, September 1997). Joko Pinurbo menuliskan: “Khusunya saya terpikat pada cara Goenawan mengembangkan dan mendayagunakan potensi puitik berupa rima, irama, dan keserbanekaan kata, yang dalam sajak-sajak Amir memang tampak menonjol, lewat penyajian latar dan kosakata baru dengan berbagai variasi dan berbagai improvisasi yang memang kaya dan mengagumkan.” Pengakuan terbuka ini tentu menjadi suatu keterbukaan untuk bisa membaca dan menikmati puisi-puisi Jokpin yang tidak lepas dari wacana besar puisi lirik. Pengakuan itu terbatas pada pengaruh-pengaruh konvensi yang akhirnya diolah Joko Pinurbo dengan arsitektur dan konstruksi berbeda. Pengakuan itu berulang pada sebuah tulisan reportase “Joko Pinurbo: Yang Berkobar di Jalan Sunyi” (Koran Tempo, Minggu, 3 Juni 2007). Joko Pinurbo dengan lugas memberi pola relasi yang membuatnya tekun dalam penulisan puisi. Joko Pinurbo mengakui bahwa ada tiga penyair yang menjadi anutan estetika dan kerja kreatif yang dilakoninya: Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mohamad. Jokpin menyebut puisi Chairil serius dala mengolah kata sehingga sangat padat. Jokpin menyebut puisi-puisi Sapardi itu sederhana dengan mencomot peristiwa biasa dan diolah menjadi teks puisi yang luar biasa. Jokpin menyebut puisi-puisi Goenawan itu musikal dan merdu. Jokpin memberi konklusi bahwa pengaruh-pengaruh itu tidak membenamkan dirinya dalam menulis puisi sebab Jokpin memutuskan mengambil sisi yang jarang digarap oleh penyair-penyair itu dan penyair yang lain.

Pembicaraan lain yang ingin memberi deskripsi berbeda terbaca dalam pelbagai tulisan yang mencari hubungan dan pengaruh puisi mbeling dalam puisi-puisi Joko Pinurbo. Nirwan Dewanto (2000) menyebutkan pada tahun 1970-an ada gerakan yang melawan atau membantah kecenderungan lirik. Gerakan itu disebut sebagai gerakan puisi mbeling yang dibesarkan oleh Remy Sylado, Yudhistira ANM Massardi, dan Jeihan. Ciri penting dari puisi-puisi mbeling adalah humor atau parodi yang tidak harus patuh dengan konvensi ketat dalam penulisan puisi. Nirwan Dewanto menilai bahwa humor dan main-main dalam puisi Joko Pinurbo tidak murahan seperti yang bisa ditemukan dalam puisi mbeling. Puisi Joko Pinurbo berwatak subversif.

Keunikan puisi-puisi Joko Pinurbo adalah bercerita dengan gamblang dengan aforisma yang mengejutkan. Penilaian berulang dilakukan Ayu Utami (2005) yang menyebutkan: “Joko Pinurbo adalah antitesis ‘aliran Rendra’. Tentu ia bukan yang pertama jika dipertentangkan dengan Burung Merak itu. Di tahun 70-an ada puisi mbeling yang diperkenalkan Remy Sylado alias Japie Tambajong. Itu adalah puisi dan tulisan nakal dengan kata-kata kasar dan dasar yang dengan sengaja mau mengorek estetika sastra yang mapan.” Komentar-koentar itu yang dijadikan sebab (alasan) kecil dalam esai ini untuk mengingat kembali dan mencari relasi (perbandingan) yang mungkin antara Joko Pinurbo dengan Yudhistira ANM Massardi (Yudhis).

