Gereja dan Pabrik Cerita

Ayu Utami

Alkisah, bahtera Gereja berlayar karena cerita. Imannya berpusaran pada kisah seorang manusia yang mati di kayu salib dekat Yerusalem dengan istimewa (ribuan, mungkin sejuta, orang mati disalib, tapi hanya dia yang menjadi cerita). Dua ribu tahun kemudian, melalui lautan panjang seram, kisah itu telah berbiak di tanah Jawa dan kepulauan lain yang kini menjadi Indonesia.

Lalu bayi-bayi yang dibaptis sesungguhnya hidup pertama-pertama dari cerita, bukan dari dalil agama. Di tahun 30-an dan 40-an orang tua mereka barangkali menjadi Katolik sebagai bagian dari menjadi modern. Tetapi anak-anak yang lahir kemudian tidak memilih. Mereka diperkenalkan kepada kisah. Sedikitnya setiap minggu dibacakan kisah dalam misa. Tak terhitung ibu ayah serta guru, para kaum dewasa, yang mengulang cerita-cerita dari Kitab kepada bocah-bocah mereka. Kisah yang berhasil, yang menyentuh, akan berpantul-pantul dan bergaung sepanjang hidup si anak. Lalu muncul di tempat lain seperti ikan paus Yunus di kisah Pinokio, perumpamaan tiga orang membangun rumah dalam kisah tiga babi Disney. Bukankah Gereja sebuah pabrik cerita?

Alkisah, seorang anak lelaki lahir di Sukabumi tahun 1962. Dari orang tua Jawa. Joko namanya, artinya putra. Nama sederhana. Satu dari seratus laki-laki Jawa memakai nama itu. Barangkali seperti Joshua (atau Yesus) di bangsa Yahudi dahulu kala. Di masa kecilnya ia pernah sakit-sakitan, dan ketika dewasa kurus bersahaja. Tentulah ia satu dari anak yang suka menelan dan mengunyah-ngunyah cerita dari Kitab. Ketika remaja ia masuk seminari, tapi kapalnya karam di perjalanan. Konon, ketika itu pula ia mulai menemukan puisi, tersempil di antara buku-buku perpustakaan. Di sana ia mendapatkan keharuan kata-kata yang lain, yang lebih memukaunya ketimbang Kitab lamanya. Bahwa dia menemukan puisi sebagai sejenis penglipuran, itulah dorongan sastra yang entah dari mana.

Enam tahun setelah Joko, lahir pula anak perempuan seperti jutaan bayi lain, di Bogor, tak jauh betul dari Sukabumi. Juga dari orang tua Jawa. Ayu namanya, bisa berarti putri. Nama yang terlalu umum pula. Satu dari lima puluh perempuan Jawa memakai nama itu. Bahkan sembilan puluh tujuh persen tukang jamu dipanggil Ayu. Mungkin seperti Mariam (atau Maria) di bangsa Yahudi dahulu kala. Ketika kecil ia sehat biasa saja, dan ketika dewasa ia suka berolahraga. Agar walafiat senantiasa, katanya, dan tentunya tak mudah dikalahkan lelaki. Ia selalu sesumbar, “kalau saya laki-laki, pasti sudah masuk seminari.” Seperti si Joko atau si Sigit atau si Danang. Tapi ia anak gadis maka ia tak dapat kesempatan membuktikan gagal. Pernah ia berkhayal masuk biara. Sayang, cerita bayang-bayang itu sudah tamat sebelum ia menunjukkan apa-apa. Namun kisah-kisah Kitab bergaung terus di kepalanya.

Joko dan Ayu bertemu sekitar umur tiga puluh. Yang satu kini orang Jogja, yang satu cewek Jakarta. Yang satu sebagai penyair, yang satu lagi pengarang. Mereka adalah sastrawan, kata orang banyak. Yang laki telah menikah, yang perempuan tidak dengan alasan “yang privat itu politis.” Sebab, lebih baik menundukkan yang privat kepada sikap politik ketimbang menundukkan karya sastra kepada jargon. Tapi kelihatannya mereka saling mengagumi karya yang lain. Atau, barangkali mereka pikir mereka menyukai karya yang lain, padahal alasan sesungguhnya adalah nostalgia dan premordial (bukankah manusia itu kerap sedemikian lemah sehingga tak bisa membedakan selera dan sejarah, kebenaran dan kepentingan?). Mereka memang punya kesamaan sejarah.

