G. Budi Subanar SJ
Benarkah Yogyakarta merupakan
kota mahasiswa terbaik di Indonesia?
Saya kira hal ini perlu diragukan.
1. Di Mana Roh Pendidikan Bersemayam?
Yogyakarta pernah mendapat julukan Kota Pendidikan. Salah satu faktor yang menjadi acuannya adalah banyaknya jumlah dan ragamnya perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Dalam perkembangannya sekarang, ketika kota-kota lain juga telah ditumbuhi sedemikian banyak lembaga pendidikan tinggi, masihkah Yogyakarta berhak untuk menyandang predikat tersebut? Adakah kemungkinan lain untuk memaknai Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan dengan cara berbeda? Dalam usaha tersebut perlu diketengahkan pertanyaan di mana dan bagaimana roh pendidikan berada dan bisa ditemukan?
Komunitas Learning Society
Pembicaraan ini bermaksud menempatkan Yogyakarta sebagai sebuah komunitas pendidikan, atau dalam kerangka pikir yang lebih luas adalah menghidupkan masyarakat pendidikan. Ada dua istilah learning community (komunitas pembelajar) dan learning society (masyarakat pembelajar) pada wilayah pendidikan yang mempunyai makna berlainan. Learning community merupakan sebuah metode dalam pendidikan (pembelajaran). Metode tersebut bermaksud untuk menjawab kebekuan proses belajar mengajar pada lembaga-lembaga pendidikan dalam menghadapi situasi yang terus berkembang. Tujuan baru dirumuskan berdasar pada pandangan tentang pendidikan dan tentang manusia. Pencapaiannya antara lain dilakukan dengan pembaruan pada pelaku, pola interaksi, mekanisme kerja. Di dalam pelaksanaannya ada evaluasi atas keberhasilan dan kegagalannya. Sedangkan istilah learning society menghadirkan diskursus yang membuka cakrawala untuk menemukan cara melihat berbagai kemungkinan dinamika pendidikan dalam situasi aktual di berbagai ranah kehidupan yang terus mengalami perubahan.
Dalam pembahasan ini, Yogyakarta ditempatkan sebagai sebuah komunitas kesatuan hidup yang berupaya memaknai diri dalam dinamika learning society, komunitas masyarakat pembelajar. Kalau pada learning community wilayah cakupannya ada di dalam lingkup lembaga pendidikan, dengan menempatkan diri sebagai komunitas learning society lingkungannya diperluas melibatkan semua warga di seluruh wilayah (kota) dalam berbagai ranah kehidupan dengan berbagai dinamika dan pembaruannya. Dengan demikian pihak yang terlibat pun diperluas, mencakup berbagai komponen masyarakat yang ada di seluruh wilayah (kota). Tempat-tempat yang dipakai tidak terbatas di dalam ruang kelas, atau tempat kuliah, melainkan juga ruang-ruang sosial (kota). Sarana yang digunakan meliputi berbagai ekspresi. Yang mau dicapai dengan pendidikan ini adalah membangun hidup bersama sebagai masyarakat yang saling terhubungkan dalam menanggapi situasi yang terus berubah, dan menggerakkannya untuk turut terlibat bersama pada berbagai ranah kehidupan. Dalam gerak komunitas learning society terkandung sebuah usaha pendidikan seumur hidup. Dengan usaha tersebut, kita membangun masyarakat terdidik, yang bertumpu pada sistem masyarakat warga yang mengaktifkan seluruh warganya, menjaga seluruh lingkup kehidupan yang memungkinkan untuk terus belajar, dan memberi kesempatan pada seluruh lapisan anggota masyarakat.
Berangkat dari Bawah
Pembahasan ini juga didasarkan pada usaha UNESCO yang pada 1998 melalui sebuah komisi mengeluarkan rumusan tentang 4 pilar pendidikan yang diharapkan dapat mengantar ke abad 21. Ke 4 pilar tersebut mencakup: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Dengan menyebut komunitas learning society, titik berangkatnya bertumpu pada learning to live together. Usaha ini dibangun dari bawah sekaligus mencakup ketiga bidang yang lain.
Kehidupan bersama menjadi arena di mana beragam kepentingan saling bertemu dan memungkinkan terjadinya konflik sehingga bisa saling menghancurkan atau meniadakan. Mempertemukan pihak-pihak yang terlibat di dalam hidup bersama, perlu mengajarkan siapa ‘the others’ itu. Orang perlu diajak untuk memahami peta hidup bersama, menemukan identitas dalam kelompok, dan dalam komunikasi dan relasinya dengan yang lain. Ada kepentingan bersama yang tidak bisa dilakukan sendiri, tapi dalam ketergantungan pada yang lain. Perlu memahami yang lain bukan melulu faktor instrumental yang melengkapi untuk tujuan diri atau kelompok saja. Ada banyak dimensi yang tidak dapat direduksi hanya untuk kepentingan ekonomis, atau politis semata. Di dalamnya terdapat dimensi sosial, kultural dan berbagai unsur lain berisi kekayaan hidup bagi setiap orang dan bersama. Hal tersebut dapat dipahami dan dialami hanya lewat praktek dan belajar.
Untuk itu, pembahasan berikut akan menampilkan jejak pendidikan yang ada di Yogyakarta. Komunitas yang ada sekarang tidak terpisah dari yang telah ada sebelumnya. Di dalamnya ada kontinuitas dan diskontinuitas. Ada pengaruh dari pembangunan yang berkelanjutan, serta pengaruh globalisasi. Apanya yang tetap? Apanya yang berubah? Pembahasan ini akan berujung pada realitas yang berlangsung sekarang dalam masyarakat Yogyakarta dengan segala dinamikanya.
Pembahasan berikut mencakup lembaga pendidikan (tinggi), lembaga dan pihak lain yang ada dalam masyarakat beserta dengan tali-temalinya. Di sinilah Yogyakarta sebagai sebuah komunitas learning society dipahami. Yogyakarta sebagai sebuah kesatuan, bukan saja sebagai kesatuan wilayah administratif, juga merupakan sebuah kesatuan wilayah kultural, sebagai sebuah komunitas hidup bersama. Di dalam lingkup ini akan diuji adakah roh pendidikan ditemukan di sana, bagaimana hadir dan terjelma.
2. Yogyakarta sebagai Ibukota RI: Menyediakan Kebutuhan Tenaga
Perjalanan sejarah Yogyakarta dalam dunia pendidikan telah meletakkan dasar yang menentukan bagi proses berikutnya. Kendati pun tiap periode punya dinamikanya sendiri. Membaca proses terbentuknya sampai pewarisannya merupakan interpretasi atas sejarah. Warisan nilai, institusi, dan mekanisme jaringan kerjanya membuat generasi berikutnya bergerak di sekitar wilayah itu. Bagian berikut berusaha melihat kembali terbentuknya sejumlah lembaga, dan mekanisme jaringan kerjanya. Termasuk menemukan keterlibatan berbagai pihak di dalam proses tersebut.
Masa-masa Awal
Pada 5 (lima) tahun pertama berdirinya RI, Yogyakarta menjadi ibukotanya. Ini bermula dari pengakuan yang diberikan pemimpin Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII kepada negara RI yang baru. Yogyakarta mencakup wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan wilayah Pakualaman. Keterlibatannya pada negara RI didasarkan pada Maklumat Yogyakarta yang mengakui RI sebagai negara, dan kesediaan dalam menempatkan diri sebagai bagiannya. Maklumat tersebut ditanggapi Presiden RI yang memberi status keistimewaan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta. Karena kegentingan dalam menghadapi Belanda mulai dari 4 Januari 1946, presiden beserta wakilnya berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Mulai saat itulah Yogyakarta disibukkan untuk menjadi ibukota RI.
Perpindahan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta membawa banyak konsekuensi bagi masyarakat dan pemerintah daerah Yogyakarta. Di dalamnya terkait dengan masalah wilayah, pemerintahan dan rakyat. Populasi penduduk membengkak dari 170.000 menjadi 600.000 jiwa. Demikian pun berbagai instansi dan jawatan pemerintah memindahkan kantornya ke Yogyakarta.
Dalam mengemban tanggung jawab tersebut, ada masa di mana Yogyakarta belum mengalami kesiapan struktur. Sebagai wilayah yang menggabungkan diri pada negara yang baru, ada usaha penataan pemerintahan yang dilakukan ke dalam dan keluar. Hubungan dengan pemerintah pusat juga mengalami masalah. Tatkala menggunakan Yogyakarta sebagai ibukota, pimpinan pemerintah pusat mengangkat pimpinan kota seturut skenarionya. Namun hal tersebut tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya, Sri Sultan diminta untuk memilih orang yang memimpin kota sehingga pemerintahan dapat berfungsi. Masalah penataan pemerintahan kota Yogyakarta secara yuridis administratif masih berlangsung pada tahun-tahun selanjutnya.
Kemunculan Perguruan Tinggi
Bersamaan dengan itu lahirlah sejumlah lembaga perguruan tinggi di Yogyakarta. Latar belakang kemunculan lembaga pendidikan tinggi yang berdiri di Yogyakarta perlu ditempatkan dalam lingkup keberadaan perjuangan RI sebagai negara baru dan masa sesudahnya. Dengan demikian kemunculannya mengarah pada usaha untuk menjawab masalah yang harus ditanggung oleh negara baru tersebut. Orientasi praktis dari berdirinya lembaga pendidikan tinggi di Yogyakarta mengacu pada penyediaan tenaga yang terarah pada bidang-bidang tertentu. Di antaranya terkait dengan penyediaan tenaga birokrasi, kader ilmuwan, pemikir tradisi dan agama, dan tenaga guru. Bahkan juga penyediaan tenaga ahli di bidang seni budaya.
Lingkup masyarakat Yogyakarta dengan berbagai unsurnya turut memberikan sumbangan bagi keberlangsungan lembaga pendidikan tinggi: para birokrat pemerintahan yang memikirkan kebutuhan tenaga terdidik, kalangan bangsawan dengan latar belakang pendidikan barat dan tradisi, serta kalangan ilmuwan yang berprofesi sebagai pendidik. Yang tidak dapat ditinggalkan adalah anggota masyarakat yang terdiri dari keluarga-keluarga di kampung-kampung tempat para mahasiswa baik lokal mau pun pendatang tinggal dan berinteraksi. Keberadaan lembaga pendidikan tinggi di Yogyakarta turut ditopang berbagai sekolah dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas (baik umum maupun kejuruan) yang banyak terdapat di Yogyakarta. Sekolah-sekolah tersebut diselenggarakan oleh berbagai instansi baik pemerintah maupun yayasan swasta.
