Para pembaca puisi yang intens memperhatikan sebuah puisi pasti menemukan sebuah identitas makna di dalam puisi tersebut, terlepas dari bagaimana impresi awal yang dilahirkan sebuah puisi. Dalam Criticism of Poetry Burton menjabarkan bagaimana impresi terbentuk di dalam pemikiran sebuah pembaca ketika menikmati sebuah puisi. Impresi ini bukan hanya terbentuk dari bagaimana puisi disajikan namun juga bagaimana seperti yang disebutkan Hume tentang prefrensi individual dan pengaruh lingkungan.
Pembentukan impresi inilah yang kemudian menciptakan sebuah persona individu terhadap puisi juga menciptakan persona puisi pada individu. Dalam pembahasan mengenai kritik terhadap puisi Burton juga mengungkapkan bahwa impresi timbul dari bagaimana bias makna yang diciptakan sebuah puisi, yang akhirnya bias dan impresi ini akan menimbulkan sebuah penilaian (judgment) pada sebuah puisi.
Impresi, bias, serta penilaian inilah yang disebut Burton adalah langkah awal sebuah kritik terhadap puisi terlontar, akan tetapi bentuk kritik ini tidaklah terlalu kuat untuk dipertanggung jawabkan, karena hal ini adalah hal mendasar yang dialami pembaca ketika melakukan pembacaan dasar, dan dalam dunia akademik hal ini belum bisa disebut sebagai bentuk kritik yang memadai.
Akan tetapi kesalahan-kesalahan yang terjadi di dunia akademik di ruang lingkup sastra (puisi) khususnya di Indonesia, bentuk kritik Impresi—analogi inilah yang terjadi, yang kemudian dihubung-hubungkan dengan tinjauan-tinjauan teori yang serius mengenai kesastraan. Hal ini memang tidak berterima dimana bias makna pada puisi yang didapat dalam kritik seperti ini tidak memiliki keterkaiatan dengan objektifitas karya. Untuk itulah dalam kritik puisi terdapat beberapa teori yang dinilai objektif dalam ‘melihat’ puisi, diluar bagaimana bentuk impresi dan bias itu berada.
Dalam hal ini semiotik beridiri sebagai bentuk teori yang melihat puisi sebagai bentuk komunikasi, yang mengedepankan tanda sebagai pencapaian-pencapaian estetikannya. Tanda dalam puisi sendiri biasanya berupa bunyi dan bunyi bahasa yang memiliki hubungan makna yang arbitrer, disini maksudnya tanda bunyi/ bunyi bahasa bisa dan tidak memiliki keterkaiatan dengan makna yang konvensional.
Makna sendiri adalah hal yang sangat luas untuk dikaji, dalam hal ini makna bisa dikaitkan dengan tanda apabila makna itu menempati tempatnya sendiri, maksudnya disini adalah bagaimana makna adalah identitas dari tanda, sedangkan identitas sendiri adalah hal yang anti-esesialis, dimana dijelaskan oleh Barker bahwa identitas adalah hasil dari “discursive constructions which change their meanings according to time, place and usage” (Barker 2000: 166). Ini berarti tanda harus dihubungkan dengan konteks dan konsep agar memiliki pemaknaan yang sesuai.
Mengacu pada hal tersebut sebuah puisi lewat tatanan estetikanya pasti memiliki sebuah persona yang mengacu dan terpusat pada pemaknaan tertentu. Hubungan-hubungan inilah yang kelak akan menjadi pemaknaan objektif dari karya, terlepas dari unsur impresi dan bias makna yang terdapat dalam karya sastra (puisi).
Puisi-puisi dalam Pacar Senja
Pacar Senja adalah tajuk pada buku kumpulan puisi karya Joko Pinurbo yang di keluarkan pada tahun 2005, di dalamnya terdapat 100 puisi yang terbagi dalam 7 bagian yang terpisah akan tetapi memiliki satu kesatuan yang saling berkaitan. Adapun dari 100 puisi di dalam buku tersebut, saya akan mengambil 3 buah puisi yang saya rasa cukup representatif untuk menunjukan sebuah hubungan persona yang terdapat dalam puisi yang berbeda. Ketiga puisi itu antara lain:
RANJANG IBU
Ia gemetaran naik ke ranjang,
sebab menginjak ranjang serasa menginjak
rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.
Dan bila sesekali ranjang berderak atau berderit,
serasa terdengar gemeretak tulang
ibunya yang sedang terbaring sakit.
