Puisi: Membaca Kiasan Badan

Ignas Kleden

Sangat mungkin bahwa di antara penyair-penyair dalam sastra Indonesia moderen, tidak seorang pun yang demikian obsesif dengan tubuh manusia dalam permenungannya, seperti halnya Joko Pinurbo, dalam kumpulan sajaknya Di Bawah Kibaran Sarung. Penyair dan novelis sebelum dia memang di sana-sini menulis juga tentang badan, karena seluruh perasaan erotik tidak bisa tidak harus menyentuh aspek badan. Akan tetapi pada penyair dan novelis lainnya badan tidak menjadi pusat perhatian tetapi lebih sebagai isyarat atau signifier bagi kegairahan perasaan, rindu-dendam, beragam tindakan cinta dan bahkan hubungan seksual. Dengan lain perkataan badan baru berfungsi sebagai latar, sebagai setting bagi hal-hal lainnya. Tubuh manusia diperlakukan lebih sebagai medium tetapi belum sebagai message.

Pada Joko Pinurbo badan mendapat sorotan utama, diselidiki dengan renungan yang intens, dan diberi peran ganda, baik sebagai tanda (signifier) maupun sebagai apa yang hendak ditandai (the signified). Yang mencolok adalah kenyataan bahwa observasi yang teliti dan mendetail tentang badan dan bahagian-bahagian tubuh manusia, tidak membawa penyairnya kepada suatu detotalitasi badan yang dapat berefek pornografis. Seandainya pun dia harus berbicara tentang suatu bahagian tubuh tertentu secara rinci, hal ini dilakukan dengan tetap mempertahankan suasana metaforis yang kuat, yang tidak membelenggu perhatian pembaca pada badan sebagai badan, tetapi pada badan sebagai pesan.

Wajah yang penuh jahitan, tubuh yang hampir rombengan
nyaris tak terbaca kalau tak ia tunjukkan
sepasang tato di pantatnya.


(Sajak “Pulang Mandi”)

Ada nada humor yang ringan di sini yang membuat kita tidak merasa jijik tetapi justru jenaka, karena seseorang kebetulan tidak dikenal dari nama diri, kartu penduduk, atau bentuk wajahnya dengan letak tahi lalat di hidung atau di atas bibir, tetapi oleh sepasang tato di pantat, yang hanya terlihat kalau seseorang membuka celananya.

Memang, badan dan pakaian diperlakukan oleh penyair atas cara yang unik karena keduanya seakan mempunyai kedudukan yang dapat dipertukarkan (interchangeable). Sebagaimana sepotong baju menjadi sarana yang menghubungkan seseorang dengan masyarakatnya, maka demikian pun badan menjadi sarana yang mempersatukan seseorang dengan dunianya. Definisi kaum eksistensialis tentang manusia sebagai “ada di dunia” (in der Welt sein/Being in the world) hanya dimungkinkan oleh badan atau tubuh kita. Yang spesifik pada penyair ini – dan berbeda dengan para eksistensialis – ialah semacam visi bahwa badan bukanlah bahagian intrinsik yang tak terpisahkan dari struktur manusia dan dunianya. Badan dalam kumpulan sajak ini diperlakukan sebagai sesuatu yang ekstrinsik, sedemikian rupa, sehingga seseorang dianggap dapat mencopot dan membuang tubuhnya sebagai penutup diri dan pribadinya, seperti halnya dia dapat mencopot pakaiannya sebagai penutup tubuhnya.

Pandangan penyair terhadap badan dan segala yang berhubungan dengan badan, jauh dari pandangan erotis, yang melihat tubuh sebagai penjelmaan keindahan, daya-tarik atau sex appeal, tetapi lebih berupa suatu pandangan filosofis, yang kadang eksistensial, kadang ontologis sifatnya, tetapi selalu disertai dengan humor yang kental yang kadang mendekati sarkasme. Sebagai contoh soal, perlengkapan pakaian rupanya tidak pernah menarik penyair oleh keindahan warna dan bentuk, tetapi ditanggapinya semata-mata sebagai bahagian atau perpanjangan badan manusia, yang menjalankan fungsi simbolik yang nyata, yaitu memperlihatkan keindahan tubuh tetapi sekaligus menyembunyikan kelemahan dan ketak-berdayaan jasmani.

Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya
dan mendapatkan raja kecil
yang selama ini disembahnya
tunduk tak berdaya.


(Sajak “Celana 2”)

Penghayatan tentang tubuh yang sedemikian intensnya mengingatkan kita akan hubungan antara seorang penari topeng dengan perlengkapan topeng yang dikenakannya. Di sana tak jelas lagi apakah si penari itu menghayati topengnya sebagai bahagian dirinya, atau, sebaliknya, dia malahan memandang dan merasakan dirinya sebagai perpanjangan dan bahkan representasi dari topeng yang dikenakannya. Dalam arti itulah, kita dapat sedikit memahami bahwa penyair Joko Pinurbo, kadangkala memperlakukan pakaian sebagai simbol dan representasi badan manusia, dan di tempat lain memperlakukan tubuh manusia sebagai representasi simbolik dari pribadi seseorang.

Lama ia tidak mandi. Tapi sekali mandi
ia langsung mencopot tubuhnya yang usang
dan menggantinya dengan yang baru
yang mutakhir modelnya, dan, tentu saja, tahan lama.


(Sajak “Pulang Mandi”)

Terlihat di sini bahwa badan dan pakaian diberi dua sifat utama, yaitu ekstrinsik dan simbolik. Ekstrinsik, karena pakaian bukanlah bahagian yang menyatu dengan badan tetapi sesuatu yang ditempelkan dari luar, sedangkan badan bukanlah sesuatu yang menyatu dengan pribadi seseorang tetapi juga dikenakan dari luar dan dapat dicopot di mana perlu. Keduanya juga diberi sifat simbolik yang kuat, karena fungsi menyatakan digabungkan sekaligus dengan fungsi menyembunyikan. Setiap simbol, berbeda dari tanda, selalu mempunyai kekuatan ganda dalam menyatakan sesuatu dan sekaligus juga menyembunyikan apa yang hendak dinyatakannya, sebagaimana halnya seseorang dapat menyembunyikan cinta dengan menyatakannya, tetapi dapat pula ketahuan cintanya tepat pada saat dia berusaha menyembunyikannya.

***

Badan manusia bukanlah sekedar perlengkapan yang memungkinkan manusia berada di dunia dan memasuki eksistensinya, tetapi, demikian penyair kita, badan itu sendiri menjadi suatu dunia: suatu alam, geografi, dan bahkan lanskap. Alam besar di luar dengan pegunungan dan lembahnya seakan terpantul kembali secara sempurna dalam miniatur pada badan dan anggota-anggota badan. Pada tubuh manusia penyairnya melihat laut terbentang, gunung menjulang, padang menghampar, dan lembah yang menganga. Seperti halnya alam geologis dan alam fauna dan flora menimbulkan perasaan takjub, kagum, terpesona atau gentar dan takut, demikian pula halnya perasaan seseorang yang dengan teliti menyelidiki tubuh manusia

kota tua yang porak poranda pada wajah yang mulai
kumal dan kusam
langit kusut pada mata yang memancarkan
cahaya redup kunang-kunang
hutan pinus yang meranggas pada rambut yang mulai
kehilangan hitam,
padang rumput kering pada ketiak yang kacau baunya,
bukit gersang pada payudara yang sedang susut
kenyalnya
pegunungan tandus pada pinggul dan pantat
yang mulai lunglai goyangnya


dan lembah duka yang menganga antara perut dan paha.

(Sajak “Kisah Semalam”)

Bagi saya sebagai pembaca sungguh mengagumkan bahwa bahkan tentang hal-hal yang dianggap tabu dalam konvensi sehari-hari, penyair kita masih dapat menyatakannya dengan simpatik dan mengharukan seperti dalam cerita, atau nyanyian, atau doa Maria Magdalena, yang pada hari Paskah pagi datang ke makam tuannya, dan mendapatkan makam itu telah kosong.

