Meditasi Joko Pinurbo

oleh TS Pinang

000
TELAH begitu banyak tulisan-tulisan ulasan maupun komentar atas sajak-sajak penyair Joko Pinurbo (Jokpin) yang ditulis oleh para pakar entah itu pengamat sastra, “kritikus”, filsuf, redaktur hingga para mahasiswa sastra Indonesia. Saya kira akan menjadi sebuah upaya yang sia-sia apabila saya memaksakan diri menulis tulisan semacam itu, selain karena alasan di atas juga karena kapasitas saya jelas jauh dari kualifikasi penulis ulasan karya sastra.
Karena itu saya akan mencoba menceritakan kesan-kesan pribadi saya atas diri penyair Jokpin yang saya raba melalui beberapa sajak beliau. Tentu ini menjadi jauh dari kualitas akademik—sebab kritik sastra adalah sebuah karya akademik yang harus mengikuti kaidah-kaidah penulisan ilmiah; saya akan bercerita saja, ngalor-ngidul, mungkin tidak sistematis dan anda boleh berhenti kapan saja dan membuang tulisan ini.

001
Penyair pemula berkhayal, penyair paripurna bermeditasi.
Bukan citraan-citraan yang “dahsyat” dengan pilihan kata-kata yang “tinggi” yang dibutuhkan untuk menulis sajak yang kuat. Bukan pula metafora yang remang-absurd atau kalimat-kalimat sulit yang hanya menunjukkan khayalan yang ngambra-ambra yang nggladrah luput dari fokus. Saya kira semua penyair mengalami fasa ini dalam perjalanan kepenyairannya terutama di awal-awal pergaulannya dengan puisi. Puisi tak lebih sebagai alam khayal di langit tinggi.

Meditasi mereduksi pikiran-pikiran yang tak terkendali dengan cara membiarkannya pergi sendiri melalui relaksasi, bukan meringkusnya secara paksa. Fokus didapatkan dengan membiarkan pikiran paling sederhana yang tersisa untuk direnungkan lebih dalam, diolah dengan rasa, sedangkan logika dipanggil seperlunya saja. Dari proses semacam inilah saya duga sajak-sajak Jokpin dilahirkan. Bukan proses yang mudah, dan jelas memakan banyak waktu dan tenaga (perlu dikonfirmasikan ke Jokpin sendiri berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis sebuah sajak sampai siap dipublikasikan, bandingkan dengan penyair pemula yang bisa menghasilkan berkodi puisi dalam sehari). Kegelisahan, keresahan, kecemasan ditransformasikan menjadi humor—kadang satir, ironis—yang ringan, bermain-main, namun mengandung kadar kebijaksanaan. Humor yang kontemplatif, yang membawa kita pembaca kepada refleksi atas kehidupan kita sendiri.

Dan Jokpin memang seorang meditator yang berpengalaman, mengingat beliau pernah sekolah di pesantren Katolik Mertoyudan yang saya yakin tentu akrab dengan meditasi; selain, tentu saja, ditempa oleh pengalaman beliau bergelut-paut dengan puisi yang saya yakin akan otomatis membuka cakra-cakra energi yang bisa membuat seseorang menjadi paranormal (atau paranoid). Puisi, karenanya, bukan sekadar urusan jurus bahasa dan diksi saja. Puisi adalah sebuah praktik mistik, dan kebenaran (baca: keindahan) ada dalam kesederhanaan (perhatikan diksi dan metafora dalam sajak-sajak Jokpin).

002
Di sebuah kesempatan, Jokpin pernah bercerita bahwa beliau melakukan studi serius terhadap penyair-penyair terdahulu dari Amir Hamzah, Chairil Anwar, SDD hingga SCB untuk menghayati ciri dan kekuatan mereka dalam rangka membebaskan diri dari pengaruh historis para penyair pendahulu itu dan menemukan ciri dan gaya pribadi, jurus pribadi. Niteni, nirokke, nambahi, demikian resep Ki Hadjar Dewantara yang beliau kembangkaan dalam Taman Siswa. Konsep belajar (kreatif) yang sederhana, tidak ambisius namun tidak mudah juga.