Tidak bisa dipungkiri bahwa lembaga pendidikan tinggi di Yogyakarta pada awal masa RI, adalah karya perintisan. Semuanya serba terbatas. Belum ada kampus, karena tempat kuliah serba terpencar dan meminjam. Demikian pun tenaga pengajarnya. Sebagian besar mahasiswa dibeayai oleh pemerintah. Di sebalik usaha awal yang serba terbatas itu, ada pihak-pihak yang terlibat menjadi motor penggeraknya. Ada penyandang dana yang membantu dengan menyediakan sarana yang dibutuhkan. Ada pemikir yang merumuskan ide dan konsep dasar yang menjadi garis arahnya. Ada proses penataan administrasi dan personalia yang bertahap untuk memantapkan institusi dan operasionalnya. Ada yang mulai bergerak pada wilayah penelitian dan pelayanan langsung kepada masyarakat. Kesatuan gerak sinergis tersebut, pada gilirannya mampu menghadirkan lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang sampai sekarang tetap berdiri.
Keragaman Kehidupan Kota
Dengan munculnya lembaga pendidikan (tinggi), warga kota tidak melulu terdiri dari kelompok militer dan laskar rakyat (sebagaimana digambarkan sebagai orang-orang yang beragam seragamnya, berambut gondrong tetapi menenteng senjata api), kaum birokrat pemerintah, kelompok bangsawan, dan rakyat kebanyakan. Ada juga kelompok cerdik pandai, dosen, guru, pemikir, peneliti. Orang-orang golongan ini memberi sumbangan bagi pembentukan masyarakat pendidikan. Termasuk di dalamnya adalah para mahasiswa. Ada juga kelompok pedagang dan pengusaha yang biasanya terdiri dari kaum Tionghoa. Sejarah yang demikian memperlihatkan bahwa lembaga pendidikan (tinggi) tidak terpisahkan dari komunitas hidupnya, menjadi bagian dari masyarakat Yogyakarta yang mewujudkan sebagai komunitas learning society.
Kehidupan kota Yogyakarta juga diwarnai oleh hadirnya media cetak koran , dan media elektronik radio yang beredar di tengah masyarakat. Media tersebut berfungsi untuk mengantarai serta menciptakan forum yang memungkinkan terjadinya komunikasi pada wilayah publik. Di samping itu ada pula terbitan yang menjadi sarana komunikasi organisasi tertentu untuk anggota-anggotanya. Dengan demikian kehidupan masyarakat Yogyakarta dengan strukturnya dan berbagai unsur serta media komunikasinya sudah menjadi sebuah sistem di dalam masyarakat modern.
3. Pendidikan bagi Pembentukan Kebudayaan, Bangsa, dan Kemanusiaan
Keterlibatan sejumlah tokoh baik pada tingkat wacana maupun dalam tindakan tentu turut mewarnai nilai-nilai yang terumuskan dan institusi yang terbentuk sehingga dapat berjalan sebagai sebuah sistem yang menentukan gerak selanjutnya. Untuk melengkapi uraian di atas, berikut ini diketengahkan wacana tentang pendidikan, figur yang menjadi penopang bagi terbentuknya sistem pendidikan tinggi di Yogyakarta, dan perkembangan setelah lembaga pendidikan tinggi berdiri.
Pendidikan Bagian dari Kebudayaan
Sudah sejak semula, tokoh pendidikan Indonesia melihat pendidikan yang kita lakukan sebenarnya tidak terpisah, bahkan merupakan bagian dari kebudayaan. Pendidikan yang dilahirkan itu merupakan bentuk perlawanan terhadap peninggalan sistem kolonial yang menjadikan orang-orang terdidik menjadi kelompok elit sebagai modal produksinya. Pendidikan tersebut dikembangkan untuk memberi arti pada manusia yang merdeka, dalam wadah negara merdeka, membangun masyarakat dan bangsa berdaulat dengan kekhasan budayanya.
Dalam sebuah rumusan singkat Ki Hajar Dewantara mengungkapkan, “pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.” Usaha pendidikan yang ditempatkan dalam kebudayaan dimaksudkan untuk melawan pada arus kolonial yang intelektualistis, individualistis, dan materialistis. Dengan menempatkan pendidikan di dalam kebudayaan, berarti pendidikan diletakkan pada hidup kemanusiaan yang berarti keluhuran budi, dan sifat peradaban bangsa. Cakupannya meliputi mempertinggi dan memperhalus kehidupan manusia seutuhnya, dan menyempurnakan kehidupan masyarakat. Di sinilah dasar kebudayaan itu ditempatkan.
Dalam sejumlah forum, dan tulisan keterkaitan pendidikan dan kebudayaan menjadi diskusi yang panjang. Sistem pendidikan yang dipraktekkan Perguruan Tamansiswa kemudian dikembangkan menjadi sistem pendidikan nasional. Dalam perkembangannya, konsep tersebut kemudian dikaitkan dengan konsep character and nation building. Pendidikan yang ditempatkan di dalam kerangka tersebut berarti memasukkan ideologi di dalamnya. Ini tidak lagi sejalan dengan tujuan pendidikan yang mendidik manusia seutuhnya.
Perguruan tinggi yang berdiri pada awal kemerdekaan RI secara langsung menjadi lembaga pendidikan yang menyediakan tenaga yang dibutuhkan pada berbagai sektor pekerjaan pada lembaga-lembaga pemerintahan dan berbagai ranah kehidupan lainnya. Dengan pernyataan tersebut tidak dapat begitu saja dibayangkan bahwa melulu menekankan segi profesionalitas bidang tertentu. Gagasan para tokoh pendiri lembaga pendidikan tinggi yang ada tidak terbatas pada usaha tersebut.
Dua Tokoh Pendidikan (Tinggi) dari Yogyakarta
Dua tokoh yang berakar di Yogyakarta dan terlibat dalam pendirian lembaga pendidikan tinggi di Yogyakarta adalah Ki Hadjar Dewantara dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai tokoh pendidikan dengan Tamansiswa yang digelutinya sejak 1922. Seluruh dinamika perguruan Tamansiswa tidak dapat melepaskan diri dari gagasan Ki Hadjar Dewantara yang menempatkan tiga pusat pendidikan (tri sentra) meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat. Kendati pun ketiganya saling dibedakan fungsinya, namun ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini perlu ditempatkan pada pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan menyeluruh yang berpusat pada manusia dalam seluruh lingkungan hidupnya.
Ki Hadjar Dewantara memberi catatan tentang bahaya sistem pendidikan sekolah yang lebih menekankan unsur kecerdasan melalui pemberian ilmu dan mengabaikan kecerdasan budi pekerti dan budi kesosialan yang diberikan dalam keluarga dan masyarakat. Ini yang menjadi kecenderungan pendidikan umum di Indonesia karenanya Tamansiswa menempatkan kekhasan pendidikan yang menggunakan sistem pamong. Di dalam prosesnya, pendidikan Tamansiswa diselenggarakan secara berjenjang mulai dari awal pembentukan anak di Taman Anak, Taman Muda, dan Taman Dewasa. Penjenjangan tersebut didasarkan pada psikologi perkembangan yang menempatkan dinamika setiap orang mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa.
Kendati Tamansiswa baru memiliki pendidikan tinggi 33 tahun setelah berdirinya, Ki Hadjar Dewantara telah berulang kali menyebut jenjang pendidikan tinggi, universitas, atau akademi. Terhadap lembaga pendidikan tinggi, Ki Hadjar Dewantara berpandangan bahwa “Balai perguruan tinggi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pembangunan negara yaitu sebagai syarat pendorong, pembangun, dan pemeliharaan kebudayaan.” Pendidikan yang ditempatkan dalam kebudayaan membawa implikasi panjang baik pada tataran konsep mau pun pelaksanaannya. Sampai periode memasuki kemerdekaan, usaha dalam pendidikan dan pengajaran mengambil bentuk gerakan revolusi. Ketika telah berada dalam wadah negara Indonesia, perjuangan di bidang pendidikan sebagai usaha kebudayaan menjadi gerak evolusi. Dalam pelaksanaan yang bertumpu pada asas demokrasi, pendidikan tak melulu menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi melibatkan pihak partikelir yang memiliki keragaman landasan ideologi keagamaan, kebudayaan, kemasyarakatan, atau ideologi praktis lainnya. Keikutsertaan pihak partikelir dimaksudkan untuk mendukung gerak penyebaran secara cepat atas penyelenggaraan pendidikan. Landasan-landasan konseptual yang kokoh tersebut mendasari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan pendidikan di Yogyakarta.
Terhadap keterlibatan Ki Hadjar Dewantara, Universitas Gajah Mada memberi gelar kehormatan doktor honoris causa. Pemberian gelar tersebut dilakukan 7 Nopember 1956 mengacu pada tiga peran yang disumbangkan oleh Ki Hadjar Dewantara meliputi perjuangan kemerdekaan, perjuangan pendidikan, dan perjuangan kebudayaan. Hal tersebut secara akademis dan pengakuan formal mengokohkan peran yang telah dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara yang tidak terbatas pada bidang pendidikan.
Sudah sejak pengangkatannya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX secara sadar mengungkapkan diri dengan mengacu pada unsur pendidikan dan akar budaya sebagai pembangun identitas dirinya. “Kendati pendidikan Barat sangat mewarnai saya, saya pertama-tama seorang Jawa dan tinggal pertama seorang Jawa”. Kesadaran diri atas pendidikan dan tradisi menjadi nyata dalam keterlibatannya. Antara lain dalam pendirian berbagai lembaga pendidikan tinggi, menyediakan fasilitas bangunan dalam kraton untuk perkuliahan Universitas Gajah Mada. Sikap keterbukaannya juga meliputi bidang-bidang lain.
Dalam satu sambutannya, Sri Sultan mengakui peran Ki Hadjar Dewantara di dunia pendidikan. Di dalamnya ditegaskan tentang dasar kepribadian, dan semangat kebangsaan sebagai hal yang mendorong berdirinya Tamansiswa. Dasar tersebut sekaligus menjadi tujuan pendidikan untuk pembentukan diri manusia sebagai individu, dan bagian dari masyarakat. Secara khas dirumuskan, “memayu hayu saliro, memayu hayu bongso, memayu hayu manungso”. Pernyataan tersebut menegaskan kembali pada kesadaran diri yang dirumuskan saat penobatannya. Dalam perumusan tersebut, ada sebuah interpretasi sehingga menangkap makna yang dirumuskan secara baru.