(2004)
DI KULKAS: NAMAMU
Di kulkas masih ada
gumpalan-gumpalan batukmu
mengendap pada kaleng-kaleng susu.
Di kulkas masih ada
enggahan-enggahan nafasmu
meresap pada anggur-anggur beku.
Di kulkas masih ada
sisa-sisa sakitmu
membekas pada daging-daging layu.
Di kulkas masih ada
bisikan-bisikan rahasiamu
tersimpan dalam botol-botol waktu.
(1991)
MAMPIR
Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani menengoknya.
(2002)
Tanda dan Representasi Persona
Dalam melihat puisi secara semiotik menurut Riffaterre kita harus melihat tiga hal yang berhubungan dengan konvensionalitas, hal ini bermaksud untuk menjauhkan makna dari tanda tersebut menjadi bias, seperti yang telah dijelaskan oleh Burton sebelumnya. Ketiga konvensi itu antara lain: Konvensi Bahasa, Konvensi Budaya, dan Konvensi Sastra.
Tentu saja untuk melihat bagaimana konvensi tersebut berdiri, kita tidak membiarkan puisi itu berdiri pada masanya dan pada tempat dimana dia tercipta karena hal tersebut akan membawa kita pada kajian ekspresif yang sempit. Akan tetapi melihat bagaimana puisi itu mereoresentasikan dirinya sendiri terhadap konteks dimana ia dimaknai dan membawa tanda tersebut ke pemaknaan pembaca (reseptor)—bukan penulis.
Melihat konvensi berarti melihat bagaimana puisi merepresentasikan dirinya sesuai dengan konteks wacananya sehingga tanda bisa diterjemahkan dengan jelas dan tidak memiliki bias terhadap makna lain yang bisa dihubungkan dengan tanda tersebut.
Dalam puisi pertama yaitu Ranjang Ibu kesesuian kontesk konvensi bahasa mengacu pada pemaknaan ‘ranjang’ sebagai tempat tidur, sedangkan dalam konvensi budaya ‘ranjang’ sendiri dapat dikonotasikan sebagai tempat melakukan hubungan seksual. Bentuk konvensi budaya ini tentu saja mengacu pada konvensi sastra yang menghubungkan keseluruhan isi puisi terhadap konvensi budaya, yang tercermin pada isi puisi:
Ia gemetaran naik ke ranjang,
sebab menginjak ranjang serasa menginjak
rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.
Dan bila sesekali ranjang berderak atau berderikt,
serasa terdengar gemeretak tulang
ibunya yang sedang terbaring sakit.
Secara langsung apa yang ditawarkan konvensi sastra terhadap irama hubungan seksual bisa dilihat langsung bagaimana representasi ‘Ibu’ sebagai perempuan. Pun perempuan yang dijadikan objek hubungan seksual itu tidak dihadirkan dalam narasi puisi akan tetapi dalam penyajiannya terdapat perempuan yang tidak tampak hadir di percintaan. Hal ini timbul dari bagaimana representasi ‘ibu’ adalah perempuan dan secara budaya bagaimana ‘ranjang’ adalah tempat percintaan.
Konvensi ini bukanlah sebuah konvensi yang berdiri sendiri melainkan konvensi yang melihat bagaimana bentuk wacana di bangun. Pada puisi Ranjang Ibu ini terdapat wacana yang menerangkan bagaimana menaiki ranjang seperti menaiki ibunya sendiri, dan bila dilihat dari bentuk ungkapnya makna ‘naik ke ranjang’ ini bukanlah tidur, melainkan melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan.
Wacana yang dibangun disini mengungkap bagaimana konvensi sastra menerjemahkan ‘ranjang’ menjadi seperti simbol yang menandakan percintaan, dan ‘ibu’ adalah bentuk personifikasi bagi perempuan yang sedang diajak bercinta diatas ranjang. Bentuk persamaan ini mengambil dari konvensi bahasa yang menurut Riffaterre adalah medio bagi pengungkapan-pengungkapan imajiner, dimana makna yang terhubung di dunia nyata memiliki keterkaitan yang arbitrer terhadap makna yang dipakai di dalam puisi.
Penggunaan kata ‘Ranjang’ yang memihak makna percintaan bukanlah sebuah konsep bahasa yang egaliter, namun istilah ranjang memang memiliki konotasi dan bias makna yang luas, lain halnya dengan kata ‘temoat tidur’ yang dari pembentukan semantisnya memiliki keterkaitan makna dengan tempat untuk istirahat, sedangkan ‘ranjang’ memiliki keluasan interpreatsinya sendiri.