Ketika bertemu, tanpa mengetahui nama baptis masing-masing, dari hal-hal yang tidak dikatakan, Joko dan Ayu saling tahu bahwa kisah-kisah Kitab berbiak di dalam diri yang lain pula. Maklumlah, orang Katolik Jawa adalah minoritas yang malu-malu—barangkali karena begitulah orang Jawa. Mereka sering menghilangkan nama baptis dan lebih nyaman dengan nama Jawa. (Kita tahu dalam tradisi Jawa nama adalah soal nyaman atau tak nyaman, pas tidak pas dengan karakter dan posisi diri. Nama baptis mungkin terlalu kebarat-baratan dan susah diucapkan bagi banyak orang.) Orang Katolik Jawa tidak terlalu menonjolkan identitas, sembari di saat yang sama mengamat-amati adakah rekan sekitab sekampung. Maka, keduanya gembira tatkala tahu bahwa mereka mengenal seorang pastur yang sama, seorang Belanda mendiang yang berkarya di Jawa Barat, Pater Peperzak, ketika mereka kanak. Setidaknya, mereka pernah bersentuhan dengan orang yang sama.

Keduanya tambah senang ketika tahu bahwa mereka sama-sama tergugah oleh sebaris sajak Goenawan Mohamad, sesuatu yang kelak retak / dan kita membikinnya abadi. Kwatrin sebuah poci, benda sehari-hari. Lalu mereka merasa dekat. Sebab, bukan saja mereka sesama minoritas, tapi mereka juga sekular dan haru pada yang mudah retak.

Suatu minggu istimewa Joko mengirimi Ayu, mungkin juga sekumpulan temannya yang lain, sebuah sms: Pada hari ketiga Maria datang ke makam anaknya dan membawakan celana yang dijahit sendiri. “Pas kah?” Jawab Yesus, “Pas kok.” Waktu itu pekan Paskah. Dalam kumpulan puisinya kemudian, ditemukanlah sms itu, dalam versi panjang, berjudul "Celana Ibu" (2004):

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.

Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawa celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.

“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.

Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.

Maka Ayu membaca Joko:

Bersahaja puisi Joko Pinurbo itu. Bahasanya tanpa pretensi dan kata-katanya semua tersedia dalam kitab suci versi anak-anak. Justru dengan kesederhanaan itu ia menggarap ulang sebuah kisah yang diketahui semua anak, serta mereka yang pernah anak, dengan memberi keharuan baru hubungan bersahaja ibu anak yang berawal dari permainan kata—Pas kah? Pas sekali. Yesus menjadi bocah yang merasa gagah dengan celana baru seperti hadiah naik kelas. Bukankah ia akan naik ke surga? Meski namanya Kabar Gembira, Injil tak pernah mengisahkan Yesus gembira, apalagi karena hal sepele. Kitab itu malah mencatat Yesus jengkel pada pohon ara yang mandul lalu mengutuknya hingga kerontang, padahal bukan salah pohon itu bahwa Yesus kebetulan melintasinya. Kenapa penulis Injil menghapus kegembiraan kecil tetapi merekam kemarahan kecil—toh keduanya sama-sama kecil?

Menulis adalah memilih. Joko memilih haru yang kecil bersahaja, yang tak menjadi perhatian sastra besar Gereja. Kematian menjadi biasa (ia tidak memilih kata “maut”, yang memberi efek mencekam) sebab yang membuat Maria sedih adalah karena anaknya tak pakai celana. Kebangkitan menjadi peristiwa tahunan, seperti naik kelas, seperti pekan suci bagi kita, seperti lakon yang diulang-ulang, dan Maria datang membawakan celana agar anaknya bisa tampil gaya di depan orang banyak. Maka di tingkat hubungan manusia, peristiwa itu kembali istimewa.

Peristiwa besar kerap telah menjadi banal di gereja. Joko menggaraminya dengan rendah hati sebab ia tahu tak satu iota pun boleh dihapus. Ia pasti tahu, cerita kecilnya hanya bisa ada ketika kisah besar menjadi biasa.

