(Kompas, Minggu, 30 September 2007)
J. Sumardianta
“Bukalah mata tuan dan lihatlah. Di tempat petani meluku tanah yang keras. Di tempat pembuat jalan meratakan batu. Di situlah Tuhan. Bersama mereka Tuhan berpanas dan berhujan. Turunlah ke tanah berdebu itu, seperti Dia. Bangkitlah dari samadi. Hentikan meronce bunga dan membakar setanggi. Meski pakaian tuan lusuh dan kotor. Cari Dia dalam bekerja, dengan keringat di kening tuan.”
Sajak gubahan Rabindranath Tagore, pujangga besar India, di atas merupakan cermin kepekaan terhadap hidup dan alam yang sarat dengan kebajikan teosofis. Kearifan teosofi mengajarkan bahwa Tuhan bisa ditemukan di mana-mana. Tuhan bisa dijumpai saat petani membajak dan menggaru sawah. Saat kuli bangunan memecah batu penjuru. Saat peternak menyabit rumput. Saat buruh bekerja di pabrik. Saat bakul berjualan di pasar. Pendeknya, kehadiran Tuhan mudah dirasakan dalam kegiatan riil eksistensial yang sepintas terkesan tidak ada kaitannya dengan hidup religius dan bakti.
Khasanah spiritual Jawa mengajarkan aforisma, “Urip iki sejatine sastra gumelar ing jagat. Pinanggiha Gusti ing sembarang kalir. Temokno Gusti ing tek kliwer lan ing obah mosike uripmu (Hidup ini sesungguhnya susastra yang terhampar di jagat raya. Tuhan bisa ditemukan dalam segala. Temukanlah Tuhan dalam kehidupan keseharianmu yang berpeluh dan penuh bercak kesulitan).”
Aforisma teosofis itulah yang terhampar pada antologi sajak-sajak Joko Pinurbo (Jokpin): Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), dan yang terbaru Kepada Cium (2007).
Penyair Yogyakarta kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi, 1962 ini misalnya menafsirkan peristiwa Paskah yang agung dan heroik dengan idiom mistisisme konkret kehidupan sehari-hari. Jokpin membumikan peristiwa kebangkitan Yesus justru dengan sikap humor agak main-main. Karya keselamatan Sang Nabi ditampilkan dalam momen paling manusiawi. Dalam “proyek” keselamatan toh Yesus tetap memerlukan “celana”. Dan “celana” itu dijahit sendiri oleh Maria, ibuNya.
Sajak “Celana Ibu” (2004) memudahkan orang nampi Allah minangka jejering kekeran ingkang winadi (memahami misteri Allah yang tak terselami). Maria sangat sedih menyaksikan anaknya / mati di kayu salib tanpa celana / dan hanya berbalutkan sobekan jubah / yang berlumuran darah. // Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit / dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang / ke kubur anaknya itu, membawa celana / yang dijahitnya sendiri. // “Paskah?” tanya Maria. / “Pas sekali, Bu,“ jawab Yesus gembira. // Mengenakan celana buatan ibunya, / Yesus naik ke surga.
Sajak “Terkenang Celana Pak Guru” (1997) memperlihatkan penggubahnya adalah gabungan genius dari ketrampilan seorang penyair menciptakan bahasa dan kedalaman refleksi seorang pemikir yang bersikeras hendak mengubah tragika nasib menjadi ironi yang melegakan. Masih pagi sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas. / Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk, / kemudian terkulai di atas meja. / Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk / sambil mengucapkan, “Selamat pagi, Pak Guru.” // Pak guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya / seakan mau mengatakan, “Bapak sangat lelah.” // Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. / Pak Guru telah berjanji menceritakan kisah para pahlawan / yang potretnya terpampang di seluruh ruang. / Tapi kami tak tega membangunkannya. / Kami baca di papan tulis, “Baca halaman 10 dan seterusnya. / Hafalkan semua nama dan peristiwa.” // Sudah siang, Pak Guru belum juga siuman. / Hanya rits celananya yang setengah terbuka / seakan mau mengatakan, “Bapak habis lembur semalam.” // Ada yang cekikikan. / Ada yang terharu dan mengusap / matanya yang berkaca-kaca. / Ada pula yang lancang membelai-belai gundulnya / sambil berkata, “Kasihan kepala yang suka ikut penataran ini.”
Sajak-sajak Jokpin --di tengah kecenderungan pendangkalan oleh hedonisme yang begitu gandrung kapilangu (mendewakan kenikmatan materi, derajat, pangkat, kekuasaan, dan uang)-- menawarkan kedalaman suasana kontemplatif. Suasana meditatif yang kebak luber kocak-kacik (bergelimang) nilai dan makna itu, misalnya, diwakili sajak “Kepada Cium” (2006): Seperti anak rusa menemukan sarang air / di celah batu karang tersembunyi, // seperti gelandangan kecil menenggak / sebotol mimpi di bawah rindang matahari, // malam ini aku mau minum di bibirmu. // Seperti mulut kata menemukan susu sepi / yang masih hangat dan murni, // seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri / pada luka lambung yang tak terobati.
Transendensi merupakan kebutuhan psikologis dasariah manusia. Manusia, di samping memenuhi kerinduan akan pengalaman adikodrati dengan berdoa dan beribadah, juga memiliki alternatif untuk mencukupi kehausan transendensi dengan musik, sastra, olah raga, dan sebagainya.
Koleksi sajak-sajak Jokpin bagaikan hiperbarik (terapi oksigen tingkat tinggi) tempat orang bisa menghirup transendensi setelah sekian lama diguncang kepengapan disolasi. Puisi “Sehabis Sembahyang” (2005) menertawakan perangai tamak manusia yang miskin perasaan syukur kendati sudah bermandikan kesejahteraan dan perlindungan. Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku. / Terima kasih atas segala pemberianmu, / mohon lagi kemurahanmu: sekedar mobil baru / yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya / agar aku bisa lebih cepat mencapaimu.
Sajak-sajak Jokpin preseden bagus ketangguhan orang-orang kalah di zaman penuh daya-dera yang menggilas. Sajak “Malam Suradal” (2006) mengabarkan bahwa seganas-ganasnya jaman kala bendu sesunguhnya telah gagal menghentikan manusia untuk bertekuk lutut menyerah pada nasib. Sebelum ia berangkat bersama becaknya, / istrinya berpesan, “Jangan lupa beli minyak tanah. / Aku harus membakar batukmu yang menumpuk / di sudut rumah.” / Dan anaknya mengingatkan, “Besok aku harus bayar sekolah. / Aku akan giat belajar agar kelak dapat membetulkan nasib Ayah.”
Ya, di jaman edan karena digiling mesin ketidakpastian turbulensi, ukuran kesuksesan tidak lagi melulu diukur dari akumulasi kekayaan, status sosial, jabatan, dan kekuasaan. Parameternya, saat terjatuh di jurang kegagalan, manusia tetap punya nyali untuk mengambil hikmah dari kemalangan.
Seperti dikatakan filsuf Nietzche, “Segala sesuatu yang tidak membunuhku akan membuatku kuat.” Berani menghadapi kepedihan yang disertai rasa malu. Memiliki daya pegas untuk tetap berkembang melampaui risiko sebagai konsekuensi pilihan hidup. Mengambil hikmah dari kemalangan menuntut pengakuan akan fakta tragis tapi indah: bahwa tidak semua masalah memiliki solusi dan tidak semua perbedaan bisa didamaikan.
Kehidupan manusia modern terlanjur dipenjara house (bangunan gedung yang sumpek dan gerah), bukan bersemayam di hunian yang membuat krasan dan betah (home). Sajak “Cita-Cita” (2003), dalam kerangka mistisisme konkret, mengandung sugesti perihal mendasarnya kebutuhan manusia akan ruang batin untuk hening. Dalam kata-kata William Shakespeare, “Mampu menanggung penderitaan yang bersemayam di jantung kreativitas.” Pendeknya, manusia yang senantiasa didera suasana hiruk pikuk gaduh, mesti nggegulang amrih mboten kajiret bebalutaning gesang (terlatih dan memiliki keberanian untuk melepas beban hidup).
Setelah punya rumah, apa cita-citamu? / Kecil saja: ingin bisa sampai di rumah saat senja supaya saya / dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela . // Ah cita-cita. Makin hari kesibukan makin bertumpuk, // uang makin banyak maunya, jalanan macet, / akhirnya pulang terlambat. / Seperti turis lokal saja, singgah menginap / di rumah sendiri buat sekedar melepas penat.
Penampilannya kadang terkesan udik. Posturnya kerempeng. Siapa pun yang mengenal dan memergoki Jokpin untuk pertama kali pasti tidak menyangka kalau lelaki santun bersahaja berwajah tirus itu seorang penyair yang bukan sembarangan. Sajak-sajak Jokpin seakan representasi hidup kesehariannya yang sak madyo (ugahari), climen (apa adanya). Itu sebabnya, penyair produktif ini gemar mengajak pembaca bertamasya ke tapal batas absurd nasib manusia antara yang getir dan yang jenaka. Sajak-sajak Jokpin sering menggelikan hati, sekaligus membuat pembaca terbujur kaku ditelikung imajinasi liarnya. ***
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta.
