(Wawancara Majalah Playboy dengan Goenawan Mohamad)
Playboy (P): Kenapa tidak pernah menulis novel?
Goenawan Mohamad (GM): Saya juga penasaran. Saya kira karena saya belum bisa. Saya bikin cerita pendek saja belum bisa. Sesekali ada, untuk main-main.
P: Kenapa tidak bisa?
GM: Tidak tahu. Mungkin cerita pendek bisa saja tapi novel itu butuh energi yang luar biasa.
P: Tapi menulis esai juga perlu energi?
GM: Aaa… ya, tapi itu lebih banyak energi intelektual. Kalau novel itu energi fisik, intelektual, perasaan, dan terutama imajinasi. Saya belum berhasil menemukan tekniknya yang agak lain daripada yang lain. Bukan saya nggak mau tapi karena saya belum bisa pada umur begini. Siapa tahu pada umur 70 nanti saya bisa (tertawa). Saya harap bisa (menulis novel).
P: Pencapaian terbesar dalam dunia novel kita?
GM: Yang terakhir ini menurut saya Ayu Utami. Pertama, karena Ayu membawakan bahasa yang sangat hidup dan konkrit, tidak hanya statement-statement, tidak hanya perumusan filsafat. Tapi bahasa sehari-hari, dan juga pada saat yang sama juga bisa puitis. Kedua, eksplorasi bahasanya luar biasa. Seperti dalam Saman kita lihat nama-nama ular, nama-nama hantu itu kan jarang dipakai, dan dipermainkan begitu rupa. Kemudian deskripsi dalam novel itu, mungkin karena Ayu biasa reportase sebagai wartawan, hidup sekali. Sehingga misalnya, menggambarkan oil rig di laut begitu hidup. Karena Ayu juga melakukan riset. Keempat, ceritanya, dari empat tokoh dari cerita yang berbeda-beda dan perempuan. Kelima persoalan-persoalannya bukan hanya individu tapi juga politis. Itu terangkum semua. Dan yang terang, enak dibaca.
Mungkin dalam waktu-waktu mendatang akan banyak novelis lain yang melahirkan karya sangat baik. Nukila Amal termasuk yang akan hebat. Cala Ibi itu dari segi petualangan bahasa lebih dahsyat daripada Saman. Eksperimen bentuknya juga berani.
P: Kalau dalam puisi?
GM: Puisi banyak. Joko Pinurbo termasuk yang bagus sekali. Banyak nama yang tidak bisa saya sebutkan. Mardi Luhung atau Iswadi dari Lampung, Ari Batubara juga bagus. Kata Nirwan puisi banyak yang jelek. Tapi dari yang saya baca akhir-akhir ini di Kompas bagus-bagus.
P: Bagaimana kritik Saut Situmorang tentang TUK yang mendominasi festival sastra internasional?
GM: Kalau disangka kami menguasai semuanya tidak betul juga. Misalnya festival sastra internasional kan tidak hanya yang diselenggerakan TUK tapi juga DKJ dan Rendra. Kedua, pilihan luar negeri itu tidak ditentukan oleh TUK. Dunia internasional dekat dengan TUK tapi mereka memilih sendiri. Yang kadang-kadang kami ragukan, tapi mereka memilih apa boleh buat. Ketiga, pengaruhnya apa sih. Penguasaan itu berupa apa?
P: Akses bagi sastrawan lain?
GM: Kan ada banyak media di dunia, bahkan di Jakarta ini. Memang orang TUK punya peranan di Kompas maupun Koran Tempo, tapi kan tidak berarti diisi oleh orang-orang itu itu saja. Jangan lupa kalau dalam kode etik Utan Kayu itu, kalau karya anggota komunitas sendiri tidak bisa dipentaskan. Anggota komunitas tidak bisa menjadi peserta festival sastra yang diselenggarakan Utan Kayu. Seperti karya saya atau Sitok, tidak bisa diikutkan.
P: Bila melihat konflik seniman Lekra dengan Manifes Kebudayaan (Manikebu) tahun 60-an sebagai sebuah dialektika, apa tesis baru dari sana?