Karena itu Ayu menyukai puisi Joko bukan karena mereka sekitab sehalaman. Melainkan karena sang penyair memberi makna lain pada kisah bersama. Ayu juga menggarap kisah-kisah Kitab. Tapi di tangannya cerita itu menjadi brutal, ekstrim, dan erotis. Ia menjorokkan kisah-kisah Alkitab ke dinding interogasi dan menggarap ulang jalinan kekuasaan di sana. Ia memaksa kisah-kisah itu mengakui dan mengarang motif-motif seperti seorang inkuisitor menganiaya para tertuduh dengan bergairah. Dan kisah-kisah itu menggelepar sensual mendekati ajal. Barangkali karena Ayu perempuan yang, lantaran tumbuh dalam wacana Gereja yang amat patriarkal, merasakan penindasan—sekalipun di tingkat wacana—sekaligus kerinduan yang akut dan paradoksal. Joko sama sekali tidak nampak tertarik pada persoalan kebenaran dan hubungan kuasa dalam Alkitab. Kebenaran, dalam hampir semua sajak-sajaknya, seolah sudah selesai dan terberi. Atau, malah tak penting sama sekali. Sebab kebenaran telah menjadi banal. Atau, barangkali baginya karena kebenaran sejati takkan pernah tercapai di dunia ini, kita harus lebih rendah hati dan tak terlalu berambisi. Biarkan Gereja mengurus kebenaran. Dan penyair memberi garam pada yang sederhana.
Inilah sastra yang sekular.

* * *

Suatu hari Ayu diundang memberi latihan penulisan di sebuah gereja Kristen kecil di Jakarta Barat. Seperti biasa, ia asyik dengan ketertarikannya sendiri. Seorang peserta pun bertanya, sesuatu yang selama ini tak dia anggap sebagai persoalan: kenapa buku-buku remaja Kristen begitu sedikit terbit dibanding buku bagi remaja Muslim? Kenapa tampaknya remaja Kristen tidak begitu tertarik pada agamanya dibanding remaja Muslim? Anak itu baru beberapa waktu lalu berkunjung ke pameran buku dan melihat begitu banyak penerbit Islam, begitu berlimpah buku remaja mereka.

Yang ditanya tak begitu tahu jawabnya. Dari segi prosentase penduduk sebetulnya wajar jika buku Islam melimpah. Namun pertanyaan itu bergema di kepalanya, justru karena sebelumnya ia tidak menganggapnya persoalan. Di sinilah, mungkin, poetografi Joko serta kepenyairannya memberi salah satu tawaran penjelasan. Joko Pinurbo adalah satu dari sastrawan dengan latar belakang Katolik. Ia bahkan belajar di seminari Mertoyudan, pernah bekerja bersama Romo Mangun, dan kini masih bekerja di lingkungan penerbitan Katolik. Namun, sajaknya yang bersinggungan langsung dengan iman-agama sedikit saja. Yang menggunakan metafor religi pun sesungguhnya tidak dominan. Di ranah organisasi, penulis Katolik pada umumnya tidak membikin kegiatan yang membawa bendera. Terbitan berlatar Katolik seperti Basis, tempat Joko pernah bergiat, serta jurnal pemikiran lain lebih suka mengikuti jejak Kelompok Kompas Gramedia. Yaitu, menyamar—kalau bukan mengubah diri—sebagai media umum. Penerbit berlatar Islam Mizan, misalnya, menjadi penerbit umum seraya mempertahankan sedikit identitas dalam penampilannya. Joko, Ayu, Dorothea Rosa Herliany—seorang penulis Katolik lain, tidak tertarik membikin forum yang setara dengan Lingkar Pena, kelompok yang digagas oleh sejumlah penulis Muslim yang memang menekankan keislaman. Joko, Dorothea, Ayu lebih setara dengan Johny Ariadinata, Agus R. Sarjono yang Muslim, atau Cok Sawitri, Oka Rusmini yang Hindu—para sastrawan awam, atau barangkali sekular, yang menggarap tema agama juga, hanya ketika merasa intens, tapi bukan sebagai identitas. Apalagi mengagungkannya. Bahkan tak juga menulis untuk membenarkan agama. Para penulis Katolik seperti tak berbendera dan tak beragenda.