“Sungguh Ia telah menciumku dan mecelupkan jariNya
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina
pada dinding gua yang pecah-pecah, yang lapuk
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”


(Sajak “Minggu Pagi Di Sebuah Puisi”)

Tubuh manusia, dan alat kelamin, bukan sekedar suatu locus untuk kegembiraan dan keisengan badaniah, atau, sebagaimana umum dianggap dalam pandangan tradisional, sumber dosa, tetapi justru menjadi representasi suatu sesal yang kenyal, tobat yang nekat: suatu metanoia yang tuntas.

Untuk lebih menegaskan bahwa badan adalah sesuatu yang ekstrinsik, maka penyair kita merasa perlu menyatakan secara eksplisit bahwa tak seorang pun dapat merasa memiliki tubuhnya, karena tubuh ini hanya barang pinjaman, entah dari mana, yang setiap saat harus dikembalikan, dan yang terhadapnya berbagai pihak dapat mengajukan klaim kepemilikan. Karena itu juga, tubuh dan pemakainya (untuk tidak mengatakan pemiliknya), bukanlah dua pihak yang dengan sendirinya dapat bersatu secara harmonis dan rukun secara alamiah, tetapi keduanya harus terus-menerus berusaha dalam interaksi dan pergaulan untuk mencapai saling pengertian dan kata sepakat. Apropos: bagi saya tetap mengherankan mengapa penyair demikian menekankan aspek ekstrinsik ini, karena tidak selalu jelas bagi saya pesan apa yang hendak disampaikannya dengan lukisan tersebut: kefanaan, kesementaraan, atau ketidak-sanggupan manusia untuk mengendalikan badannya sendiri?

Tubuh
yang mulai akrab
dengan saya ini
sebenarnya mayat
yang saya pinjam
dari seorang korban tak dikenal
yang tergeletak di pinggir jalan
pada mulanya ia curiga
dan saya juga kurang selera
karena ukuran dan modelnya
kurang pas untuk saya
tapi lama-lama kami bisa saling
menyesuaikan diri dan dapat memahami
kekurangan serta kelebihan kami
sampai sekarang belum ada yang
mencari-cari dan memintanya
kecuali seorang petugas yang menanyakan status
ideologi, agama dan terutama harta kekayaannya.


(Sajak “Tubuh Pinjaman”)

Uniknya, kehidupan sehari-hari tidak saja merupakan interaksi di antara orang-perorang dengan lingkungannya, tetapi antara badan dengan segala barang dan benda yang berhubungan dengannya. Dengan demikian, sebuah ranjang dapat merindukan tubuh yang telah dilahirkan dan diasuhnya dengan penuh cinta. Kemesrahan pertemuan tidak diungkapkan dalam suasana yang indah atau mencekam, tetapi justru dalam perjumpaan badan dengan badan, yang seakan dapat membuat saat yang singkat menjadi abadi. Sementara itu perjumpaan itu, karena hanya berlaku antara badan dengan badan, tidak mempunyai banyak konsekuensi dalam waktu, karena, sebagaimana sudah diuraikan sebelum ini, orang dapat menanggalkan tubuhnya dengan mudah dan menyuruhnya pergi, dan karena itu dapat pula mengakhiri perjumpaan dua tubuh, tanpa banyak rasa getir.

Sesaat ada juga keabadian. Diusapnya pipi muda
leher hangat, dan bibir lezat yang terancam kelu.
Dan dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya
dada yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
yang menyerahkan diri kepada sembilu.


(Sajak “Gadis Malam di Tembok Kota”)

Setelah itu kedua badan itu berpisah, karena malam terlalu cepat habis, dan keduanya tidak punya banyak waktu. Maka salam perpisahan diucapkan dengan tanpa banyak keharuan, sedikit jenaka dan sedikit tak acuh:

“Terimakasih, gadisku.”
“Peduli amat, penyairku.”