GM: Mungkin berlangsung tesis baru tapi belum dirumuskan. Apa yang bisa ditarik dari sana bahwa ide itu penting, prinsip-prinsip penting dalam berkesenian dan politik. Terutama mengenai kebebasan kreatif. Perdebatan mengenai itu dari pandangan yang berbeda sangat vital bagi kehidupan seni. Sayangnya polemik itu tidak berlangsung cukup baik dan ditutup dengan pemberangusan terhadap karya-karya Manikebu. Pemberangusan yang terjadi atas karya-karya Lekra dan pemikiran-pemikiran Marxisme sama jeleknya dengan pemberangusan terhadap karya-karya dan pemikiran Manifes. Kedua-duanya menghentikan proses pencarian pemikiran alternatif.
Manikebu itu sebetulnya suatu tesis baru yang timbul antara mereka yang berbendapat bahwa seni adalah alat untuk perjuangan politik dan di sisi lain yang ekstrim adalah seni yang tidak ada urusannya dengan politik. Manikebu mencoba memberi alternatif, memang kesenian tidak bisa diperalat, tapi bukan berarti tidak ada kesadaran proses politik selalu terjadi. Tapi (seni) harus bebas dari diperalat. Seni ekspresi perjuangan juga, tapi tidak diperalat oleh sesuatu kekuatan di luar dirinya.
P: Kesenian yang tidak pretensius?
GM: Bukan soal pretensi. Yang dilawan Manikebu adalah semboyan politk sebagai panglima. Dalam arti partai politik sebagai panglima. Khususnya partai yang berkuasa. Kesusasteraan dan kesenian tidak bisa didikte oleh kekuasaan politik atau partai. Tapi tidak berarti di dalam usaha pembebasan manusia, sastra dan kesenian tidak terlibat. Sebagaimana perjuangan politik adalah usaha pembebasan, perjuangan kesusateraan juga adalah perjuangan pembebasan. Tapi tidak berarti perjuangan politik menjadi majikan perjuangan kesusasteraan. Kenapa tidak sejajar.
Dulu ada kata-kata Sitor Situmorang: revolusi mengabdi pada manusia, sastra yang mengbadi pada manusa harus mengabdi pada revolusi. Arief Budiman membantah, dia katakan kucing mengabdi pada manusia, anjing mengabdi pada manusia juga. Tapi tidak berarti kucing mengabdi pada anjing. Kenapa tidak sama-sama mengabdi. Jadi bukan masalah sasatra yang tidak mau terlibat dalam perjuangan, tapi keterlibatan itu harus bebas. Tidak didikte yang lain tapi oleh dinamika sastra itu sendiri, kebebasan pikiran dan kreatif sastrawan sendiri. Dan akhirnya terbukti sosialisme macet dan menimbulkan penindasan. Di Soviet, Cina, hasilnya setelah diterapkan rumus realisme sosialis, dunia kreatif mereka mati total. Tapi harus dicatat pemikiran realisme sosialis di Indonesia itu belum matang.
P: Belum matang?
GM: Yang tertarik berteori itu cuma Pram. Itupun baru.
P: Tapi ada kelompok-kelompok muda seperti Taring Padi yang juga bergerak di wilayah realisme sosialis?
GM: Saya setuju dengan prinsip Taring Padi. Dan kelihatan Taring Padi kan tidak mengbadi pada apapun, tidak ada partai yang mengontrol. Realisme sosialis yang diambil Pram dari Andrei Zhdanov itu mengabdi pada partai. Taring Padi sama dengan Manikebu sebetulnya. Berjuang tanpa komando partai. Saya menulis puisi, ya saya menulis puisi. Kalau saya berjuang politik, saya tidak akan memperalat puisi saya untuk perjuangan politik. Jadi saya tidak akan menulis puisi memaki-maki Soeharto. Tapi saya akan menulis makian pada Soeharto di tempat lain.
Saya pernah membaca sajak Ho Cho Minh itu tidak ada: “Perang, maju, ganyang.” Puisinya mengenai bulan dan hal-hal yang sederhana, dan indah. Tapi dia pemimpin revolusi sejati. (Pablo) Neruda puisinya cinta. Dia anggota partai komunis yang patuh. Picasso anggota partai komunis. Nah seandainya hidup di bawah Stalin, Neruda, Picasso itu habis.
