Femininitas dalam Puisi Generasi Baru

Sebuah Pembacaan atas Puisi-puisi Shinta Febriany dan Dina Oktaviani

Alia Swastika

Saya selalu percaya bahwa sebuah karya adalah ajakan bagi kita untuk bertaut dengan semesta. Juga, karya bisa berfungsi sebagai kacamata, membantu kita untuk membaca. Mendekati apa yang tak terlihat, menggali apa yang terkubur, memunculkan apa yang tak terpikirkan. Karenanya, ketika menikmati sebuah karya, saya berupaya tak hanya mengejar sesuatu yang dituntun oleh rasa, tetapi juga mencari tahu bagaimana ia membantu saya membaca dunia.

Salah satu sisi yang menarik dari membuat karya seni adalah bagaimana menciptakan metafora, menyusun kumpulan tanda. Apapun bentuk yang dihasilkannya, sastra, musik, rupa, film, semua menawarkan pada kita sebuah pandang dunia. Beberapa medium barangkali membutuhkan olahan metafora ini lebih intens, terutama karena keterbatasannya untuk menampilkan narasinya melalui bahasa verbal. Puisi, saya kira, mempunyai karakter medium macam itu. Sebuah sifat yang niscaya dan tak terhindarkan. Ia dengan sendirinya mensyaratkan sebuah kepekaan untuk mengolah narasi ke dalam idiom-idiom kat. Semakin subtil narasi dunia itu direpresentasikan, semakin sebuah puisi menegaskan kekuatannya. Puisi bisa jadi semacam sebuah ruang dimana kita sebagai pembaca merasa begitu kecil menghadapi soal-soal besar di tengah gelombang dunia. Tidak mengherankan, puisi-puisi yang dianggap sebagai “terbaik”, tidak saja menawarkan sebuah cara lain untuk memperlakukan bahasa, melainkan pula membawa kita pada ruang untuk berkaca tentang keberadaan kita sebagai manusia, justru dengan cara-cara yang subtil dan menegangkan. Sebut saja, bagaimana melalui metafor celana, Joko Pinurbo, seorang penyair Yogyakarta, berbicara tentang identitas dan eksistensi manusia. Di masa yang lebih lampau, ketika gelegak humanisme universal menghinggapi kaum muda, Chairil Anwar, dengan nada yang sendu dan sekaligus sarkastik, mencoba menggarisbawahi kembali relasi manusia dengan dirinya, dengan dunia, dan dengan Tuhannya. Selanjutnya, membaca dan bereaksi terhadap zamannya, Rendra menciptakan puisi-puisi penuh sindiran terhadap situasi sosial politik dan berhasil menjadikan puisinya sebagai sebuah subversi. Pada saat yang sama, Sutardji Colzum Bachri memunculkan eksperimen yang radikal terhadap bahasa. Setelah itu, pada 1980an, Afrizal Malna memperkaya khazanah puisi dengan sebuah gaya baru. Saya merunut kembali bagaimana selama kurun waktu dua dekade, melalui puisi, para penyair melawan dan memberi arti pada keberadaan mereka di tengah masyarakatnya.

Pada generasi yang lebih kini—jika saja kita bisa menunjuk 1998 sebagai titik penandanya, pada masa yang telah berubah sedemikian cepat, dimana sebuah pusat kuasa yang ditunjuk sebagai musuh bersama telah ditumbangkan, dan eksperimentasi-eksperimentasi terhadap bahasa seolah telah melalui titik dimana semua telah dicoba, soal dunia yang sebelumnya mengarah pada “sisi luar”, kemudian berputar, menuju ke “dunia dalam.” Para penyair muda berkutat dengan soal-soal personal, sesuatu yang berkaitan dengan hidup sehari-hari yang mereka alami. Mereka mencomot referensi dari seluruh penjuru dunia, melewati batas antara seni tinggi dan seni pop, mengolah judul lagu sebagai bagian dari metafora. Di luar persoalan estetika dan cara yang segar untuk mengolah bahasa, para penyair muda, dalam pandangan saya mempunyai kecenderungan untuk berbicara tentang identitas diri mereka sendiri: sebuah generasi yang tumbuh bersama derasnya informasi global dan membuat mereka sibuk menjadi pemulung tanda-tanda. Tentu saja, situasi demikian tidak lantas mesti ditempatkan dalam pandangan yang negatif. Saya kira, justru pada saat inilah, berkaitan dengan gairah untuk menulis, apa yang disebut sastra itu mulai dirayakan masyarakat. Komunitas-komunitas sastra tumbuh makin subur dan mencapai tempat-tempat pelosok. Sebuah pusat telah diruntuhkan, dan bersama-sama, pergerakan dari arah pinggiran ini menorehkan makna. Beramai-ramai, dengan aneka gaya dan cara, anak-anak muda menorehkan nama mereka melalui sastra. Mereka mencipta dan mempublikasikan karya mereka dengan cara mereka sendiri, melalui sebuah revolusi medium yang demikian demokratis, tak lagi peduli pada legitimasi. Tapi bisakah sesungguhnya kita menandai “narasi besar” yang tengah mereka tunjuk? Bisakah kita menggali bagaimana pandang semesta yang mereka punya?

Dalam catatan ini, saya tertarik untuk membahas dua orang penyair muda, Shinta Febriany dan Dina Oktaviani. Tentu saja, berkaitan dengan ketertarikan saya yang lebih spesifik, saya telah memilih mereka berdasar pertimbangan gender, karena keduanya adalah penyair perempuan. Di luar keinginan saya untuk membahas mereka berdasar konteks generasinya, mengingat keduanya adalah bagian dari angkatan sastrawan pasca 1998, saya terutama tertarik untuk melihat bagaimana mereka sendiri memandang konsep diri mereka sebagai perempuan. Keinginan untuk menunjuk lebih spesifik pada isu identitas macam ini saya yakini juga membawa saya pada semacam usaha membandingkan teks-teks yang muncul dari dua penyair perempuan ini dengan penyair perempuan pada generasi sebelumnya, demi menelisik lebih dalam bagaimana konsep tentang diri berkembang pada beberapa generasi perempuan. Dengan cara ini, saya berharap kita bisa memulai sebuah upaya untuk memetakan bagaimana keterkaitan antara puisi yang diciptakan penyair perempuan dengan konteks zaman yang bertaut dengan pergerakan gagasan emansipasi perempuan itu sendiri. Sekali lagi, saya ingin menegaskan kata “memulai”, karena saya percaya, menilai sajak-sajak dua orang penyair saja tak akan cukup representatif sebagai bekal bagi kita untuk mencipta peta.