(ibid.)

Badan manusia, bagi penyair kita, rupanya sudah menjadi metafor yang lengkap, sedemikian rupa, sehingga perjalanan waktu dan riwayat hidup tidak lain dari perjalanan di atas tempat kita membaringkan badan setiap malam, yaitu ranjang. Di sana “api unggun masih marak” dan “dua pengelana saling merapat menghangatkan badan”, sementara keduanya ragu tentang lama perjalanan yang ditempuh dan merasa tak pasti entah mereka akan tiba di tempat tujuan. Hidup rupanya bukanlah menerapkan secara konsisten suatu disain yang sudah dirapikan, tetapi hanya percobaan terus-menerus untuk tetap berjalan, seandainya pun hari semakin malam, langit makin mendung dan di depan mata hanya menanti rimba yang panjang. Keberanian hidup tak lain dari merambah “seluruh kilometer tubuhmu/sampai ke gua-guanya yang paling dalam/dan tebing-tebingnya yang paling curam” meski pun pada akhirnya “hanya labirin yang kutemukan” (sajak “Perburuan”).

Bahkan kehidupan politik dilukiskan sebagai peristiwa di sekitar ranjang, yang memang akhirnya ditinggal pergi “sebelum tangan-tangan malam merampas tubuhnya/ dan menjebloskannya ke nganga waktu yang lebih dalam”. Ranjang menjadi lambang dari keadaan terkungkung, yang selalu meresahkan bagi jiwa yang merdeka, tetapi pelabuhan dan persembunyian yang aman bagi semangat yang mudah menyerah. Pada titik inilah kita berhadapan dengan ambivalensi ruang, juga ruang politik. Apakah ruang pada dasarnya suatu keterbatasan atau suatu kemungkinan? Apakah ruang adalah suatu besaran dan agregat fisik ke mana seseorang atau sekelompok orang merasa terikat, ataukah suatu agregat fisik yang terikat pada sekelompok orang ke mana pun mereka pergi? Apakah ruang itu semata-mata spasial, eksistensial, dan barangkali juga politis sifatnya?

“Selamat tinggal negara.
Aku tak ingin lebih lama lagi terpenjara.
Mungkin di luar ranjang waktu bisa lebih luas dan lapang.”


(Sajak “Tahanan Ranjang”)

dan kemudian pada larik lainnya:

Ada yang lari meninggalkan ranjang
Ada yang ingin berumah kembali di ranjang
Pada kelambu merah ia baca tulisan:

Ini penjara masih menerima tahanan
Dijamin puas dan jinak. Selamat Malam

(ibid.)

***

Kesadaran tentang badan sebagai barang pinjaman, tentang kesementaraan tubuh dan keterbatasannya, tetapi juga tentang pentingnya badan sebagai penghubung manusia dengan dunianya --- semua ini barangkali menjadi alasan untuk munculnya ironi yang amat kuat yang terasa hampir dalam setiap sajak dalam kumpulan ini. Ironi itu kadang ringan dan simpatik dan berkembang menjadi humor yang cerdas, dan kadang pula menjadi pahit dan tragis serta cenderung menuju ke sarkasme. Demikianlah misalnya, seorang pembuat topeng selalu kedapatan menjerit-jerit saat membuat topengnya. Ketika ditanya apakah dia masih waras dia menjawab “masih”. Ada pun jerit-menjerit itu dilakukannya karena merasa “tak tahan menahan sakit dan perih setiap memahat dan mengukir wajah sendiri” (sajak “Topeng Bayi Untuk Zela”).