Kebermain-mainan (playfulness) dan kecerdasjenakaan (wittiness) saya kira adalah kata kunci yang tak bisa dilepaskan dari gaya puisi Jokpin sementara ini. Tetapi “[k]alau penyair sudah telanjur dicap dengan gaya tertentu, sebenarnya dia sudah mati. Saya tak mau mati dan terjebak dengan stempel tertentu, itu mematikan kreativitas,” kata Jokpin. Artinya urusan beliau dengan puisi memang belum beres. Saya kira ini adalah semangat yang perlu diwarisi oleh penyair-penyair yang lebih muda. Terus berproses mencari celah-celah kemungkinan baru dalam mendayagunakan bahasa (Indonesia).

Jokpin sangat serius memilih jalan puisi, tetapi tetap santai dan tidak ngotot dalam menapaki jalan itu. Kelonggaran yang saya duga sengaja beliau sediakan sebagai ruang agar tidak terjebak dengan stempel dan agar tidak mati itu tadi. Ruang suaka agar kreativitas tidak punah, ruang untuk berkelit dari jebakan mannerism. Kesungguhan bertetap dalam jalan puisi dengan menjaga diri dan waspada terhadap kemelekatan yang berlebih. Bukankah ini adalah prinsip laku mistik?

003
Dunia puisi adalah dunia ambang, alam perbatasan. Dalam sajak-sajak Jokpin, batas-batas dikaburkan, batas ruang batas waktu. Kontemplasi atas tema-tema domestik sederhana, relasi anak – sosok ibu – sosok ayah yang diperam dalam meditasi dengan menisbikan batas-batas dimensi ruang dan waktu. Kenangan, kegelisahan, kesakitan atau rangsang emosional apapun diperam dan diperas esensinya. Lampau – kini – nanti menjadi tidak penting lagi. Sajak “Telepon Tengah Malam” dan “Ranjang Ibu” misalnya dengan sangat kuat mengabarkan hubungan mistis yang intens antara diri/aku dengan sosok ibu dan dengan rasa sakit. Dalam sakit, tubuh menjadi ruang interaksi supermesra antara aku dengan ibu. Hubungan mesra antara sosok aku yang sering tampil menempatkan diri dalam posisi kanak-kanak dengan sosok ibu yang menjadi ranjang tempat si aku kanak istirah tampak begitu dekat, nyaris kecanduan.

Relasi anak – ayah, di sisi lain lebih terasa maskulin. Kalau relasi anak – ibu kuat tampil sebagai hubungan cinta yang nyaris posesif, hubungan ayah – anak tampaknya tercatat sebagai hubungan mentor – murid dalam hal pengembangan life skills (“Kunang-kunang”), tetapi menjadi pesaing antarlelaki dalam urusan percintaan (“Dua Orang Peronda”).

Meski sekilas tampak sajak-sajak Jokpin penuh kejenakaan, saya tetap menduga sajak-sajak itu lebih sebagai rangkaian katarsis – relaksasi – meditasi. Menurut saya, sosok Jokpin sendiri di dunia nyata sangat jauh dari kesan jenaka. Beliau itu ekspresinya serius dan garing, jelas nggak cocok jadi pelawak stand-up comedy.

* Diskusi Puisi PKKH UGM #12, 29 Mei 2013

Tentang Penulis
TS Pinang, lahir di Desa Semirejo, Pati, Jawa Tengah, 1971. Menyelesaikan pendidikan Teknik Arsitektur (S1) dan Magister Perencanaan Kota dan Daerah (S2) di UGM dan Urban Management and Development (S2) di IHS – Erasmus Universiteit Rotterdam (Belanda). Menekuni sastra puisi sejak akhir 1990-an lewat komunitas internet. Beberapa puisinya pernah dimuat di Horison, Kompas, Koran Tempo, dan beberapa media massa nasional lainnya. Dua sajaknya termaktub dalam buku 60 Puisi Indonesia Terbaik (Gramedia – Anugerah Pena Kencana, 2009). Buku puisinya adalah Kunci (Omahsore, 2009) dan Suburbia (PDF, 2011 – dapat diunduh gratis di www.issuu.com/tspinang/docs/suburbia). Saat ini tinggal di Dusun Gemutri, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman DIY. Situs studio puisinya adalah www.titiknol.com. Email: tspinang@yahoo.com.