P: Anda termasuk paling muda di Manikebu, tapi peran Anda sangat penting?
GM: Iya, saya paling muda. Saya dan Arief sudah menulis. Arief lebih tua setahun dari saya. Lalau majalah sastra tempat kami menulis diserang habis. Lalu dipaksa untuk mengimposisi doktrin-doktrin realisme sosialis. Saya tidak suka. Lalu kami mendorong yang tua-tua. Sebetulnya yang tua-tua itu saling berantem. HB Jassin dengan Wiratmo (Soekito) itu tidak ramah tamah. Ego masing-masing. Yang mendorong mereka berkumpul kami yang muda-muda, saya, Arief. Salim Said juga, meski waktu itu dia belum menulis. Slamet Sukiranto juga.
Gerakan itu repson dari tekanan kreatif yang menurut saya mengganggu betul. Kami kan tidak berpartai, tidak antusias dengan partai. Tapi oleh Pram, semuanya harus berpartai. Kalau tidak berarti gelandangan politik. Masak semua perjuangan harus lewat partai. Memang sikap antipartai bisa berhaya, saya sadari itu kemudian. Tapi kalau sastrawan menulis tanpa komando partai, itu tidak salah. Karena itu sikap saya sekarang mendukung PAN, kalau ada teman mendukung PDI-P saya anjurkan. Partai harus diperkuat. Tapi kalau menulis saya tidak mau didikte oleh partai, meski itu partai yang saya pimpin sendiri. Puisi saya tidak mau dikomando oleh perjuangan politik saya. Dalam hidup selalu perlu ada ruang yang cukup untuk hal-hal yang privat, sederhana, kecil, romantik, tidak berguna. Harus selalu ada. Tidak selamanya harus menjadi total untuk perjuangan. Itu bisa membinasakan kemungkinan-kemungkinan manusia, membinasakan yang berbeda dalam diri manusia.
Kita kan sebetulnya terdiri dari kemungkinan-kemungkinan yang berbeda. Kalau semua ditarik untuk mencapai satu hal, kepentingan partai atau dapat duit, atau dapat istri itu namanya hidup dijajah oleh tujuan. Ada seorang penyair mistik dari Jerman yang mengatakan bunga mawar ada tanpa kenapa. Kenapa harus kenapa, kenapa harus untuk apa. Kita tidak tahu untuk apa itu. Tidak semua hal bisa ditanya untuk apa. Kapitalisme maupun komunisme penuh penunggangan oleh tujuan. Saya tidak mau.
P: Karena itu Anda tidak ikut ketika beberapa tokoh Manikebu lain menentang Pram menerima hadiah Magsayasay, Anda juga membawa Amarzan Loebis ke Tempo?
GM: Karena menurut saya suara mereka layak didengar, dan tulisan mereka layak dibaca. Siapa bilang tulisan Amarzan jelek? Tulisan Pram layak dihidupkan dalam khasanah sastra Indonesia. Kalau suasana represi ini diteruskan, mula-mula yang anti-komunis represif, lalu yang komunis represif, akan sama saja. Kalau kita menentang represi, bukan hanya represi untuk diri sendiri. Sebab sikap anti-represi adalah merayakan perbedaan-perbedaan. Memang tidak mudah dipahami termasuk oleh teman-teman saya sendiri.
P: Seiring lahirnya Orde Baru, Manikebu juga keluar sebagai pemenang. Anda ingin jauh dari suara seorang pemenang?
GM: Bukan begitu. Saya lihat orang–orang komunis sama patriotiknya dengan yang bukan komunis, sama-sama ingin membikin Indonesia lebih baik. Saya selalu teringat kata-kata Soe Hok Gie di halaman depan skripsinya: “Untuk mereka yang berjuang untuk Indonesia, di kiri maupun di kanan.”
P: Ayah Anda juga seorang kiri, tidak mempengaruhi Anda menjadi pelaku doktrin kiri?
GM: Iya, Bapak saya seorang kiri. Saya terlalu kecil waktu itu untuk mengerti. Kakak saya, Kartono, cerita dalam perpustakaan bapak saya itu Karl Marx isinya. Dia aktivis politik, pelopor kemerdekaan. Dia dibuang ke Digul bersama ibu saya. Pulang, tahun 1945, Belanda datang dia ditangkap, ditembak mati. Saya umur lima tahun ketika itu.
Kalau ibu saya meninggal cukup tua. Setelah bapak saya meninggal ibu harus berjuang karena kami harus sekolah. Bagi orang tua kami, apapun dikorbankan untuk sekolah.
P: Apa yang berbeda dari dinamika pelaku kesenian sekarang dibandingkan saat Anda masih muda?
GM: Anak sekarang lebih pintar-pintar. Banyak eksplorasi, kontak ke luar negeri. Saya lihat seni rupa kita maju pesat. Beberapa prosa dari anak-anak muda yang saya baca di Koran Tempo, pengenalannya pada dunia sastra luas sekali. Tidak ada di zaman saya. Generasi sekarang bahasa asingnya lebih bagus dan rajin membaca. Zaman saya, yang mungkin serius membaca hanya Arif Budiman dan saya. Kalau Sapardi dan Rendra itu di atas saya, mereka juga pembaca serius. Generasi 45 bahasa asingnya bagus, generasi setelah itu bahasa asingnya agak berantakan. Memang ada pengecualian seperti Rendra.
Saya kagum pada Rendra. Sebagai penyair, kekuatan inovatifnya pada tahun-tahun itu belum tertandingi, mungkin sampai sekarang. Tapi sekarang, ada Sutardji (Colzum Bahri) yang juga inovatif. Pada generasinya, Rendra tidak ada yang mengalahkan. Beberapa puisinya sampai sekarang kekal, seperti Nyanyian Angsa, Khotbah.
P: Dia juga banyak menulis jargon?
GM: Iya memang kemudian dia banyak menulis pamflet, jargon. Dan kadang-kadang seperti khotbah. Capek dengarnya. Tapi saya pernah mendengarkan dia membaca puisi yang belum pernah dipublikasi di Magelang. Rekaman perasaan sewaktu dia sakit. Bagus sekali, dan cara dia membacakan puisi… wah. Ajaib kalau Rendra membaca puisi.
Kalau anak-anak sekarang, luar biasa. Lebih mengagumkan, lebih asyik. Saya senang bergaul dengan yang muda-muda. Karena dari mereka saya belajar banyak.
P: Anda pasti sedang merendah?
GM: Ini bukan sok merendah hati. Betul. Omong kosong kalau saya tidak belajar dari mereka. Saya belajar soal posmodernisme, dari Nirwan (Dewanto), (Ahmad) Sahal, lalu saya pelajari sendiri. Sebelumnya saya cuma tahunya eksistensialisme, marxisme, thok.
P: Kalau wacana poststrukturalisme?
GM: Iya itu juga baru saya pelajari. Bahwa saya cepat mempelajarinya karena saya terlatih dalam filsafat. Dan untungnya bahasa asing saya lumayan. Tanpa anak-anak muda, saya akan seperti orang-orang seusia saya, tidak bunyi. Berbahagia sekali saya banyak bertemu anak-anak muda cemerlang.
P: Filsafat apa yang mencerahkan Anda pada awalnya?
GM: Mungkin pertama kali itu, Freud. Saya baca waktu SMP, dari bahasa Inggris. Kalau Kartono sudah banyak baca dari SD, dia banyak diajari kakek saya. Saya nggak terlalu kecipratan. Freud membuat banyak hal yang kaku dan beku menjadi terguncang dengan idenya tentang alam bawah sadar, tubuh sebagai sebuah ungkapan besar. Orang selalu salah, Freud hanya bicara tentang seks. Tidak. Marx juga. Zaman 60-an itu semua orang harus belajar Marxisme. Saya juga membaca dari Lenin, Marx, Engels, Mao Tse Tung. Dan dulu buku-buku yang mudah didapat kan dari Soviet. Saya juga punya teman yang baik seperti Wiratmo Soekito yang buku-bukunya tentang Marxisme bagus bagus. Aneh ya.