Sarkasme itu, uniknya, bisa muncul dalam suasana religius yang intensif, tatkala seseorang berdoa dengan sungguh-sungguh, penuh perjuangan mempersembahkan keresahannya yang tak teratasi, meski pun semua ini dilakukan tanpa sekali pun menyebut nama Tuhan. Intensitas spiritual ini pun oleh penyair dilukiskan dengan metafor badan dan bahagian-bahagian tubuh, yang secara konvensional, tidak biasa dihubungkan dengan doa dan meditasi. Kerinduan itu yang membubung ke langit, harapan yang seakan mengaduh dari lembah-lembah keputus-asaan, dan iman yang kadang melemah seperti ranting layu (jangan kau patahkan!) atau sumbu yang hanya tinggal berasap (jangan kaupadamkan!), meledak tak tertahankan dalam suatu penyerahan yang total, meski pun di sini dilukiskan dengan humor yang pahit:

Celana tak kuat lagi menampung pantat
yang goyang terus memburu engkau


Pantat tak tahan lagi menampung goyang
yang kencang terus menjangkau engkau

Goyang tak sanggup lagi menampung sakit
yang kejang terus mencengkram engkau

Telanjang tak mampu lagi melepas,
menghalau Engkau.

(Sajak “Meditasi”)

Doa yang terbentuk dari pertanyaan bertubi-tubi, dengan kombinasi dari ragu dan rindu, disertai teriakan nada yang meninggi dalam crescendo emosi yang terus memuncak, adalah suatu tipe sajak yang dapat ditemukan pada banyak penyair lainnya. Ungkapan “telanjang tak mampu lagi melepas,/menghalau Engkau” dapatlah dibandingkan dengan ungkapan penyair lain “siapa tiba menjemputku berburu/ siapa tiba-tiba menyibak cadarku/ siapa meledak dalam diriku/ : siapa Aku” (sajak “Sonet: X” Sapardi Djoko Damono).(1) Atau dengan ungkapan lain dari Amir Hamzah “Engkau cemburu/ Engkau ganas/ Mangsa aku dalam cakarmu/ Bertukar tangkap dengan lepas” (sajak “Padamu Jua” Amir Hamzah).(2) Kalimat-kalimat ini hampir-hampir secara tipologis menjadi inskripsi puitis dari inti semua pengalaman religius sebagaimana dirumuskan oleh Rudolf Otto (3), yaitu kombinasi perasaan tremendum et fascinans. Ada perasaan gentar yang membuat kita menjauh dari tempat yang terlalu kudus karena tak sanggup menahan cerlang sinar yang memancar dari sana, tetapi ada pula daya-pesona yang bagaikan sihir gaib menarik kita mendekat karena “Engkau pelik menarik ingin/ serupa dara di balik tirai” sebagaimana dilantunkan oleh Amir Hamzah dalam sajaknya yang dikutip di atas.

Dilihat dari tematiknya, sajak-sajak Joko Pinurbo merupakan suatu pembaharuan, karena dia merupakan gerak ke dalam, dibandingkan dengan gerak ke luar, jaitu gerak lirik mencari alam untuk menyanyikan embun atau matahari, memuja hujan dan laut, merenung gunung dan sungai atau tercekam oleh padang dan hutan. Lirik di sini menerjemahkan perasaan manusia ke dalam alam, atau menerjemahkan alam ke dalam perasaan manusia.

Rembulan di laut
Gunung-gunung di langit
Membentuk lukisan singkat
Dalam cinta abadi


Selembar laut di hatiku
Sekeping langit di hatimu
Membuat lukisan kekal
Dalam hidup yang singkat.


(Sajak “Masih Ada Etsa” Eka Budianta) (4)

Sajak Eka Budianta ini merupakan suatu contoh yang tipologis tentang lirik dalam puisi Indonesia, yaitu identifikasi gerak-gerik perasaan manusia dengan gerak-gerik alam. Pada penyair Joko Pinurbo, seluruh kehidupan manusia, politik, sosial-budaya, ekonomi, dan religius, tidak diterjemahkan ke dalam gerak-gerik alam, tetapi dalam gerak-gerik badan, yaitu apa yang kini dikenal sebagai body language. Dalam arti itu, makrokosmos tidaklah terlihat sebagai realitas besar yang terpantul dalam mikrokosmos, tetapi sebaliknya, tubuh manusia sebagai mikrokosmos menyerap alam besar ke dalam dirinya. Langit, awan, gunung dan laut hanya mengingatkan penyairnya akan wajah, alis, pelupuk mata, seperti juga padang dan gunung mengingatkan penyairnya akan keindahan dada dan rambut kekasih.