Konvensi bahasa inilah yang akhirnya menjurus dan merumuskan ibu menjadi semacam titik balik bagi penghukuman atas percintaan dia-lirik dalam puisi, disini perempuan yang diajak bercinta seolah mencerminkan ibu yang dia-lirik kenal. Maksud dari bentuk pencitraan ibu=perempuan disini seolah ingin menunjukan bagaimana perempuan berperan dalam hidup dia lirik, dan setiap bunyi yang dihasilkan ranjang (percintaan) adalah bentuk penyiksaan terhadap ibunya.
Kelahiran makna tersebut mencitrakan moralitas yang ingin disampaikan puisi tentang bagaimana perempuan dihargai. Dari sini seolah puisi ingin menohok pikiran-pikiran patriarkis dengan unsur motherism yang dimiliki oleh teori-teori feminism. Pikiran-pikiran patriarkis yang ditunjukan dengan frase ‘naik ke ranjang’ seolah menjadi simbol bagi ke’gagah’an laki-laki sebagai jender primer dan perempuan sebagai jender sekunder.
Hukuman-hukuman moral yang disajikan lewat konvensi sastra disini adalah bagaimana bunyi derit dan derak kemudian menjadi semacam counter-point bagi unsur-unsur patriarkis ‘naik ke ranjang’ seolah melahirkan ungkap makna yang membicarakan tanggung jawab laki-laki sebagai jender superior diatas perempuan.
Dari ketiga penerjemahan konvensi Semiotic of Peotry Riffaterre ini persona yang diungkapkan dengan jelas adalah bagaimana ‘ranjang’ menjadi satu simbol bagi keberlangsungan hidup pra sampai post. Dimana awal dan mula berlaku diatas ranjang, pembuatan dan penghabisan, disinilah identitas ‘ranjang’ seolah menimbulkan ruang penerjemahan bagi keluarga dan tempat bernaungnya.
Pada puisi ke2 yaitu Di Kulkas: Namamu simbol yang ditunjukan adalah kulkas/ refrigerator atau biasa disebut dengan lemari es. Simbol kulkas ini menjadi semacam tools untuk menunjukan modernitas, dalam konvensi bahasa sendiri kulkas memiliki keterkaitan dengan alat rumah tangga, dan dalam konvensi budaya kulkas bukanlah alat rumah tangga primer, melainkan hanya pelengkap saja, lain halnya dengan kompor.
Dalam konvensi budaya ini simbol kulkas menandakan kejayaan finansial masyarakat menengah keatas, dilihat dari tahun munculnya puisi potret masa saat itu menyimbolkan bahwa kulkas adalah barang mewah.
Isi puisinya sendiripun berusaha mengungkapkan kesehatan lewat personifikasi makanan-makanan yang tersimpan di dalam kulkas. Kata ‘batuk’ yang dihubungkan dengan kata ‘kaleng susu’, lalu ‘enggahan nafas’ yang dihubungkan dengan ‘anggur-anggur beku’, kata ‘sakit’ yang dihubungkan dengan ‘daging-daging layu’ dan sebuah konklusi yang lahir di kata ‘rahasia’ yang dihubungkan dengan ‘botol-botol waktu’ seolah menjadi penerangan terhadap modernitas itu sendiri.
Bentuk hubungan antara sakit dan bahan makanan, tampaknya menjadi bias yang harus diteliti lebih jauh. Dimana disini keadaan makanan menandakan ketidaksehatan itu sendiri, kaleng susu, anggur beku, dan daging yang layu—seperti mengungkap bagaimana bahan makanan itu tersimpan lama yang kemudian menjadi penyebab ‘sakit’itu sendiri.
Fenomena simbol yang bisa diungkap lewat konvensi budaya adalah bagaimana hal-hal tersebut menjadi semacam tanda bagi sakit yang datang. Kaleng susu sendiri menandakan bagaimana keadaan kulkas tersebut yang hanya menyimpan kaleng, namun bukan susunya, kemudian ‘batuk’ itu sendiri menjadi semacam fenomena budaya yang mengungkap bagaimana ritme kesehatan berlangsung dan berkahir juga enggahan nafas dan sakit yang kemudian muncul.
Lewat konvensi budaya ini, jelas tersirat bagaimana kaum medioker saat itu menjadikan kulkas semacam gudang penyimpanan yang mengawetkan sesuatu, bahkan sakit itu sendiri. Dimana pada masa itu (1991) lemari es jarang ditemui di kalangan bawah dan masih menjadi barang yang menunjukan kelasnya.
