(Riau Pos, Minggu, 16 Juli 2006)
Wawancara Hasan Aspahani dengan Sapardi Djoko Damono
SAYA mengenal nama penyair Sapardi Djoko Damono dan puisi-puisinya dalam buku DukaMu Abadi. Ada sebuah toko buku di Balikpapan yang sering saya kunjungi sepulang sekolah. Mengambil gaya Chairil Anwar, saya pernah mencuri buku di sana. Buku Sapardi itu saya beli, tidak saya curi. Waktu itu saya masih kelas 1 SMA. Puisi-puisi dalam buku tipis itu waktu itu sangat memikat saya. Kesannya bagi saya waktu itu, eh ternyata mudah sekali membuat puisi tapi hasilnya bukan puisi yang gampangan. Sebuah kesan yang salah, tapi ini kesalahan yang menguntungkan saya.
Waktu itu saya merasakan ada sesuatu dalam puisi Sapardi itu yang pasti nanti saya mengerti. Sampai sekarang ternyata sesuatu itu belum juga saya mengerti. Tapi, saya tidak merasa sia-sia. Saya jadi terus-menerus mencari sesuatu dalam puisi siapa saja dengan membacanya. Saya hanya ingin mencari, seperti pada sajak Sapardi, saya tidak kecewa kalau tidak ketemu apa-apa. Dan saya pun akhirnya terus-menerus belajar menyimpan sesuatu di dalam puisi-puisi yang saya tulis.
Dari sastrawan Kurnia Effendi, yang membacakan puisi di Aceh bersama Sapardi, Juni lalu, saya dapat bocoran nomor telepon genggam penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940 itu. “Di Aceh nomornya tidak aktif. Besok beliau kembali ke Jakarta. Semoga lekas bisa ngobrol dengan beliau,” pesan Kurnia Effendi. SMS pertama Jumat, 30 Juni 2006, akhirnya dijawab keesokan harinya oleh Sapardi. Lalu mengalirlah sejumlah tanya-jawab. Saya menambahi dengan sejumlah catatan dan kutipan, supaya lebih bermanfaat. Berikut ini dialog tanya jawab itu:
HASAN ASPAHANI (HASAN): Pak Sapardi, selamat pagi. Boleh saya ganggu dengan sejumlah SMS? Maaf, saya dapatkan nomor Anda dari Pak Kurnia Effendi.
SAPARDI DJOKO DAMONO (SAPARDI): Sila.
HASAN: Paul McCartney cemas dengan usia 64. Anda sudah melewati usia itu. Apa yang paling Anda cemaskan sekarang?
SAPARDI: Saya kuatir nanti menyusahkan keluarga dan orang lain kalau sakit berkepanjangan.
Sapardi adalah kolektor piringan hitam The Beatles. Lagu The Beatles yang dinyanyikan oleh Paul McCartney itu berjudul When I Am Sixty Four dalam album Sgt Pepper Lonely Heart Club Band.
Dalam sajak “Pada Suatu Magrib” (Ayat-ayat Api, Pustaka Firdaus, 2000) penyair ini menulis tentang kerepotan usia tua. “Susah benar menyebarang di Jakarta ini;/hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib./Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,/astagfirulah! rasanya di mana-mana ajal mengintip//.
HASAN: Bagaimana dengan puisi? Anda cemas kalau ada yang masih ingin Anda capai?
SAPARDI: Tidak. Tapi sulit cari waktu menulis puisi.
Saya lantas teringat sajak “Yang Fana adalah Waktu” (Perahu Kertas, Balai Pustaka, 1983, 1991). Katanya, “waktu itu fana, kita abadi. Kitalah yang memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa”.
HASAN: Kapan saat Anda sangat subur menulis puisi?
SAPARDI: Tidak tentu.
HASAN: Maksud saya pada usia berapa?
SAPARDI: Usia likuran (dua puluhan, red) paling subur.
HASAN: Puisi siapa saja yang Anda baca sekarang? Menemukan apa saja dari sajak di negeri kita sekarang? Kabar baik atau kabar buruk?
SAPARDI: Banyak baca puisi siapa saja, tapi jarang yang ingat nama. Beberapa serius. Kebanyakan tidak berniat menciptakan bahasa khas.
Dalam sebuah ceramah di tahun 1969, Sapardi menyampaikan bahwa pengalaman puitik adalah sesuatu yang unik, dan keotentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik. Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun.
HASAN: Khusus saya tanya tentang Joko Pinurbo. Di buku pertamanya Anda bilang dia layak dapat perhatian kita.