Rambut, kau bukan lagi padang rumput
yang dikagumi para pemburu.

atau
Dada, kau bukan lagi pegunungan indah
yang dijelajahi para pendaki.


(Sajak “Di Salon Kecantikan”)

Yang agak mengganggu perasaan saya sebagai pembaca ialah bahwa lukisan tubuh dan bahagian-bahagiannya ini selalu mengandung ironi dan rasa pahit, jadi bukannya pemujaan dan kekaguman murni kepada tubuh manusia sebagai penjelmaan keindahan atau pengejawantahan misteri. Jarang sekali dalam sajak-sajak ini kita temukan romantik seperti yang dengan mudah kita dapati pada sajak-sajak Rendra misalnya.

Betsyku bersih dan putih sekali
Lunak dan halus bagaikan karet busa.
Rambutnya mewah tergerai
Bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
Dan kakinya sempurna.
Singsat dan licin
Bagaikan ikan salmon


(Sajak “Rick Dari Corona” Rendra) (5)

Pertanyaannya ialah mengapa penyair Joko Pinurbo selalu memandang tubuh manusia dengan nada yang ironis, dengan bitter after-taste, yaitu rasa pahit yang menyusul setelah kita menelan sesuatu? Apakah tubuh manusia tidak menimbulkan pesona apa pun pada penyair ini? Jawabannya saya kira harus dicari dalam hubungan penyair ini dan lirik. Pilihannya untuk tidak mempedulikan alam luar, rupanya mempunyai akibat bahwa dia tidak sempat lagi mendengar cericit burung, nyanyian hujan, atau bunyi desah bambu yang diterpa angin, yang hanya dapat didengar dari alam. Kegembiraan liris inilah yang menurut pendapat saya tidak terasa dalam seluruh sajak-sajak ini, yang memfokuskan perhatiannya pada tubuh manusia semata-mata. Yang terdengar adalah humor yang pahit, seperti seseorang yang menertawakan segala sesuatunya, sedemikian rupa, sampai kita tak yakin lagi apakah dia sedang bercanda dan bergembira ataukah dia sedang menangis dan merintih dalam hati, atau bahkan telah kehilangan akal warasnya.

Mengapa kita takut pada ketakutan?
Mengira tak ada yang bisa diabadikan?
Tengah malam kita sering terbangun
Lalu berdiri di depan cermin.
Merapikan rambut yang kusut.
Membelai wajah yang membangkai.
Memugar mata yang nanar.


Atau pada larik lainnya dari sajak yang sama:

Lalu kau merapat ke kaca almari:
Mengganti baju, menyempurnakan kecantikan.
Matamu menyala serupa lilin.
Keningmu berkobar dibantai sinar
Apakah kau sedang berkemas ke kuburan?
Alamak, beri aku sedikit waktu
Nyawaku tertinggal di rumah sakit.


(Sajak “Perjalanan Pulang”)

***

Maka, mengapa gerangan tubuh manusia tiba-tiba menjadi hal yang demikian penting dalam puisi Indonesia, sebagaimana terlihat dalam sajak-sajak penyair ini? Apakah hal ini merupakan pilihan pribadi semata-mata atau merefleksikan juga perkembangan perhatian intelektual yang bergeser titik gravitasinya dalam dunia pemikiran kebudayaan sekarang?