Generasi Baru, Metafora Baru

Shinta Febriany (lahir di Makassar, 1979) menunjukkan bagaimana ia mengolah bahasa dengan cara yang menarik, yang terutama dipengaruhi oleh bagaimana ia mengenang dan memberi makna pada cerita sehari-hari yang ia alami. Sering saya melihat puisi-puisinya sebagai lintasan peristiwa yang kadang tidak dirangkai satu sama lain, tetapi dipadankan untuk mengilustrasikan “cerita besar” yang sama. Dari peristiwa satu ke peristiwa yang lain tak selalu punya hubungan waktu yang linier, kadang peristiwa masa lalu dan bayangan masa depan ditumpahkan bersamaan. Shinta seperti jatuh cinta pada konsep mesin waktu, ketika peristiwa dari rentang waktu yang berbeda dipadatkan dan diawetkan melalui sajak.

aku ingin mengajakmu nonton film biru di kamarku.
pertemuan kita perlu bercerita pada puisi dan teman-
temanku atau jika kau risau, kita bisa menjadi rahasia
kota ini saja. aku meneleponmu berkali-kali tapi selalu
ada yang bertamu ke kamarmu. aku tahu aku bisa
berjalan kaki ke kamarmu, mengetuk pintu dan
bertanya, apakah kau masih punya indomie atau kopi
dari kota kita? aku sarapan pagi dengan mata merah.
………
(dari sajak, “membaca lelaki mati,” 2000)

Shinta mengaitkan keinginan yang masih ada dalam benaknya (mengajak menonton) dengan peristiwa aktual yang dilakoninya (menelpon) dengan kadar yang sama pentingnya. Ceritanya tidak diabstraksi ke dalam idiom kata sebagaimana yang kita temukan pada kebanyakan puisi, tetapi justru dibentang dengan luas dan mencakup situasi-situasi non aktual yang melintasi dirinya. Shinta seperti bercerita apa adanya, menyeleksi ingatan dan bayangan, tetapi tidak dengan sengaja membangun metafora. Metafora itu hadir sendirinya dalam lintasan peristiwa yang ia paparkan. Pada sajak “membaca lelaki mati” di atas, metafora itu hadir dalam bentuk yang konkrit dan terbayang dalam kehidupan kita sehari-hari: film biru, indomie dan kopi. Sajak-sajak Shinta seperti cerita panjang yang tak membuahkan kesimpulan. Sebuah diari dari hidup sehari-hari yang terkadang tak terlalu istimewa dan berlangsung sama sebagaimana kebanyakan orang.

Kecenderungan penciptaan metafor dari benda-benda sehari-hari itu merupakan sesuatu yang bisa kita temukan pula pada sajak Dina Oktaviani (lahir di Bandar Lampung, Oktober 1985). Perbedaannya, pada Dina, kita bisa merasakan bahwa alur waktu tak berjalan sepadat dalam sajak Shinta. Dina lebih selektif dalam memilih peristiwa-peristiwa yang ia munculkan pada sajaknya. Sajak-sajaknya berkesan lebih “tertutup” dalam membagi peristiwa keseharian. Karenanya, metafora yang hadir pun cenderung lebih punya alasan yang lebih jelas, meskipun kadang objek yang ia jadikan sebagai metafora tetap saja muncul sebagai sebuah kejutan.

mungkin aku akan pulang
membawa dada dalam tas keresek
dan mengecup bau rumah yang gelisah

aku juga rindu ranjang remang itu
sebab mencintaimu dengan nyanyi dan kembang api
telah ditempuh semua orang

(dari sajak “Dongeng tentang Kesetiaan”, 2002)

Sebagaimana Shinta, Dina menempatkan tas keresek, nyanyi dan kembang api, sesuatu yang terkadang hanya mampir lewat dalam dalam kehidupan kita—meski sesungguhnya sedemikian akrab—sebagai metafora pada puisi-puisinya. Tas keresek menjadi sebuah kejutan karena ia bernilai begitu remeh, tetapi justru digunakan oleh Dina untuk menyimpan sesuatu yang sangat esensial (dada). Lalu, kita bisa bertanya, apa pula maknanya mencintai dengan nyanyi dan kembang api?

Saya kira, keberanian keduanya dalam memilih metafor yang tidak biasa merupakan sesuatu yang berharga untuk dicermati. Metafora yang dimunculkan keduanya merupakan sebuah pencitraan yang memberikan kesan segar dan meruapkan bau kontemporer dalam perkembangan sajak-sajak kita. Romantisisme pada alam dan tubuh-tubuh sebagaimana yang biasa kita temukan pada puisi yang diciptakan penyair dari generasi yang lalu telah bergeser menjadi romantisisme pada apa yang kita konsumsi dalam hidup sehari-hari. Bandingkan dengan salah satu puisi Joko Pinurbo berikut

Ranjang telah dibersihkan
Kain serba putih telah dirapihkan
Laut telah dihamparkan

Kayuhlah perahu ke teluk persinggahan

(dari sajak “Ranjang Putih”, 1996)

