Apresiasi Sastra

(Radar Lampung, 06 Mei 2007)

Abdul Rozak Zaidan*)

1
APRESIASI sastra hakikatnya sikap menghargai sastra secara proporsional (pada tempatnya). Menghargai sastra artinya memberikan harga pada sastra sehingga sastra memiliki ”kapling” dalam hati kita, dalam batin kita. Dengan menyediakan ”kapling” dalam hati untuk sastra, kita secara spontan menyediakan waktu dan perhatian untuk membaca karya sastra. Lama kelamaan dari ”kapling” itu dapat bertumbuhan buah cipta sastra itu dalam berbagai bentuk dan wujudnya sebagai sikap apresiatif terhadap sastra.

Pada tataran pertama, wujud sikap apresiatif adalah gandrung dengan kata-kata ”nan indah” dalam arti yang luas. Kita menjadi peka akan nilai-nilai yang terkandung dalam teks sastra itu (yang memang bermutu; kalau teks sastra itu tidak bermutu, jelas tidak dapat dihargai). Kita seolah-olah mampu memberikan harga kepada teks sastra itu dalam arti kita memperoleh sesuatu yang berharga darinya. Setelah membaca teks sastra dengan penuh perhatian, kita dapat membayangkan kehidupan di luar kita yang sebelumnya tak terbayangkan. Kita cermati teks sajak sederhana berikut ini.

PEMANDANGAN DI DAPUR

Di dapur
Ikan-ikan tergeletak
Terpotong-potong
Daging sapi atau ayam
Tergelatak
Dan terpotong-potong

Dan di meja
Pisau tajam
Darah beku dari ikan
Dan daging yang terpotong-potong

Alangkah buas manusia

Kemudian periuk mendidih
Api mengepulkan asap
Kuali panas berkobar-kobar
Dan minyak goreng berbunyi

Kita masukkan telor
Berisi calon anak bebek dan ayam
Kita goreng jadi makanan

Anak-anak, bayangkan
Berapa ribu nyawa
Sebelum kita makan
Berapa ribu nyawa hewan
Kita cabut dari badannya
Tiap kali kita makan

Anak-anak, bayangkan
Kalau tiap hari kita bunuh mahluk Tuhan
Masihkan kita harus berperang
Bunuh-membunuh sesama kita?
Anak-anak, bayangkan!

(Abdul Hadi W.M.1983. Mereka Menunggu Ibunya. Jakarta: Balai Pustaka)


Teks sajak di atas mengingatkan kita akan perilaku ”kejam” kita terhadap binatang walaupun hal itu sebagai mengikuti sunatullah. Pikiran yang terungkap dalam sajak itu adalah pikiran yang semata-mata disemangati oleh kehendak mencintai sesama makhluk hidup. Cinta sesama manusia saja kini semakin berkurang, apalagi sesama mahluk hidup. Kenyataan hidup sehari-hari yang disajikan oleh televisi melalui tayangan Brutal, Tikam, misalnya, menunjukkan semakin menipisnya rasa cinta sesama manusia itu.

Kita disebut memiliki daya apresiasi dalam tataran yang lebih tinggi kalau kita menemukan ”harga” pikiran sang penyair dan menempatkan sajak itu pada kedudukan sebagai pengontrol dan pengendali laku batin kita sebagai manusia. Dengan begitu, teks sastra itu menjadi berharga bagi pengayaan batin kita dalam menghadapi kehidupan. Tentulah, sajak itu buah penghayatan penyair atas sebuah kenyataan dan buah penghayatan itu menyadarkan kita akan semakin berkurangnya perasaan cinta sesama dalam kehidupan batin kita sebagai manusia. Dapat dikatakan bahwa apresiasi itu dapat menumbuhkan penghargaan terhadap sesuatu yang bersahaja yang seperti sia-sia tetapi sarat makna. Dalam kata-kata Goenawan, kita baca potongan sajak tentang poci yang sayang judulnya terlupa, yang isinya mengungkapkan ihwal kebermaknaan sesuatu yang sederhana, keramik tanpa makna, dalam sebuah pertanyaan yang sedikit menggugat,” apa yang berharga dari tanah liat ini, selain ilusi, sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi”. Prof. Teeuw menyebutnya sebagai upaya memberikan harga kepada sesuatu yang sia-sia.