Sekedar perbandingan, perhatian ilmu sosial terhadap tubuh manusia pun relatif terbelakang, khususnya dalam sosiologi, ekonomi dan ilmu politik. Antropologi masih memberikan cukup perhatian kepada tubuh manusia sudah sejak kemunculannya yang definitif pada abad ke 19. Hal ini terjadi karena pada awal kemunculannya antropologi berada di bawah tekanan kuat dari kolonialisme dan dibebani tugas mencari unsur-unsur yang sama dalam semua kebudayaan untuk mengurangi relativisme sosial. Istilah seperti human universals (misalnya pada Lewis Henry Morgan) yang kemudian sedikit dipersempit menjadi cultural universals kemudian menemukan tubuh manusia dan asal-usulnya sebagai suatu common denominator bagi berbagai kelompok sosial dan kelompok budaya. Seterusnya aliran evolusionisme dalam bentuk Darwinisme sosial tentu saja semakin memperkuat posisi ini, dengan dua tese utama. Yaitu, bahwa manusia tidaklah mempunyai kedudukan yang mengatasi alam, tetapi hanya menjadi bahagian alam. Kedua, perubahan sosial terjadi melalui seleksi alamiah dalam bentuk survival of the fittest, di mana yang akan bertahan adalah jenis yang paling unggul sedangkan yang lebih lemah akan punah dengan sendirinya.

Sosiologi klasik tidak mulai dengan mencari persamaan-persamaan yang ada dalam berbagai kelompok sosial dan kelompok budaya dari berbagai zaman yang berbeda, tetapi justru dengan persamaan-persamaan yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat yang telah dimasuki oleh industrialisasi dan dikendalikan oleh perkembangan rasionalitas. Sudah jelas rasionalitas dalam pengertian Weber misalnya sangat banyak diilhami oleh pengertian ilmu ekonomi dan ilmu hukum, dan sama sekali berada di luar jalur biologi yang berhubungan dengan tubuh manusia. Konsep tubuh ini baru memasuki sosiologi melalui Durkheim yang menerjemahkan tubuh bukan sebagai bahagian dari diri pribadi seseorang, tetapi tubuh sebagai suatu sistem organis, yaitu sistem input dan output energi. Perubahan sosial diterangkan dengan membandingkan keseimbangan yang ada dalam suatu sistem organis dan keseimbangan yang terdapat dalam suatu sistem sosial. Paralelisme ini kemudian dikenal sebagai fungsionalisme dalam sosiologi.

Sekali pun demikian perhatian yang lebih terfokus dan sekaligus lebih luas barulah muncul dalam ilmu sosial bersamaan dengan bangkitnya perhatian intelektual terhadap filsafat Friedrich Nietzsche, yang pada masanya melancarkan serangan gencar baik terhadap kebudayaan kelas menengah Jerman mau pun terhadap kalangan gereja. Apa yang dinamakannya pembalikan nilai-nilai (Umwertung aller Werte) diterapkan pertama-tama dalam serangan yang dilancarkannya. Pertama, ditunjukkannya bahwa pengalaman estetik, dalam sejarahnya, lebih dekat hubungannya dengan ekstasi seksual, kegairahan religius, atau pun extravaganza dalam tarian-tarian primitif, daripada dengan kontemplasi perorangan yang tenang, tanpa pamrih dan rasional. Kedua, diserangnya penghayatan Hellenisme kelas menengah Jerman yang percaya pada waktu itu bahwa ketenangan dan kestabilan adalah sifat-sifat terpenting yang diutamakan dalam dunia antik. Dia membuktikan bahwa nilai-nilai Yunani antik yang lebih utama adalah kualitas-kualitas Dionisian yang penuh kemabukan dan daya-rangsang, dan bukannya spekulasi rasional. Dua pranata utama dalam masyarakat Yunani antik adalah pertandingan olahraga untuk menunjukkan keunggulan badan, dan pertandingan retorik untuk menunjukkan keunggulan politik. Kedua hal ini jelas berhubungan dengan kekerasan antar-pribadi.