Joko Pinurbo, meskipun tidak selalu, masih mencoba mengolah peristiwa alam untuk menjadi tautan metaforanya. Berhadapan dengan alam, ia masih merasakan sebentuk keakraban yang mengarahkannya untuk menjadikan elemen alam itu sebagai bahan dan cara bercerita. Pada Shinta dan Dina, pengalaman bersentuhan dengan alam ini tidak lagi memberikan perasaan mendalam sebagaimana yang mereka selami ketika bersentuhan dengan indomie atau kembang api. Pengalaman dengan dunia benda telah membentuk logika bahasa mereka sedemikian rupa sehingga benda-benda itu menjadi salah satu representasi dari kedirian mereka. Ikon-ikon budaya pop tergelar di sekujur tubuh sajak-sajak mereka. Melalui puisi-puisi mereka, dan membandingkannya dengan generasi yang lalu, kita tahu bahwa ada bergerak cepat dalam kehidupan kita. Benda-benda diberi makna berbeda: menjadi monumen tempat kenangan dan berbagai peristiwa penting ditandai atau dimana gagasan diabadikan. Kadang-kadang, dengan logika yang awam, bayangan yang mereka munculkan seperti sebuah fantasi yang hadir dengan tiba-tiba, tanpa sejarah atau lahir dari konteks sosial yang membuat kita dengan mudah bertaut dengan ikon yang dimunculkan.

Ibu, anak-anakmu adalah sosis yang kau asapkan lalu
kau masukkan ke dalam kulkas. mereka menjadi keras
dan dingin. kau membutuhkan identitas untuk kelahiran mereka…

…..

ibu, kau berkelahi dengan menantumu. kau menaruh
kutu di rambutnya lalu berpura-pura murung. anakmu
datang membawa parfum untukmu. anak-anak yang
kau asapkan

ibu, aku bertemu jung. ia berkabung untukku.

(Shinta Febriany, dari sajak “jung berkabung”)

atau mari kita perhatikan sebuah petikan dari Dina Oktaviani:

…..
kita berpisah entah di mana
tetapi di sebuah meja makan kau kembali sendirian
kesedihan melemparkan secarik kartu nama ke dalam barleys
1985
lalu the police, lalu times, lalu gemuruh perang dari lantai lima
belas

(Dina Oktaviani, dari sajak “Seperti Sebuah Perasaan Sedih”)

Menganalogikan anak-anak dengan sosis yang kemudian dimaksudkan ke dalam sebuah kulkas adalah sebuah kejutan yang menarik dan seperti datang tiba-tiba, apalagi kemudian hal itu ditegaskan untuk menunjukkan sejarah karakter tertentu (keras dan dingin). Membaca teks-teks macam itu, saya melihat bagaimana Shinta seperti ingin menegaskan situasi-situasi ekstra-ordiner (di luar kebiasaan) yang menjadi salah satu penanda gagasan kreatifnya. Di bagian akhir sajak itu, berlawanan dengan strategi arbitrernya dengan memunculkan sosis, ia justru menutupnya dengan menautkan seluruh ketidakbiasaan itu dengan nama tokoh subversif dalam ranah psikologi kontemporer, yaitu Carl Gustav Jung. Relasi ibu dan anak dalam keseluruhan tubuh puisi ini digambarkan sebagai relasi kekerasan yang terutama tidak disadari sepenuhnya, dan Shinta segera mereferensi situasi ini dengan teori yang disusun Jung. Yang menarik, alih-alih hanya sebagai referensi, Jung ditempatkan sebagai subjek, yang seolah-olah dekat dan pernah hadir secara nyata. Di beberapa sajak yang lain, Shinta juga memasukkan nama-nama seperti Nietzche,…… Tokoh-tokoh asing ini muncul dalam sajak Shinta dan Dina sebagai bagian yang wajar dari kehidupan keseharian mereka karena dengan semua petunjuk macam itulah anak-anak muda membaca dunia. Dalam puisi Dina, the police atau times merupakan penanda keterlibatannya dalam budaya global. Pilihan-pilihan untuk meletakkan ikon pop semacam ini, entah disadari atau tidak, sesungguhnya merupakan sebuah cara untuk menyatakan diri: musik apa yang ia dengarkan, bacaan apa yang ia jadikan sumber pengetahuan, gaya hidup macam apa yang ia jalani. Baik pada Shinta dan Dina, dengan mengambil referensi mereka pada kehidupan populer, mereka sedang menyatakan kedirian mereka, karena ikon-ikon itu adalah bagian dari identitas mereka. Secara pelahan ikon-ikon macam ini membawa pembaca untuk semacam menggambar diri si penyair. Masing-masing simbol tidak hadir secara mandiri atau tanpa alasan: ia mewakili sebuah selera, sebuah kelas sosial, sebuah status. Shinta dan Dina menunjukkan bagaimana keterlibatan aktif mereka terhadap wacana-wacana kontemporer, yang tak selalu, kemunculan teori atau tokoh-tokoh itu bisa membawa kita pada sebuah tawaran cara pandang, tetapi terkadang mereka cuma menjadi ikon yang numpang lewat, sebagaimana kembang api atau tas kresek.

Kecenderungan penjungkirbalikan metafora sebagaimana yang kita temukan pada sajak-sajak Shinta Febriany, sesungguhnya dengan segera mengingatkan kita pada puisi Afrizal Malna yang telah menjadi kredo pada masa 1980an. Dapat dikatakan, puisi-puisi Shinta berangkat dari gagasan bentuk yang hampir serupa dengan Afrizal Malna, yang dalam bahasa Ahmad Sahal terumuskan bagaimana kata bukanlah persoalan gramatika, melainkan soal visualisasi. Yang kemudian membedakan adalah peristiwa-peristiwa yang berjejalan di dalamnya. Pada Afrizal Malna, cerita-cerita itu masih membentuk sebuah narasi besar yang bisa kita runut genealogi gagasannya, sementara para puisi-puisi Shinta, benda-benda itu selalu menjadi monumen untuk cerita persoanalnya.