Dalam lingkup internasional, Sri Sultan dikenal sebagai salah seorang pencetus modern scouting. Gagasan modern scouting diterapkan di beberapa negara. Dalam kegiatan tersebut unsur pendidikan bagi para pesertanya sangat nampak terkait dengan berbagai hal mencakup kegiatan sosial, berorganisasi, beragam ketrampilan, pengenalan lingkungan, serta penanaman nilai etika dan moral yang dibutuhkan.
Tahun 1982, Sri Sultan terlibat dalam pendirian Universitas Widya Mataram di dalam lingkungan Kraton Yogyakarta. Dalam ungkapannya, Sri Sultan menyatakan, “... saya mendirikan Universitas Widya Mataram tidak untuk menambah deretan panjang jumlah perguruan tinggi di Yogyakarta, tapi saya ingin memberikan alternatif bagi dunia pendidikan di Yogyakarta.” Pada satu sisi, usaha tersebut memperlihatkan konsistensi keterlibatan Sri Sultan di dalam dunia pendidikan (tinggi). Di sisi lain, keterlibatan tersebut dimaknai dengan pemikiran pembaruan. Hal inilah yang perlu digali dan diinterpretasikan kembali.
Perkembangan Setelah Adanya Perguruan Tinggi
Dengan kemunculan lembaga pendidikan tinggi, sejumlah isu yang terkait dengan situasi sosial dan masalah idealitas muncul dalam forum yang diselenggarakan, maupun tulisan yang diterbitkan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan didirikannya perguruan tinggi. Tahun 1956 Universitas Gajah Mada menyelenggarakan Seminar Internasional tentang Kebudayaan dan Seni. Penyelenggaraannya tidak melulu berisi pembicaraan, juga disertai pameran dan peragaan yang melibatkan berbagai komponen masyarakat. Tahun berikutnya, bersama Universitas Indonesia menyelenggarakan seminar sejarah. Dalam seminar tersebut diletakkan pendasaran historiografi yang indonesiasentris untuk memisahkan diri dari historiografi dengan sentris-sentris yang lain. Tokoh yang muncul dari forum tersebut antara lain Dr. Sartono Kartodirdjo. Dalam bidang filsafat, termasuk di dalamnya filsafat pendidikan, filsafat manusia, dan berbagai kajian lainnya, Prof. Dr. N. Driyarkara menerbitkan berbagai tulisannya. Bahkan beberapa kali mengkomunikasikannya lewat media siaran radio.
Konsep-konsep dan dinamika yang terumuskan di atas, menjadi dasar bagaimana pada satu sisi pendidikan ditempatkan dalam budaya yang ada dalam masyarakat. Di sisi lain, pendidikan sebagai proses mengupayakan setiap orang semakin membentuk kemanusiaannya. Kemanusiaan tersebut tidak berada di tempat yang kosong, melainkan terjelma di dalam kebudayaan yang terus menerus mengalami pembaruan. Bangsa Indonesia yang telah berkembang sampai sekarang ini berhadapan dengan sedemikian banyak arus pembaruan yang perlu dicermati dan direfleksikan terus menerus. Di dalam kompleksitas inilah lembaga pendidikan menghadirkan diri di dalam jejaring yang ada di dalam komunitas masyarakat yang khas, sekaligus berhadapan dengan pengaruh global.
Masyarakat tidak melulu bergantung pada segelintir tokoh, tidak juga hanya ditentukan oleh lembaga-lembaga resmi. Dengan paham demokrasi, mengandaikan masyarakat warga yang semuanya terlibat. Tidak bisa hanya tergantung pada tokoh karismatis tertentu. Tidak juga melulu bergantung pada lembaga resmi, apalagi lembaga demikian dalam prosesnya akan cenderung beku, dan tidak cepat tanggap terhadap situasi aktual yang dinamis.
Dengan mengacu pada dinamika dan partisipasi masyarakat warga, maka dapat diajukan pertanyaan di mana partisipasi warga terlibat di dalam komunitas learning society? Dalam situasi dinamika sosial yang terus berubah, dan idealitas yang terus diperbincangkan, tidak membatasi lembaga pendidikan (tinggi) pada tujuan praktis untuk memenuhi tenaga kerja. Kegiatan penelitian (sosial) untuk ilmu pengetahuan yang terarah pada kebutuhan masyarakat menjadi bagian yang tak terpisahkan. Di medan inilah keterlibatan para pengajar, peneliti, dan para mahasiswa banyak diharapkan.
4. Dinamika Mahasiswa dan Perguruan Tinggi di Yogyakarta
Dalam kalangan masyarakat, ada beragam pandangan tentang Yogyakarta. Sebagian memandang kehidupan di Yogyakarta dalam kerangka yang dibingkai oleh ikatan tradisi yang kuat seakan-akan menjadi norma untuk memandang dan menilai kehidupan yang ada di Yogyakarta. Bahkan kadang terasa menafikan perubahan-perubahan yang ada. Sebagian lain memandang Yogyakarta telah berubah sebagaimana adanya sekarang dengan berbagai ragam gejala yang dirasakan. Sejumlah gejala perubahan yang terjadi akan diketengahkan di sini. Dalam dinamika tersebut ditempatkan mahasiswa yang menanggapi perubahan yang ada, dan dinamika lembaga perguruan tinggi yang menjadi tempat para mahasiswa menuntut ilmu.
Yogyakarta yang Berubah
Tersedianya sejumlah lembaga pendidikan tinggi di Yogyakarta sejak awal terbentuknya RI dan masa-masa selanjutnya, telah membuat Yogyakarta menjadi tempat tujuan pendidikan. Berbagai pemerintah daerah mengirimkan putra-putrinya untuk menuntut ilmu di Yogyakarta. Di Yogyakarta hadir asrama mahasiswa dari berbagai daerah. Di berbagai kampung yang tersebar di Yogyakarta, masyarakat setempat menyediakan pemondokan sesuai dengan kelas ekonomi para mahasiswa. Yogyakarta menjadi melting pot, kancah perjumpaan bagi banyak mahasiswa yang datang ke Yogyakarta. Namun demikian, masyarakat Yogyakarta bukan sekadar miniatur Indonesia di mana para mahasiswa memperoleh pengaruh budaya Jawa, atau keragaman budaya yang dibawa memperkaya khasanah hidup di Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta dengan dinamikanya terus mengalami perubahan dan memperbarui diri.
Perubahan-perubahan yang berlangsung di Yogyakarta tak dapat lagi untuk menempatkan diri dalam gambaran romantis. Seakan Yogyakarta merupakan kota yang penuh kenyamanan dengan warna budaya spiritual. Perubahan ritme hidup, tingkat kesejahteraan, dan pola konsumsi dapat terlihat dalam perjalanan waktu. Perubahan pola pemukiman berlangsung di sejumlah wilayah Yogyakarta. Pola pemilikan tanah pertanian mulai bergeser sehingga mempengaruhi pola kehidupan petani di sekitar Yogyakarta. Perubahan wajah kota dengan banyaknya bilboard yang mencerminkan selera konsumsi sehingga slogan Yogyakarta Berhati Nyaman diplesetkan menjadi Yogyakarta Berhati Iklan. Menjamurnya toko-toko dengan berbagai barang konsumsi dan sarana komunikasi, atau pun warnet yang memungkinkan penggunanya menjelajah dunia (maya) tanpa berpindah ruangan. Itulah sejumlah gejala materialisme dan kapitalisme yang tak terbendung sebagaimana dikuatirkan oleh sejumlah warga Yogyakarta.
Sebagai akibat pembangunan, kota-kota telah tumbuh dan berkembang kendati tidak dikehendaki, bahkan mungkin tidak direncanakan. Ketika pembangunan belum direncanakan, kota telah mengalami pertumbuhan karena adanya tawaran sekolah untuk mengembangkan kecerdasan warganya. Kota menjadi penuh sesak. Ini terjadi karena ruang geografis kota yang tidak elastis. Perubahan sebagai konsekuensi dari pembangunan terlihat dalam aktivitas yang timbul, meningkat, dan akan mencapai titik jenuh, sampai memunculkan ritme ‘creative destruction’. Di samping itu, berlangsung pula ketidaksamaan (pendapatan) yang memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi. Itulah sejumlah dampak dari pembangunan yang perlu dipikirkan.
Di Yogyakarta mahasiswa pendatang menjalani kehidupan baru yang penuh tantangan sosial dan kultural. Masalah tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah yang terperangkap pada paradigma pembangunan fisik. Kota-kota yang menjadi tempat tujuan para mahasiswa menjalani masa studinya justru memiliki program yang berbeda. Pada masa pemerintahan Suharto salah satu program yang menjadi sangat populer adalah kompetisi antar kota untuk memperebutkan piala Adipura. Program tersebut merangsang penataan kota dan menjadikannya sebagai kota terbersih dan terindah. Di sebalik itu, ada sekian banyak masalah sosial kota yang tidak terjamah.
Para Mahasiswa yang Bergerak
Minat pada keterlibatan sosial para mahasiswa yang kuliah di Yogyakarta telah tampak sejak semula. Pada pertengahan tahun 50-an sejumlah mahasiswa Universitas Gajah Mada dikirimkan ke berbagai daerah untuk membantu memajukan kehidupan masyarakat daerah. Minat pada keterlibatan sosial tersebut terus berlangsung dalam beragam bentuk. Pada awal tahun 80-an, Yogyakarta pernah digegerkan oleh sebuah hasil penelitian dari sekelompok mahasiswa Universitas Gajah Mada yang mengungkap fenomena kumpul kebo di kalangan mahasiswa perantau di Yogyakarta. Temuan tersebut, pada satu sisi mengungkap satu masalah sosial yang ada di Yogyakarta. Di sisi lain, temuan juga mengungkap betapa relasi sosial antara warga Yogyakarta dengan para pendatang telah menjadi renggang. Adanya gejala anonimitas di antara warga kota menciptakan pergeseran norma-norma sosial yang semula diandaikan masih dipegang teguh. Padahal dengan tercabutnya para mahasiswa dari ikatan sosial dan budaya dari tempat asalnya telah membuka wawasan dan kemungkinan baru selama menjalani masa studi. Ketika tidak tertangani, kumpul kebo menjadi salah satu fenomena yang dirasakan di Yogyakarta. Inilah yang ditemukan dalam penelitian para mahasiswa. Tapi, hasil penelitian tersebut menjadi suara-suara anak muda yang dianggap mengganggu.
