Alif, alif, alif!/ Alifmu pedang di tanganku/Susuk di dagingku, kompas di hatiku/ Alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut/ Hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan/Terang/Hingga aku/ Berkesiur/ Pada/ Angin kecil/ Takdir-Mu
Fragmen puisi berjudul ”Dzikir” itu didaras dengan penuh penghayatan oleh penulisnya sendiri, D Zawawi Imron. Meski sudah berusia 65 tahun, suara penyair asal Madura itu tetap memendarkan energi.
Saat ia melafalkan kata-kata puisi itu secara susul-menyusul terdengar mirip sebuah mantra atau zikir yang berulang-ulang. Suaranya yang keras dan agak serak memenuhi ruang teater.
Sebagian penonton mungkin sudah akrab dengan puisi yang terkenal pada tahun 1980-an itu. Namun, tetap pendarasan itu menggedor kita untuk merenung soal kefanaan nasib dan hidup manusia serta hubungan kita dengan Tuhan. Penyebutan benda-benda sebagai manifestasi Tuhan mungkin mengajak kita memikirkan kemungkinan semangat penyatuan Tuhan dan semesta sebagaimana diyakini dalam filsafat emanasi.
Penyebutan kata yang berulang mengingatkan kita pada doa, mantra, atau zikir yang dilantunkan dengan cara ritmis setelah shalat. ”Puisi ini hasil penghayatan saya akan Tuhan dan kehidupan. Ini pergulatan saya sejak lama yang kemudian muncul tanpa direka-reka dalam bentuk puisi,” kata Zawawi seusai membaca puisi.
Pentas itu menjadi bagian dari pertunjukan ”Mendaras Puisi: Pembacaan Puisi di Bulan Puasa” di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (19/8) malam lalu. Hadir juga membacakan puisinya, penyair Acep Zamzam Noor, Joko Pinurbo, dan Remy Sylado. Dalam catatan panitia, para penyair ini dianggap berkarya dengan ilham dari iman atau agama.
Memang, keimanan atau agama yang diyakini para penyair itu memperkaya bahasa ungkap para penyair. Tak seperti Zawawi menyerap semangat penghayatan ketuhanan untuk menciptakan puisi zikir, Acep Zamzam Noor merefleksikan pengalaman keagamaan dalam diksi penuh metafor. Puisi-puisinya banyak mengolah kesan tentang alam semesta yang dengan bahasa romantis.
Simak saja karyanya yang berjudul ”Trasimeno”: Kulihat bukit-bukit bersujud/Pohon-pohon merunduk, daun-daun basah/ Lampu-lampu meredupkan cahaya/Angin dan kabut bergulung di angkasa/Senja membelitkan kerudung kuningnya/Semuanya bersujud kepadamu. Sebuah danau/Hamparan sajadah bagi semesta/ Adalah ketenangan yang sempurna.
”Agama tak saya ungkapkan sebagai slogan yang permukaan, melainkan sebagai kesadaran batin yang penuh perenungan,” kata Acep yang lahir dan besar dalam lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.
Keseharian
Bagi Joko Pinurbo, agama juga memang tak perlu dipanggungkan dalam puisi penuh jargon mentah. Dia memilih untuk mengolah religiusitasnya dalam agama Katolik dengan berangkat dari cerita sehari-hari, seperti tukang bakso, tukang ojek, tukang becak, lantas mengajak orang berempati kepada orang lain. Dari empati ini, lantas dia menyentuh nilai kemanusiaan yang lebih mendalam.
Dia kerap mengulik narasi yang lebih manusiawi sehingga mudah menyentuh publik umum. Cerita Yesus, misalnya, dimainkan secara lebih lumer dengan mengeksplorasi sisi manusiawinya. Kadang, dia membenturkannya dengan suasana ironis yang nakal.
Salah satu puisinya cukup terkenal karena pendekatan ini, yaitu yang berjudul ”Celana Ibu” (tahun 2004).
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya/mati di kayu salib tanpa celana/dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah.Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit/dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang/ ke kubur anaknya itu, membawakan celana/ yang dijahitnya sendiri dan meminta/Yesus untuk mencobanya.”Paskah?” tanya Maria./ ”Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,/Yesus naik ke surga.
Menurut Ayu Utami, kurator sastra di Salihara yang malam itu sekaligus menjadi pembawa acara, karya-karya penyair itu memperlihatkan, sastra dan iman atau agama bisa berkelindan tanpa satu menaklukkan yang lain. Agama memberi artikulasi bagi sastrawan saat melihat peristiwa. Hubungan itu berlangsung secara leluasa dan saling memberikan inspirasi dan nilai-nilai, tanpa jatuh menjadi dakwah yang verbal.
Agama atau iman sudah lama mengendap dalam diri penyair, lantas mereka membuat karya. ”Mereka kemudian bisa bermain tanpa rasa kikuk, bebas, dan santai menggambarkan apa yang ada dalam dirinya. Ini selaras dengan semangat seni yang membebaskan dan membuka berbagai kemungkinan,” kata Ayu
Ilham Khoiri | Kompas | Minggu, 22 Agustus 2010