(Ruang Baca – Koran Tempo, Edisi 30 Oktober 2005)
Joko Pinurbo layak disebut penyair yang sabar. Tiga tahun berturut-turut ia menunggu hingga dewan juri memutuskan dialah yang layak menyandang gelar terbaik di Khatulistiwa Award tahun ini. Tidak heran Richard Oh, pendiri jaringan toko buku QB dan penggagas penghargaan ini, menyebut kemenangan Joko Pinurbo sebagai pencapaian tertinggi dalam karier kepenyairannya.
"Ini juga sekaligus pembebasan atas kungkungan selama tiga tahun ini," kata Richard. Pembebasan atau apa pun namanya, dewan juri menilai Kekasihku karya Pinurbo unggul dalam banyak kategori. Menurut koordinator juri Riris K Toha-Sarumpaet, Pinurbo dengan sangat intens menggarap karya yang beragam.
"Ia menjungkirbalikkan kaidah artistik puisi dengan justru mengembalikan bahasa puitik ke bahasa sehari-hari," kata Riris dalam pidato pengumumannya. Sajak-sajaknya juga kaya akan simbol, lembut, dan mengandung misteri kehidupan.
Selain itu, keunggulan Pinurbo juga terletak pada gaya ekspresinya, yang pada umumnya berupa kontradiksi: ironi dan paradoks dan gaya surealistis dan imajis. "Permainan citranya sarat kejutan," kata Riris. Pinurbo juga dinilai mampu menciptakan metafor yang unik dan menyegarkan.
Ia juga mahir menghidupkan bahasa sehingga menciptakan kekhasan pribadi. Kelebihan Pinurbo lainnya, ia piawai menjaga ketegaran sajak naratifnya agar tidak ikut arus aliran modern. "Ketika yang sederhana menjadi puisi, maka baik kata, tema, maupun keheningan yang dibawanya menjadi sangat tidak sederhana dan tidak biasa."
Dengan keunggulannya itu tidak heran Pinurbo mengandaskan karya unggulan lain dengan nama tidak kalah besarnya. Ada Gugusan Mata Ibu karya Raudal Tanjung Banua, Indonesiaku karya Hamid Jabbar, Kerygma dan Martyria karya Remy Sylado dan Matahari-matahari Kecil karya Iman Budhi Santosa.
Atas kemenangannya itu, Joko Pinurbo berhak meraih hadiah sebesar Rp 50 juta dan akses ke sejumlah festival penulis tingkat dunia. (angela)