SAPARDI: Itu jelas. Dia bikin “bahasa baru”.
Buku puisi pertama Joko Pinurbo, Celana (Indonesia Tera, 1999) diberi kata penutup oleh Sapardi. Ia menyimpulkan bahwa sajak-sajak yang terkumpul dalam buku itu mempergunakan teknik pengungkapan yang mungkin disebut surrealis, yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar kita. Nyaris tak ada pujian. Kecuali sebuah kalimat pendek yang menutup kata penutup itu: “Ia berhak mendapat perhatian kita.”
HASAN: Jadi yang penting penyair menemukan bahasanya sendiri, bukan kritikus yang menemukan penyair?
SAPARDI: Hanya kritikus yang benar yang tahu masalah pembaruan bahasa.
HASAN: Masih menerjemahkan puisi luar negeri, kan?
SAPARDI: Menerjemahkan itu latihan menulis.
HASAN: Kalau tak salah tangkap, Nirwan Dewanto menandai ada “faktor Sapardi”, penyair baru menjadikan sajak Anda sebagai pijakan untuk menemukan bahasa sendiri.
SAPARDI: Itu wajar. Chairil cari puisi dunia dan menerjemahkannya untuk bikin bahasa sendiri.
HASAN: Nirwan menulis itu dengan nada cemas.
SAPARDI: Dia cemas mungkin lantaran tidak ada yang “mengubah” bahasa saya. Joko Pinurbo ada usaha ke situ.
HASAN: Sajak-sajak jenazah yang disukai A Teeuw itu sebenarnya siapa yang wafat? Orang yang dekat sekali dengan Anda?
SAPARDI: Tidak semua yang saya tulis ada hubungannya dengan sesuatu. Saya mengandalkan imajinasi.
Tiga sajak yang diulas tuntas oleh A Teeuw ada pada buku DukaMu Abadi (Pustaka Jaya, 1969, 1975; Bentang 2002, 2004). Tiga sajak itu adalah “Saat Sebelum Berangkat” (Waktu seorang bertahan di sini/di luar para pengiring jenazah menanti), “Berjalan di Belakang Jenazah” (...angin pun reda/jam mengerdip/....tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya), dan “Sehabis Mengantar Jenazah” (pulanglah dengan payung di tangan, tertutup/anak-anak kembali bermain di jalanan basah/....barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya). “Dalam arti ini sajak Sapardi adalah sajak yang indah, yang malahan membebaskan hati saya sambil menjadikannya sedih,” tulis Teeuw.
HASAN: Imajinasi dan sesuatu di masa lalu? Kenangan? Masa kecil?
SAPARDI: Sumbernya apa saja tapi andalan saya imajinasi. Ada buku baru tentang saya di Grasindo. Coba baca.
HASAN: Saya pasti akan beli dan baca. Eh, sering merasa kecolongan atau cemburu pada puisi penyair lain?
SAPARDI: Tidak pernah.
HASAN: Saya suka dengan apa yang Anda yakini dengan permainan makna. Makna tidak jadi beban. Tidak jadi amanat yang harus diburu oleh pembaca. Begitukah?
SAPARDI: Anda benar.
HASAN: Kalau Anda diberi kuasa yang hebat untuk puisi, apa yang pertama Anda buat?
SAPARDI: Berbuat baik pada sesama lewat puisi.
HASAN: Kalau Anda diminta menderet sepuluh puisi terbaik, maka yang teratas yang mana?
SAPARDI: Puisi siapa?
HASAN: Puisi Anda. Adakah puisi penyair lain yang sangat Anda sukai?
SAPARDI: Wah, ya banyak. Sulit lewat SMS.
HASAN: Saya minta satu sajak yang menurut Anda harus saya baca.
SAPARDI: “Topeng”.
HASAN: “Topeng”? (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994). Saya pasti sudah baca. Yang ada nama Danarto di bawah judulnya itu, kan? Boleh saya hubungkan sajak itu dengan topeng Danarto untuk pementasan teater Oedipus Rendra?
SAPARDI: Tentu boleh.
HASAN: Artinya Anda memainkan imajinasi dari situ? Itu yang dinamakan momentum puitik?
SAPARDI: Saya tak pasti. Baru setelah selesai saya ingat Danarto.