Dalam hal bahasa, menurut pandangan saya, di luar persoalan penggunaan unsur-unsur pembentuk metafora, tidak ada yang bisa dikatakan baru, atau potensial dalam cara keduanya bekerja dengan bahasa. Pada Shinta, secara sepintas, yang jelas terlihat adalah bagaimana ia menjadi epigon Afrizal Malna (yang dalam bayangan saya memang menunjukkan kecenderungan anti-romantisisme, yang terasa sebagai sesuatu yang seksi di masa-masa sekarang), sementara pada Dina, kemampuannya untuk memadatkan peristiwa menjadi imaji kata yang bercerita sesungguhnya tampak potensial. Dina masih menimbang rima dan nafas kalimat di baris-baris sajaknya, dan terkadang, ketekunannya untuk melakukan jukstaposisi atas kata dengan rima yang sama itu, terasa segar dan melenakan. Sensibilitas katanya seperti diarahkan untuk membangun sebuah situasi yang terus-menerus melankolis. Yang belum diolah adalah pernyataan Dina sendiri tentang bahasa, apa sesungguhnya makna tiap kata-kata baginya kecuali sekadar sebagai cara kita menumpahkan perasaan?

Di sisi lain, ekspetasi atas sebuah cara baru dalam mengolah bahasa bisa menjadi sesuatu yang menjebak, terutama karena definisi “baru” itu sendiri selalu menghadirkan perdebatan yang problematis. Afrizal Malna dan Joko Pinurbo masih berhasil memberikan nuansa baru dalam hal berbahasa bukan saja karena kemampuan mereka bercerita dengan pendekatan yang baru, tetapi harus disebutkan bahwa perkara kebaruan yang terkandung dalam puisi kedua penyair ini tidak saja berkaitan dengan “cara”, tetapi keseluruhan dunia yang terbangun dalam puisi mereka. Pada Afrizal dan Joko, pembalikan dan pemberontakan mereka terhadap bahasa merupakan sebuah laku yang merepresentasikan cara mereka menggugat logika dan bermain dengan gerak dunia. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa bagi mereka, seluruh tindak memperlakukan bahasa merupakan pernyataan mereka sendiri tentang dunia.

Cermin Diri dan Tautan Dunia

Yang jauh lebih menarik untuk dibahas daripada bagaimana kedua penyair ini memperlakukan bahasa adalah soal yang sedang mereka bicarakan dalam puisi-puisinya. Tentu saja, kecenderungan untuk membahas persoalan isu atau tema dalam karya sastra ini tidaklah dimaksudkan untuk melihat bahasa sekadar sebagai medium, karena sesungguhnya saya percaya bahwa tindak bersastra (menciptakan karya sastra) pertama-tama adalah persoalan bagaimana kita bergelut untuk bercerita dengan cara yang tidak biasa. Sebuah karya sastra, pada akhirnya, dinilai terutama karena kemampuannya untuk menyelami bahasa dan memunculkan segala unsur berbahasa itu sebagai sebuah komposisi yang menarik.

Sebagaimana yang sempat saya munculkan pada bagian awal tulisan ini, dalam hal eksplorasi bahasa, kedua penyair masih terasa mencari-cari bentuk yang paling tepat untuk menyatakan dirinya. Hal ini tentu bisa dimaklumi mengingat keduanya masih muda dan biasanya pergulatan seorang penyair untuk menemukan apa yang secara sederhana disebut sebagai “gaya bahasa”, sangatlah panjang. Joko Pinurbo, misalnya, dalam sebuah wawancara, pernah menyebut bahwa ia memerlukan waktu 15 tahun untuk bisa menemukan pola bahasanya sendiri. Saya kira, jika kedua penyair ini bisa dengan tekun mengolah modal selera dan sensibilitas bahasa yang sudah kuat pada periode sekarang ini, kemungkinan untuk menemukan dan menegaskan pola bahasanya sendiri sangatlah besar.

Karenanya, yang menjadi penting untuk dibaca lebih mendalam adalah tema yang mereka tawarkan. Sebagaimana kebanyakan penyair yang melakukan abstraksi dari situasi dan pengalaman personalnya, baik Shinta maupun Dina, bertumpu pada kemampuannya untuk memberi makna pada pengalaman sehari-hari. Nah, perkara yang kemudian mesti ditelusuri adalah, seberapa luas spektrum “pengalaman sehari-hari” ini membentang melintas peristiwa-peristiwa yang bisa dilihat sebagai sesuatu yang universal dalam kehidupan manusia. Saya kira, nilai yang penting dari lintasan dari pengalaman personal menuju makna universal ini adalah sebuah jalan bagi pembaca untuk bisa, sebagaimana yang saya sebut pada awal tulisan ini, bertaut dengan dunia. Ketika seorang penyair menyuguhkan pada pembaca pengalaman personalnya, maka pembaca akan menggunakan sejarah personalnya pula untuk memberikan respon dan menafsir puisi tersebut. Makna dan penanda yang universal dibutuhkan agar dua dunia yang personal ini bisa saling bertemu. Selain menampilkan metafora dan ikon yang telah dipahami sebagai sebuah penanda dari memori kolektif, panduan arah untuk memasuki situasi dan pembacaan atas gerak zaman bisa menjadi sebuah modus untuk saling bertaut. Dalam hal ini, barangkali kita masih bisa merujuk pada slogan yang sekarang ini sering dimaknai secara arbitrer, “yang personal itu politis” (the personal is political). Sajak-sajak Afrizal Malna, misalnya, yang kebanyakan berangkat dari pola penceritaan si “aku”, bagaimanapun membawa kita memasuki dunia kaum miskin kota, aktivisme politik, marginalitas gender, dan sebagainya. Pada kasus ini, si “aku” dan segala personalitasnya, adalah sebuah titik berangkat, sebuah poros yang menggerakkan kita memasuki kosmos yang lebih besar.