Yudhis yang … , Jokpin yang …

Humor (komedi) dalam perpuisian yang dihadirkan dalam puisi-puisi Yudhis layak menjadi referensi penting untuk pembacaan genre itu dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Yudhis hadir dalam masa otoritas lirik menguasai perpuisian pada tahun 1970-an. Yudhis menuliskan puisi-puisi yang berada dalam posisi berbeda (menentang) arus utama lirik. Puisi-puisinya dikenali dengan label kolektif puisi mbeling meski tidak menutup pencapaian estetika individual Yudhis. Puisi-puisi Yudhis pada masa itu berada dala tegangan lirik, puisi mbeling, dan perbedaan pencapaian estetika individual. Posisi Yudhis tidak bisa hanya berada dalam kolektivitas puisi mbeling yang melakukan gerakan besar estetika (kritik). Yudhis berada dalam posisi yang unik meski harus berada dalam tegangan-tegangan itu. Kontroversi yang terjadi adalah pemberian penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta untuk kumpulan puisi terbaik pada Yudhis (1976-1977). Pemilihan itu ditentukan dewan juri yang terdiri dari Goenawan Mohamad, Toeti Heraty, dan Dodong Djiwapradja.

Kerja kreatif Yudhis dalam menulis puisi dikuatkan dengan usulannya terhadap keungkinan adanya sastra dangdut yang ikut meramaikan perdebatan sastra kontekstual tahun 1980-an. Usulan Yudhis itu menginginkan sastra seperti musik dangdut yang tidak peduli dengan asal-usul atau konsep. Hal penting adalah bicara mengenai apa saja dan bisa diterima siapa saja. Buku “Sajak Sikat Gigi” dinilai Afrizal adalah kemauan mengelakkan konvensi bahwa puisi tidak harus terlalu serius. Puisi perlu dilepaskan dari kebudayaan yang terlalu resmi yang mengungkungnya. Kritik awal terhadap Yudhis dilontarkan Sutardji Calzoum Bachri (1978) yang menyebutkan bahwa humor dalam puisi-puisi Yudhis tidak mempunyai daya tarik yang dalam dan hanyalah datar bagaikan kedataran sebuah lapangan terbang. Sutardji mengibaratkan bahwa puisi Yudhis hanyalah kesan perenungan banal atau bagaikan mendengarkan celoteh dari nenek cerwet.

H.B. Jassin dalam esai “Beberapa Penyair di Depan Forum” (1976) memberikan penilaian yang menempatkan Yudhis dalam posisi penting ketika membicarakan hubungan dan pengaruh puisi mbeling. Jassin mengatakan bahwa puisi-puisi Yudhis memberikan kesan dibuat oleh anak-anak dengan logika anak-anak (contoh “Sajak Sikat Gigi”). Jassin menilai Yudhis adalah pengamat yang tajam dari masyarakatnya tanpa harus mendramatisir keadaannya. Penderitaan itu dihadapinya dengan analisa yang dengan sendirinya menjadi humor dan dihadapi dengan dewasa dan jauh dari kecengengan (contoh puisi “Biarin!”). Inilah puisi terkenal Yudhis ketika berusia sekitar 20 tahun:

SAJAK SIKAT GIGI

Sesorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka

Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali

Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebihan

(1974)

Puisi “Sajak Sikat Gigi” tercatat sebagai puisi penting dalam imajinasi humor perpuisian Indonesia modern. Yudhis sanggup dan berhasil melakukan ekplorasi estetika dari peristiwa kecil (biasa) dan diksi-diksi keseharian. Pengolahan sikat gigi sebagai imaji tentu menjadi kejutan besar dalam perkamusan puisi Indonesia modern saat itu. Benda-benda yang mungkin pada saat itu tidak puitis dihadirkan Yudhis dalam konstruksi puisi yang menyimpan kekuatan humor (komedi). Kekuatan itu kelak kerap hadir dalam puisi-puisi Yudhis dengan imaji-imaji berbeda dengan kenaifan dan kenakalan yang kritis dan politis.

Kejutan puisi Yudhis itu berulang dengan imaji lain dan kekuatan lain dalam puisi-puisi Joko Pinurbo. Puisi Jokpin yang memakai imaji celana menjadi pembukaan (pengantar) dari pencapaian estetika mutakhir. Jokpin dengan kerja kreatifnya menuliskan puisi “Celana, 1”, “Celana, 2”, dan “Celana, 3” dengan intensitas dan varian yang kompleks. Sikat gigi yang hadir dalam puisi pada tahun 1974 diikuti kehadiran celana pada tahun 1996. Bisakah dicari hubungan atau pengaruhnya? Inilah puisi penting Jokpin yang ditulis pada usia sekitar 34 tahun:

CELANA, 1

Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”

(1996)

Persamaan yang terbaca dari “Sajak Sikat Gigi” dan “Celana, 1” adalah kekuatan humor (komedi) dari diksi dan narasi yang ditentukan penyair. Perbedaan yang kentara adalah kelenturan Jokpin memainkan diksi dan narasi dalam konteks komedi dan tragedi yang sugestif. Jokpin membuat arsitektur berbeda dari Yudhis dengan mengahdirkan alur peristiwa-peristiwa kecil dan bahasa keseharian. Yudhis dalam “Sajak Sikat Gigi” tidak bisa bergerak jauh dari humor yang nakal dan konklusi (akhir cerita) yang kurang mengejutkan. Yudhis kurang menggarap peristiwa sebagai pusat cerita dan makna. Keberadaan imaji sikat gigi dan peristiwa masih diarahkan dalam kepentingan komedi yang reaksioner.

Jokpin membuat strategi teks puisi yang berbeda dengan menghadirkan kekuatan komedi dan tragedi. Imaji celana bergerak dalam pelbagai wacana dan terjadi sistem pemaknaan yang kompleks. Alur dari peristiwa-peristiwa dalam puisi diakhiri dengan konklusi yang tragis. Komedi yang terasa sejak awal lalu berakhir menjadi tragedi yang berada dalam suatu totalitas kisah manusia dengan celana. Puisi “Celana, 1” menjadi awalan intensitas dan konsistensi Jokpin menuliskan puisi yang reflektif dan kontemplatif meski dalam kepentingan kritik. Jokpin bermain dengan kenaifan, kenakalan, dan kritik yang kuat dengan pengaruh lirik yang digeser jauh dari pusat (arus utama). Puisi Yudhis dan Jokpin berada dalam atmosfir yang mirip ketika arus lirik masih memiliki pengikut yang besar dalam perpuisian tahun 1970-an sampai 1990-an. Yudhis dan Jokpin menjadi penyair yang melakukan gerakan menjauh dari lirik dengan tingkat keberhasilan dan pencapaian estetika yang berbeda.

Tragedi bisa terasa dalam puisi Yudhis “Biarin!” yang membuat dikotomi-dikotomi dengan kritik dan emosional. Puisi ini dalam pelbagai pembicaraan dianggap termasuk dalam puisi main-main. Kekuatan komedi yang ditemukan dalam “Sajak Sikat Gigi” berkurang karena terjadi pemusatan pada persoalan tragedi manusia dalam menilai kekuatan menghadapi hidup dan pembentukan identitas individu-sosial. Inilah kutipan puisi “Biarin!”:

kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin
kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin
kamu bilang nggak punya pengertian. Aku bilang biarin

habisnya, terus terang saja, aku nggak percaya sama kau
Tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya sederhana
cuma karena kamu merasa asing saja akanya kamu selalu bilang

seperti itu

Puisi itu hadir dengan konsistensi berbeda dari “Sajak Sikat Gigi”. Perbedaan-perbedaan intensitas dan konsistensi Yudhis bisa terbaca pada puisi-puisi lain. Kekuatan komedi Yudhis memang dalam taraf tertentu terasa dalam puisi-puisinya meski harus berada dalam kepentingan kritik dan kenakalan yang reaksioner. Pada fase lain Yudhis semakin terlihat menuliskan puisi-puisi kritik (protes) sosial. Kecenderungan besar itu menjadi lanjutan dari isu puisi mbeling yang identik dengan kritik sosial. Kenakalan Yudhis menjadi tipis dan mengarah pada persoalan-persoalan politis. Pada intensitas dan pecapaian estetika itu bisa dikatakan Yudhis masih berjalan dalam pengaruh arus lirik sosial yang dalam tataran tertentu diolah dengan ekplorasi komedi. Perbedaan besar Yudhis dengan Jokpin bisa dijelaskan dengan memakai pernyataan Ayu Utami (2005) yang mengakui bahwa keunikan dan kekuatan yang dimiliki Joko Pinurbo adalah pada alur sajaknya yang lateral, nyleneh, dan tulus. Joko Pinurbo istimewa sebab kenakalannya tidak politis tapi apa adanya. Puisi-puisi Joko Pinurbo adalah puisi yang berceritra.

