Mencari Sinyal “Sunyi” di Telepon Genggam

Judul : Telepon Genggam (kumpulan puisi)
Penulis : Joko Pinurbo (JokPin)
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta
Kata Pembaca : Nirwan Ahmad Arsuka
Tebal : x + 77 halaman
Cetakan I : Mei 2003


Ia tidurkan telepon genggamnya di kuburan,
lalu ia buang ke laut

(Sajak "Selamat Tinggal", halaman 8)

Dalam perkembangan tulisan, produksi puisi menempati urutan yang paling banyak ditulis. Mungkin, hal ini disebabkan bila wilayah kreatif sebuah puisi berdiri pada tataran, yang oleh banyak orang, dianggap paling mudah untuk ditulis. Maka, tidak mengherankan bila dalam sebuah media massa, redaktur budaya selalu “kebanjiran” puisi untuk dimuat.

Pun dalam masyarakat, puisi merupakan sebuah bentuk yang tak pernah mengalami krisis, selalu ada penemuan baru, penyemaian estetika, tata cara ungkap, diksi-diksi yang turut memperkaya kerja bahasa. Puisi, merupakan sebuah permulaan, bagaimana kata-kata dibentuk, dan penyair merupakan orang yang tak habis-habisnya melakukan eksplorasi. Sebagai kerja kreatif, puisi seperti tak pernah kehilangan energi. Ia senantiasa membangkitkan metafora, igauan, sugesti, cambukan, kegetiran. Semua ihwal tersebut menjelma jadi ledakan yang kembali menjumpai pembacanya. Dan, puisi selalu menampakkan arus tersebut, ibarat memandang suatu “benda” di ruangan kaca, yang tentunya akan melahirkan persepsi yang berbeda pula.

Kemudian, sebuah kumpulan puisi hadir, dalam bentuk cetakan buku. Ditulis oleh penyair Yogya yang tampil unik memainkan diksi. Mencari berbagai celah sunyi, dari sebuah hamparan peradaban beku. Di mana kita senantiasa disuguhi dengan kemajuan teknologi. Sepertinya, puisi itu hadir secara serius—namun dengan tiba-tiba berubah haluan, membuat kita tersenyum (tertawa sekuatnya) sendirian. Kita disuruh untuk memaknai kegilaan hidup, dipermainkan, dibuat tegar. Kumpulan puisi kali ini, bertajuk Telepon Genggam, Joko Pinurbo, yang juga sebelumnya telah menerbitkan Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), memang tak dapat dipungkiri jika ia begitu produktif dalam menulis puisi. Itu pulalah yang diminta dalam Kata Penyair di buku ini, keinginannya yang tersisa hanyalah untuk bisa menulis saja, titik.

Sebagaimana sajak-sajak sebelumnya, sajak yang terhimpun di buku ini juga masih menandakan kepiawaian Joko dalam mengolah bahasa. Banyak penggunaan kata yang masih belum baku, semacam elo, gua, enggak, amat, dll. Terkadang beberapa tema yang ditawarkan begitu kasat dengan realitas. Kita seperti dihadapkan membaca sebuah peristiwa, sehingga tak perlu menafsir terlampau dalam. Ada kelucuan yang menjengkelkan, terkadang menciptakan ironi yang tertinggal di kepala. Sebentuk kegetiran yang terapung ketika menghadapi kehidupan dengan—peristiwa-peristiwa yang terasa begitu tidak masuk akal. Maka, kita terpaksa diajarkan kembali untuk membacanya pelan-pelan. Seperti yang tertuang dalam sajak Telepon Genggam: berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sesekali ia terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya.