2
Apresiasi sastra mengakrabkan kita dengan kehidupan. Mengakrabkan kita dengan kehidupan berarti mendekatkan kita dengan berbagai realitas (kenyataan) yang terjadi dalam kehidupan. Akrab dengan realitas kehidupan itu sudah dengan sendirinya, sebab kita ada dalam kenyataan kehidupan itu. Yang sudah dengan sendirinya itu seringkali tidak disadari. Pernahkah kita membayangkan kehidupan ikan sebelum ikan itu dikalengkan sebagai makanan yang siap saji? Di sinilah persoalannya. Kita ada bersama realitas kehidupan itu, tetapi kita seringkali alpa menyadarinya. Kita cermati sajak berikut ini.

IKAN DALAM KALENG

Kita pergi ke toko
Kita beli ikan kaleng
Kita buka
Kita lihat isinya

Setumpuk ikan
Dengan saus tomat
Tak berdaya
Tak bisa lagi berenang
Atau mengejar cahaya

Tak bisa lagi bermain
Dengan gembira
Air dan kolam telah jauh
Nyawanya dicabut dari tubuh

Tapi kita berkata:
Ah, ini santapan gurih
Dan enak luar biasa

Tak dapatkah
Kita berpikir
Barang sejenak:
Rasa gurih dan enak
Yang kita peroleh
Adalah karena membunuh
Binatang kecil
Tak berdaya

Anak-anak
Tak dapatkah
Kita berpikir
Barang sejenak?

Mungkin ada di antara kita yang berpikir dan bertanya-tanya tentang posisi manusia sebagai makhluk tertinggi yang baginya disediakan oleh Tuhan alam binatang dan tumbuhan sebagai bahan makanan. Pikiran seperti itu bukan tidak ada benarnya bahkan memang begitulah seharusnya. Yang diingatkan oleh sajak itu adalah ihwal kerakusan manusia, sikap melampaui batas itu yang kita kenal sebagai keserakahan. Eksploitasi alam tanpa perencanaan yang matang adalah salah satu sikap yang melampaui batas itu yang antara lain, mengganggu keseimbangan ekologis. Dalam konteks itulah benarnya pernyataan bahwa manusia itu seringkali berbuat berlebihan yang dapat menimbulkan kerusakan di bumi dan langit sebagaimana diingatkan dalam Alquran.

Sastra itu hakikatnya penghayatan terhadap kehidupan. Sebagai hasil penghayatan sang pengarang terhadap kehidupan, dengan sendirinya pembacaan atas teks sastra itu dapat mendekatkan kita kepada kehidupan itu, mengenalkan kita lebih nyata dan dekat akan ihwal kehidupan tersebut. Ada sebuah cerita pendek yang tampaknya ”mendekatkan” kita kepada salah satu wujud kehidupan di sebuah perkampungan kumuh di ibu kota. Cerpen itu ditulis oleh seorang penyair tersohor, Sutardji Calzoum Bachri, dengan judul Ayam. Kenyataan hidup yang ditampilkan dalam cerpen itu adalah kemiskinan orang-orang pinggir kali yang bertetangga dengan orang-orang berada dari kelas sosial yang lebih tinggi di pemukinan orang setengah kaya. Ceritanya berkisar pada ikhtiar seorang lelaki yang setengah kaya akan membuang ayamnya yang mati. Begitulah, ketika si lelaki itu melemparkan bangkai ayamnya ke kali tiba-tiba saja seorang perempuan kurus kering terjun ke kali dan berhasil mendapatkan bangkai ayam itu. Si lelaki terpana dan berusaha mengejar perempuan yang sudah membawa bangkai ayam itu. Terjadi rebutan bangkai ayam antara si perempuan dan si lelaki. Lalu, si lelaki mengeluarkan uang seribuan untuk pengganti bangkai ayam miliknya itu. Si lelaki akhirnya membawa bangkai ayamnya itu dan tidak jadi membuangnya di kali karena membuang bangkai ayam ke kali berarti sama dengan menghadiahkan bangkai ayam itu kepada si papa. Lelaki setengah kaya itu menyimpan ayam mati itu di tempat sampah yang kosong di kantornya. Keesokan harinya, si lelaki itu mendengarkan percakapan pegawai rendahan kantor itu sesama temannya tentang ayam mati yang disimpan lelaki separuh baya itu di tempat sampah kosong dengan menyatakan anggapan bahwa si lelaki itu malu-malu untuk memberikan bangkai ayam itu kepada mereka. Rupanya bangkai ayam itu dimasak dan dibagikan. Si lelaki itu terkejut kalau bangkai ayam yang dibuangnya telah dimasak dan dimanfaatkan oleh pegawai rendahan kantor, bahkan dinyatakannya sebagai masakan yang amat lezat.

Kenyataan hidup yang didekatkan kepada kita melalui cerpen itu adalah kemiskinan yang amat menyesakkan hati. Dalam konteks cerpen ini, dikemukakan bagaimana manusia tidak dapat berpikir panjang akan ihwal bangkai ayam yang menjijikan bagi orang setengah kaya dan melezatkan bagi orang miskin. Melalui cerpen itu, kita disadarkan bahwa yang sudah tidak berarti bagi kita masih berarti bagi yang lain, yang lebih miskin. Kita ingat bagaimana pakaian bekas yang ”diimpor” dari negeri kaya ke negeri kita yang rakyatnya miskin menjadi barang dagangan. Pakaian bekas yang dibuang itu diberi harga. ”Bangkai pakaian” itu menjadi rebutan di Jakarta dan kota besar lainnya untuk diperjualbelikan. Tragis.


3
Mengapa apresiasi sastra itu penting? Kenyataan berikut menunjukkan hal itu. Pengajaran bahasa di SD pun kini ”didampingi” dengan apresiasi sastra. Penyusun kurikulum pembelajaran bahasa sudah mencantumkan secara eksplisit apresiasi sastra itu. Kita menghadapi kesulitan bagaimana apresiasi sastra itu diajarkan kalau yang harus melaksanakannya belum memiliki sikap apresiatif terhadap sastra.

Di awal karangan ini sudah ditegaskan ihwal apresiasi sastra itu sebagai sikap menghargai sastra. Menghargai sastra berarti memberikan harga kepada sastra. Dengan memberikan harga kepada sastra itu, kita berusaha menjadikan sastra itu bermakna bagi kehidupan. Hal ini berarti bahwa kita yakin dan percaya bahwa sastra itu berguna. Tanpa kepercayaan dan keyakinan itu tidak mungkin terwujud sikap apresiatif terhadap sastra.

Bagaimana apresiasi sastra itu diwujudkan secara konkret? Yang pertama dan utama adalah kita membaca teks sastra itu. Kalau sastra itu sastra lisan, kita mendongengkannya kembali. Peribahasa, misalnya, adalah salah satu wujud sederhana dan ringkas yang tergolong sastra. Kita mulai saja dengan mengingatkan anak-anak akan peribahasa itu. Berikut ini beberapa contoh.

1. Berdiang di abu dingin.
2. Kecil-kecil anak, sudah besar menjadi onak.
3. Angguk bukan, geleng ya.
4. Memikul di bahu, menjunjung di kepala.
5. Bangau, bangau, minta aku leher; badak, badak minta aku daging.
6. Kalah limau oleh benalu.
7. Besar bungkus tak berisi.
8. Besar kapal besar gelombang.
9. Padi ditanam tumbuh ilalang.
10. Di tempat tak ada lang, kata belalang akulah lang.

Dengan mengenalkan peribahasa, kita memulai langkah awal apresiasi sastra. Makna yang terkandung dalam peribahasa amatlah dalam. Nenek moyang kita telah menemukan makna itu dengan susah payah dengan ”membaca” alam. Alam yang ”dibaca” itu antara lain, abu, onak, bangau, badak, limau, benalu, gelombang, padi, ilalang, lang, dan belalang. Bagaimana alam dipertemukan secara kreatif oleh nenek moyang kita untuk mengajari kita, itulah peribahasa. Selain alam, nenek moyang kita juga membaca perilaku manusia (angguk, geleng, mikul, menjunjung) dan hasil budaya manusia ( kapal, bungkus). Kini tinggal kita memanfaatkan temuan nenek moyang kita itu untuk diturunkan kepada anak-anak kita. Bukankah sekarang jarang orang menggunakannya? Mengapa kita tidak memanfaatkannya?

Di mana kita dapat menemukan peribahasa itu? Ada beberapa buku yang sudah ditulis secara khusus untuk pelajaran di sekolah, seperti buku Aman, Badudu, dan beberapa buku peribahasa yang dituliskan oleh yang lebih muda. Sekurang-kurangnya kita dapat memanfaatkan KBBI atau kamus susunan Purwodarminto. Namun, terus terang kita sangsi mudahkah buku yang disebut terakhir diperoleh di tempat yang jauh dari kota?

Apresiasi sastra juga dapat menawarkan tradisi lama kita, yakni pantun. Pantun itu ada di mana-mana di pelosok tanah air kita dengan nama yang berbeda. Tradisi pantun itu merupakan kekayaan budaya kita yang sampai hari ini polanya pun masih dimanfaatkan oleh penyair muda. Kita mengenalnya sebagai pantun modern. Apa dan bagaimana pantun kita sudah mafhum semua. Kita simak yang berikut ini.

Berakit-rakit ke hulu,
Berenang-renang ke tepian.
Bersakit-sakit dahulu,
Bersenang-senang kemudian

Pantun yang amat terkenal ini merupakan hasil nenek moyang kita ”membaca” alam dan menemukan ajaran yang terkandung di dalamnya yang berupa kearifan hidup. Mungkin kita menemukan ungkapan lain yang sama kandungan isinya, yakni ”sengsara membawa nikmat” Kita ingat bahwa ungkapan itu merupakan judul novel sebelum kemerdekaan yang pernah diangkat ke layar kaca beberapa tahun silam.

Di atas kita singgung pantun modern. Yang dimaksud adalah puisi modern yang menggunakan pola pantun dalam penataan (pengaturan) rima atau persamaan bunyi akhir yang biasa melekati pantun. Kita dapat menyebut Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Hartoyo Andangdjaya, dan Goenawan Mohamad, antara lain, telah menggunakan pola pantun dalam beberapa puisinya tanpa menghadirkan larik sampirannya. Kita perhatikan sajak Chairil berikut ini.

NISAN
Kepada Nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta

Jelas sekali pola rima a-b-a-b terwujud dalam teks sajak Chairil itu. Sekali lagi isinya tidak ada karena “menyatu” dalam larik-larik sajak dan adat puisi modern cenderung tidak mengajari secara langsung pembacanya. Tidak mengajari bukan berarti tidak mengandung ajaran, amanat yang mendukung kebermaknaan sajak itu. Pembaca modern yang canggihlah yang dapat mengungkapkan ihwal ”ajaran” tersebut, ihwal isi sajak modern itu.

Pola pantun yang diikuti oleh Sitor Situmorang tampak lebih tegas lagi berupa pola rima a-a-a-a. Di antara kekaburan ingatan berikut ini sebagian kita kutip.


LAGU GADIS ITALI
Kepada silvana macari

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Bila musimmu tiba nanti
Jemput abang di Teluk Napoli

Batu tandus di bawah nyiur
Bayang-bayang di kebun anggur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur

Demikian juga sajak Goenawan Mohamad tergores dalam ingatan yang sudah mengabur berikut ini yang berpola rima a-b-a-b.

Z

Di bawah bulan Marly
Dan pohon musim panas
Ada seribu kereta api
Menjemputmu pada batas

Mengapa mustahil mimpi
Matahari panas
Seketika berakhir berahi
Begitu bergegas

Lalu jatuh daun murbei
Dan air mata panas
Lalu jatuh daun murbei
Dan engkau lepas

Pantun modern hakikatnya puisi modern dan bukan pantun. Disebut pantun modern karena ada upaya penyair untuk sepenuhnya mengikuti pola bunyi yang dikenal dalam pantun, sedangkan bagian isinya tidak ada. Isinya diserahkan kepada pembaca.

Kita masih dapat memanfaatkan tinggalan nenek moyang yang berupa teks sastra lisan. Dongeng-dongeng rakyat, legenda dan mite, misalnya, dapat dimanfaatkan untuk pengajaran apresiasi sastra pada tataran awal itu. Legenda tentang Malin Kundang, misalnya, dapat didongengkan kepada anak-anak kita manakala tayangan tentang dongeng tersebut sudah mereka lihat di televisi. Tentulah ada yang masih tersembunyi di balik legenda itu sebagai makna yang lebih jauh.

Begitulah apresiasi sastra itu penting. Dengan apresiasi sastra, kita melatih anak-anak menguasai kata dan makna kata, lebih jauh lagi makna karya sastra. Kemampuan menguasai makna sastra itu adalah hasil sebuah proses panjang yang tidak diperoleh dalam waktu sekejap. Hal itu didapatkan melalui kegiatan membaca dan membaca lagi bahkan sampai rambut pun ubanan. Makna sastra itu tidak datang serentak tetapi berangsur-angsur, bertahap-tahap. Dengan bertambah pengalaman hidup kita, bertambah pulalah makna yang dapat kita ungkapkan dari sebuah teks sastra yang bermutu. Dengan bertambahnya ilmu, bertambah pula makna yang dapat kita rumuskan.

Mungkin timbul pertanyaan di antara kita di mana batas makna sastra itu? Di mana batas akhir untuk tidak lagi ”mengigau” dan ”berceloteh” tentang kandungan makna sebuah puisi?

Hal itu amat bergantung pada nilai karya sastra itu sendiri. Semakin tinggi nilai sebuah karya sastra semakin kaya kandungan makna yang dimilikinya. Selain itu, semakin kaya pengalaman dan pengetahuan pembaca semakin besar pula peluangnya untuk memperoleh kandungan makna karya yang bermutu tinggi itu. Yang jelas pemaknaan atas sebuah teks sastra bergantung pada kata dalam teks sastra itu dan pada pembacanya juga. Jadi, batas akhir itu nisbi, tidak mutlak. Sajak Nisan Chairil Anwar, misalnya, yang kita kutip di atas masih dapat bongkar lagi untuk kita maknai. Demikian juga sajak-sajak Chairil Anwar yang lain seperti Aku dan Senja di Pelabuhan Kecil. Hal yang sama berlaku uga untuk sajak penyair lain yang bermutu karya Amir Hamzah hingga karya penyair yang datang kemudian.

4

Kita akhiri perincangan ini dengan sebuah tamasya batin untuk kita, bukan untuk anak-anak SD. Kita baca sajak Joko Pinurbo yang lucu dan menawan, tetapi sedikit menimbulkan kerutan di dahi berikut ini.

MEDITASI

Celana tak kuat lagi menampung pantat
Yang goyang terus memburu engkau.

Pantat tak tahan lagi menampung goyang
Yang kencang terus menjangkau engkau.

Goyang tak sanggup lagi menampung sakit
Yang kejang terus mencengkram engkau.

Telanjang tak mampu lagi melepas,
Menghalau Engkau

(2000)

Bermutukah sajak ini? Pertanyaan itu mungkin menghadang kita dalam ”tamasya batin” ini. Bagi kita, khususnya saya, sajak Joko Pinurbo itu lucu dan menggugat tentang ihwal perburuan mencari kenikmatan badai yang berakhir dengan yang suprabadani, yang ilahiah. Kita cermati penulisan engkau dengan ”e” bukan yang berakir dengan penulius Engkau dengan ”e” kapital. Dengan mengamati cara penulisan sepetri itu, kita dapat mengira-ngira bahwa sajak tersebut berbicara tentang celana, goyang, pantat, dan telanjang. Celana tak kuat ”menampung” goyang, pantat tak tahan ”menampung” goyang, goyang tak sanggup ”menampung” sakit, yang semua itu ditujukan untuk engkau kecil. Dan, di akhir sajak kita baca ihwal telanjang tak bisa juga ”melepas, menghalau Engkau besar. Silakan Anda meneruskan celoteh ini igauan ini untuk ”merebut” makna sajak tersebut dalam batas-batas kemampuan masing-masing.

Kita lanjutkan tamasya batin itu dengan membaca sajak-sajak yang mengunkapkan ihwal ”mandi” dari penyair yang sama sebagai berikut. Saya yakin, kita akan menemukan sesuatu yang bermakna untuk mengarifi hidup keseharian kita.

DOA SEBELUM MANDI

Tuhan, saya takut mandi.
Saya takut dilucuti.
Saya takut pada tubuh saya sendiri.

Kalau saya buka tubuh saya nanti,
Mayat yang saya sembunyikan
Akan bangun dan berkeliaran.

Saya ini orang miskin yang celaka.
Hidup saya sehari-hari sudah telanjang.
Kerja saya mencari pekerjaan.
Tubuh saya sering dipinjam orang
Untuk menculik dan membinasakan korban.
Mereka bisa dengan mudah dihilangkan
Tapi di tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan.

Tuhan, mandikanlah saya
Agar saudara kembar saya
Bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.

(2000)

Begitulah tamasya batin dalam dan dengan puisi tentang hakikat mandi. Mandi dalam konteks sajak ini memiliki makna yang dalam, bukan sekedar mandi. Kita bisa saja mengaitkannya dengan, katakanlah. Tradisi dipermandikan dalam iman Kristiani yang boleh jadi melatarbelakangi sajak penyair Katolik ini. Kita tidak terlalu cerdas untuk memasuki lebih jauh wilayah yang tak kita kenal secara gamblang. Namun, pertanaan dalam dialog mengingatkan kita akan hubungan karib antara aku dan engkau. Tamasya batin tidak perlu pemandu yang dengan gamblang bercerita tentang yang ditemukan dalam perjalanan tamasya itu. Kita dapat memberikan makna sesuai dengan kekayaan batin yang kita miliki.

Pada akhirnya di tangan kita sebuah puisi atau karya sastra pada umumnya bermakna atau tidak. Kita teruskan membaca dan membaca lagi, meskipun kerut di dahi semakin bertambah dan di kepala uban kebingungan bermunculan secara perlahan. (*)

*) Peneliti Pusat Bahasa, Jakarta