Suatu yang juga marak pada tahun 80-an adalah kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Program tersebut bermaksud memisahkan mahasiswa dari keterlibatan dalam gerak politik kemasyarakatan. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef yang melansir program tersebut menguraikan dasar pemikirannya. Banyak demo perlawanan dari mahasiswa terhadap kebijakan yang bermaksud membatasi keterlibatan mahasiswa dengan dunia di luar kampus itu. Tak terkecuali berbagai perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Dalam suasana tersebut, ada usaha alternatif guna memberi aktivitas bagi para mahasiswa berupa program mahasiswa turun ke desa. Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dimulai tahun 70-an, embrionya bermula dari Aksi Pengiriman Mahasiswa tahun 50-an. KKN yang semula bersifat sukarela, menjadi wajib untuk tiap mahasiswa.
Dalam suasana pergolakan yang dialami mahasiswa, kota-kota yang menjadi tempat tujuan para mahasiswa menjalankan program pembangunan nasional yang berorientasi pada pembangunan fisik. Untuk mengawal program pembangunan nasional tersebut, rejim yang berkuasa memberlakukan kontrol represif. Keperdulian mahasiswa terhadap masalah sosial dan kemanusiaan lewat sastra sejarah tentang realisme sosial pun aksesnya dipotong. Mahasiswa dan khalayak dilarang mengedarkan dan membaca tulisan-tulisan Pramudya Ananta Toer. Sejumlah mahasiswa Yogyakarta Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho dan Bambang Subono menjadi korban harus menjalani hukuman 7-8 tahun.
Gerakan mahasiswa tersebut di atas merupakan wujud kegelisahan terhadap dinamika masyarakat warga yang ekspresinya tidak ditemukan di dunia kampus. Dalam aktivitasnya, para mahasiswa harus berhadapan dengan tindakan rejim penguasa. Kendati pun demikian, dengan bergantinya generasi mahasiswa gerakan-gerakan semacam senantiasa muncul. Di kalangan mahasiswa aktivis yang turut mendorong terjadinya gerakan reformasi untuk melengserkan rejim Suharto, Yogyakarta menjadi satu simpul penting tempat bertemunya mahasiswa aktivis dari berbagai kota.
Perkembangan Perguruan Tinggi
Kemunculan perguruan tinggi di Yogyakarta sebagaimana disebut di atas, sejalan dengan pengamatan yang dilakukan Douglas S. Paauw atas perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Keberadaan universitas dikaitkan dengan pengetahuan dan keahlian yang sampai pada penerapannya untuk pembangunan nasional. Ketika sistem pendidikan kolonial sangat membatasi kemungkinan kaum pribumi untuk bisa mengaksesnya, segera setelah kemerdekaan Indonesia mulai diciptakan sistem dari dasar yang kecil yang ditinggalkan oleh kolonial Belanda. Keterbatasan jumlah pengajar pribumi mulai diatasi dengan pengiriman tenaga untuk belajar di luar negeri. Keterbatasan jumlah mahasiswa yang memiliki kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi, mulai teratasi dengan penambahan jumlah perguruan tinggi. Dalam hal ini peran lembaga pendidikan swasta tampak menonjol karena jumlahnya menjadi berlipat-lipat dalam waktu yang relatif singkat. Peningkatan jumlah perguruan tinggi tersebut memunculkan kendala kurangnya jumlah tenaga pengajar dan peneliti yang berkualitas. Dengan demikian terjadi peminjaman tenaga yang mengajar di berbagai tempat, sehingga tidak memungkinkan tersedianya pengajar purna waktu di suatu tempat untuk menjamin kualitas pengajaran dan penelitian. Di samping itu kurang ada sebuah penyebaran yang memungkinkan penyelenggaraan pendidikan tinggi berlangsung di berbagai tempat sehingga keberadaan lembaga pendidikan tinggi lebih terkonsentrasi di Jawa.
Pengamatan Douglas S Paauw juga mencatat banyaknya institut yang didirikan untuk memenuhi pengadaan tenaga guru. Gejala tersebut memperlihatkan sebuah kecenderungan pada ilmu terapan. Sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan III (1978-1983), Daoed Joesoef mengusahakan pembedaan dan penekanan tugas universitas yang terkait pada pengembangan scientific knowledge, disamping untuk mengembangkan scientific spirit yang merupakan prasyarat bagi terciptanya scientific knowledge. Sedangkan IKIP lebih diarahkan pada pemberian pengetahuan (scientific knowledge) disertai pembentukan scientific culture untuk para calon guru yang akan mendampingi murid yang belum memperoleh scientific culture dari keluarganya.
Ada beberapa masalah lain yang dihadapi oleh perguruan tinggi di Indonesia. Tonny D. Widiastono menyebutkan kenaikan jumlah mahasiswa yang menimbulkan masalah pengadaan sarana dan prasarana, perencanaan pengembangan, dan pengadaan tenaga dosen berkualitas. Di samping itu adanya ketergantungan perguruan tinggi di luar Jawa pada perguruan tinggi yang ada di Jawa. J. Drost, SJ melihat kecenderungan perguruan tinggi lebih merupakan pranata administratif yang memayungi sejumlah bidang ilmu pengetahuan tanpa ada hubungannya. Satu kecenderungan lain yang dilihatnya adalah orientasi pragmatis. “... pendidikan tinggi yang mengambil sikap pragmatis mengubah sifat-sifat universitas. Universitas bukan lagi suatu lembaga yang mencita-citakan membentuk pribadi-pribadi yang dihayati oleh nilai-nilai universal melainkan sebuah sekolah kejuruan yang mendidik para mahasiswanya menjadi roda-roda dalam proses ekonomi dan teknologi.” Mengatasi permasalahan tersebut, J. Drost mengusulkan tidak melulu mendasarkan pada pemberian mata kuliah-mata kuliah dasar, melainkan pemilihan senat guru besar dan rektor perguruan tinggi yang memiliki kualifikasi ilmuwan. Dengan mengandalkan tenaga tersebut, J. Drost menyebutkan pengandaiannya bahwa seorang ilmuwan mampu mendampingi mahasiswanya.
Dalam berbagai ketegangan tersebut, universitas perlu menjadi penjamin bagi nilai universal, sekaligus menegaskan sebagai pusat ilmu dan keterlibatan sosial. Berhadapan dengan kebutuhan pasar dan masyarakat, universitas perlu menempatkan diri sebagai lembaga ilmiah dan pusat belajar agar mahasiswa memperoleh teori, metode riset lapangan dan ketrampilan mengajar, serta lembaga yang menawarkan kualifikasi kerja dikombinasikan dengan pengetahuan dan ketrampilan. Universitas juga merupakan pusat proses belajar seumur hidup, dan partner untuk jaringan kerja internasional. Fungsi-fungsi tersebut menjadi tidak mudah untuk dilaksanakan, ketika kebijakan yang ada tidak saling berkesinambungan.
Pada sisi lain, kelompok intelektual yang pada mulanya bersama pihak lain menjadi bagian masyarakat yang bahu-membahu membangun “untuk nusa dan bangsa”, dalam perkembangannya justru mengebawahkan diri dalam afiliasi kelompok sehingga menjadi bagian tak terpisah dari rejim penguasa. Padahal ada arus besar globalisasi yang berpengaruh pada perubahan yang menantang bagi dunia pendidikan. Gejala tersebut membutuhkan pemikiran-pemikiran yang mendalam serta strategi untuk menghadapinya. Bagaimana hal-hal tersebut ditempatkan untuk melihat dinamika komunitas learning community? Dalam latar belakang politik Indonesia di masa transisi era reformasi yang ditandai dengan pergantian rejim, semua pihak perlu memanfaatkan momentum tersebut untuk merumuskan kembali posisi dan peranannya.
5. Perubahan dalam Dunia Global: Perlunya Pendidikan dalam Masyarakat
Mempertemukan fungsi perguruan tinggi dalam keterlibatan sosial dan sebagai pusat belajar seumur hidup pada situasi aktual dengan perubahannya yang berlaku, bukan merupakan perkara mudah. Untuk itu, melalui tinjauan beberapa gejala dan jejaring yang hidup di dalam masyarakat, kiranya hal ini dapat sedikit memetakan bagaimana komunitas learning society berjalan. Di dalamnya terlihat permasalahan yang masih harus dihadapi.
Learning society itu menempatkan apa? Kalau jejaring yang terlihat menjawab apa? Di mana masih memungkinkan ... Bagaimana
Dengan perubahan teknologi informasi dan komunikasi jarak berubah – relasi berubah. Kalau dalam lembaga pendidikan jarak makin senjang, perlawanan dari masyarakat. Jejaring yang sudah ada, meretas batas, ....,
Pendidikan Seumur Hidup yang Berkembang
Penjelasan di atas memperlihatkan dua dinamika berlainan. Di satu sisi, mengetengahkan gerakan mahasiswa ke luar lingkungan kampus, menjangkau masalah masyarakat warga. Di sisi lain, gerak perkembangan perguruan tinggi sampai pada keadaannya sekarang belum terkait dengan proses pendidikan seumur hidup. Apa cakupan belajar seumur hidup? Siapa terlibat di dalamnya? Bagaimana mekanismenya berjalan?
Dalam penyelenggaraan program pasca sarjana sering ditemukan jenjang usia mahasiswa yang beragam. Hal ini pun terjadi pada Universitas Sanata Dharma. Di dalam dua program studi pasca sarjana, terdapat keragaman rentang usia mahasiswa. Satu program studi memiliki rentang usia antara 20-an sampai 50-an. Artinya mahasiswa fresh graduate bercampur dengan yang sudah bertahun-tahun memiliki pengalaman kerja. Satu program lain, campurannya antara mahasiswa fresh graduate dengan yang telah berusia antara 60-70 tahun.
Ada dua motivasi berlainan dari mahasiswa usia ‘lanjut’ tersebut. Mereka yang masih memerlukan tambahan ilmu pengetahuan dan keahlian guna menunjang karir kerjanya dengan mereka yang bermaksud menyegarkan kembali pengetahuannya setelah memasuki usia pensiun. Pada kelompok yang terakhir ilmu pengetahuan yang ditimba tidak lagi dipergunakan untuk berkompetisi dalam lingkungan kerjanya. Kedua gejala demikian memperlihatkan bagaimana pendidikan seumur hidup dimaksudkan.
Kenyataan tersebut dapat ditempatkan pada pemahaman perkembangan masyarakat sangat mempengaruhi dunia pendidikan. William W. Harman memperlihatkan perkembangan industri dan teknologi yang memberi pengaruh pada pendidikan sejak rentang waktu yang lama. Atas perubahan-perubahan yang terjadi, dia memperlihatkan salah satu perubahan di mana garis pisah antara pendidikan formal dan informal menjadi kabur sehingga pemisahannya bukan menyangkut kerja dan pendidikan, atau kerja dan waktu luang, melainkan kerja-pendidikan-waktu luang berhadapan dengan ‘membunuh waktu’. Di sinilah pendidikan menjadi kegiatan hidup. Garis pemisah yang kabur juga dikemukakan oleh Richard Edwards. Dalam membahas learning society, R. Edwards menunjukkan berbagai perubahan sebagai situasi di mana terdapat kesempatan untuk merumus ulang pemahaman pendidikan seumur hidup.
Edwards berpendapat bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan. Dia menunjuk perubahan di bidang ekonomi, budaya, teknologi, dan demografis. Dalam perubahan-perubahan yang saling berkontestasi, dia mencermati yang berlangsung di wilayah budaya. Pilihan tersebut dilakukan untuk menempatkan pentingnya pendidikan dalam membangun masyarakat yang tanggap terhadap perubahan sekaligus memiliki keterarahan berdasar pada modal sosial dan kultural yang dimiliki serta arah ideal yang ingin dicapai. Pilihan tersebut penting mengingat pendidikan lebih diabdikan pada individu-individu yang berhimpun di dalam komunitas-komunitas yang ada di dalam masyarakat. Pada gilirannya pendidikan juga terarah pada pemberdayaan masyarakat.
Ketika pendidikan seumur hidup dikaitkan dengan dunia kerja, Edwards melihat bahwa hal tersebut terkait dengan sebuah lingkup pasar. Itu berarti terkait dengan unsur kesiapan untuk berkompetisi sehingga orang mempunyai jaminan untuk menghadapi situasi yang ada. Hal ini akan menguntungkan pihak-pihak yang kuat dalam persaingan. Situasi ini sekaligus melanggengkan masyarakat yang terkotak-kotak dalam kerangka pola konsumsi. Di mana tempat individu mendapatkan kebebasannya? Di sisi lain, ketika pendidikan seumur hidup dikaitkan dengan masalah partisipasi di dalam lingkup sosial dan budaya, maka yang terjadi adalah jaringan belajar. Dengan adanya pengaruh globalisasi yang terkait dengan wilayah ekonomi, komunikasi, migrasi, dan semacamnya, permasalahan yang dihadapi terarah pada masalah gender, agama, etnis dan semacamnya. Orang tidak bisa lagi memiliki pandangan tunggal tetapi akan memiliki perspektif yang meluas dan ada dalam keragaman. Dalam situasi ini, pendidikan tidak lagi dilakukan melulu dengan tatap muka tapi dijalankan dengan dukungan media komunikasi dan teknologi informasi. Dalam situasi ini perguruan tinggi diharapkan mampu memberikan kerangka pemahaman bagaimana relasi manusia dengan lingkungannya. Terkait dengan ini, maka pendidikan seumur hidup melibatkan berbagai pihak sehingga memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan lingkungannya seturut dengan tuntutan jaman.
Modal Sosial dan Kultural Menanggapi Budaya Media
Begitu banyaknya bilboard yang terdapat di jalan-jalan merupakan satu gejala dari gaya hidup jaman ini di mana orang bermain pada wilayah konsumsi dan produksi image. Image-image tersebut saling berkontestasi untuk mengiklankan diri. Tak terkecuali bilboard-bilboard yang dipasang oleh penyelenggara lembaga pendidikan. Penggunaan sarana teknologi informasi mutakhir semakin merasuk di dalam lembaga pendidikan. Sebuah ilustrasi, tahun 2008 akan ada 500 sekolah dari tingkatan sekolah dasar sampai sekolah menengah atas di Daerah Istimewa Yogyakarta akan mendapat bantuan laboratorium komputer. (Kompas, edisi Yogyakarta, 20/9/2007)
Perubahan-perubahan yang melanda Yogyakarta dan merasuknya penggunaan tehnologi informasi dan media di dalam lembaga pendidikan, mau tidak mau mengajak untuk berpikir bagaimana menempatkan komunitas learning society di dalam dinamika hidup di Yogyakarta. Pada satu sisi, perkembangan penggunaan sarana teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah berbagai batas wilayah dan menghubungkan berbagai wilayah yang secara geografis terpisah. Ini berarti pola-pola relasi mengalami perubahan. Relasi yang semula bertumpu pada kesamaan domisili digantikan dengan pola lain yang mengandalkan sarana komunikasi dan teknologi informasi. Artinya alat-alat komunikasi dan teknologi informasi merombak dan memperbarui jaringan yang ada sebelumnya. Pada sisi lain, masih terdapat pihak yang memandang dengan kacamata romantisme menempatkan berbagai warisan dan nilai-nilai budaya secara statis. Dalam polarisasi cara pandang tersebut, ada tegangan antara usaha konservasi dan revitalisasinya agar tidak tergilas perkembangan jaman. Tegangan semacam ini membutuhkan pemikiran dan pengaturan yang mampu mengakomodir keduanya.
Dalam perkembangan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, terlihat optimisme lembaga pendidikan dalam penggunaannya. Ini dapat dilihat dari beberapa data kuantitatif yang ada. Berhadapan dengan kecenderungan itu, YB Mangunwijaya mengigatkan ketidaksiapan berbagai pihak terhadap dampak penggunaan sarana informasi dan sarana teknologi. Di samping itu terdapat pula yang secara jelas menunjuk program media komunikasi sama sekali tidak memperhitungkan pengaruhnya pada aspek pendidikan. Inilah suara kritis masyarakat terhadap lembaga pendidikan yang sedemikian optimistis tetapi kurang memperhitungkan kesiapan dan dampak penggunaannya. Hal tersebut berbeda dengan masyarakat pendidikan di beberapa negara lain yang ditunjang dengan penelitian. Dalam sebuah penelitian diperlihatkan anak-anak lebih banyak menggunakan waktu di depan televisi dibandingkan dengan yang digunakan dengan tatap muka di dalam kelas. Memang tidak dipungkiri bahwa media visual sangat dilematis karena menciptakan berbagai tantangan komunikasi yang tidak mudah.
Ada sebuah kekhasan Yogyakarta yang ditunjukkan oleh YB Mangunwijaya bagaimana masyarakat Yogyakarta menghayati dinamika pendidikan terkait dengan penggunaan media komunikasi. Di kota gudeg bersepeda motor ini di hampir semua kampung Anda akan menjumpai papan-papan pengumuman di gang-gang. Pukul 19.00-21.00: wajib belajar wajib. Artinya selama jam itu masyarakat dilarang RT memasang TV, menyetel radio keras-keras atau bikin gaduh agar anak-anak belajar. Hanya karena itu terjadi di Yogyakarta Luwesdiningrat, maka pelaksanaannya juga bergaya penari serimpi. ... Pengamatan tersebut memperlihatkan adanya penyediaan waktu khusus yang memberi kesempatan warga untuk belajar, dan mengatur penggunaan media komunikasi. Hal ini menempatkan sebuah landasan yang memampukan warga merealisasikan diri sebagai masyarakat yang sadar pendidikan. Kendati diberi catatan bagaimana pelaksanaannya yang tidak secepat dinamika gerak media.
Selain itu, terdapat sejumlah gerakan masyarakat yang memperlihatkan bentuk pendidikan dalam berhadapan dengan budaya media. Belum lama berselang, telah diselenggarakan Yogyakarta Internasional Media Art Festival. Festival yang digagas sekelompok anak muda tersebut melibatkan sejumlah perguruan tinggi, institusi penyelenggara media elektronik dan visual, dan kelompok lembaga masyarakat. Festival tersebut bertujuan untuk menumbuhkan apresiasi masyarakat dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Sekaligus memperlihatkan usaha yang mendekonstruksikan penggunaan teknologi informasi dan media komunikasi lewat kegiatan berkesenian.
Tegangan Terus-menerus
Ada satu desakan bagi lembaga pendidikan tinggi untuk menjalin relasi dengan berbagai pihak lain guna menyikapi dan membantu masyarakat dalam berhadapan dengan budaya media di era informasi. Kendati pun berbagai komponen masyarakat telah mereaksi dan mendidik diri dengan berbagai cara. Tanpa keterlibatan dalam jaringan, lembaga pendidikan akan menjadi menara gading yang berdiri sendiri.
Dinamika pendidikan yang diselenggarakan lembaga pendidikan yang mengikuti perkembangan masyarakat, sekaligus menyimpan ketegangan antara lembaga pendidikan yang memisahkan diri dari masyarakat, dan lembaga pendidikan yang menyatukan diri sebagai bagian komunitas di dalam masyarakat. Ketegangan dapat tercermin pada penciptaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (J. Drost lebih sering menyebut Kurikulum Bertujuan Kompetensi), dan Manajemen Berbasis Sekolah. Dalam Manajemen Berbasis Sekolah pengujian atas nilai-nilai yang diajarkan akan melampaui batas kelas dan sekolah di mana para murid belajar. Demikian pun dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, J. Drost melihat orientasinya adalah pembentukan intelektualitas, yang ditopang oleh kedewasan sehingga mampu melampaui lingkungan kelas dan sekolah dan mengintegrasikannya di dalam kehidupan yang lebih luas. Syarat kedewasaan tersebut penting untuk tidak terjebak dalam sikap mengagungkan diri, dan perlunya kemampuan untuk menghubungkan diri dengan pihak-pihak lain.
Dalam lingkup komunitas dan masyarakat, kemampuan berjejaring tidak lagi terbatas pada individu melainkan antar lembaga pembentuk yang menjadi bagian masyarakat. Kendati pun yang terjadi adalah situasi kontrasnya. Kerenggangan hubungan antarmanusia sebagai dampak era pascamodernisme merupakan tantangan paling besar dalam upaya pendidikan generasi muda. Tantangan ini tidak bisa dihadapi oleh salah satu sentra saja. Proses pendidikan kaum muda merupakan suatu usaha shared parenting (pengasuhan bersama) antara keluarga, sekolah, masyarakat dan media. Dalam dinamika shared parenting, perwujudan komunitas learning society dapat menemukan wujudnya secara menyeluruh. Dengan menunjuk pada 4 sentra untuk mengadakan shared parenting dalam pendidikan generasi muda, menjadi perlu keempat sentra tersebut saling berjejaring.
Ketika pendidikan seumur hidup membutuhkan usaha berjejaring, gerakan alternatif yang telah ada perlu mendapat dukungan. Orientasi pendidikan yang mengarah ekonomi liberal akan makin meninggalkan gerak lokal. Di sisi lain, jaringan masyarakat menawarkan alternatif untuk berorientasi pada proses yang membebaskan. Dalam gejala yang berlangsung ini, peran institusi negara ditempatkan. Institusi negara sebagai penanggung jawab utama memfasilitasi berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan, mewadahinya dalam struktur besar yang diikat oleh aturan main bersama yang dituang dalam undang-undang. Tidaklah berlebihan kalau ada mimpi-mimpi terhadap undang-undang pendidikan yang berlaku. Sebuah impian tentang undang-undang pendidikan yang berisi konsep dasar tentang pendidikan seumur hidup yang dinamis yang ditempatkan dalam landasan ideal dalam dasar negara, di mana semua pihak terlibat melalui berbagai lembaga yang terarah pada subyek utama pendidikan. Inilah yang membentuk dinamika pendidikan yang melibatkan seluruh komponen kehidupan masyarakat yang saling berjejaring.
6. Strategi Budaya di tengah Berbagai Kontestasi
Kelangsungan hidup masyarakat berada pada kancah yang memiliki berbagai dimensi. Ada beragam perspektif yang dapat digunakan untuk memahami dinamikanya. Kultur dan struktur dapat menjadi dua hal untuk memberi bingkai bagaimana dinamika masyarakat saat ini dapat dipahami. Hal itu dapat pula digunakan untuk memahami dinamikaa pada proses selanjutnya.
Bukan Pilihan antara Kultur dan Struktur
Dalam situasi saat ini, lembaga pendidikan (tinggi) harus berhadapan dengan arus besar neoliberalisme yang menempatkan manusia sebagai homo economicus dan menekankan pada sistem pasar bebas. Menanggapi situasi tersebut, dalam berbagai hal muncul diskusi-diskusi yang terkait dengan situasi sosialnya, maupun dengan gambaran idealitas atas pendidikan. Dalam realitas yang memperlihatkan di mana materialisasi budaya sedemikian dahsyat mewarnai masyarakat, termasuk di dalamnya menciptakan pola pikir dan pola relasi yang berubah dalam wilayah pendidikan. Situasi demikian mengundang lembaga pendidikan (tinggi) untuk membuat penelitian-penelitian atau menciptakan forum yang merangsang bagi munculnya wacana. Dengan gejala sejumlah institut yang menjadi universitas, apakah dapat dikatakan kemudian lebih menekankan untuk bergerak pada pencapaian scientific knowledge? Dalam dinamika perubahan ke dalam, dan berhadapan dengan perkembangan di luar, menjadi semakin beratlah tugas perguruan tinggi untuk merumuskan orientasinya sampai pada tataran pelaksanaannya.
Dalam situasi perubahan yang terus berlangsung, pentinglah melihat bertemunya kultur – dan struktur yang saling bersinergi. Dalam sebuah rumusannya, Anita Lie menyatakan, “Dinamika yang sehat di antara dimensi kultural dan struktural seharusnya bisa menghasilkan rumusan kebijakan pendidikan yang tepat dan kontekstual dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini seharusnya mengarah pada praktik-praktik pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan anak-anak bangsa untuk menerima untuk menerima dan melaksanakan tanggung jawab dalam pembentukan dan pengembangan masa depan yang lebih baik.”
Kultur kita saat ini lebih banyak ditentukan dalam wilayah produksi dan konsumsi image. Bahkan pemerintah pun terjebak di dalam pola pikir tersebut. Bagaimana image diproduksi? Bagaimana diapresiasi? Siapa yang mendidik hal tersebut?
Bagaimana masyarakat lebih kritis terhadap pemerintah? Bagaimana ruang sosial telah dibuka untuk itu? Pemerintah sendiri lalu perlu lebih kritis.
Pemahaman yang dituangkan pada konsep sampai pada praktek demi tujuan pendidikan menjadi sedemikian penting. Kendati pun hal tersebut tidak lagi mudah. Terlebih lagi tatkala berhadapan dengan berbagai conflict of interesert. Pemerintah memiliki kemendesakan untuk mengurangi jatah anggaran di bidang pendidikan, kendati masyarakat sangat berharap pada bertambahnya anggaran di bidang pendidikan. Dengan makin meningkatnya tingkat kebutuhan belanja pemerintah pada satu sisi dan tuntutan masyarakat untuk mendapat anggaran pendidikan yang lebih besar, pemerintah berada dalam kesulitan pilihan. Oleh karenanya secara praktis yang terjadi adalah pemangkasan subsidi pemerintah di bidang pendidikan. Demikian pun ketika pemerintah mengorientasikan pendidikan pada aspek ekonomi, akan bertabrakan dengan pendidikan yang menyeluruh. Di mana pendidikan nilai-nilai ditempatkan?
Yang Terlibat dalam Tindakan
Justru dalam situasi seperti itu, tampak pula peningkatan keterlibatan usaha masyarakat yang memberi perhatian pada pendidikan lewat gerakan lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai pendidikan alternatif. Dengan adanya ketegangan dan perbedaan kepentingan tersebut, keberpihakan kepada masyarakat perlu dijadikan acuan untuk bertindak. Dengan cara demikian maka ideal yang dibangun melalui komunitas learning society akan mendapatkan wujudnya.
Sebagaimana ditunjukkan Anita Lie, komunitas learning society menjadi dinamis dengan mengacu pada 4 sentra pendidikan. Bagaimana hal tersebut terwujud dalam masyarakat masa kini? Secara spesifik di dalam kenyataan kehidupan masyarakat Yogyakarta? Gerakan-gerakan alternatif macam mana yang ada di dalam masyarakat dapat diacu sebagai perwujudan dari komunitas learning society?
Mengikuti usaha sejumlah orang -baik dari kalangan akademisi mau pun non akademisi- di berbagai bidang yang telah mengenyam pendidikan atau memiliki pengalaman perjumpaan di wilayah budaya yang lain, ada daya gerak yang terus mempertahankan kehidupan dengan segala bentuknya yang terarah pada pendidikan pada masyarakat di dalam lingkungan sekitarnya. Usaha-usaha tersebut terkait dengan menyiasati tradisi sekaligus menghadapi perubahan yang ada. Dalam lingkungan akademis beberapa nama yang dapat disebut seperti Umar Kayam, Masri Singarimbun, yang menjadi mediator mempertemukan orang dari lingkungan akademik, dan non akademik dari berbagai profesi dengan beragam aktivitas penelitian, atau pun kegiatan non akademik. Dalam lingkungan non akademik, sejumlah nama seperti WS Rendra, Bagong Kussudiardja, Ki Tjakrawasita telah membangun sanggar atau kelompok yang memungkinkan orang belajar dan berkarya mengolah tradisi secara kontemporer dengan media khusus. Dalam bidang pendidikan dan gerakan masyarakat ada YB Mangunwijaya yang menggerakkan orang sekaligus menyuarakan refleksi-refleksi kritis yang mengajak orang berpikir.
Usaha-usaha yang ditempuh oleh tokoh-tokoh, atau lembaga-lembaga merupakan sebuah bentuk yang mengisi pendidikan dalam masyarakat di luar arus dari pendidikan yang berorientasi ekonomi, namun terarah pada gerakan kebudayaan menuju pembebasan, sekaligus pendidikan nilai. Baik lewat gerakan, diskursus intelektual, dan melengkapi aspek non pelajaran klasikal, atau profesi di luar mainstream. Usaha-usaha tersebut menciptakan ruang publik yang menembus kebekuan institusi pendidikan.
Usaha-usaha yang disebut di atas memperlihatkan bagian dari masyarakat yang menggerakkan komponen masyarakat yang membutuhkan pendidikan. Bukan dengan mendidik mereka melainkan menggerakkan bersama. Nilai-nilai tetap dihadirkan di tengah kancah modern yang tenggelam dalam budaya materialisme. Ketika lembaga pendidikan kurang tanggap atau kurang mampu menampung, mereka mencipta forum-forum yang mampu menggerakkan berbagai pihak. Sebutan-sebutan di atas masih mencakup tokoh-tokoh tua yang telah meninggalkan jejaknya.
Usaha semacam juga dapat dilengkapi dari jajaran generasi muda dengan berbagai kelompok atau lembaganya yang telah hadir di tengah masyarakat. Dalam aktivitas yang secara konsisten diselenggarakan, pihak-pihak tersebut telah memberikan alternatif dengan penciptaan ruang publik di tengah arus perubahan dan budaya kontemporer yang perlu dimaknai. Lembaga-lembaga yang bergerak dalam berbagai bidang kehidupan, media seperti Cemeti , Bentara Budaya , LkiS. Gerakan-gerakan yang justru digerakkan oleh kaum muda, tidak terkait dengan kaum akademisi. Inilah civil society yang menempatkan diri di luar lembaga pendidikan yang dapat terjerat sebagai Ideologi State Aparratus ....
Dalam bidang yang terkait dengan media massa cetak dan visual, kita kenal sejumlah usaha yang menempatkan diri dalam bidang ini. Salah satu yang perlu disebut di antaranya adalah majalah Basis. Di samping itu ada puluhan penerbit-penerbit di luar penerbit mainstream yang menerjemahakan dan menerbitkan berbagai bacaan alternatif yang membantu untuk memahami gejala-gejala aktual yang berkembang dalam masyarakat. Ada puluhan lembaga atau kelompok-kelompok studi atau kine club.
Di samping itu penyelenggaraan Festival Tahunan ..... Gamelan, Tari, Film, Drama, Ketoprak ... Menghidupkan lagi yang hilang. Sanggar dan tempat yang tergusur. Lain-lain … ). Usaha-usaha tersebut memperlihatkan bagaimana masyarakat merespons terhadap tuntutan budaya aktual berupa produksi dan konsumsi melalui berbagai media.
Taste of Learning ... melengkapi yang bergerak menggunakan teknologi .....
Di sinilah komunitas learning society menjadi terjelma. Bertolak dari kehidupan bersama, belajar to know, to do, to be. Memberi alternatif atas to be yang berarti membeli dan memiliki.
Hal-hal di atas tidak bisa lagi dianggap sebagai riak-riak kecil berhadapan dengan gelombang besar neoliberalisme. Ketika lembaga-lembaga pendidikan besar bersiap menanggapi neoliberalisme dengan logikanya sehingga mengabaikan sebagian besar kelompok masyarakat, gerakan perlawanan justru muncul dari kelompok-kelompok kecil yang hadir dari bawah. Menjadi pertanyaan bagi pemerintah juga yang telah masuk dalam pusaran neoliberalisme, bagaimana keragaman usaha-usaha perseorangan, kelompok, atau lembaga-lembaga di atas dapat diakomodir dalam jejaring yang saling terkait dan bersinergi sehingga dapat benar-benar membentuk dan menempatkan dalam posisi tawar (bagaining position) dari masyarakat di dalam kancah kehidupan sekarang.