P: Setelah Marxisme?
GM: Kemudian eksistensialisme, yang sempat menjadi mode, dibaca orang. Albert Camus memang menarik. Setelah tahun 80-an saya semakin banyak mengerti yang baru dan cocok. Saya banyak cocok dengan (Jacques) Derrida. Kemudian sekarang Ernesto Laclau. Dia pemikir politik dari Argentina, bekas aktivis gerakan buruh.
P: Karena Laclau juga tidak jauh dari tradisi Marxis?
GM: Dia punya teori sejarah dan politik yang menurut saya cocok. Laclau ini dengan seorang perempuan Chantal Mouffe meneruskan tradisi (Antonio) Gramsci. Jadi kembali-kembalinya masih pengaruh Marx dan Freud masih kuat dalam pikiran saya.
P: Anda juga banyak memperbincangkan Jacques Lacan, karena benang merahnya masih dari Freud?
G: Ya, kesukaan saya pada Freud dilanjutkan dengan keterpikatan saya pada Jacque Lacan. Di luar itu semua ada masalah agama, mistik, Iqbal, pemikiran-pemikiran baru agama dan sufisme.
P: Untuk melihat kesenian, jalan filsafat mana yang Anda suka?
GM: Heidegger. Dia banyak pengaruh dari Derrida. Untuk memahami puisi, saya suka dengan Heidegger.
P: Kenapa?
G: Heidegger punya filsafat yang meletakkan, saya, Anda, sebagai bagian dari dunia kefanaan, bagian dari alam, tidak manusia sebagai pusat. Manusia sebagai pusat itu akhirnya menjadi penakluk alam, juga penakluk orang lain. Sejarah yang kita pelajari menunjukkan pada akhirnya mereka terbentur pada kegagalan.
P: Kalau kita semua filsuf, apa proyek filsafat Anda?
GM: Pembebasan mungkin.
P: Saya masih ingat ketika di Ubud ada seorang penulis dari Austria yang mempertanyakan keheranannya ternyata orang Indonesia seperti Anda yang bisa membicarakan filsafat seperti Heidegger, Lacan dengan lancar. Sebagai yang sering terlibat dalam forum intelektual di luar negeri, Anda sering mengalami itu?
GM: Iya (tertawa). Mereka heran kenapa kita biasa membicarakan Heidegger, Gramsci, Derrida sambil ketawa-tawa. Fun. Jangan anggap enteng Indonesia-lah. Saya ini kesel kalau Indonesia dianggap enteng. Tapi kalau orang menguji Indonesia kita pura-pura kalem saja.
P: Mereka menganggap kita masih rimba belantara yang perlu ditaklukkan?
GM: Betul. Kalau tidak, (kita) harus cocok dengan pandangan mereka tentang kita. Lihat saja musik Tony Prabowo. Banyak orang barat tanya, kok bukan gamelan. Saya pernah ceramah di luar negeri, mengutip Heidegger. Ada yang tanya, kenapa tidak mengutip puisi Indonesia? Dijawab oleh dosennya: “Lah, dia senang kok.” Mereka senang mematok kita, bahwa orang Jawa harus mewakili kejawaan.
P: Pram dengan lantang menolak kejawaannya.
GM: Itu bagus. Saya suka Pram bilang itu. Tidak boleh dipatokkan orang dalam satu suku. Suku itu apa sih?
P: Konstruksi sosial ya?
GM: Itulah bagusnya kita belajar poststrukturalisme. Semua itu konstruksi sosial politik. Dan memang betul kan.
P: Anda ikut menyusun platform PAN. Partai itu ingin menggabungkan potensi intelektual Islam modern dengan kaum liberal. Itu bisa terjadi?
GM: Akhirnya memang tidak berhasil. Dari awal sudah banyak kompromi dan kemudian semakin banyak kompromi di dalamnya. Apa boleh buat, PAN memang begitu. Saya sabar aja.
P: Bagi Anda mengombinasikan dua kekuatan itu proyek yang menarik?
GM: Penting. Bukan harus menarik. Karena partai saya sebenarnya saya tidak tertarik. Tapi terpaksa, karena memang harus lewat saluran itu. Kalau tidak salah, (Jimmy) Carter, dia orang Kristen yang baik, mengatakan politik itu tugas sedih. Dan memang sedih.
P: Bagaimana metode anda menulis Catatan Pinggir, sejak dari penemuan tema sampai eksplorasinya?
GM: Kadang-kadang dipicu persitiwa yang terakhir. Lalu saya memikirkan lebih lanjut, dan sedapat mungkin saya menyajikan sesuatu yang belum dilihat. Tapi kalau nggak ada peristiwa, saya harus cari ide sendiri. Lebih banyak tergantung pada suasana hati saya, kesibukan pikiran dan kecapekan, semangat atau kemarahan saya. Tidak pasti, meskipun rutin.
P: Kalau sedang di luar negeri, tapi Anda ingin mengutip dari suatu buku yang pernah Anda baca. Anda memang mengingatnya?
GM: Kalau perlu bukunya, ya beli. Tiap minggu (menulis Catatan Pingir) itu sebenarnya perjuangan berat (tertawa). Saya melakukannya kadang-kadang dengan kebanggaan, dengan kesombongan, kadang karena dorongan kesal pada keadaan, sedih. Kadang-kadang saya mengutuk, kenapa ini saya lakukan terus-menerus.
P: Kutukan?
GM: (tertawa) Semacam karma. Tapi ya kalau tulisannya bagus saya senang. Kalau tidak bagus saya mencoba melupakannya.
P: Kenapa Anda berpikir esai yang baru Anda kerjakan tidak bagus?
GM: Tergesa-gesa. Saya membutuhkan lima jam untuk menulis.
P: Lima jam?
GM: Lima jam nonstop. Saya tidak tidur, tidak makan. Itu kan menyiksa.
P: Tidak pernah dalam satu jam?
GM: Tidak bisa. Paling cepat tiga jam. Saya mengalami masalah kalau meninggalkan tulisan yang belum jadi untuk tidur atau makan. Tidak tentram. Ada teman yang pernah tinggal dengan saya di Amerika bilang, sebenarnya saya tidak bisa menjadi penulis, masak tiga hari tiga malam tidak tidur. Tidur saya jadi kacau. Karena itu orang susah tidur dengan saya, termasuk istri saya. Karena jam tiga pagi saya bisa bangun untuk menulis. Sampai jam 8.
P: Apa judul catatan Pinggir menurut Anda yang terbaik?
GM: Belum ada. Kadang setelah menulis saya menganggapnya sangat baik, tapi minggu berikutnya rasanya kok jelek ya. Sekarang karena ada Tempo versi Inggris dan online saya lebih bisa memperbaiki. Lalu saya kirim lagi. Kadang berulang-ulang saya tulis, sehingga redaktur bahasa sering kesal, “Mana nih yang mau dipakai?” Setelah saya kirim saya bilang versi terakhir: “Final!” Tapi setelah dimuat, celaka ada yang salah. Untuk versi online dan Inggris sering saya perbaiki. Mungkin ada satu penyakit saya, dalam soal ini, saya obsesif. Untuk perfect. Dan itu menyiksa sebenarnya. Harusnya rileks saja ya. Habis itu kan dilupakan orang juga.
P: Catatan Pinggir tentang Sukardal, masih banyak yang membicarakannya karena menghidupkan kisah bunuh diri tukang becak. Dia bukan siapa-siapa dan kejadian itu sudah sangat lama.
GM: Begitu ya? Saya tidak menyangka akan begitu. Kalau kamu tertarik, kamu harus menuliskan ulang tentang Sukardal. Bagus kalau cerita itu masih hidup.
P: Kalau menulis puisi?
GM: Juga begitu. Makanya puisi saya sedikit. Tidak produktif seperti teman-teman lain. Mungkin karena itu saya tidak berani menulis novel, seperti perjalanan bunuh diri ya. Baru satu chapter, bisa saya ulangi berkali-kali. Nggak bakal jadi-jadi.
P: Dari karya esai Anda terlihat Anda seorang yang ragu-ragu?
GM: Mungkin betul, dalam arti saya tidak mudah untuk memberikan penilaian tentang hidup dan manusia lain. Karena memang kompleks. Saya tidak punya sikap yang cepat menghakimi. Karena saya selalu terbentur pada kenyataan bahwa saya terbatas juga. Dan tugas tulisan bukan memberikan kepastian tapi justru menggugat kepastian. Mempersoalkan kepastian sehingga orang selalu menjelajah untuk menemukan kemungkinna-kemungkinan baru dari segi-segi yang tidak terlihat. Apa yang saya pelajaran dari dekonstruksi, misalnya, adalah bahwa yang lain yang tidak terlihat, yang terepresi itu selalu penting. Mungkin saya terlihat ragu-ragu karena saya selalu memberikan kemungkinan bahawa yang tak terlihat itu ada dan luput oleh kita.
P: Anda ingin menghindari kepastian karena tak ingin menjadi dogma?
GM: Betul. Suatu kepastian bisa menjadi dogma, apalagi yang diutarakan oleh pengarang. Karena pengarang sering dianggap sebagai pujangga, pemberita terakhir kearifan. Pelajaran dari Freud penting karena ternyata dalam diri pengarang ada hal-hal yang dia tidak sadari.
P: Mungkin karena itu Anda masuk ke wilayah puisi, bukan novel?
GM: Betul. Kalau menulis filsafat, filsafat saya juga diganggu oleh puisi saya. Ignas Kleden pernah menulis Catatan Pinggir banyak diberi bumbu puitik. Bagi saya bukan bumbu, bukan hiasan. Puisi adalah keniscayaan dari bahasa yang mencoba menangkap kehidupan dengan segala kegelapannya. Bahkan banyak gema-gema yang tidak selamanya cerah yang hidup di dalam puisi. Tidak berarti memperindah-indah. Hanya mengganggu yang lurus dan konsep-konsep yang sudah beku. Saya kira ada baiknya pemikiran yang konseptual itu terganggu oleh puisi.
P: Anda dikabarkan dekat dengan banyak perempuan?
GM: Apa yang kamu dengar gosip tentang saya dan perempuan-perempuan muda itu?
P: Cukup banyak, untuk pria yang usianya lebih tua dari republik ini.
GM: Saya dilahirkan di keluarga yang lebih banyak perempuan. Mudah bagi saya dekat ke perempuan. Tentang saya banyak gosip. Saya anggap gosip setengah menyenangkan dan setengah menjengkelkan.
P: Apa bagian yang menyenangkan dan apa yang menjengkelkan?
GM: Digosipkan kan keren. Kayaknya saya jagoan. Menjengkelkannya, kadang-kadang berlebihan dan destruktif bagi orang lain. Tapi pada dasarnya saya memang suka flirt.
P: Kenapa?
GM: Karena menurut saya itu asyik aja. Seperti berdebat, seperti main pingpong. Tapi bayangkan sesibuk saya ini masa’ digosipkan pacaran dengan begitu banyak orang. Mana ada waktu saya. Selalu kan, orang sedikit terkenal ada gosip mengenai seks. Selalu. Pak Harto begitu. Menurut saya kebanyakan (gosip) tak masuk akal, tapi orang senang. Gosip itu bumbu percakapan, meski kadang kebanyakan. Saya juga suka bergosip. Jadi saya mengerti bagaimana gosip bekerja atas saya. (tertawa) Biar sajalah. Apalagi pekerjaan yang sekarang, itu tujuh penari cantik-cantik.
P: Goenawan Mohamad mungkin figur yang menarik bagi banyak wanita?
GM: Saya? 65 tahun? Yang benar saja. Sudah tua. Kamu yang banyak orang tertarik, saya nggak.
P: Saya harap begitu, tapi nyatanya nggak (tertawa).
GM: Menurut kamu begitu? Senang saya mendengarnya (tertawa).
——————
Wawancara dengan Alferd Ginting dari Playboy Indonesia. Wawancara ini dimuat di Playboy Indonesia edisi April 2007.
Sumber: http://goenawanmohamad.com/