Yudhis pada fase awal dengan kentara ingin menjauh dari lirik. Ikhtiar itu kurang bisa terbukti karena puisi-puisi yang terhimpum dalam buku Sajak Sikat Gigi dominan dengan pengaruh konvensi-konvensi lirik. Bakdi Soemanto (1999) bahkan berani memberi menunjukkan contoh tiga puisi Yudhis dalam buku Sajak Sikat Gigi yang dipengaruhi konvensi puisi lirik: “Jalan”, “Suara”, dan “Malam”. Pengaruh itu mulai menguat dalam buku puisi Rudi Jalak Gugat sebagai representasi lirik sosial (protes dan kritik sosial). Puisi “Rudi Jalak Gugat” menguatkan identitas Yudhis sebagai penyair dengan kenakalan (humor) politis. Identitas dan pencapain estetika Yudhis itu bisa dibandingkan dengan F. Rahardi dan Adri Damardji Woko yang disebut Afrizal Malna sebagai penyair-penyair yang memasuki (mengusung) dunia pop dan melawan padangan hierarkis dalam sastra. Inilah puisi khas Yudhistira ANM Massardi:

RUDI JALAK GUGAT

I
Anak-anak zaman yang slebor
Merayap di mana-mana
Tangan muda-mudi yang belum dewasa
Menggenggam kayu dan besi

Mereka bergerak memecahkan hari di kota-kota
Paling depan, Rudi Jalak berselendang
Giwang di kuping kanan
Celana blue jeans kemeja komprang

Anak-anak zaman yang slebor
Gentayangan bagai ruh penasaran
Beramai-ramai menghadang masa depan
Di setiap perempatan jalan

“Merangkaklah keangkuhan, jika ogah terempas
Menepilah kesangsian, jika ingin punya arti?”

Mereka membalikkan seluruh nasib yang simpang siur
Satu generasi mengepalkan nurani
Menggugat nyali yang lama dipupuri

Rudi Jalak tak lagi bertanya
Alam sudah tak sabar mengepakkan nurani
Menggugat nyali yang lama dipupuri

Rudi Jalak memimpin seluruh barisan
Membabat angan-angan, mengganyang kebebasan
Cuaca awut-awutan, bencana jadi obyekan
Siapa orang yang tak senewen?

Para guru tak berdaya
Orang tua hanya ternganga
Dan polisi semata saksi
Sedang korban: urusan belakang

(Jakarta kelabakan!)

II
Anak-anak zaman yang slebor
Merangsang berbagai pembicaraan
Tapi mereka tak pernah didengar
Setiap komentar hanya sok pintar

Rudi Jalak dan kawan-kawan
Lalu ditunggangi berbagai tuduhan
Tangan mereka yang belum dewasa
Akhirnya menewaskan seorang pengantar barang

Tidak. Mereka tak juga didengar
Para pimpinan sibuk sendiri di ruang rapat
Lalulintas macet
Toko-toko ditutup serentak

Anak-anak zaman yang slebor
Petentengan di jalan-jalan
Menyedot Whisky plastik seratusperakan
Menghirup tiah hitam dari kanlpot yang sliweran

Rudi Jalak setengah edan

Ikhtiar bergeser dari lirik meski “gagal” yang dilakukan Yudhis berbeda dengan kasus Jokpin. Puisi-puisi Jokpin awal terasa ada pengaruh lirik dan pada fase lanjutan mengalami pergeseran yang jauh dari lirik. Jokpin berhasil menjauh atau membuat versi lain dibandingkan dengan ikhtiar Yudhis. Jokpin pada akhirnya identik dengan kekuatan humor yang targis dengan intensitas dan konsistensi yang kuat dan memberi pengaruh besar dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Nirwan Dewanto (2003) menyebutkan bahwa puisi-puisi Joko Pinurbo adalah antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes. Joko Pinurbo berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik dan pemakaian kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika. [Catatan: Kalimat asli Nirwan Dewanto berbunyi sbb.: "Ia berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik, sementara kebanyakan penyair hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas) dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika." --JP] Humor dan sifat main-main puisi-puisi Joko Pinurbo berwatak subversif. Puisi-puisi Joko Pinurbo bercerita dengan gamblang tapi dengan aforisma yang mengejutkan. Permainan bunyi dan repetisi yang dilakukan Joko Pinurbo merupakan parodi terhadap penyair-penyair pendahulunya.

Pada masa awal penulisan puisi Joko Pinurbo masih menunjukkan kecenderungan menulis puisi-puisi lirik. Kecenderungan itu terlihat dalam puisi-puisi awal yang dipublikasikan di media massa dan yang termuat dalam sekian antologi puisi bersama: Tugu (1986), Tonggak 4 (1987), Sembilu (1991), Ambang (1992), dan Mimbar Penyair Abad 21 (1996). Puisi awal Jokpin yang termuat dalam buku stensilan Sketsa Selamat Malam (1986) cenderung menganut pola puisi lirik. Pengaruh itu terbaca dalam puisi “Prajurit di Malam Sebelum Perang” (Desember, 1979) yang ditulis Jokpin ketika usia sekitar 17 tahun.

PRAJURIT DI MALAM SEBELUM PERANG

ya akulah abdimu
dari kandung leluhurku aku telah lahir
kubawa namanya dalam berkatmu
di tengah hutan memancar kesegaran mata air yang berlinang

dengan jari-jari perkasa
kauhembuskan napasku
dan kualirkan darah
dalam tubuhku yang mungil
hingga sungai pun tetap mengalir
dan bocah-bocah yang berbaris di tebingnya
bersorak gembira

lalu ingin kupersembahkan padamu:
setetes darah yang amis
sekerat daging yang tawar
sehelai rambut yang rapuh
sepotong tulang yang lapuk
dan sebaris napas yang cair
– korban ini begitu sederhana
……

Pengaruh lirik makin terasa dalam puisi-puisi yang ditulis Joko Pinurbo pada tahun 1980-an sampai awal 1990-an. Joko Pinurbo yang cenderung dengan puisi lirik bisa dibaca dalam puisi-puisi yang ditulis tahun 1980-an: “Pahlawan Budiman”, “Song of Solitude”, “Surat dari Yogya”, “Malam Doa”, “Kembang Sepasang”, dan yang lain. Kecenderungan terhadap penulisan puisi lirik juga bisa dibaca dalam puisi “Hutan Karet” (1990), “Di Kulkas: Namamu” (1991), dan “Bayi dalam Kulkas” (1995). Pergeseran puisi lirik mulai tampak dalam puisi “Tukang Cukur” (1989). Pergeseseran semakin tampak pada puisi “Kisah Senja” (1994) dan “Di Salon Kecantikan” (1995), dan puisi-puisi lainnya. Puisi-puisi itu yang ditulis pada fase kecenderungan lirik memiliki keunikan dalam pengucapan, diksi, imaji, dan pengisahan. Keunikan itu kelak menjadi konsentarsi besar dalam penulisan puisi Jokpin yang bermula dari imaji celana, kuburan, ranjang, boneka, telepon, rumah, dan yang lain. Puisi ‘Tukang Cukur” layak menjadi embrio (awalan) dari puisi dengan kekuatan humor yang targis versi Joko Pinurbo.

TUKANG CUKUR

Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
di kepalaku. Ia membabat rasa damai
yang merimbun sepanjang waktu.

“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar,
hotel, dan restoran. Tetntunya juga sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah.

Ia menyayat-nyayat kepalaku,
mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.

“Aku akan mencukur lentik lebut bulu matamu.
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”

Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.