Bagaimana dengan puisi-puisi Shinta Febriany dan Dina Oktaviani? Secara keseluruhan, pengalaman personal yang mengisi seluruh tubuh puisi mereka pekat dengan nada-nada melankolik tentang bagaimana peristiwa keseharian itu dialami. Sebagaimana yang sempat saya urai di bagian awal tulisan ini, apa yang disebut sebagai “peristiwa keseharian” dalam puisi Shinta dan Dina, terutama juga menyangkut pada ingatan atas masa lalu dan bayangan masa depan, kombinasi dari yang aktual dan non-aktual. Sebagian besar tema yang termuat dalam buku kumpulan puisi masing-masing penyair adalah soal cinta. Tentu saja, tema ini juga menghiasi banyak puisi dari penyair lainnya, tetapi saya harus menggarisbawahi bahwa inilah statemen paling menonjol yang disuguhkan kedua penyair. Dalam membicarakan cinta, tema-tema lain sempat juga lalu lalang dalam puisi Shinta dan Dina, tetapi tidak ada tema yang mendapatkan posisi sepenting relasi personal antara “aku” dan “dia”. Shinta Febriany sesungguhnya menunjukkan kecenderungan besar untuk berbicara tentang pergeseran bentuk relasi ibu dan anak, atau nilai kebersamaan antar perempuan, sebuah isu yang punya potensi besar untuk menyuruk masuk pada tema-tema identitas gender. Sayangnya, tema ini tidak dimasuki lebih dalam lagi, sehingga sempat menunjukkan nilai “politis” dari isu tersebut dan memungkinkan kita melihat lebih dalam bagaimana si penyair membaca dunia.

Saya tidak mengatakan bahwa isu cinta adalah sesuatu yang tidak penting atau tidak berguna. Kenyataannya, kisah-kisah cinta selalu menjadi titik masuk yang paling sering digunakan seniman untuk membicarakan dunia. Dari cerita cinta yang tersebar sepanjang masa, kita belajar bagaimana kehidupan manusia untuk memperjuangkan cinta ini selalu membuat kita bertemu dan bertarung dengan situasi kemanusiaan yang lainnya: tentang kuasa, tentang negosiasi, tentang kemampuan kita memahami sang liyan (others). Tetapi, sekali lagi, kita membutuhkan cerita besar yang lainnya tempat cinta tersebut bertumpu, sebuah dunia di mana cinta membuat kita bisa berkaca. Jika tidak, cinta cuma jadi pengalaman yang penuh dengan kilasan perasaan, bukan bagian dari praktik hidup yang bisa menyusun satu formasi pengetahuan.

Dalam cerita cinta yang dituliskan oleh Shinta dan Dina, saya melihat bahwa pengalaman cinta dimunculkan melulu sebagai tumpahan perasaan, belum sepenuhnya ditransformasikan menjadi sebentuk peristiwa yang membawa kita pada refleksi tentang kehidupan itu sendiri. Pada Shinta, persentuhannya dengan teori-teori feminisme tampaknya memberikan ruang untuk membicarakan persoalan kesetaraan dan persepsi perempuan atas identitas dirinya, terutama pada bagaimana identitas ini merupakan sesuatu yang dibentuk dan dipilih, alih-alih sebagai sesuatu yang terberi.

….. aku ingin punya bak mandi untuk air jernih ini. Aku
melupakan adat istiadatku. aku melupakan cara para
lelaki mengharapkan para perempuannya bertingkah laku.
jangan menangis, sayang. aku nyaris mencapai sungai kecil
di matamu ….

(dari sajak “ideogram yang kau tinggalkan”, 2002)

Frasa “melupakan adat istiadatku” dan “melupakan cara para lelaki mengharapkan….” adalah sebuah pernyataan yang tegas dari Shinta tentang pandangannya tentang konstruksi sosial atas makna menjadi perempuan. Shinta menunjukkan kesadaran bahwa adat istiadat merupakan sebuah pagar pembatas, sebagaimana harapan laki-laki atas mereka. Sayangnya, dalam pandangan saya, frasa-frasa yang potensial untuk menuntun kita masuk ke dalam sebuah dunia pemikiran ini hanya muncul sebagai kilasan, tidak dicoba dikaitkan dengan keseluruhan narasi yang dibangun dalam sajak tersebut. Kecenderungan ini hampir muncul di seluruh sajak yang menunjukkan potensi gugatan semacam itu. Pada sebuah sajak yang lain, Shinta meletakkannya di bagian akhir, sehingga pernyataan itu bisa menjadi sebuah kesimpulan yang tegas tentang pemikirannya sebagai perempuan.

…saya tetap bernyanyi, karena saya tahu hidup maktub dalam sunyi.
saya bangun pagi sekali. Saya teringat kalimat ibu di
rumah, malaikat membagi coklat putih sesaat setelah malam pergi.

saya menemukan tulisan dalam tubuh perempuan saya,
penuh tanda seru.

(dari sajak “mata saya membaca”, 2000)

Pendekatan macam ini—menyuguhkan kesimpulan atau pernyataan yang tegas pada bagian akhir—saya kira lebih strategis untuk menunjukkan pada pembaca bagaimana Shinta sendiri sebagai perempuan memposisikan dirinya dalam relasi dua jenis kelamin yang berbeda. Yang segera terlihat dari Shinta adalah perayaan terhadap kualitas-kualitas feminin. Tubuh menjadi sebuah ajang baginya untuk menegakkan kekuasaan, untuk menyatakan diri dan menggugat konstruk dan nilai sosial yang telanjur dibebankan di atasnya (karenanya, ia memilih frasa tanda seru). Gugatan Shinta terhadap pembatasan yang lahir dari konstruk sosial tentang identitas perempuan disampaikan justru dengan menggunakan elemen-elemen yang merepresentasikan keperempuanan. Benda-benda pribadi seperti celana dalam, lipstik, pewarna kelopak mata (eyes-shadow), pembalut, atau majalah remaja, merupakan ikon yang bertebaran di puisi-puisi Shinta. Ia juga tak segan menunjukkan “situasi” perempuan seperti menstruasi, orgasme, mandi junub, sebagai bagian dari cerita yang ia kisahkan. Belakangan, merunut pada beberapa pernyataan yang relatif tertuang secara jelas dan lugas dalam sajak-sajaknya, saya menemukan bahwa kualitas feminin itu merupakan bagian dari strateginya untuk menunjukkan perlawanan atas konstruk sosial yang membatasi perempuan itu. Alih-alih menunjukkan kepasrahan, Shinta menunjukkan bagaimana perempuan “melawan” dan ambil bagian dalam permainan tongkat kekuasaan. Sajak-sajak Shinta menunjukkan bahwa perempuan adalah mahluk yang menyadari kemampuannya untuk mendapatkan kesenangan ketika melakukan aktivitas sosial, ketimbang menempatkan aktivitas tersebut sebagai kegiatan “pelayanan” terhadap laki-laki. Shinta Febriany berupaya untuk menengok kembali persoalan-persoalan moralitas dalam kerangka relasi personal, dan bagaimana perempuan terjebak dalam konstruksi moralitas tersebut.