7. Potret Kebaruan: Bencana di mana-mana, Yogyakarta Menyumbang Apa?
Sebuah pengalaman dapat digunakan sebagai pijakan untuk melihat bagaimana sistem dapat tetap belangsung. Bahkan darinya dapat dibangun sebuah keyakinan berdasar pengalaman tersebut. Pengalaman gempa bumi di Yogyakarta dan Klaten 27 Mei 2006 menjadi kesempatan untuk memahami masyarakat Yogyakarta membangun kembali dari situasi tak terduga yang telah mengubah banyak hal.
Sebuah Kebangkitan Dari Bencana
Peristiwa gempa bumi di Yogyakarta dan Klaten 27 Mei 2006 menjadi sebuah pengalaman istimewa. Ketika dari Yogyakarta muncul berbagai karya baik berupa buku, komik, terbitan berkala, film (dokumenter), karya seni, atau hasil karya lainnya, hal-hal tersebut bertolak dari pengalaman aktual. Sehingga ketika berbicara tentang manajemen resiko (risk management), dan kesiapsiagaan menghadapi bencana (disaster prepareness) memang bertolak dari pengalaman.
Rekaman pengalaman dan reaksi sesaat setelah terjadinya gempa begitu banyak dan beragam. Berikut ini sebuah puisi yang dibuat oleh Sinta siswa kelas III SD Kanisius Gayam, Yogyakarta berjudul Jogja berduka:
Pagi-pagi banyak orang memulai keaktifan./Tiba-tiba bumi bergoyang seakan-akan/ Meja digoyang-goyang/ Banyak orang meninggal; rumah-rumah rata tanah aku hanya pasrah dan tabah.
Setelah penanda waktu pagi-pagi, Sinta menempatkan keaktifan dari banyak orang, bukan hanya anggota keluarganya, atau tetangga kanan kirinya. Aktivitas orang-orang dekat itu terangkum sebagai pengalaman orang banyak sebagaimana ditulisnya, banyak orang memulai keaktifan. Tidak dirinci keragaman aktivitas itu, karena fokusnya adalah peristiwa gempa yang tiba-tiba terjadi. Tiba-tiba bumi bergoyang. Sangat singkat ungkapannya. Dilanjutkan dengan metafor seakan-akan/ meja digoyang-goyang. Bukan kursi, bukan almari, tapi meja tempat meletakkan berbagai barang. Sebuah meja digoyang-goyang, tentu barang-barang di atasnya akan porak poranda. Porak poranda yang ditunjuk adalah setelah bumi bergoyang. Tidak disebut bagaimana reaksinya, bagaimana hiruk pikuknya, bagaimana suasana goncangan itu. Yang ditunjuk akibat dari gempa itu sangat dahsyat. Banyak orang meninggal; rumah-rumah rata tanah. Behadapan dengan situasi, Sinta tidak menangis, bingung, panik, bertanya-tanya. Melampaui pengalaman emosional, melampaui kecenderungan untuk bertanya, berhadapan dengan semua itu Sinta mengungkapkan diri aku hanya pasrah dan tabah.
Sebuah buku terkait dengan pengalaman pasca bencana, pendahuluannya mengkontraskan keyakinan dari kalangan akademisi dan kalangan pekerja sosial. Yang pertama keyakinannya adalah publish or perish, sedangkan kalangan kedua adalah praxis or perish. Yang dilakukan oleh kalangan pekerja sosial adalah praxis, write and publish. Sebuah keterlibatan yang lengkap dimulai dari awal, berkelanjutan secara konsisten, dan dalam praktek yang berjejaring. Akhirnya tercermin pada buku yang merupakan bunga rampai karangan dari berbagai pihak.
Sivitas akademika Universitas Sanata Dharma tidak lepas dari berbagai usaha dalam menyikapi peristiwa tersebut. Macam-macam catatan dapat dikemukakan untuk menegaskan hal itu. Kendati perlu pula diakui keterbatasan-keterbatasannya. Oleh karenanya, kita perlu melihat pihak lain untuk belajar. Berikut ini adalah sebuah pengalaman. Dua bulan setelah bencana di Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah, ada sebuah pertemuan di Kantor Pemda Kabupaten Klaten tentang Laporan Kerusakan Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar. Tujuh penilik sekolah dari kecamatan-kecamatan korban bencana di Kabupaten Klaten menjadi pembicara yang menyampaikan data-data kerusakan dari sekolah-sekolah dasar yang mereka koordinir.
Proses Kreatif dan Jelmaannya
Prosesnya diawali dengan lokakarya bagi penilik sekolah untuk membentuk team accessment bidang pendidikan. Isi pembekalan: kemampuan praktis mengoperasikan komputer, mengorganisir orang, mengumpulkan dan mengolah data, serta pembuatan laporan tertulis. Tidak jarang dari mereka belum pernah menggunakan alat komputer sehingga diperlukan pengetahuan dan ketrampilan basic. Para penilik juga bertanggung jawab untuk memotivasi petugas kendati sebelumnya lebih bertindak sebagai birokrat. Memotivasi orang lain menjadi pelaku aktif dalam pengumpulan data, membutuhkan usaha tersendiri. Akhirnya, proses pengumpulan-memilah-mengorganisir data, serta mengolah menjadi laporan yang mampu berbicara kepada pihak terkait. Data-data tersebut menjadi acuan berbagai pihak Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten, Kantor Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah, serta LSM yang menjadi perantara lembaga donor untuk membantu proyek rekonstruksi pasca bencana.
Situasi darurat telah memampukan para penilik sekolah menjadi pihak yang menentukan. Padahal mereka sendiri termasuk korban bencana. Dari berbagai ungkapannya, mereka tidak hanya telah menjadi ujung tombak, bahkan juga ujung tombok! Secara positif hal tersebut dapat dikatakan, inilah modal sosial mereka. Justru pada situasi kritis orang-orang itu memperlihatkan peran pentingnya. Untuk mengoptimalkan kemampuan dan fungsi mereka (hanya) dibutuhkan sedikit input ketrampilan dan pengetahuan tambahan yang melengkapi. Di sebalik itu, kegigihan, keuletan, dan kreativitas untuk bergulat dengan usahanya.
Terlepas dari kesimpangsiuran kebijakan bantuan pemerintah dan distribusinya, banyak hal perlu dicatat terkait dengan usaha pasca bencana itu. Banyak keterlibatan dari berbagai pihak turut mengatasi situasi pasca bencana tersebut. Sejumlah perguruan tinggi mengirimkan mahasiswa untuk melakukan KKN dengan program khusus. Ada sumbangan lain dari kalangan perguruan tinggi di Yogyakarta sebagai hasil penelitian bertolak dari situasi bencana dan penanganannya. Keterlibatan berkelanjutan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat dalam kerjasamanya dengan orang-orang setempat dan berbagai pihak luar yang mencakup keragaman bidang telah memperlihatkan bagaimana berbagai komponen masyarakat mampu tetap berdenyut kendati dalam keadaan serba darurat, jauh dari keadaan normal sebelum bencana. Di samping tempat tinggal dan berbagai fasilitas lain yang telah dimanfaatkan, ada beberapa terbitan berkala yang menjadi sarana komunikasi antar korban pada masa pasca bencana , ada karya audio-visual , ada arsip visual yang kemudian diluncurkan sebagai website dalam jaringan internet, dan berbagai karya lain dari kalangan LSM mau pun komponen masyarakat yang lain. Media dengan berbagai bentuknya tersebut menjadi tanda yang mengungkapkan dan merekam berbagai komunikasi bagaimana pengalaman bencana disikapi. Pengalaman bencana dan penanganan pasca bencana dengan segala hasilnya merupakan sumbangan tersendiri yang khas dari Yogyakarta. Pada satu sisi, hasil-hasil tersebut telah menjadi sarana yang membuat jaringan masyarakat Yogyakarta mampu melewati masa-masa sulit. Hasil tersebut sekarang menjadi bagian hidup yang dimiliki, dan yang dapat digunakan untuk masyarakat Yogyakarta sendiri untuk saat-saat selanjutnya. Di samping itu juga dapat digunakan sebagai sumbangan untuk anggota masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia yang perlu bersiap mengalami bencana.
8. Pengembaraan dan Keterlibatan Hidup Melalui Dunia Pendidikan
Gedung-gedung sekolah dan kampus, bilboard-bilboard iklan perguruan tinggi, warnet, cafe dengan fasilitas hotspot, mau pun berbagai karya pasca bencana menjadi penanda yang kasat mata. Di sebalik kehadirannya, ada bermacam-macam hal berupa gagasan atau kisah yang dapat dibicarakan secara santai, atau didiskusikan secara serius. Ketika gagasan atau kisah tersebut terkait dengan pendidikan, halnya menjadi serius karena terkait dengan masa depan masyarakat di mana kita berada. Bahkan merupakan bidang yang kita geluti setiap hari. Bagaimana kita bersikap terhadap hal ini? Kita masih dapat bicara panjang lebar. Berhubung terbatasnya kesempatan ini, saya mengajak mengapresiasi puisi Perahu karya Joko Pinurbo.
Puisi Perahu yang ditulis Joko Pinurbo, bagi yang sudah akrab dengan YB Mangunwijaya, akan segera menangkap bahwa puisi tersebut dipersembahkan untuk Y.B. Mangunwijaya. Inisial Y.B.M. yang ada di bawah judul menjadi penandanya. Menilik ungkapan dan isinya, Perahu menggunakan latar belakang pengalaman keterlibatan YB Mangunwijaya tatkala menangani masalah pembangunan waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah tahun 1986-1994. Yang dilakukan YB Mangunwijaya salah satunya adalah aksi pendidikan untuk anak-anak korban pembangunan Waduk Kedung Ombo.
Pak Guru dalam Perahu
Perahu berkisah tentang seorang guru yang akan mengunjungi murid-muridnya yang ada di wilayah seberang danau. Sebuah danau bukan alami melainkan danau buatan yang telah menenggelamkan sejumlah desa. Air danau makin meninggi./Entah sudah berapa desa yang tenggelam di sini. Dengan ungkapan itu, Perahu dibagi dalam dua babak.
Bapak Guru itu penampilannya dengan caping dan sarungnya. Pakaian itu biasanya lebih dilekatkan pada para petani, bukannya guru. Pak Guru itu tidak mengenakan pakaian celana panjang dan hem. Siapa orang itu? Joko Pinurbo tidak menyebutnya. Tidak terkuak apakah ia memang guru, atau seorang anggota masyarakat yang punya perhatian kepada anak-anak itu? Apakah dia punya sertifikat untuk mendidik atau tidak, tidak jelas. Yang jelas, ia datang membawa buku tulis dan pinsil, ia mendongeng dengan jenaka yang dirindukan oleh murid-muridnya.