(1989)

Penerbitan buku puisi Celana (1999) menjadi babak penting dalam proses kreatif Joko Pinurbo. Buku itu menghadirkan puisi-puisi yang cenderung melakukan pergeseran-perbeseran jauh dari lirik yang berkumpul dalam suatu keutuhan pencapaian estetika. Sejak penerbitan Celana terlihat kentara ikhtiar besar Jokpin untuk tekun dengan penulisan puisi versi humor-tragis yang menjauh dari arus besar lirik. Legitimasi terhadap Joko Pinurbo menunjukkan bahwa ada pembaharuan dalam tradisi besar puisi lirik dan keinginan untuk menempuh jalan lain yang berbeda dengan yang sudah ditempuh oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Afrizal Malna. Jokpin layak jadi perhatian besar pasca Afrizal yang sudah berhasil membuat wacana besar dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Ikhtiar untuk menjauh dari lirik dan mengonstruksi identitas penyair yang dilakukan Jokpin ditempuh dengan pilihan-pilihan dan keputusan dalam kegelisahan. Sapardi Djoko Damono (1999) mengungkapkan bahwa Joko Pinurbo adalah penyair yang tampaknya selalu gelisah dan tidak tenteram dalam proses kreatifnya. Kegelisahan itu kemungkinan terkait dengan teknik dan gaya penulisan. Keputusan dan pilihan besar akhirnya menjadikan Jokpin memiliki identitas berbeda dengan penyair lain dalam keunikan dan kekuatan yang mengagumkan.

Keunikan puisi-puisi Joko Pinurbo adalah narasi yang mengungkapkan kompleksitas tragedi yang dialami manusia dalam kehidupannya. Tragedi itu mengacu pada realitas, peristiwa, dan subjek yang bisa ditemui, dikenali, dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Tematik yang dihadirkan Joko Pinurbo terasa dekat dengan realitas dan mengantarkan pembaca pada dunia rekaan yang terbuka terhadap tafsiran. Tematik dalam puisi-puisi Joko Pinurbo dihadirkan dengan kemuraman, kesedihan, kegetiran, ironi, naïf, komedi, dan tragedi.

Pencapaian estetika dengan kekuatan literasi humor (komedi) diakui oleh Cecep Syamsul Hari (1999) yang melakukan perbandingan dengan ketokohan penyair komedi Inggris D.J. Enright. Perbandingan itu mungkin terlalu jauh ketika mengingat alur perpuisian Indonesia modern. Cecep menyatakan: “Sejumlah puisi terakhir Joko Pinurbo memperlihatkan kecenderungan yang dihindari para penyair liris. Puisi-puisinya kaya dengan literasi humor yang cerdas, imajinasinya yang liar, dan bersifat parodi. Membaca puisi-puisinya Joko mengingatkan saya pada penyair parodi Inggris kontemporer, D.J. Enright. Memasuki wilayah perpuisian seperti ini bukan sesuatu yang mudah. Enright sendiri menulis, ‘Parodi sangat sulit untuk tidak ditulis, tetapi menulisnya lebih sulit lagi.’ Yang membedakan Joko dengan para penyair Indonesia terdahulu yang pernah membuat puisi-puisi serupa adalah cara berpikirnya yang ketat (rigorous). Sesuatu yang menjadi ciri khas filosof.”

Biografi: Penyair, Puisi

Joko Pinurbo dilahirkan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962. Menempuh pendidikan di SD Sukabumi, SMP Maguwa, SMA Seminari Mertoyudan Magelang (1981) dan, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (kini Universitas) Sanata Dharma Yogyakarta (1987). Joko Pinurbo mengaku mulai gemar menulis puisi sejak di SMA. Puisi-puisinya tersebar di pelbagai media dan buku antologi bersama. Pada awalnya Joko Pinurbo menrbitkan puisi-puisinya dalam bentuk stensilan. Buku-buku stensilan itu adalah Sketsa Selamat Malam (1986) dan Parade Kambing (1986). Kelak lahirlah buku-buku puisi Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), dan Kepada Cium (2007).

Rumusan puisi Jokpin secara eksplisit dinyatakan pada fase belakangan dalam puisi-puisi mutakhir. Rumusan itu memungkinkan pembaca mengetahui sitem kerja dan anutan kreatif Jokpin dalam menulis puisi. Pengakuan terbuka tampak dalam sebuah puisi yang dipublikasikan di Kompas (Minggu, 15 April 2007). Jokpin menulis puisi pendek:

PUISI TELAH MEMILIHKU

Puisi telah meilihku menjadi celah sunyi
Di antara baris-barisnya yang terang.
Dimintanya aku tetap redup dan remang

Puisi itu seakan mengenalkan sosok Jokpin yang menulis puisi dari ruang lirik yang sunyi dan individualis. Ruang lirik itu melahirkan puisi-puisi lirik dan versi lain (pergeran jauh) yang membuat Jokpin sadar dengan pencapaian estetikanya. Pada buku Telepon Genggam (2003) Jokpin menghadirkan puisi pendek yang menerangkan relasi dirinya sebagai penyair dengan kata (puisi):

SELESAI SUDAH TUGASKU MENULIS PUISI

sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan
mereka harus pergi cari kerja sendiri.

Pengakuan yang lain mengabarkan kisah puitik penyair Jokpin dengan kerja kreatif yang ditekuninya. Jokpin menuliskan puisi persembahan:

KEPADA PUISI

Kau adalah mata, aku airmatamu

Puisi perembahan pada puisi itu dilengkapi dengan puisi persembahan yang lain. Jokpin menulis:

KEPADA SAYA

Anda boleh menulis puisi
untuk atau kepada siapa saja
asal jangan sampai lupa
menulis untuk atau kepada saya.
Siapakah saya? Saya adalah Kata.

Membaca puisi-puisi itu membuat pembaca berhadapan dengan proposal yang menjelaskan pamrih penyair dalam menulis puisi. Jokpin dengan estetika puisi humor meneranngkan tanpa menutup diri tentang distorsi dan kemungkinan sikap munafik untuk kerja kreatif menulis puisi. Proposal yang jelas dihadirkan Jokpin sebagai “Kata Penyair” dala buku Telepon Genggam (2003): “Damba saya sebagai penyair sederhana saja: ingin terus menulis selagi bisa menulis. Menulis dalam suasana sebagaimana terlukiskan dalam bait sajak ini: Apa salahnya, sesekali kita berlupa/sesekali kita kembali jadi bocah manja/tidak tahu bencana yang bakal tiba/tidak sempat berpikir tentang dosa (Hartojo Andangdjaja, “Kwatrin Tidak Bernama”, dalam Buku Puisi). Menulis dengan spirit – meminjam judul lagu U2 – I still haven’t found what I’m looking for. Keindahan belum selesai.”

Jokpin dalam pengakuannya menceritakan bahwa dia terbiasa menulis puisi di bawah pohon sawo kecik dan sudut ruang tamu rumahnya (Koran Tempo, Minggu, 3 juni 2007). Ruang kelahiran puisi itu memiliki referensi dengan kisah dalam puisi “Pesan dari Ayah” (2005). Inilah fragmen dari kisah menulis puisi Jokpin:

Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu
puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis
hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan,
lalu Ayah membopong tubuhku yang masih luigu
dan membaringkannya di ranjang ibu.

Jokpin dalam puisi-puisi akhir semakin menunjukkan proposal-proposal proses kreatif dengan terbuka. Kisah-kisah dan konsep hadir dalam sekian puisi yang mengarah pada biografi penyair dan biografi puisi tapi masih kuat mengandung humor-humor yang tragis. Puisi “Harimau” mengisahkan laku Jokpin untuk bertemu dengan kata:

HARIMAU

Aku masuk ke relung kata, mau bertemu
dengan bermacam-maca arwah kata.,
malah harimau kata yang kujumpa.
Kuasah pena, kutikam lehernya.
harimauku terluka parah,
penaku nyaris patah

2006

Biografi penyair hadir dalam puisi “Sedang Apa” yang mengisahkan suatu peritiwa yang mesti dijalani dan obsesi yang kelak terjadi.

SEDANG APA

Sedang apa, penyair, malam-malam
Masih sibuk menepa dan memahat kata?
Sedang membuat patung dirimu?

Sedang membuat batu nisan untukmu.