Periode ideologis memang telah lewat dalam wacana sastra Indonesia. Joko, seperti juga Ayu, lahir di tahun 60-an. Si penyair masih usia menyusu dan si novelis belum lagi dikandung ketika polemik besar terjadi, yang kemudian hari dikenang sebagai Polemik Kebudayaan. Inilah masa ketika perdebatan ideologi berkuasa atas hal-hal lain di Indonesia, ketika sastrawan dan seniman dikelompokkan secara politis. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), yang ketika itu berjaya dan rapat dengan Sukarno, adalah penggerak utama realisme sosialis. Agendanya menundukkan seni di bawah ideologi. Politik adalah panglima. Di kubu lain, sejumlah seniman yang menentang pandangan tadi akhirnya menerbitkan sebuah pernyataan, Manifes Kebudayaan. Inilah polemik itu, antara dua kubu. Yang satu mengharuskan seni melayani kepentingan “revolusi” (yaitu politik pemerintah), yang lain ingin membebaskan seni darinya. Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang di antara kubu pertama. Goenawan Mohamad, Taufik Ismail di antara kubu kedua. Posisi orang-orang Katolik ketika itu agaknya tidak berpihak pada kaum realisme sosialis. Dalam pengantarnya di Prahara Budaya, Taufik menuliskan bahwa pastor, orang sembahyang, dan haji selalu menjadi olok-olok para Marxis. PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) dalam pengalaman Taufik lebih tegas berhadapan dengan PKI dibanding GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Tapi pertentangan ini menjadi tidak imbang karena para pendukung realisme sosialis mempunyai alat kekuasaan. Presiden Sukarno pada bulan Mei 1964 menjatuhkan larangan pada Manifes Kebudayaan. Pendukungnya dianggap “kontrarevolusi.” Lalu terjadilah serangkaian pengganyangan terhadap penandatangan “Manikebu”—begitulah manifes itu kemudian diolok-olok. Penggagas Manifes yang punya kedudukan sebagai pegawai negeri dicopot, misalnya H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito—keduanya kini telah almarhum. Serangan sengit itu memang belum berlangsung begitu lanjut ketika keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat dengan peristiwa 30 September 1965. Angkatan Darat di bawah Jenderal Suharto membawa semua yang berafiliasi pada PKI ke tempat pembantaian dan pembuangan yang berlipat-lipat lebih kejam.

Tapi penulis seperti Joko dan Ayu, atau mereka yang lahir setidaknya tahun 60-an, hanya membaca semua itu. Ketika mereka meyimak esai-esai Goenawan Mohamad dalam Kesusastraan dan Kekuasaan, atau kerja Taufik Ismail serta D.S. Moeljanto dalam Prahara Budaya, mereka tahu bahwa mereka kehilangan intensitas yang pernah ada di zaman ketika mereka lahir. Di masa ini tak ada lagi pergulatan hidup dan mati dalam kesenian. Tiada pertaruhan eksistensial.

Keduanya bertumbuh di tahun 70-an dan mulai menulis di akhir 80an. Inilah masa ideologi dicerabut, mahasiswa dijinakkan, dan seni dianjurkan untuk tidak mengemban misi politik. Pemerintah memelihara hubungan pragmatis dengan kelompok agama, dengan kepentingan memelihara agar mereka tetap dalam kontrol. Hal-hal yang terlalu kontroversial dan dianggap melecehkan agama diberangus. Peran politik kelompok Katolik, yang didesas-desuskan melalui think tank Orde Baru CSIS (Center for Strategic and International Studies), tak mengibarkan panji-panji. Dan kelihatannya kepentingan politik utama mereka adalah menjaga agar republik ini tetap sekular.

Tapi bahwa umumnya penulis Katolik tetap tidak tertarik untuk menyerahkan sastra demi mengagungkan agama barangkali adalah hal lain. Gelombang misionaris Belanda ke pulau Jawa yang datang bersama Politik Etis agak berbeda dari gelombang misionaris Portugis ke Malaka dan kepulauan timur Indonesia sebelum abad 19. Misi Katolik Belanda datang setelah Eropa mengalami sekularisasi besar-besaran. Gereja Katolik sendiri merupakan minoritas di Belanda. Dengan demikian, sejak awalnya mereka punya kepentingan agar negara tidak dikuasai agama mayoritas. Misionaris Belanda berkarya lewat pendidikan dan melalui salah tokoh utamanya F.G.J.M van Lith—biasa disebut Pater van Lith—berjasa pada murubnya kesadaran nasionalisme orang Katolik Jawa melawan kekuasaan kolonial. Ini memberi corak yang khas. Orang Katolik Jawa amat tertarik pada budaya kampung halaman. Dan ini nampak dalam penulisan generasi di atas Joko, Ayu, atau Dorothea. Terutama dalam Sindhunata dan Romo Mangun yang menggarap tema-tema cerita wayang Jawa. Babad, epik, dan kota-kota luar negeri, agaknya, tak begitu punya aura bagi mereka.

Goenawan Mohamad, penyair dan esais yang dikagumi Joko, banyak sekali membuat “sajak
perjalanan.” Negeri asing adalah wilayah yang menggugah. Goenawan memang banyak melakukan perjalanan, namun ia juga menulis sajak tentang negeri lain dalam benaknya, yang tak ia kunjungi. Misalkan Kita di Sarajevo adalah sebuah contoh. Negeri asing sebagai sesuatu yang eksotis juga nampak dalam beberapa penyair lain, seperti Rendra, Sitor Situmorang, atau yang lebih muda, Sitok Srengenge. Ayu di bawah sadarnya melihat Central Park kota New York atau musim salju di Utrecth sebagai pembebasan, tempat manusia Indonesia berjarak dari asal-usul dan melihat dirinya dengan perspektif. Semua itu tidak ditemukan pada sajak-sajak Joko. Ia tertarik pada halaman rumahnya sendiri, kamar tidur sendiri, kakus sendiri. Adakah ini karena ke-Katolik Jawa-annya? Agama itu datang dari “Barat” sehingga “kebaratan” bukan lagi sesuatu yang eksotis dan menimbulkan konflik nilai bagi Joko, seperti juga bagi Romo Mangun dan Sindunata, atau Arswendo Atmowiloto.

Kita tak menemukan kekatolikan dalam tulisan sastrawan Katolik, jika kata itu merujuk kepada sifat afirmatif terhadap agama. Namun cerita-cerita dari Alkitab dan Gereja menampakkan diri, sesekali atau berulang kali, dengan cara aneh sebagai roh maupun hantu yang menaungi. Seperti sajak Joko Mandi (2003) membawa kita pada pengadilan kisah sengsara ketika orang berseru, “Salibkan dia!”

Korban segera diseret ke kamar mandi dan diperintahkan
berdiri di depan. Wajahnya tertunduk pucat, tubuhnya
gemetar, dan matanya seperti kenangan yang redup perlahan.
Belum sempat pemimpin rombongan menanyakan tanggal
lahir dan asal-usul korban, orang-orang yang sudah tak sabar
menyaksikannya sekarat berseru nyaring, “Mandikan dia!
Mandikan dia!”

* * *

Mandikanlah dia hingga tak tersisa lagi luka.

Ketika Ayu terkenang akan puisi Joko, ia lebih mengenangnya sebagai cerita, kadang visualisasi, bukan sebagai bunyi. Puitisasi, dalam sajak-sajak Joko, tidak terutama muncul dari bunyi kata-kata melainkan ceritera. Puisinya cenderung naratif. Jika karya Goenawan Mohamad hampir-hampir tak mungkin dinyatakan dengan kata-kata lain (bagaimana menggantikan sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi?), puisi Joko agaknya masih menampung perubahan kata. Sebab cerita mengambil tempat lebih utama. Melankoli dan rasa sakit, yang dominan dalam suasana sajaknya, tidak muncul melalui imaji kata-kata melainkan lewat kisah dan logika cerita yang ganjil.

Kisah sengsara Tuhan dalam tradisi Katolik adalah kisah utama. Suasana duka, rasa sakit, melankoli, kegagalan adalah rasa dominan pekan sebelum Paskah. Minggu Paskah menuntaskannya dengan kemenangan. Maka kisah sedih itu tinggal kenangan. Itulah risiko yang kerap tergenapi dalam rutinisasi penebusan.

Gereja Katolik punya kegundahan akan segala teknologi yang mengontrol tubuh ke dalam kehendak individu: kontrasepsi, atau juga anaestesi. Anaestesi atau pengebasan membuat rasa sakit menjadi tidak alamiah bagi manusia rasional. Dalam pandangan ini, prosesi maupun obsesi yang memberi penghormatan tinggi pada rasa sakit pun menjadi kelainan jiwa. Namun, sesungguhnya, dengan memberi penekanan terlalu kuat pada kebangkitan, kisah itu memberi pengebasannya sendiri: anaestesi akhir nan bahagia. Agama memang memberi telos, tujuan yang agung seperti sebuah happy ending. Pada saat yang sama, akhir nan jaya ini menjauhkan penderitaan ideal dari penderitaan manusia sesungguhnya.

Sajak-sajak Joko mengembalikan itu. Penderitaan menjadi milik manusia mortal. Kesakitannya lebih sering tak bisa dimengerti. Apa gerangan tujuan kesakitan? Karena itu, barangkali, ada beberapa hal yang obsesif dalam sajak-sajak Joko: tubuh yang sakit, manusia yang gagal, kuburan, dan selangkangan—berbeda dari Ayu, pada Joko tanpa erotisme. Sajaknya bercerita tentang celana yang hilang, burung di dalamnya yang terbang, Pak Guru yang resleting celananya melorot dan menjadi penjaga kuburan, celana bayi yang ia cari di makam ibunya. Kuburan dan kelamin tanpa erotisme seolah menekankan mortalitas manusia: dari kelamin ia keluar, ke dalam makam ia menyusup. Jika penderitaan dalam Kisah Sengsara Agung menjadi drama, penderitaan dalam sajak Joko menjadi ironi.

Ini adalah penggalan Doa sebelum Mandi (2000):
Tuhan, saya takut mandi. / Saya takut dilucuti. / Saya takut pada tubuh saya sendiri. / Kalau saya buka tubuh saya nanti, / mayat yang saya sembunyikan / akan bangun dan berkeliaran. /

Ini adalah penggalan dari Pulang Mandi (1999):
“Berbahagialah orang yang berani mandi,” aku bersabda, / “sebab ia akan menemukan tubuhnya sendiri.” / Maka dalam bahagia mandi ia kelupas karat waktu / pada tekstur hidupnya, kerak kenangan / pada tipografi nasibnya. / “Sakit!” ia menjerit. “Berdarah!” / Mungkin sedang ia lepaskan pakaian kotor / yang lengket di tubuhnya. /

Tidakkah mandi dalam sajak-sajaknya mengingatkan kita pada ritual permandian sambil tetap menjadikannya profan? Joko menggubah serial sajak bertema kamar mandi, toilet, serta celana. Kita tahu, celana, kamar mandi, dan toilet adalah dunia sehari-hari yang lekat dengan ketelanjangan manusia—dalam keadaan paling buruk dan kotor. Ranjang, di mana ketelanjangan bisa indah, tak sebanyak itu digarap Joko. Ketika dia menggarap ranjang sekalipun, beberapa di antaranya adalah ranjang rumah sakit, yang tetap menghubungkan manusia dengan kematian. Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar / memeluknya erat: "Aku rela jadi keranda untukmu.” (Keranda, 1996)

Tapi, yang dengan penuh maksud ia kaitkan mortalitas dengan transendensi adalah sajak "Meditasi" (2000) yang, dibanding sajaknya yang lain, tidak naratif:

Celana tak kuat lagi menampung pantat
yang goyang terus memburu engkau.

Pantat tak tahan lagi menampung goyang
yang kencang terus menjangkau engkau.

Goyang tak sanggup lagi menampung sakit
yang kejang terus mencengkram engkau.

Telanjang tak mampu lagi melepas,
menghalau Engkau.


Sajak "Meditasi" adalah sajak yang amat sulit untuk dibacakan. Sebab ia bermain di batas rawan antara ironi, sensualitas, dan keilahian. Pementasan yang salah akan membuatnya wagu dan janggal. Sajak ini barangkali adalah sajak sunyi, yang harus dibaca dalam sendiri.

Joko dan kesendirian adalah sejalan. Ia selalu membacakan karyanya dengan datar—jika ia harus membaca. Ia bukan penerus Si Burung Merak, bekas Katolik yang nada bacanya mengingatkan Ayu pada khotbah pastor Belanda di masa lalu. Ia juga bukan Sapardi Joko Damono atau Goenawan Mohamad yang menggumam liris hampir tak terdengar. Joko mempunyai artikulasi yang jelas—barangkali bagian dari latihannya di seminari?—namun ekspresinya sungguh lempang, sesederhana kata-kata dalam kebanyakan sajaknya, sehingga pendengar akan memusatkan perhatian pada cerita. Tak ada tempat untuk gaya. Seolah-olah sajaknya memang tidak ditujukan pada penonton atau untuk ditonton. Bahkan ia tak bisa menjawab, sesungguhnya, kenapa ia menulis sajak.

Tak satu sastrawan pun, agaknya, bisa merumuskan kenapa ia ingin menulis atau kenapa ia
tergugah kata-kata. Kitab suci adalah alat menyampaikan pergulatan iman, namun sastrawan telah lari dari itu dan terpukau pada kata-kata dan kisah. Semoga mereka tak habis-habis menghidupkan cerita.[]


*Dimuat dalam buku/bunga rampai Keadilan Sosial – Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004)