Perempuan-perempuan itu menuduhku perempuan dari
kasta perampok, karena aku telah meninggalkan
harum keringatku di tubuh lelaki mereka…
tapi tak ada yang akan menggantungku. Aku bukan selir.

(dari sajak malka sanksi, 1996)

Pada puisi Dina Oktaviani, bingkai besar semacam ini cenderung lebih kabur. Runutan peristiwa dan nuansa perasaan lebih menjadi sesuatu yang jelas ketimbang refleksi di sebaliknya. Puisi-puisi Dina menempatkan perasaan personal si penyair sebagai esensinya, dan tidak berupaya untuk menautkan dengan perasaan-perasaan ini dengan sebuah pandang dunia yang lebih besar. Sebagai penyair, Dina cenderung terus mengikuti pusaran perasaannya, sehingga esensi itu tidak memberikan energi yang besar untuk menjelajah lagi situasi dan cara pandang di sebaliknya. Perasaan adalah sesuatu yang dirayakan dengan sedemikian menggairahkan, sehingga kadang-kadang kita terbawa oleh deras arusnya, dan lupa untuk melihatnya dengan jarak tertentu.
Pada Dina, perasaan-perasaan ini terutama berkisar pada relasi personal sang penyair—yang pada wacana identitas, tentu saja bisa teridentifikasi dengan kuat sebagai: anak muda, perempuan, bagian dari kaum urban—dengan keluarganya, dengan teman dekatnya, atau dengan kekasih. Kadang-kadang cerita cinta yang meruapkan romantisme yang pekat ini dibungkus dengan kehidupan kota yang keras dan tak memberi tempat pada orang-orang tanpa kelas sosial, kadang dibentangkan pada suasana kesedihan yang menjadi-jadi, hingga berujung pada cerita tentang kematian. Pada Dina, puisi seperti menjadi laku untuk membangun ruang bagi kesendirian sang penyair, sehingga kita mendapatkan kesan bahwa seluruh kehidupan ini adalah sebuah labirin kesedihan atau suasana menjelang kematian. Puisi-puisi Dina lebih banyak menggali tentang luka, merayakan rasa sakit atau ketidakberdayaan kita mengatasi jerat perasaan dan peristiwa yang terlalu hingar bingar dalam kehidupan kita.

Saya tak akan sempat meniup terompet
Atau menyalakan lilin malam ini
Tapi tolong percayalah, saya telah membuat
Semacam pengakuan dosa lewat semacam surat cinta
Yang saya akhiri dengan cap bibir gemetaran

Saya menuliskannya dalam kamar, waktu cuaca
Menunjuk tubuh saya sebagai lontar yang menyimpan tinta
Di dalam dirinya, dan tolong percayalah, saya sendiri yang menuliskannya
Memang kurang hati-hati, sebuah kata risau tereja oleh saya
Sebagai pisau dan itu terjadi berulang kali
Sebab cinta membuat saya gugup

….

(dari sajak Prosa Tahun Baru, 2002)

Berbeda dengan Shinta Febriany, Dina tidak banyak menunjukkan keinginannya untuk mempertanyakan ulang identitas-identitas keperempuanan, pun tidak menegaskannya dengan menggunakan berbagai simbol femininitas yang pekat. Beberapa muncul, tetapi, dalam pandangan saya, tidak lantas menjadi sebuah karakter utama bagi puisi-puisinya. Pada sajak “Prosa Tahun Baru” di atas, metafor fisik/visual yang muncul adalah terompet, lilin, surat cinta, tetapi itu hanyalah benda-benda yang menjadi medium penceritaan, bukan esensi sajak. Yang terasa lebih muncul sebagai esensi adalah ungkapan seperti “gemetaran”, “risau” atau “gugup”. Si penyair ingin mencurahkan perasaannya, bukan mendeskripsikan peristiwa (sangat berbeda dengan Shinta Febriany yang justru membuat deskripsi ruang dan imaji sebagai pola puisinya). Identitas perempuan, dengan demikian, pada sajak-sajak Dina Oktaviani, sudah menjadi bagian yang implisit dari puisi-puisinya, sehingga tidak lagi dipertanyakan atau diselidiki ulang. Dina melihat esensi atau kualitas keperempuanan sebagai sebuah strategi untuk merepresentasikan posisinya dalam relasi-relasi personal.

….
: kau demikian mencintai hujan
dan aku terus-terusan dirampas dan kehilangan

pagi ini, aku ingin sekali terpisah jauh dari tubuhmu
terbuang dari athsma dan radang paru-parumu
: kesepian yang akut itu

tapi aku telah membuatkan kopi dan membangunkanmu cepat-cepat
agar kau dapat melihat jejak sandalku yang dalam
agar kau tak merasa kelewat sedih seperti jika aku hilang diam-diam
sebab sepanjang tahun ini kau tak akan bisa mencintaiku
…..