2006

Kekuatan cerita dalam puisi-puisi Jokpin perlahan berubah pada fragmen atau aforisma-aforisma. Ada sekian puisi yang bertahan dengan kisah pendek meski tidak merepresentasikan kekahasan Jokpin pada pencapaian estetika yang dominan ada dalam Celana (1999) sampai Kepada Cium (2007). Perubahan itu terjadi mungkin karena kelelahan atau ada keinginan melakukan eksperimen lain yang masih mengusung humor-tragis dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Perubahan besar itu mengabarkan ada anutan estetika berbeda yang dihadirkan Jokpin. Puisi-puisi yang dipublikasikan di Kompas (15 April 2007) menjadi pembuktian dari kecenderungan puisi pendek dan aforisma yang dulunya mulai terlihat dalam jumlah kecil. Puisi-puisi pendek itu ada yang hanya menghadirkan sebuah atau dua kalimat. Puisi-puisi dalam satu kalimat antara lain puisi “Bagkai Banjir”: Rumahku keranda terindah untuknya; puisi “Penjahat Berdasi”: Ia mati dicekik dasinya sendiri. Puisi-puisi dalam dua kalimat antara lain puisi “Cermin”: Aku bercermin pada wajahmu / airmataku berkilauan di kristal matamu; puisi “Jalan ke Surga”: Jalan menuju kantorMu macet total / oleh antrean mobil-mobil curianku; puisi “Sukabumi”: Jika nanti aku tamat, kibarkan celanaku / yang dulu hilang di atas makamku. Fase jokpin yang cenderung menulis puisi-puisi pendek itu mulai terlihat dalam puisi “Aku Tidur Berselimutkan Uang” (2002) “Kepada Puisi” (2003), “Batuk” (2004), “Matakata” (2004), “Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita?” (2005), dan “Magrib” (2006). Kontras yang terlihat dari Jokpin adalah dua kecenderungan besar: puisi kisah dan fragmen (aforisma). Humor yang tragis itu terus terasa dengan derajat dan ientensitas yang berbeda. Jokpin mungkin butuh kulakan (belanja) kata dan kisah biar tidak miskin dan pelit. Begitu.


KEPUSTAKAAN

Amini, Hasif. 2003. “Beberapa Patah Kata Pembuka” dalam Puisi Tak Pernah Pergi (Sajak-sajak Bentara 2003). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.

______________________. 1999. “Burung dalam Celana Joko Pinurbo” dalam Joko Pinurbo, Celana. Magelang: Indonesia Tera.

Dewanto, Nirwan. 2003. “Pinurbo dan Dinar” dalam Majalah Tempo Edisi 30 Desember – 5 Januari 2003.

Jassin, H.B. 1976. “Beberapa Penyair di Depan Forum” dalam Penyair Muda di Depan Forum. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Malna, Afrizal. 2000. Sesuatu Indonesia. Yogyakarta: Bentang.

Massardi, Yudhistira. 1982. Rudi Jalak Gugat. Jakarta: Indira.
________________ . 1983. Sajak Sikat Gigi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Pinurbo, Joko. 1999. Celana. Magelang: Indonesia Tera.

__________ . 2001. Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang: Indonesia Tera.

__________ . 2002. Pacarkecilku. Magelang: Indonesia Tera.

__________ . 2003. Telepon Genggam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

__________ . 2004. Kekasihku. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

__________ . 2005. Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.

__________ . 2007. Kepada Cium. Gramedia Pustaka Utama.

Rampan, Korrie Layun (ed.). 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. 2001. “Catatan Sayembara Kumpulan Puisi Terbaik Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) 1998-2000” dalam Jurnal Puisi No. 01 Tahun 2001. Depok: Yayasan Puisi.

Suryadi AG, Linus (ed.). 1987. Tonggak 4. Jakarta: Gramedia.

Utami, Ayu. 2005. “Joko Pinurbo: Mengapa Kematian, Penyairku?” dalam Joko Pinurbo, Pacar Senja. Jakarta: Grasindo.


BIOGRAFI PENULIS

Bandung Mawardi pendiri dan pengelola KABUT INSTITUT (Pusat Studi Sastra, Filsafat, Agama, dan Kebudayaan). Pendiri dan redaktur buletin sastra PAWON (Solo). Koordinator Program RUMAH SASTRA (Solo). Alamat Blulukan I, RT 4 RW 2, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah 57174.

Tulisan di atas termasuk dalam 10 kritik sastra terbaik Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007.