Anwar Holid
(Selisik-Republika, Minggu, 17 Juni 2007)
Nyaris semua kritik menyatakan salah satu puncak puisi Indonesia era 2000-an ada di pundak Joko Pinurbo (Jokpin). Bahkan blurb buku puisinya dengan bersemangat menyatakan: masa depan puisi Indonesia terletak pada tangannya.
Bukti pengakuan itu tentu sejumlah prestasi: memenangi Khatulistiwa Literary Award berkat Kekasihku (2004); buku-bukunya laris, padahal hampir semua penerbit pikir panjang bila hendak menerbitkan buku puisi saking trauma betapa sulit menjual buku puisi. Menurut seorang editor GPU, Kepada Cium, terjual 800 kopi dalam tiga minggu pertama masuk ke toko pada awal April 2007. Pencapaian itu sulit disamai penyair lain.
Kepada Cium, kumpulan puisi kedelapan dia, amat lain dari segi materi dibandingkan buku dia sebelumnya. Beda paling signifikan yaitu hilangnya tradisi tambahan esai terhadap puisi dalam edisi tersebut, termasuk tak ada endorsement sastrawan lain maupun pujian dari kritikus terkemuka. Ini bisa jadi semacam keyakinan makin besar bahwa Jokpin berani menyerahkan puisi kepada pembaca tanpa harus ditemani kritik maupun komentar yang biasanya cenderung dingin, serius, dan membatasi kebebasan pembaca yang ingin menikmati puisi seenak-enaknya.
Buku ini sangat tipis, hanya terdiri dari 33 puisi yang rata-rata relatif pendek. Kesan tipis ini disiasati dengan menambah sejumlah drawing karya Mirna Yulistianti, editor buku tersebut. Hasilnya, buku tampil tambah manis. Karena tipis, Kepada Cium bisa selesai dalam sekali baca, mungkin hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk menamatkannya.
Tapi, juga justru karena tipis, pembaca akan mudah sekali terpikat oleh puisi-puisi itu, dan mereka akan mengulang-ulang membaca. Jokpin tak menerangkan kenapa memutuskan hanya memuat 33 puisi, padahal dalam periode 2005-2006 dia produktif dan karyanya terus bermunculan di media massa. Barangkali dia ingin memastikan pilihan tersebut bakal menyihir publik, sesuai ucapannya, "Puisi yang baik adalah yang bisa menyihir."
Setelah bolak-balik membaca Kepada Cium, yang paling terasa ialah Jokpin mengurangi kadar main-main yang mencapai puncaknya dalam Telepon Genggam (2003). Dia mengembara, memain-mainkan imajinasi dan logika, namun semua disampaikan hati-hati, lebih tenang, dan bilapun lucu, efeknya hanya menimbulkan senyum simpul, atau nyengir getir saking sangat menyindir.
Di buku ini dia jelas berusaha mengekang hasrat mengembangkan puisi jadi flash fiction agar betul-betul tetap merupakan puisi asli. Dari sana kita bisa yakin atas komentar Dr Okke Kusuma Sumantri Zaimar bahwa keahlian Joko Pinurbo mengemukakan pisau bermata dua bukan bualan untuk meyakin-yakinkan publik maupun demi menyenang-nyenangkan penyair.
Tahun 2005-2006 merupakan periode perih bagi Indonesia; pada awal 2005 terjadi tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, kemudian menyusul berbagai bencana alam, banjir bandang, kebocoran lumpur panas Lapindo, termasuk gempa di Yogyakarta, yang sempat merusakkan rumah Jokpin dan meruntuhkan rumah dua adiknya. Dia pun menulis puisi tentang tsunami dan gempa, juga terpukul oleh kejadian fatal yang menimpa anak-anak karena kalah oleh kemiskinan. Wajar bila beberapa puisi bernuansa sedih, sekaligus religius dan peka sosial. Yang terbaik melampiaskan perasaannya terhadap keperihan, antara lain Kepada Uang, Harga Duit Turun Lagi, dan Sehabis Sembahyang.
Menilik subyek yang muncul, Jokpin justru banyak mengulang atau makin mengulik tema yang dulu dia perkenalkan dalam Telepon Genggam. Kepada Cium banyak menggunakan citra telepon genggam, kesulitan komunikasi, kondisi sosial, dan tentu saja terus mencari sisi baru citra lama yang membuat penyair ini legendaris: celana, celana dalam, kasih sayang, kenangan masa kecil, perihal tubuh dan benda-benda rumah. Sisanya macam-macam: menafakuri waktu, harapan, absurditas menghadapi kenyataan hidup, mengejek kepura-puraan, dan eksplorasi terhadap puisi dan bahasa itu sendiri.
Dengan begitu, Kepada Cium menghasilkan dua jenis puisi: yang langsung bisa dinikmati, bermakna jelas, menyinggung perasaan -- jenis mata pisau pertama, karena langsung mengarah, menusuk ego manusia yang profan, ragawi, senantiasa kurang puas dan sulit sekali bersyukur. Lainnya kabur, unik, mengedepankan naluri, menarik-narik pembaca ke batas samar antara makna tersirat dan harfiah -- jenis mata pisau kedua, yang mengarah lebih pada permainan tafsir dan berbagai kemungkinan.
Membahas 'pisau bermata dua', bisa diperdebatkan apakah itu suatu keunggulan atau justru merupakan tanda ambiguitas dan ciri kelemahan? Bila merujuk pada Saini KM dalam Puisi dan Beberapa Masalahnya, ambiguitas di antaranya disebabkan oleh kegagalan penyair dalam menemukan lambang yang tepat untuk pikiran dan perasaannya, atau penyair sendiri ragu-ragu serta belum memutuskan apa sebenarnya yang menjadi pokok renungannya, sikap dan perasaan apa yang dialami dalam hubungannya dengan pokok tersebut.
Puisi sangat pendek Jokpin sangat potensial menghadirkan ambiguitas, misalnya Ranjang Kecil, Magrib, Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita. Barangkali disebabkan ketersediaan ruang penafsiran dari teks itu pun sangat sempit. Pembaca awam pasti kesulitan menentukan maksud persis sang penyair sebenarnya apa. Ambiguitas sering sengaja disisakan penyair agar melahirkan polemik, macam-macam tafsir, bahkan mistifikasi.
Kepada Cium tampaknya merupakan kado tanda ulang tahun ke-44 Jokpin. Dalam bingkisan itu dia memasukkan banyak isi, dari yang universal, menyangkut perhatian semua insan hingga ke detil batin individu, yang intim, hanya bisa diresapi khusyuk sendirian.
(Anwar Holid, editor buku )