Kita menganggap menulis semacam itu, mungki mudah. Sehingga acap membuat kita kembali menyesali, mengapa saya tak menulis seperti itu. Tetapi itu pun dibantah oleh Joko dalam sajak Buku. Pelajaran berharga bagi seorang penulis adalah buku—pacar terakhir yang selalu membujukku agar tidak mudah mati dalam kehidupan, hidup dalam kematian. Lebih lanjut di halaman 24, Joko pun berkhotbah, memberi tahu bagaimana cqara membaca buku yang baik dan benar. Lengkap secara sistematis berdasarkan urutan angka:

1. Jangan sok pintar dan sok tahu. Jangan belum-belum sudah bilang: ah, kalau cuma begini aku juga mampu.
2. Jangan cepat merasa bodoh kalau tidak juga paham apa maunya buku. Apa yang tak kaupahami suatu saat toh akan membukakan diri.
3. Jangan terlalu lugu. Tahu kan batas antara lugu dan dungu sering tidak jelas-jelas amat? Kau bisa saja mengganti kata-kata dalam buku dengan kata-katamu.
4. Jangan sok filsuf: membaca buku sambil mengernyitkan dahi dan mengerutkan mata, apalagi pakai ketok-ketok jidat segala. Santai saja, supaya tidak penat. Kalau penat, kata-kata yang kau baca tidak akan bebas menari-nari dalam otakmu.

Demikianlah, sajak-sajak yang hadir memang masih merupakan ruang permenungan. Beberapa ada yang sama persis dengan konsep yang pernah digaungkan oleh Remy Sylado, Jihan—dengan puisi mbeling-nya. Namun, tetap saja membuka sebuah wilayah tafsir sendiri. Kata-kata dalam puisi Joko, seperti meminta untuk bertahan, meminta kita untuk tidak berlalu begitu saja. Membuat sebuah bekas, tapak perjalanan. Di mana si-aku selalu terkesiap menghadapi riuh dunia, dengan lalu-lintas teknologi yang terus berkecipak. Tetapi, itu pun nampaknya belum cukup, pesona lain yang ditawarkan oleh Joko adalah menyikapi “kekanak-kanakan” kita terhadap kehidupan.

Betapa kita mudah cengeng, terharu, kemudian membuat kita terasa begitu lemah. Tetap saja, di balik itu semua terdapat sebuah tawaran perlawanan yang berbeda dalam menyikapi hidup, bukan hanya sekadar mengepalkan tangan ke langit. Melainkan Joko lebih asik untuk menggodanya dengan lelucon-lelucon yang segar. Simak dalam sajak Ibu yang Tabah: Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Malam hari diam-diam ia memeras air mata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya kepada anak-anaknya bila mereka sakit.

Penyair yang mulai melihat dunia ini sejak tanggal 11 Mei 1962 ini, memang begitu gemar untuk memainkan sebuah realitas. Secara gamblang, realitas itu ditarik dengan jelas, diuraikan pelan-pelan, kemudian disambungnya menjadi sebuah cerita. Pada umumnya, sajak-sajak yang ada dalam kumpulan ini bersifat prosa, dengan tuturan bercerita yang baik. Tema, bentuk, mauipun pemilihan diksi bersifat sederhana. Pun, ada sajak yang ternyata—mencoba untuk “menertawai” sajak penyair yang mapan Sapardi Djoko Damono. Sebagaimana yang tertulis dalam Laki-Laki tanpa Celana, Joko menghadirkan kutipan sajak Sapardi Pada Suatu Pagi Hari, yang terasa begitu memesona si-aku, sehingga menghubungkan sebuah jeda, untuk sebagai “umpan” bagi kalimat-kalimat selanjutnya.

Seperti yang pernah disinggung Nirwan Dewanto, dalam Tempo edisi khusus 2002, dirangkum pula dalam halaman depan buku ini. Jika Joko cenderung untuk melakukan antipoda dari pertautan puisi lirik dan protes. Bahasa sehari-hari dirangkum, dan dikembangkan kembali, sehingga menimbulkan pertautan makna dan bunyi yang baru. Puisi Joko, kebanyakan menertawai “keakuan”—dengan mendedahkan naluri kejahatan manusia, yang ternyata begitu suka untuk berpura-pura suci. Padahal, dalamnya begitu penuh kedengkian, kekotoran, sekaligus kemaksiatan. Joko membuka semua labirin moralitas yang terus menjadi hantu dalam sajak-sajaknya.

