Luapan Jiwa dengan Kata Kering

(Radar Lampung, 22 April 2007)

Oyos Saroso H.N.*)

MENIKMATI puisi para siswa SMA Negeri 1 Bandarsribawono dalam Sastra Milik Siswa (SMS) edisi kali ini, kita seperti berhadapan dengan untaian kata-kata yang dibuat indah atau diindah-indahkan. Gaya pengungkapan seperti cara seorang remaja yang sedang mengisi lembar demi lembar buku harian.

Kawan-kawan kita ini hanya menuliskan begitu saja luapan perasaan dan pikirannya. Kita tidak melihat ada upaya untuk menyeleksi kata yang perlu dan tidak perlu dan menyusun kata-kata itu menjadi sebuah bangunan puisi yang mengandung makna dalam dan enak untuk dinikmati.

Kalau mencipta puisi sekadar menuliskan perasaan yang membuncah dengan tipografi puisi, alangkah banyaknya penyair yang lahir tiap hari karena sedang jatuh cinta dengan cowok atau cewek atau terpesona dengan suatu hal.

Bila kita perhatikan dengan seksama, tak satu pun penulis yang puisinya dipajang di ruang ini memakai unsur-unsur pembentuk puisi, seperti imaji dan metafor. Luapan emosi dan pikiran diungkapkan dengan bahasa apa adanya. Alhasil, puisi-puisi itu pun menjadi luapan jiwa dengan kata-kata yang kering. ”Kata-kata yang tidak bernyawa atau kata-kata yang tidak berdarah, kata seorang kritikus sastra. Seandainya mereka memanfaatkan imaji dan metafor, puisi-puisi yang dilahirkan tentu terasa lebih hidup dan kuat.

Memang bahasa puisi tidak harus selalu penuh dengan imaji dan metafor. Ada beberapa penyair kuat Indonesia yang menulis puisi dengan bahasa sederhana, tetapi puisi-puisinya tetap kuat dan sarat makna. Salah satunya, Joko Pinurbo.

Penyair ini menjadi terkenal dan dipuji karena memakai bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Namun, untuk sampai ke sana, Pinurbo telah melakukan kerja keras dengan melakukan pencarian bentuk, penggalian tema, dan penaklukan kata. Dengan begitu, meskipun bahasanya sederhana, kata-kata yang dipakai tetaplah melalui seleksi, pertimbangan, penataan, dan penyusunan begitu rupa sehingga membentuk kesatuan.

Coba perhatikan puisi Joko Pinurbo berjudul ”Celana, 1” berikut ini:

Ia ingin membeli celana baru buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”

Sepintas puisi di atas sangat sederhana bahkan cenderung kekanak-kanakan. Namun, ia begitu padu. Setelah penikmat selesai membacanya, mungkin akan tersenyum simpul. Dia telah membuat rasa takjub pembaca oleh permainan kata-kata yang tanpa terduga itu.

Hal berbeda terdapat dalam puisi ”Pesona Jiwa” karya Chelistya Eryesma Anwar. Puisi Chelistya berbicara tentang jiwa. Si aku-lirik merasakan berada di dalam jiwanya, tempat sumber cahaya bermula. Pada baris-baris selanjutnya diungkapkan bahwa jiwa si aku-aku lirik adalah cahaya. Jadi, jiwa oleh penyair digambarkan serupa cahaya yang membuat tubuhnya menjadi indah, berjalan seperti menari, tersenyum seperti bunga, dan memandang seperti matahari.

Sampai di sini sebenarnya ada logika yang kacau. Pada bait pertama aku-lirik merasa di kedalaman jiwaku, tetapi baris-baris selanjutnya lebih menjelaskan bahwa aku sama dengan cahaya. Sepintas puisi Chelistya ini terasa ekspresif dan ”digali” dari kedalaman jiwa. Namun, keindahan ekspresifnya tidak terbangun dengan baik.

Kasus serupa juga terjadi dalam puisi Nunik Dyah Indraswari berjudul ”Misteri Ilahi”. Menurut saya, puisi ini juga gagal lantaran penulisnya terlalu terburu-buru merampungkan puisinya. Larik-larik puisinya tidak lebih dari ungkapan perasaan yang disusun dengan tipografi puisi. Kalau larik-larik itu dideretkan mendatar secara bersambung, tidak ada bedanya dengan catatan harian.

Semoga pembicaraan singkat ini bisa memacu para siswa dan penyair pemula untuk terus menulis puisi dan mengasah keterampilan dengan tekun sehingga potensinya makin berkembang.

*) penyair, esais, dan jurnalis, tinggal di Bandarlampung.