Dalam kaitan itu kritik Nietzsche menghantam pertama-tama rasionalitas Sokratik yang telah mengaburkan emosi dan perasaan sebagai unsur yang menentukan persepsi manusia dalam melihat alam dan melihat soal. Dalam arti itu segala filsafat yang menolak dunia (weltverneinende Philosophie) harus ditinggalkan dan digantikan dengan filsafat yang menerima, membenarkan dan mengafirmasikan dunia kita (weltbejahende Philosophie). Sikap yang menolak dunia telah menyebabkan bahwa yang bertahan hidup bukanlah yang paling unggul, sebagaimana diajarkakan oleh Darwinisme sosial, tetapi justru yang paling lemah (survival of the weakest), karena mereka harus membayar ongkos sosial yang terlalu tinggi untuk mengontrol dan mengekang energi-energi instingtualnya.

Pemikiran ini kemudian semakin disambut oleh para pemikir dari aliran kritis seperti Herbert Marcuse dengan tese bahwa perkembangan kapitalisme sangat ditunjang oleh represi seksual, karena represi ini menjadi sarana yang amat efektif bagi kontrol sosial. Kapitalisme dapat mengatur masyarakat melalui pengaturan kehidupan seksual. Dengan tema-tema seperti ini ditunjukkan bahwa badan yang demikian diabaikan dalam teori-teori sosial, justru memainkan peranan besar sebagai metafor yang mengilhami langsung berbagai kekuatan dan perubahan sosial. Untuk konteks sekarang, bangkitnya feminisme menunjukkan dengan sangat tegas, bahwa diferensisiasi sosial pada dasarnya harus diterangkan sebagai diferensiasi gender, yaitu seluruh konstruksi sosial yang dibangun di atas perbedaan konstitusi tubuh lelaki dan perempuan.(6)

Kalau badan secara teologis tetap dianggap sebagai sumber dosa, secara filosofis dianggap sebagai bahagian diri manusia yang menyambung manusia kepada alam tetapi bukan kepada kebudayaan, secara antropologis hanya menjadi unsur yang mempersamakan semua kebudayaan dan bukan unsur yang membedakannya, maka badan hanyalah suatu lapisan yang dipendam dalam renungan filosofis dan renungan puitis, sekali pun kita tahu dia menjadi tenaga vulkanik yang dapat menimbulkan gempa setiap saat dalam hidup perorangan dan kehidupan sosial. Dalam arti itu, kumpulan sajak ini dapat dipandang sebagai suatu seismograf kebudayaan karena dia menyingkapkan dan mengingatkan kembali pentingnya badan dalam hidup, dalam kebudayaan, dan dalam puisi Indonesia. Membaca kiasan badan dengan benar, memahami bahasa badan dengan lebih sensitif, adalah sebuah jalan aman untuk memahami banyak perkara penting dalam kebudayaan dan masyarakat, juga di Indonesia.

Brussel – Utrecht-Hamburg,
April 2001

Dimuat dalam buku puisi Di Bawah Kibaran Sarung karya Joko Pinurbo (Penerbit Indonesiatera, Magelang, 2001). Dimuat juga dalam buku Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (Freedom Institut & Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2004)

Catatan:
(1) Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, Jakarta, Gramedia, 1994, hal. 25.
(2) Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi, Jakarta, Dian Rakyat, 1991, hal. 1
(3) Istilah yang digunakan oleh ahli ilmu perbandingan agama ini adalah mysterium tremendum et fascinans. Lih. Rudolf Otto, Das Heilige: Ueber das Irrationale in der Idee des Goetlichen und sein Verhaeltnis zum Rationalen, Muenchen, Verlag C.H. Beck, 1991, hal. 13, 42.
(4) Eka Budianta, Masih Bersama Langit, Magelang, IndonesiaTera, 2000, hal.5
(5) Rendra, Blues Untuk Bonnie, Jakarta, Pustaka Jaya, 1993, hal. 20.
(6) Untuk uraian pada bahagian ini penulis mengikuti analisa Bryan S. Turner, “Recent Developments in the Theory of the Body”, dalam Mike Featherstone et al. (eds.), The Body: Social Process and Cultural Theory, London, Sage Publications, 1991, hal. 1 – 35.