(GATRA No. 52 Tahun VII, 17 November 2001)
Joko Pinurbo dan Gus tf Sakai memenangkan Hadiah Sastra Lontar. Memenuhi selera penerjemahan ke bahasa Inggris.
Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang bertengger di dalam celana. Ia sewot juga. "Buka dan buang celanamu!" Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru, yang gagah dan canggih modelnya, dan mendapatkan burung yang selama ini dikurungnya sudah kabur entah ke mana.
LARIK-larik sanjak nan "saru" ini adalah penggalan dari Celana (3). Sajak utuhnya tercantum dalam buku kumpulan puisi Joko Pinurbo ber judul Celana (1999), yang diterbitkan Indonesia Tera, Magelang, Jawa Tengah. Larik-larik puisi di atas bagaikan merepresentasikan keseluruhan isi kumpulan itu, yang temanya tak bergerak jauh dari perempuan, ranjang, malam, celana, dan... "burung" itu tadi.
Cara bertutur Joko, yang menurut Sapardi Djoko Damono urakan, memang jadi ciri khasnya. Dengan Celana itu pula Joko meraih Hadiah Sastra Lontar 2001. Penghargaan yang baru pertama kalinya diberikan Yayasan Lontar itu diumumkan Kamis dua pekan lalu. Hadiah Sastra Lontar juga diberikan kepada Gus tf Sakai lewat kumpulan cerita pendeknya, Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Penganugerahan ini merupakan rangkaian peringatan ulang tahun Yayasan Lontar, sekaligus peresmian gedung baru Lontar di Jalan Danau Air Tawar, Pejompongan, Jakarta. Perhelatan resmi anugerah sastra itu baru digelar Januari tahun depan. Lontar juga memberi penghargaan kepada Nh. Dini untuk "pengabdian sastra", dan Prof. A. Teeuw untuk "penghargaan antarbangsa Lontar".
Yang terbilang istimewa memang Hadiah Sastra buat Joko Pinurbo dan dan Gus tf Sakai. Kedua karya mereka menyisihkan 187 karya sastra lainnya selama periode 1999-2000, yang masuk dalam nominasi penilaian. Ia sukses melewati seleksi tim juri yang diketuai Sapardi Djoko Damono, salah satu pendiri Yayasan Lontar, dengan anggota John H. McGlynn, Melani Budianta, Nirwan Dewanto, dan Riris K. Toha Sarumpaet.
Karya Joko Pinurbo dan Gus tf Sakai itu, menurut Sapardi, paling sesuai dengan "selera" Yayasan Lontar. Yayasan Lontar sendiri, yang berdiri persis pada Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, 15 tahun lampau, selama ini identik dengan kegiatan penerjemahan sastra Indonesia ke bahasa Inggris. Kriteria "cocok diterjemahkan" itulah yang jadi pertimbangan penting dewan juri.
Kumpulan cerita pendek dan kumpulan sanjak itu juga dinilai menyuguhkan kekinian untuk pembaca. "Sastra yang baik bisa men- ceritakan sesuatu yang biasa dengan cara berbeda, sehingga pembaca seolah-olah melihat pemerian itu untuk pertama kalinya," kata Riris Sarumpaet, pengajar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Selain itu, wacana yang diusung Joko Pinurbo dan Gus tf Sakai bergerak di wilayah lokal yang kental. Menurut John H. McGlynn, editor Yayasan Lontar yang juga ikut mendirikan yayasan ini, dan sudah banyak menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris, karya bernuansa lokal cenderung disukai penggemar sastra dunia.
Di "rimba persilatan" sastra Indonesia, nama Joko Pinurbo dan Gus tf Sakai memang bukan lema baru. Keduanya sama-sama produktif menulis puisi, cerita pendek, dan esai di berbagai media cetak. Kumpulan puisi Joko Pinurbo, Di Bawah Kibaran Sarung (1998), pernah dinobat- kan sebagai pemenang ketiga sayembara puisi Dewan Kesenian Jakarta, Februari lalu.
Sedangkan karya Gus tf Sakai, yang mukim di Payakumbuh, Sumatera Barat, bertebaran selama kurun 1996-2000. Kumpulan cerita pendeknya sebelum Kemilau Cahaya adalah Istana Ketirisan (1996). Ia juga menerbitkan tiga novel. Cerpen terakhirnya, Opit (2000), tercantum dalam Mata yang Indah (2001), kumpulan cerpen terbaik pilihan Kompas.
Lewat Kemilau Cahaya, Gus tf Sakai -nama aslinya Gustafrizal Busra- banyak bercerita tentang kekerasan di Indonesia. "Tapi, ia tak ter- jebak dalam kekerasan itu sendiri," kata Melani Budianta. Menurut Melani, Gus tf Sakai juga mampu mengajak pembacanya berpikir ulang tentang suatu masalah tanpa bermaksud menggurui.
Misalnya kisah perempuan buta dalam Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, yang dipetik menjadi judul buku. Perempuan buta tersebut mampu bertutur tentang cahaya, warna, dan segala hal yang biasa bagi orang melek, dengan sangat gamblang. Ada sindiran Gus tf Sakai tentang segala sesuatu yang selama ini kita anggap bukan masalah, tapi sebenarnya sama sekali tidak kita pahami.
Dipo Handoko dan Mariana Ariestyawati