Dari fenomena ini konvensi sastra bisa mengungkap bagaimana tanda ‘botol waktu’ menyelaraskan maknanya menjadi masa hidup seseorang. Disini kulkas adalah bentuk lain dari dunia yang diawetkan, kata lainnya: ingatan. Ingatan yang sudah berada pada akhirnya yang kemudian membuka diri untuk melihat masa lalu.
Persona kulkas sendiri kemudian melahirkan independensi terhadapa penerjemahan makna yang arbitrer terhadap bangunan kelas. Mediokrisi kelas kini dileburkan di dalam ingatan dan makna-makna yang sudah disampaikan sebelumnya kini lahir kembali menjadi sebuah representasi baru bagi alat rumah tangga; Kulkas.
Pada puisi ketiga dan terakhir yaitu Mampir tanda yang disampaikan lewat konvensi bahasa adalah bagaimana tubuh dijadikan menjadi bagian-bagian rumah. Dari sini dapat diterjemahkan kembali bagaimana tubuh adalah tempat bernaung bagi kehidupan itu sendiri, dan walaupun tubuh juga memiliki makna yang arbitrer terhadap tanda itu sendiri.
Akan tetapi dalam konvensi bahasa di dalam puisi ini tanda-tanda dihadirkan lewat kesatuan dalam puisi:
Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani menengoknya.
Di dalam kesatuannya sendiri bentuk-bentuk bagian rumah yang dihadirkan menandakan anatomi pada tubuh manusia sendiri, kehadiran kata ‘pintu’ yang seolah memiliki makna sama dengan makna sebenarnya sebenarnya adalah bentuk metafora bagi pintu seolah menjadi gerbang memasuki tubuh.
Dalam konvensi budaya tubuh diartikan sebagai alat untuk menjalani hidup, yang pejal dan bisa dirasakan. Begitu pula dengan diksi-diksi yang kemudian digunakan untuk menghubungkan antara diksi yang menandakan ‘rumah’ seperti pintu dan jendela, serta diksi yang mengarah ke tubuh seperti ‘luka’ dan ‘lambung’. Dari sini kita dapat menerjemahkan apa yang dihadirkan oleh konvensi budaya ke dalam konvensi sastra yaitu bagaimana tubuh yang ‘luka’ kemudian menjadi jendela.
Makna yang kemudian dapat diungkap lewat konvensi sastra adalah bagaimana sebuah tubuh dijadikan tempat peristrahatan. Maksudnya adalah aku-lirik disini adalah seorang yang ingin datang dan menikmati tubuh orang lain dalam percintaan/ hubungan seksual. Akan tetapi “luka di Lambung” yang mengarah pada bekas kehamilan yang belum sembuh (40hari) menjadi tanda bahwa si Aku-lirik tidak bisa ‘memakai tubuh tersebut.
Secara sederhana puisi ini ingin menyampaikan bagaimana keadaan perempuan pasca melahirkan dan kembali mengangkat isu motherism didalam kontek hubungan laki-laki dan perempuan. Persona tubuh sebagai rumah adalah bentuk penauangan bagi bayi yang hendak lahir dan bagi laki-laki yang hendak ‘mampir’.
Rumah; Sebuah Persona
Dari ketiga puisi tadi masing-masing memiliki dan menghadirkan tanda yang menghubungkan dirinya dengan rumah sebagai satu pertalian. Dalam puisi pertama yaitu Ranjang Ibu persona rumah diterjemahkan lewat ranjang (kamar tidur), dalam puisi kedua Di Kulkas: Namamu menghadirkan persona rumah lewat Kulkas (dapur) dan di puisi terakhir Mampir persona rumah dihadirkan lewat tubuh (penghuni), Pintu, dan jendela (Bagian penghubung).
Persona rumah ini seolah menghadirkan makan mengenai kedatangan dan kepergian yang selalu berakhir pada satu titik: rumah. Rumah sendiri kemudian diterjemahkan lewat 3 puisi sebagai alat untuk mengungkap diorama hidup, dan kehidupan yang berjalan dan dijalani dari narasi-narasi yang tersaji dalam puisi tersebut. (foltrus666)
Sumber: http://31oktober.wordpress.com/2011/12/28/rumah-sebuah-persona-dalam-3-puisi-joko-pinurbo/
Rumah: Sebuah Persona dalam Tiga Puisi
Joko Pinurbo
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo