Godot di Utan Kayu

Hasan Aspahani

TAK usah curiga, sejak awal saya sudah mengakuinya. Sajak saya "Daun Berjari Enam Belas, dan Pelepah Pisang Kipas" memang terinspirasi dari sajak Joko Pinurbo "Utan Kayu" (Pacarkecilku, IndonesiaTera, 2002). Sejak menerima undangan untuk baca puisi di Utan Kayu saya sudah teringat pada sajak itu. Saya perlu membaca lagi sajak itu. Sajak yang dipersembahkan oleh penyairnya kepada Godot. Anda kenal siapa Godot?

Suatu malam di Utan Kayu tak kujumpai engkau
tak kujumpai siapa-siapa
selain kursi-kursi berjungkiran di atas meja.

Kedai sudah tutup. Malam tinggal sisa.
Kudengar tikus-tikur bermain musik bersama piring,
gelas, sendok. "Kusaksikan tadi pertunjukan besar,"
saudara kucing melaporkan.

Di mana engkau? Biasanya engkau duduk manis
di pojok, minum angin, merokok.
Engkau terlonjak girang bila aku datang.
"Hai, dari mana saja engkau?"

Ternyata engkau sedang termenung di ruang pertunjukan.
Engkau sedang mengumpulkan kembali kata-kata
yang berceceran. Engkau sedang menangis,
mencopot wajah di ruang ganti pakaian.

Malam berikutnya tak kulihat lagi engkau
di bangku penonton. Engkau tak muncul lagi
di panggung permainan. "Hai, kemana saja engkau?"
Kupanggil engkau berulang-ulang.

(2001)


Sejak semula, saya ingin memetik sajak di Utan Kayu. Saya memandangi bangku, pohon kemboja, bunganya jatuh bertebaran, poster lukisan Botero di dinding tangga ke Wisma TUK, lukisan S. Teddy yang saya tebak semula miliknya Ugo Untoro dan lukisan pelukis kelompok Taring Padi, yang saya kenal garisnya tapi saya lupa namanya. Lukisan dengan langgam garis yang sama pernah saya lihat di sampul majalah Pantau lama. Saya menghayati pemandangan itu, pelepah pisang kipas, pohon dengan daun berjari enambelas - ya saya menghitungnya - karena saya tak tahu nama pohon itu, Kedai Tempo, Toko Buku Kalam. Tidak semua gambar itu terpakai. Saya buang? Tidak, mungkin kelak akan terpakai dalam sajak lainnya.

Sajak saya, jadinya seperti kolase dari rekaman-rekaman gambar itu. Ketika menempelkan gambar-gambar itu, ketika menyusun mereka, ketika menata mereka ke dalam bait-bait, tentu saja saya harus mempertimbangkan kemungkinan gambar utuh apa yang kelak hadir dari sana. Saya harus membentangkan kanvas bagi lekatnya gambar-gambar yang sudah saya rekam tadi.

Saya terus-terang saja meminjam sajak Joko Pinurbo itu. Kepada sang penyair, saya kirim pesan pendek, betapa sajak itu saya ingat selama saya berada di utan Kayu, dan saya bilang ada sajak yang saya tulis dengan kenangan pada sajak itu.

Atau katakanlah saya mencontek. Saya memaafkan diri saya atas kelancangan itu. "Kok berani-beraninya kamu mencontek Joko Pinurbo?" kata satu suara kecil di sudut hati saya. "Ah biar saja, toh akhirnya saya akan menghasilkan sajak yang lain, sajak yang berbeda," kata suara kecil lain di sudut lain hati saya.

Ah, di Utan Kayu, kau dan aku menemui banyak orang. Tapi, di Utan Kayu, sesungguhnya, kau dan aku lebih banyak menemui diri kita sendiri. Di sana Godot kita tunggu, tapi Godot tak datang. Adakah Godot? Ah, mungkin Godot ada di dalam dirikau dan diriku.***

(Sumber: http://sejuta-puisi.blogspot.com/)