Dalam sajak-sajak sebelumnya, repitisi kata yang hadir, justru menambah kekuatan tema dan penggarapan secara maksimal. Seakan-akan, Joko mencoba mempermainkan kebodohan kita, menyulap kita agar tak perlu bermanja-manja menghadapi kehidupan yang memang dipenuhi dengan kekerasan ini. Sehingga membuat kita, terpaksa untuk mencurigai segala hal, bahkan bayangan diri sendiri. Meminta kita untuk “bertarung” di gelanggang, supaya tak lelah menghadapi kegagalan-kegagalan.

Kata-kata dalam sajak-sajak ini seperti telah bernapas dengan sendirinya. Tanpa bantuan dari si-penyair. Joko menghadirkan logika berpikir yang teramat sederhana, tanpa mengabaikan unsur puitik yang membentuk metafora tersebut. Sehingga sajak-sajak bisa dengan lepas berlarian kesana-kemari, tanpa harus memedulikan tempat muasalnya. Sajak itu lahir, untuk kemudian bernyanyi dengan sendirinya.
Dengan kata lain, dalam telepon genggam ini, sesungguhnya Joko sedang menghidupkan lagi telepon selulernya. Kemudian menunggu dalam sebuah ruang yang sunyi, adar sinyal masuk segera dan tidak lari ke mana-mana. Namun, ternyata yang didapati hanyalah carut-marut bencana. Membuat kita termenung, tentang sebuah kehidupan yang selalu menghadirkan trauma. Joko ingin menggugah sebuah kesadaran baru, yang ternyata belum lengkap ditemui. Ia ingin kita membongkar intelektualitas kita, mencemuburinya. Membukat kita selalu ingin membaca kelanjutan kalimat dalam puisinya. Untuk tetap kuat menghadapi realitas tersebut. Seperti dalam sajak Panggilan Pulang (halaman 6):

Bangun tidur, ia langsung menghidupkan telepon genggam: mudah-mudahan ada pesan. Masih ngantuk. Masih ada kabut mimpi di matanya. Masih temaram.
Sebenarnya apa perlunya pagi-pagi menyalakan telepon genggam? Paling-paling cuma dapat pesan ringan. Bagaimana tidurmu semalam? Sarungnya enak kan? Lupa sama saya ya? Tadi saya nunggu lama di kuburan.adzan subuh berkumandang. Penuh hujan. Ia buka telepon genggam. Tumben, ayah kirim pesan. Ibu sakit. Kangen berat. Nenek sudah tiga hari hilang. Makam kakek belum sempat dibersihkan. Sarung ayah dicuri orang. Utang stabil. Pohon nangka di samping rumah tumbang. Bisa pulang? Bisa minta ijin telepon genggam?
Pesan berakhir. Musik. Telepon genggam menyanyikan The Beatles: Mother…

Ya, nampaknya kita begitu cemburu. Gramatika yang dibangun teramat sederhana, membuat kita jadi kepingin menjelajahi kembali masa silam. Membuka semua kenangan yang pernah singgah. Meski, yang ditemui hanya suara-suara sunyi yang terasa sahut-menyahut, ataupun tiba-tiba bisu sama sekali. Sajak-sajak di buku ini telah membuka keterjagaan kita terhadap bentangan realitas yang ada di adapan. Dengan tawaran nuansa kata-kata yang ajaib, yang seperi mencoba, membuat sebuah jeda. Supaya kita menelusuri dongeng masa kecil yang membuat raup mata kita jadi bahagia. Kata-kata seperti terus berlahiran dari sajak-sajaknya, mengintip dari ruang si-penyair, untuk cepat-cepat menjumpai para pembaca. Kok, bukan kita yang menulis seperti itu, ya?

Alex R. Nainggolan,
Ketua YMS (Yayasan Multimedia Sastra) Bandar Lampung,
koordinator Komunitas Sastra Pelangi (KSP) Bandar Lampung