Ini adalah sajak panjang ukuran rata-rata sajak Sapardi. Sajak bertarikh 1985 ini terdiri atas 27 larik terbagi atas tiga bagian. Bait pertama di penggal pertama sajak itu begini: Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya / wajahnya sendiri satu demi satu / dan digantungkannya di dinding. “Aku / ingin memainkannya,” kata seorang sutradara.
HASAN: Perlukah Indonesia tiap tahun menobatkan semacam poet laureatte? Setahu saya itu ada di Amerika.
SAPARDI: Tak perlu. Nanti jadi arisan. Yang perlu adalah hadiah sastra.
HASAN: Pada usia sekolah menengah Anda menulis puisi, Anda kok tidak terjangkit wabah puisi cinta ya?
SAPARDI: Ya, ada. Tapi tidak penting.
HASAN: Yang paling bikin saya penasaran itu sajak Anda “Tuan”. Saya baca tafsiran Sutardji Calzoum Bachri. Lumayan. Tapi saya ingin sekali, Anda sendiri yang buka rahasia tentang sajak itu.
SAPARDI: Itu sajak yang sangat sederhana tentang tamu dan tuan rumah yang tolol. He he he.
HASAN: Ha ha ha. Terima kasih saya ingin menyimak lagi tanya jawab ini. Nanti saya ganggu lagi. Masih boleh ya?
SAPARDI: Sila.
Saya kira sajak “Tuan” adalah sajak paling pendek yang pernah ditulis Sapardi. Cuma sebait dua larik. Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, / saya sedang keluar. Begitu saja. Tahun 1984, Sutardji Calzoum Bachri mengurai kertas kerja dalam sebuah Temu Kritikus dan Sastrawan di Jakarta. Secara khusus Sutadji membahas sajak-sajak Sapardi dari buku Perahu Kertas (Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 1993). Ia menulis: “Setelah keluar dari dunia sajak Sapardi, mengambil jarak dengan jaraknya, barulah pemahaman dari sajak-sajaknya bisa lebih mudah didapat. Kita lebih mungkin mendapatkan makna dari sajak-sajak itu, mendapatkan arti atau memberikan arti akan sajak-sajak itu. Sutardji mengambil contoh sajak “Tuan” dan menyebutnya sebagai sajak yang cukup penting dalam hubungan pemahaman yang berjarak itu.”
HASAN: Semalam saya ingat “Dalam Doa”, membaca-bacanya sebagai doa untuk Anda. ...”Aku mencintaimu, itulah sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakan keselamatanmu.”
SAPARDI: Terima kasih.
HASAN: Ini imajinasi, kalau waktu bisa dipaket. Saya akan kirim sebagian waktu saya untuk Anda. Supaya Anda bisa terus dan terus menulis puisi. He he he.
SAPARDI: Ha ha ha. Terima kasih buaanyak.
HASAN: Hasif Amini menyebut “Pada Suatu Hari” (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994) sebagai contoh puisi tentang puisi dari Anda. Saya membacanya sebagai rangkuman cita-cita dari seluruh puisi Anda. ... dalam bait-bait sajak ini, kau akan terus-menerus kusiasati.
SAPARDI: Semua tafsir memperkaya sajak.
HASAN: Dan sajak yang baik mengundang tafsir yang kaya?
SAPARDI: Itu intinya.
HASAN: Puisi bukan milik penyairnya, tapi milik siapa yang menggunakannya. Saya kutip ini dari percakapan Pablo Neruda dan tokoh utama novel Il Postino-nya Antonio Scarmeta. Kita harus ikhlas begitu?
SAPARDI: Anda benar. Bahkan harus juga ikhlas ketika puisi saya “Aku Ingin” (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994) dikatakan karya Kahlil Gibran di televisi tempo hari. Ha ha ha.
HASAN: Ha ha ha. Ada juga yang mencantumkan “Aku Ingin” di undangan perkawinan, tanpa mencantumkan nama Anda.
SAPARDI: Ya, saya ikhlas saja.
Sajak “Hujan Bulan Juni” bisa dimaknai sebagai sebuah keikhlasan memberikan segalanya kepada seseorang yang dicintai. Sajak ini menjadi luar biasa justru karena menyebutkan keinginan untuk mencintai dengan sederhana.
HASAN: Sekarang, saya minta nasihat untuk menuliskan puisi. Tiga butir saja.
SAPARDI: Wah, nggak ada resepnya. Nulis saja setiap kali Anda pengen nulis.
HASAN: Juga di saat marah? He he. Buku Apa Kabar Hari Ini, Den Sastro? itu bukan yang terakhir, kan?
SAPARDI: Bukan.