(dari sajak Di Sebuah Musim Penghujan”, 2003)

Dalam pendapat saya, seluruh suasana yang dibangun dalam sajak ini adalah ode bagi rasa sedih. Sebuah rasa sakit yang bernaung terus-menerus dalam diri si penyair. Penyair cenderung menempatkan diri sebagai pihak yang “terluka” atau menjadi korban dalam sebuah relasi personal. Ia akrab dengan kata “kehilangan”, “saling tikam”, “kemalangan”, adalah sesuatu yang lazim ditemui pada puisi dari penyair yang masih sedemikian belia ini. Barangkali, kebeliaan itulah yang membuat Dina Oktaviani masih berada pada titik untuk membuat ekspresi atas perasaan, dan bukannya mencoba melihat dengan jarak lalu membangun refleksi atas perasaan-perasaannya.

Baik Dina maupun Shinta bukannya tidak pernah menautkan dirinya dengan peristiwa-peristiwa “besar” atau wacana yang lebih universal. Pada beberapa sajak mereka, keinginan untuk berefleksi tentang perang, atau tentang situasi negeri dimana mereka hidup, atau hiruk pikuk kota dan kehidupan urban, beberapa kali muncul dan sempat menjadi tema. Tetapi, karena hanya muncul sekilas, tidak sempat ada pernyataan penting yang muncul berkaitan dengan tema-tema luar ini. Kota hanya muncul sebagai lanskap, sementara kehidupan manusia di dalamnya dimaknai dalam bingkai perasaan atas relasi-relasi personal satu sama lain.

Puisi sebagai Pernyataan atas Identitas Keperempuanan

Sebagaimana yang telah digambarkan dalam bagian di atas, Shinta Febriany dan Dina Oktaviani menjadikan isu-isu personal sebagai basis kreatif dalam karya-karyanya. Strategi “yang personal itu politik”, sebagaimana yang terjadi dalam banyak ranah seni dan diskursus kontemporer merupakan sesuatu yang saya kira menandai kecenderungan tema pada generasi yang lahir pasca 1970an. Ketertarikan untuk menggali pengalaman personal, tanpa keinginan untuk memberi bingkai wacana yang lebih luas, bisa ditemukan pula pada karya-karya seni rupa atau sastra kontemporer. Pada dunia senirupa, bahkan ada kecenderungan dari seniman muda untuk menolak melekatkan “pesan-pesan” pada karyanya. Kredo bahwa “tidak ada lagi pesan hari ini” merupakan sebuah ungkapan yang populer dan merepresentasikan sebagian modus kreatif seniman muda masa kini.

Dalam kasus puisi Shinta dan Dina, barangkali menarik pula untuk menghubungkan gagasan yang personal itu politik dalam ranah kajian gerakan perempuan. Di bagian sebelumnya, saya telah menyebutkan bahwa penggunaan-penggunaan metafor pada puisi-puisi keduanya menunjukkan sebentuk perayaan terhadap kualitas-kualitas feminin, yang selama ini cenderung ditolak sebagai esensi keperempuanan dalam wacana feminisme. Penggunaan imaji yang sangat personal dan menunjukkan keintiman merupakan sebentuk strategi yang dirancang untuk menunjukkan penegasan mereka terhadap kualitas feminin tersebut. Demikian pula, esensi tema dari seluruh puisi mereka, yaitu relasi antara laki-laki dan perempuan, juga diberi sebuah cara pandang yang baru, dimana perempuan tidak direpresentasikan sebagai pihak yang terus-menerus menggugat, melainkan dengan caranya sendiri, para perempuan ini menunjukkan bagaimana kesetaraan bisa direbut bukan dengan gugatan, melainkan membangun strategi untuk menegakkan kuasa. Pada generasi penyair perempuan sebelum mereka, misalnya pada Dorothea Rosa Herliany dan Abidah El-Khaliqi, atmosfer gugatan ini dapat dikatakan menjadi sebuah pesan yang utama. Mereka menggugat bagaimana laki-laki berupaya untuk menegakkan dominasinya atas perempuan, baik dalam relasi sosial, relasi kerja maupun relasi seksual. Dalam tulisan pengantarnya untuk buku puisi Shinta Febriany, Afrizal Malna menyebutkan bahwa pada kedua penyair yang lahir pada periode yang lebih dahulu ini, bisa ditemukan banyak metafor yang menggunakan ikon lelaki dan kekerasan. Ada bau kemarahan pada puisi keduanya. Bau kemarahan itulah yang tidak lagi saya temukan pada puisi-puisi Shinta dan Dina. Sebaliknya, kedua penyair ini menunjukkan bahwa mereka menikmati dan menghayati pengalaman personal mereka dengan laki-laki.

Dalam wacana feminisme, perbedaan cara pandang antar generasi ini telah melahirkan apa yang disebut sebagai gelombang-gelombang pemikiran. Pada aktivis perempuan gelombang pertama, gagasan utama yang dikedepankan adalah persoalan politik dan bagaimana perempuan bisa berpartisipasi dalam kehidupan publik yang luas. Kemudian, setelah aktivis gelombang pertama ini sedikit banyak berhasil memperjuangkan tujuannya, para aktivis generasi selanjutnya berjuang untuk mendapatkan kebijakan yang lebih adil berkaitan dengan tubuh dan kehidupan personal mereka. Pada gelombang kedua ini, mulailah muncul persoalan personal seperti kontrasepsi, hak untuk melakukan aborsi, hak-hak perempuan dalam perkawinan dan sebagainya. Gelombang kedua banyak disebut sebagai generasi feminis yang radikal karena menunjukkan strategi perlawanan yang dalam wacana kajian budaya kontemporer disebut sebagai anti-esensialisme. Mereka cenderung terbuka secara seksualitas (pada titik ini, bahkan kemudian muncul identifikasi bahwa feminis adalah lesbian) dan menunjukkan keinginan untuk dilihat dalam posisi yang sama dengan laki-laki, termasuk menolak kualitas-kualitas feminin yang sering disebut sebagai bentuk ketidakberdayaan perempuan. Pada masa yang selanjutnya, feminis gelombang ketiga berupaya menghancurkan citra buruk feminisme dengan cara mengedepankan strategi-strategi yang lebih bersahabat dan melihat kesetaraan bukan sebagai kesamaan, tetapi justru sebagai situasi ketika perbedaan diberi tempat. Femininitas yang sebelumnya dikecam dan ditolak, kemudian muncul sebagai senjata baru bagi kaum perempuan untuk menunjukkan perannya dalam ranah sosial. Pada masyarakat kontemporer, citra-citra perempuan tidak lagi dibentuk oleh satu “pusat kekuasaan” yang menentukan bagaimana perempuan seharusnya bersikap—sebagaimana yang tertuang dalam salah satu puisi Shinta Febriany di atas—melainkan justru berbagai kemungkinan identitas dibentangkan. Perbedaan dan pilihan dirayakan, sehingga keduanya justru menjadi salah satu esensi dari pemikiran feminisme kontemporer.