Sajak-sajak Joko Pinurbo:
Lubuk Kontemplasi Arus Dangkal Hedonisme
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo

Jokpiniana I : A reflection on dangdut
Work on the opera is going quite well. Haven't made up my mind about the dialogues & recitatives, but I have done some arias and choreographical music. I decided a few days ago to take a break from it and compose my short (4-minute) choral piece commissioned by the ITB (Bandung Institute of Technology, one of the oldest and most prestigious universities in Indonesia) Choir for their tour to Italy.
The piece will be for SSAATTBB choir.For about one year I have been fascinated by the (very) short poems of Joko Pinurbo "Jokpin". You can find them (if you understand Indonesian) in http://jokopinurbo.blogspot.com/ . I have been toying the idea of putting several poems into one short piece, and writing for the choir has provided me the opportunity to do so. So, Jokpiniana will be a series of choir pieces, or shall we say "choir etudes", and this one for ITB will be the first of I-dunno-how-many-will-there-be etudes for choir. In this piece I concentrate especially on his fantastic poem "Dangdut" which provides me the ostinato, but I will treat it antiphonally. Dangdut is a very popular rhythm that is very close to the heart of most of Indonesians. One always say that it belongs to the low-class people, but hey, all the diplomats at the Indonesian embassies around the world always organize dangdut parties. They even have dangdut artists TO BE FLOWN FROM INDONESIA for their "cultural" events. I must say that they are more representative of Indonesian culture than, let's say, me or my colleagues of "classical music" who are pretentious enough of searching things such as "What is Indonesian classical music ? What is Indonesian opera?" and other useless soul-searching questions. Dangdut IS our identity !
Sumber: http://andystarblogger.blogspot.com/
The piece will be for SSAATTBB choir.For about one year I have been fascinated by the (very) short poems of Joko Pinurbo "Jokpin". You can find them (if you understand Indonesian) in http://jokopinurbo.blogspot.com/ . I have been toying the idea of putting several poems into one short piece, and writing for the choir has provided me the opportunity to do so. So, Jokpiniana will be a series of choir pieces, or shall we say "choir etudes", and this one for ITB will be the first of I-dunno-how-many-will-there-be etudes for choir. In this piece I concentrate especially on his fantastic poem "Dangdut" which provides me the ostinato, but I will treat it antiphonally. Dangdut is a very popular rhythm that is very close to the heart of most of Indonesians. One always say that it belongs to the low-class people, but hey, all the diplomats at the Indonesian embassies around the world always organize dangdut parties. They even have dangdut artists TO BE FLOWN FROM INDONESIA for their "cultural" events. I must say that they are more representative of Indonesian culture than, let's say, me or my colleagues of "classical music" who are pretentious enough of searching things such as "What is Indonesian classical music ? What is Indonesian opera?" and other useless soul-searching questions. Dangdut IS our identity !
Sumber: http://andystarblogger.blogspot.com/
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo

Joko Pinurbo: Penyair Muda yang Penuh Potensi
Prof. Dr. Okke Kusuma Sumantri Zaimar
(Staf Pengajar Program Studi Prancis FIB-UI)
Apabila saya bandingkan dengan puisi karya penulis modern Indonesia lainnya, seperti Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri, puisi Joko Pinurbo ini memang mempunyai gaya tersendiri. Puisi-puisi ini tidak bergaya "wah", melainkan penuh kesederhanaan. Memang beberapa kritikus (a.l. Ayu Utami) menganggap puisi-puisi Joko lebih dekat dengan gaya Goenawan Muhammad dan Sapardi Djoko Damono.