Sarana yang digunakan Pak Guru adalah pinsil, buku tulis dan dongeng. Dalam dinamika budaya komunikasi, dongeng adalah ekspresi komunikasi dari masyarakat budaya lisan. Pinsil dan buku tulis adalah sarana ketika masyarakat telah mengenal budaya tulis, bahkan kemudian berkembang menjadi budaya cetak. Pak Guru dan anak-anak itu tidak menggunakan sarana teknologi informasi dan komunikasi yang lebih maju yang mewarnai era komunikasi saat ini. Dalam hal ini usaha Pak Guru seakan ketinggalan jaman.
Seorang guru dengan pembawaan yang sedemikian langsung berhadapan dengan ukuran-ukuran kemapanan sebuah institusi pendidikan gedung sekolah yang kokoh dan permanen, bukannya gedung sekolah darurat yang serba sederhana. Proses pendidikan yang mendasarkan pada kurikulum yang terumus secara jelas, sampai diturunkan pada satuan acara pelajaran dengan tujuan umum dan khusus. Bukannya sebuah pendidikan yang tidak tertib kurikulumnya.
Pak Guru tidak menggunakan kurikulum yang berorientasi membentuk pembelajar siap masuk pasar tenaga kerja, sebuah konsep link and match mendidik, mengajar anak mengolah skill dan ability. Pak Guru dengan sarana yang ada mengajak anak-anak menjalani proses pendidikan yang mengolah anak-anak pada learning capability-nya sehingga berdasar warisan Einstein mereka menjadi generasi pasca Einstein. Inilah konsep alternatif yang mengetengahkan proses linking dan delinking. Dengan dinamika linking dan delinking, pendidikan pada satu sisi memberi kemampuan untuk berintegrasi dengan sistem nilai dari kebudayaan tertentu yang dimilikinya. Pada sisi lain, memberi kemampuan untuk mencerna berbagai pengaruh kebudayaan yang berkembang sekarang ini, yang semakin erat disatukan oleh globalisasi.
Pak Guru yang mengatasi Relativitas
Ada gerak maju seiring berjalannya waktu. Pak guru memutuskan (untuk) ke seberang. Sebuah keputusan yang dibuat setelah sembahyang. Untuk ke seberang Pak Guru menggunakan perahu didorong beberapa orang kampung sehingga ia meluncur. Ada sebuah pengalaman yang tidak lancar, karena ada yang menghalangi pak Guru untuk sampai ke daratan. Pak Guru akhirnya mundur ke tengah. Sementara menunggu, dia tidak diam berpangku tangan. Pak Guru tiduran, dan berharap bisa bermimpi. Saat menunggu pak Guru aktif menulis pesan tolong sampaikan pinsil dan buku tulis ini. kepada anak-anakku. Akhirnya Pak Guru memang sampai ke tempat tujuan, tapi dalam keadaan tak akan bangun lagi. Usaha itu oleh orang lain bisa dianggap sia-sia, tidak sampai tujuan. Kandas juga ia akhirnya. Benarkah usaha pak Guru itu kandas?
A.Supratiknya menuliskan, YB Mangunwijaya lebih suka mengungkapkan konsep mewaktu, bukannya dimakan waktu. Pengalaman dan usaha YB Mangunwijaya yang berusaha mendidik anak-anak bangsa, generasi muda, adalah hidup yang tidak habis dimakan waktu. Pengalaman itu adalah pengalaman yang mewaktu, terus berjalan, terus dihadirkan. Dengan demikian, kendati Pak Guru, mengungkapkan saya sudah terlatih untuk kalah, ia tidak kandas seperti apa yang diduga kandas juga ia akhirnya. Hidup dan perjuangan pak Guru untuk ketemu murid-muridnya adalah perjalanan yang mewaktu.
Dalam Perahu, Joko Pinurbo bermain-main dengan waktu. Pak Guru menghitung cahaya lampu/ di kejauhan. Joko Pinurbo paham dengan YB Mangunwijaya. Bagi YB Mangunwijaya, melamun “adalah sebentuk mencipta, membuat ada yang tadi belum ada.” Pada ungkapan yang sama, Joko Pinurbo menempatkan teori relativitas dari Einstein yang menjadi acuan YB Mangunwijaya. Sebuah kecepatan cahaya yang digunakan Einstein untuk menempatkan teori relativitas oleh Joko Pinurbo ditempatkan dengan ungkapan menghitung cahaya lampu/ di kejauhan. Dari teori relativitas Einstein, YB Mangunwijaya membangun gagasan dan harapan tentang generasi pasca-Einstein. Generasi yang mengatasi pengalaman relativitas, manusia yang bermatra-gatra dalam menanggapi masalah. Bersama dengan penanda waktu yang lain, unsur cahaya tersebut ditempatkan. Pada tengah malam menjadi saat di mana pak Guru memutuskan untuk pergi. Menjelang subuh adalah saat perahu sampai di tujuan. Pak Guru yang menghitung cahaya lampu di kejauhan, yang mengalami relativitas waktu memang tidak bisa bertemu dengan murid-muridnya. Mereka itu anak-anak piatu. Anak-anak piatu dari bangsa ini. Adakah para petinggi pemerintah, para politisi, atau siapapun menaruh perhatian pada nasib mereka? Tanah waris hak mereka beserta harta bendanya telah tenggelam di dasar danau. Pak Guru telah mengantar mereka berani mengarungi ... dan menyusup belantara waktu. Kehadiran Pak Guru membawa perobahan pada anak-anak itu. Anak-anak itu menjadi generasi pasca-Einstein yang tidak terjebak dalam kekuasaan dan uang.
Pak Guru dengan perhunya telah mengunjungi anak-anak itu. Dengan pinsil, buku tulis dan dongeng-dongengnya, ia telah menjadikan mereka sebagai generasi pasca-Einstein. Ternyata bukan hanya itu. Pak Guru itu pun ia sendiri sebuah perahu. Perahu yang dimainkan anak-anak piatu. Ia kandas tidak seperti yang diduga orang, karena hidupnya kandas, karam ke dalam doa.
Pendidikan Masa Depan
Kegandrungan lembaga pendidikan (tinggi) dalam penggunaan sarana teknologi informasi dan teknologi seolah memperlihatkan semangat tidak ingin ketinggalan jaman. Kebanggaan lembaga pendidikan (tinggi) adalah jumlah besar alumninya yang dengan segera dapat terserap di dalam pasar kerja. Itulah beberapa ukuran prestasi dalam pendidikan pada era informasi dan pasar global jaman ini. Di sisi lain, tujuan pendidikan yang “memanusiakan manusia muda”, yang mengangkat derajat kemanusiaan pada yang lebih tinggi dalam keadaban melalui proses homonisasi dan humanisasi bisa terlewatkan. Inilah yang menjadi tantangan bagi sivitas akademika Univesitas Sanata Dharma untuk berani berproses di dalamnya.
Dalam misinya Universitas Sanata Dharma ditantang untuk menjadi lembaga pendidikan (tinggi) yang berdiri pada khittahnya. Universitas yang memadukan berbagai hal dalam melengkapi mahasiswa dengan pengetahuan dan ketrampilan serta menjadikan unggul di bidangnya. Satu istilah dalam pendidikan ignatian adalah eloquentia perfecta. Membentuk orang-orang muda memiliki kemampuan utuh untuk mengungkapkan diri dengan logika dan bahasa yang fasih, dikombinasikan dengan keluasan wawasan dan orientasi nilai, serta integritas pribadi yang dilengkapi dengan kebijaksaan. Pendidikan yang mengarah pada eloquentia perfecta dicapai melalui proses yang memberi perhatian pada keseluruhan pribadi (cura personalis), didukung oleh lingkungan yang memberi perhatian dan pemelilharaan pribadi setiap orang. Bagaimiana mewujdukan cita-cita tersebut pada jaman ini? Itu menjadi tantangan bagi kita bersama.
Sekian Terima kasih.
*Pidato Dies Natalis ke-52 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 22 Desember 2007
PERAHU
: Y.B.M.
Air danau makin meninggi.
Entah sudah berapa desa tenggelam di sini.
Setelah sembahyang dan menghitung cahaya lampu
di kejauhan, pada tengah malam ia memutuskan pergi
ke seberang. Di sana anak-anak sudah tak sabar menunggu
dan ingin segera mendapat oleh-olehnya: buku tulis, pinsil
dan kisah-kisah petualangan yang biasa ia dongengkan
dengan jenaka dan di gedung sekolah darurat yang tentu
tidak tertib kurikulumnya.
“Hati-hati Pak Guru, hujan tampaknya segera turun,”
kata orang-orang kampung yang membantu
mendorong perahunya.
“Tenanglah,” timpalnya sambil tersenyum,
“saya sudah terlatih untuk kalah.”
Meskipun agak gentar sebenarnya, ia meluncur juga
bersama sarung dan capingnya.
Air danau makini meninggi.
Entah sudah berapa rumah tenggelam di sini.
Sebelum sampai di seberang, ia memutuskan mundur
ke tengah. Seluruh kawasan telah dijaga aparat
Dan cukup sulit mendapatkan tempat mendarat.
Sambil menungggu situasi ia tiduran saja di atas perahu
dan, kalau bisa, bermimpi. Menjelang subuh,
perahu mendarat di tujuan. Mereka menyambut girang:
“Pak Guru sudah datang!”
Pak Guru memang sudah datang. Sayang ia tak juga bangun
dan tak akan bangun lagi.
Tapi anak-anak, yang ingin segera mendapat oleh-olehnya,
tak akan mengerti batas antara tidur dan mati.
Beberapa aparat memeriksa tubuhnya yang masih hangat
dan menemukan sesobek surat: “Pak Petugas, tolong sampaikan pinsil dan buku tulis ini kepada anak-anakku
yang pintar dan lucu. Saya mungkin tak sempat lagi bertemu.”
Ada di antara mereka yang berkata:
“Kandas juga ia akhirnya.”
Memang ia kandas, dan tenggelam, ke lembah maria.
Seperti hidup yang karam ke dalam doa.
Barangkali ia sendiri sebuah perahu. Yang dimainkan
anak-anak piatu. Yang berani mengarungi mimpi
dan meyusup ke belantara waktu.
(Joko Pinurbo, 1999)
Dalam Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan: Memberdayakan Yogyakarta sebagai Komunitas Learning Society*
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo