(GATRA, 14 Februari 2004)
”Persekongkolan” iklan dengan puisi dianggap positif. Melahirkan info produk bermartabat kultural. Bermunculan penyair dadakan.
BEBERAPA minggu lalu, sebuah map bertuliskan ”Kantor Sekretariat Wakil Presiden RI” mampir di Jalan Pakubuwono 6 Nomor 68, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kertas-kertas dalam map itu bukanlah dokumen negara atau surat-surat kerja resmi. Hanya sekumpulan puisi gubahan Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto, Sekretaris Wakil Presiden.
Senin lalu, salah satunya, Kehidupan, nampang di pojok kiri bawah halaman pertama harian Kompas. Bunyinya: usia yang panjang/dalam sebuah kamarkosong/tidak lebih dari keniscayaan/ yang tak pernah terpikirkan//.
Sejak September 2003,saban Senin setiap pekannya,nongol puisi di halamanmuka surat kabar yang sama. Ruang itu bukanlah bagian dari rubrik sastra yang mendapat kehormatan tampil sejajar dengan headline isu-isu nasional atau dunia, melainkan iklan tentangapartemen hunian.
The Pakubuwono Residence (TPR), apartemen di Jalan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, membayar ruang itu sekitar Rp 50 juta setiap pekan untuk memuat iklan yang bermaterikan puisi-puisi; baik karya penyair populer Tanah Air maupun tokoh-tokoh masyarakat yang gemar menuangkan ekspresinya lewat rangkaian kalimat indah.
Untuk memilah-pilih puisi yang laik turun cetak setiap minggunya, tim marketing TPR yang dikepalai Yunianto Gatot Sedyadi tak ubahnya editor rubrik sastra sebuah surat kabar. Mereka menimbang dan menentukan satu di antara sekian banyak karya yang masuk.
Syarat-syarat pun ditetapkan, meski tidak formal. Misalnya; jumlah baris puisi harus
proporsional dengan ruang klan yang tersedia, tema diutamakan tidak terlalu personal, eksplorasi seksual, politis, dan kaidah-kaidah relatif lainnya; kesimpulannya mesti sesuai dengan konteksd an selera TPR.
Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, dan Eka Budianta adalah beberapa di antara nama-nama penyair beken yang karyanya pernah muncul. Untuk karya-kara ”jadi” dan pernah dipublikasikan, pihak TPR merasa meminta izin kepada si penyair terlebih dulu sebelum menurunkannya sebagai materi iklan.
Namun banyak juga karya relatif baru yang sampai di meja kerja tim marketing
TPR setiap pekan. Biasanya karya macam ini ditulis oleh figur publik non-penyair atau penulis pemula yang tertarik membaca iklan reguler apartemen yang harga paling
murahnya mencapai Rp 2 milyar ni.
Lantas, berapa seorang penyair menerima ”honor” atas puisi yang ”dimuat”? Joko Pinurbo menyebutkan bahwa honor satu puisi yang dimuat setara dengan
honor ”sekian puisi yang dimuat di rubrik seni” sastra media massa.
Biar begitu, Joko tak ambil pusing perkara honor. ”Saya cuma berpikir sederhana: baguslah kalau puisibisa ditayangkan di halaman pertama surat kabar yang dibaca
sekian banyak orang,” begitu penyair ”Celana” ini menjawab lewat surat elektronik.
Kehadiran puisi sebagai bagian dari iklan komersial, menurut kritikus sastra Nirwan Dewanto, bukanlah perkara yang mestidiambilberat.Tradisi menempatkan puisi penyair masyhur dalam karya iklan komersial lazim terjadi di Amerika dan Eropa Barat. ”Puisi bisa ditempatkan di mana-mana, bahkan untuk tujuan komersial,” ujar Nirwan.
Penyair Sutardji Calzoum Bachri sependapatdengan Nirwan. Seniman yang menyebut diri sebagai ”Presiden Penyair Indonesia” ini menganggap positif ”persekongkolan” puisi dengan iklan sehingga melahirkan informasi produk yang bermartabat kultural.
Bahkan,jika seorang penyair membuat puisinya berdasarkan pesanan untuk produk iklan komersial, Tardji mengaku tak mempersoalkannya.Asalkan si penyair mampu mengutarakan aspek estetik dalam karya itu. ”Banyak seniman dunia pada dasarnya adalah seniman pesanan,” kata Tardji, sembari menambahkan bahwa dirinya belum tentu sanggup menulis puisi pesanan.
Pesanan atau bukan pesanan, modus iklan yang memuat puisi secara utuh begini terhitung baru bagi wilayah keseniandan produksi iklan komersial di Tanah Air. Pembaca koran tak kalah untungnya; pagi-pagi disuguhi puisi indah Joko Pinurbo:
Setelah punya rumah, apa cita-citamu?
Kecil saja: ingin bisa sampai di rumah
saat senja, supaya saya dan senja
sempat minum teh bersama di depan jendela
BAMBANG SULISTYO