Situasi macam inilah yang saya kira membentuk cara pandang dunia dari Shinta Febriany dan Dina Oktaviani. Lahir sebagai bagian dari generasi yang kaya dengan akses informasi, keduanya juga mendapatkan banyak kemudahan untuk membentuk satu pilihan pandangan dan identitasnya sendiri. Di antara keduanya, saya kemudian melihat adanya kesamaan dalam hal rumusan pandangan atas persoalan keperempuanan ini: bahwa kualitas feminin sekarang ini muncul sebagai sebuah esensi yang strategis, dalam pandangan Gayatri Spivak, dan bukan menjadi sesuatu yang memalukan untuk diakui, bahkan jika Anda mengaku sebagai seorang feminis. Saya melihat, dalam kerangka inilah kemudian persoalan-persoalan personal menjadi penting untuk dikemukakan, yaitu dalam rangka menegaskan femininitas tersebut.

Dalam hal ini, sesungguhnya saya agak keberatan dengan tafsir yang terlalu arbitrer tentang kaitan antara relasi personal dengan femininitas tersebut. Dalam pandangan saya, meskipun berbicara tentang isu-isu personal, penting untuk membuka jarak dan melihat dari sudut yang lain bagaimana isu personal ini bisa menautkan diri—baik diri penulis maupun pembaca—dengan dunia yang lebih luas. Saya percaya bahwa isu personal selalu lahir dari konteks sosial yang luas, yang di dalamnya soal-soal personal itu berkelindan dengan konflik antar masyarakat, pergeseran-pergeseran kecil akibat kebijakan negara, atau situasi keamanan yang tidak memberi kita jaminan apa-apa untuk bisa bertahan hidup. Nah, bagaimana konteks-konteks sosial ini memberi pengaruh pada relasi antar orang itulah yang belum saya dapatkan pada puisi-puisi Shinta Febriany dan Dina Oktaviani. Dalam sebuah catatannya tentang sajak Sapardi Djoko Damono, yang ditulis pada kisaran 1970an, Goenawan Mohamad mengatakan bahwa sajak-sajak Sapardi menunjukkan situasi ketika para penyair ingin lepas dari situasi “berjuang” yang pekat pada penyair generasi sebelumnya. Pada saat itu, Goenawan melihat adanya perkembangan baru dalam dunia puisi di Indonesia, dimana nilai-nilai yang mendalam tentang kehidupan dimunculkan, sesuatu yang telah disensor pada masa puisi realisme sosialis.

Dalam usia keduanya yang belia, saya merasa kagum dengan kemampuan keduanya membangun imajinasi dengan kata dan memperlakukan bahasa. Meskipun belum menemukan bentuknya yang paling baik, tetapi potensi besar ini juga telah membawa puisi menjadi bagian dari hidup sehari-hari kita. Karya puisi Dina Oktaviani beberapa kali dibacakan dalam acara-acara yang mengundang masa dari kalangan anak muda penggemar budaya populer, dan mendapatkan sambutan yang cukup baik di sana. Puisi Shinta, beberapa kali saya mencoba mencari respons pembaca melalui internet, juga diapresiasi dengan cara yang menarik oleh kalangan remaja. Saya melihat keduanya mempunyai potensi untuk membawa pembaca muda memasuki dan menjelajahi dunia sastra, justru karena keduanya bermain di ranah personal dan menggunakan ikon-ikon budaya populer sebagai metafor yang utama. Tapi di sisi yang lain, amat disayangkan jika pertautan antara budaya pop dan dunia sastra ini berhenti sampai para perayaan atas perasaan-perasaan semata. Yang harus dipikirkan kemudian adalah bagaimana agar para pembaca muda ini juga bisa menjelajahi cakrawala dunia melalui sastra, dan lebih spesifik lagi, melalui puisi. Akan sangat menarik jika para pembaca bisa mendapatkan sebuah cara pandang yang berbeda tentang dunia, yang membawa mereka bertanya kembali tentang deretan makna yang barangkali selama ini telanjur diterima secara mudah karena bentukan masyarakat atau institusi pendidikan, yang membawa mereka pada situasi reflektif atas bagaimana dunia dan hidup manusia sesungguhnya merupakan permainan kuasa (termasuk di antaranya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana yang pekat pada puisi karya Shinta dan Dina). Dengan cara menautkannya dengan konteks sosial dan kemudian memunculkan pernyataan personal yang cukup bisa digarisbawahi itulah, saya kira kemudian keduanya bisa memberi makna pada slogan “yang personal itu politis.” Tanpa upaya-upaya semacam itu, saya khawatir bahwa puisi menjelma menjadi alibi dan justifikasi atas perasaan semata. Dan slogan “yang personal iitu politis” kemudian jadi makin kehilangan makna karena melulu menjadi usaha seorang individu yang tak punya keinginan untuk bertaut dengan dunia.

Shinta Febriany dan Dina Oktaviani saya kira mempunyai pekerjaan rumah cukup berat dalam hal ini. Karena bagaimanapun, tulisan-tulisan akan menjadi perca sejarah di masa depan, sehingga kalau yang ditemukan melulu perayaan, saya khawatir akan semakin sulit bagi kita untuk belajar dengan baik dari sejarah.

Sumber: www.aliaswastika.multiply.com