HASAN: Pablo Neruda dan TS Eliot juga tidak mau memberi nasihat puisi. Tapi Rilke menulis surat untuk penyair muda. Senang sekali kalau Anda seperti Rilke.
SAPARDI: Begitulah.
HASAN: “Ayat-ayat Api” adalah amarah yang tak bisa lagi dibendung setelah Anda menahan marah sekian lama. Kenapa menahan marah? Pilihan sikap hidup? Menyair juga bersikap?
SAPARDI: Ya, tentu. Orang marah hanya bisa demo, nggak bisa nulis puisi. Ha ha ha.
HASAN: Masa depan sastra Indonesia ada pada wanita, kata Anda beberapa waktu lalu. Ini peringatan atau ramalan? Atau lecutan?
SAPARDI: Sindiran.
HASAN: Kapan terbit sajak lengkap Sapardi Djoko Damono? Saya menunggu itu.
SAPARDI: Beberapa tahun lagi, Insya Allah.
HASAN: Anda tidak terlalu ikut-ikut angkatan-angkatan sastra itu ya?
SAPARDI: Nggak ikut angkatan, takut sama angkatan bersenjata. Ha ha ha.
HASAN: Ini yang terakhir, beri saya empat kata untuk saya tulis jadi puisi.
SAPARDI: Anda bahagia menulis puisi?
HASAN: Ya, saya bahagia. He he.
BEGITULAH, seorang Sapardi ternyata bukan hanya sesuatu yang satu. Ia bisa serius dan melucu. Dia menyair dengan amat bersungguh-sungguh, tetapi bila perlu juga menyikapi kepenyairan dan sajak-sajaknya dengan santai. Dia menulis puisi, kritik ulasan, menerjemahkan, menulis cerita pendek dan yang tak sempat saya tanya dia juga mengulas sepakbola. Baiklah, saya akhiri saja dialog ini dengan memenuhi janji menulis puisi dengan modal empat kata darinya:
Anda Bahagia Menulis Puisi?
Maka datanglah padanya sebuah dusta. Memintanya.
“Sebutkan aku dalam puisimu,” katanya. “Sebentar,”
jawabnya. Lalu dituliskannya beberapa kalimat. “Itu
bukan aku,” kata dusta. “Nah, dengan demikian
maka sudah kujelaskan siapa dirimu, bukan?” katanya.
Dusta pun berlalu. Tinggal dia sendirian. Dan satu
pertanyaan: “Apakah Engkau bahagia menulis puisi?”
Lalu datanglah padanya sebuah tanya. Mendesaknya.
“Keluarkan aku dari dalam puisimu,” katanya. “Tunggu,”
jawabnya. “Sejak kapan kau ada di dalam sana?”
Lalu dilepasnya kunci, dikuaknya pintu. “Keluarlah,”
katanya. “Ah, mungkin lebih baik aku di sini saja,”
kata tanya. Dia pun pasrah. “Terserahlah,” katanya.
Tanya pun berdiam saja. Di dalam puisi. Tak juga bisa
menjawab: “Apakah Engkau bahagia menulis puisi?”
Batam, 7 Juli 2006
Hasan Aspahani, lahir di Sei Raden, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim, 9 Maret 1971 pada sebuah keluarga sederhana petani kelapa. Sekolah di SMAN 2 Balikpapan, sambil jadi kartunis lepas di Surat Kabar Manuntung (Sekarang Kaltim Post). Lalu diundang lewat jalur PMDK di IPB, dan kuliah sambil diam-diam terus mencintai puisi. Setelah berupaya memberdayakan ijazah sarjana di beberapa perusahaan, lalu akhirnya kembali ke dunia tulis menulis lagi, maka sekarang bekerja sebagai Pemimpin Redaksi di Posmetro Batam. Di kota ini menjalani hidup bersama Dhiana (yang disapanya Na’) dan Shiela dan Ikra (yang memanggilnya Abah). Beberapa puisinya pernah terbit di Jawa Pos (Surabaya), Riau Pos (Pekanbaru), Batam Pos (Batam), juga termaktub dalam beberapa antologi seperti Sagang 2000 (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2000) Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (YMS, Jakarta 2002), dan Dian Sastro for President 2 #Reloaded (AKY, Yogyakarta, 2003). Puisi “Huruf-huruf Hatta” terpilih sebagai salah satu dari 10 puisi terbaik lomba puisi 100 Tahun Bung Hatta (KPSP, Padang, 2002), dan Les Cyberletress (YMS, 2005). Tinggal di Batam.