Melihat bentuknya, puisi Joko banyak sekali yang bersifat naratif, bahkan dalam sajaknya yang deskriptif pun ia tetap berceritera. 90% dari karya Joko Pinurbo bersifat naratif. Berbeda dengan puisi pada umumnya yang sangat mementingkan bentuk sajak atau pembagian per bait, sajak Joko banyak yang menampilkan bait seperti paragraf saja, bahkan sering kali sajak tampil tanpa bait, jadi merupakan satu kesatuan. Seperti sajak modern lainnya, sajak Joko sering tampil dalam bait-bait yang tidak sama jumlah lariknya. Ada pula pembaca yang mempermasalahkan rima pada sajak-sajak Joko Pinurbo. Meskipun tidak banyak mengandung rima, puisi Joko tetap mengalun. Sering kali rima digunakan sepenuhnya, baik rima selarik mau pun rima akhir larik. Berikut ini contoh rima selarik:
Mata air
Di musim kemarau semua sumber air di desa itu
mengering. Perempuan-perempuan legam
berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah desa di bawah pohon beringin
di celah bebukitan. Tawa mereka yang renyah
menggema nyaring di dinding-dinding tebing, pecah
di padang-padang gersang.(…)
(Pacar Senja, hal 128)
Dari cuplikan di atas, tampak bahwa meskipun tak ada rima akhir, larik ke 3, ke 6 dan 7 mengandung rima selarik bunyi / /, / / dan / / yang menimbulkan kesan pantulan gema, namun bagi penyair kita ini tampaknya apabila tidak diperlukan, rima tak perlu ada. Maka rima, terutama rima akhir, sering ditinggalkan. Susunan bahasa Indonesia yang digunakan Joko cukup rapih, lisensia puitika yang banyak digunakan hanyalah enjambemen, yaitu pemotongan kalimat sebelum selesai, kemudian dilanjutkan di larik berikutnya. Hal ini memberi kesan lompatan-lompatan, dan bila dihubungkan dengan makna dalam sajak di atas memberikan gambaran jalan yang sama sekali tidak rata, sehingga orang yang menggendong gentong itu perlu ekstra hati-hati, agar air yang dibawanya tidak tumpah. Berikut ini sebuah sajak lagi yang menampilkan rima khas sajak Joko Pinurbo.
Bercukur sebelum Tidur
Bercukur sebelum tidur,
membilang hari-hari yang hancur,
membuang mimpi-mimpi yang gugur,
memangkas semua yang ranggas dan uzur,
semoga segala rambut, segala jembut,
bisa lebih rimbun dan subur.
Lalu datang musim, dalam curah angin,
menumpahkan air ke seluruh dataran,
ke gunung-gunung murung
dan lembah-lembah lelah di seantero badan.
Jantungku meluap, penuh.
Sungai menggelontor, hujan menggerejai
di sektor-sektor irigasi di agrodarahku.
Malam penuh traktor, petani mencangkul
di hektar-hektar dagingku.
Tubuhku hutan yang dikemas
menjadi kawasan megaindustri
di mana segala cemas, segala resah
diolah di sentra-sentra produksi.
Tubuhku ibukota kesunyian yang diburu investor
dari berbagai penjuru.
Tubuhku daerah lama yang ditemukan kembali,
daerah baru yang terberkati.
Lalu tubuhku bukan siapa-siapa lagi.
Tubuhku negeri yang belum diberi nama.
Dan kuberi saja nama dengan sebuah ngilu
saat bercukur sebelum tidur.
(Pacar Senja, hal. 30)
Pada sajak di atas ini, kita lihat bahwa pada awalnya Joko menggunakan rima akhir sepenuhnya, kemudian makin lama, makin berkurang, meskipun ia masih menggunakan rima selarik ("ke gunung-gunung murung", dan "ke lembah-lembah lelah"), dan akhirnya rima ditinggalkan, seakan tidak dipedulikan sama sekali. Kesela-rasan bunyi itu ditinggalkan begitu saja, seakan suatu ejekan pada bentuk puisi lama, bahkan mungkin suatu ejekan pada "keharmonisan". Bentuk bait pun tidak ditampilkan, padahal dengan adanya tanda-tanda kesatuan kalimat, sangat mudah untuk menentukan batas-batas bait. Namun memang Joko tidak menghendaki hal ini. Dari segi isi, kita lihat bahwa tindakan yang sangat bersifat pribadi ini (Bercukur sebelum tidur) melalui gaya bahasa simile, telah bergeser menjadi suatu gambaran tentang hutan-hutan yang telah menjadi megaindustri "di mana segala cemas, segala resah diolah di sentra-sentra produksi" Dengan halus, Joko mengemukakan keadaan yang mengkhawatirkan itu dan memberinya nama "sebuah ngilu". Kata yang sederhana ini digunakan untuk menggambarkan seluruh perasaan khawatir dan cemas melihat negrinya diburu para investor.
Satu lagi sajak yang menggunakan rima penuh, karena mengandung repetisi:
Naik Bus di Jakarta
Sopirnya sepuluh.
Kernetnya sepuluh.
Kondekturnya sepuluh.
Pengawalnya sepuluh.
Perampoknya sepuluh.
Penumpangnya satu, kurus,
dari tadi tidur melulu;
kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali.
Sampai di terminal, kondektur minta ongkos:
"Sialan, belum bayar sudah mati!"
(Pacar Senja, hal. 118)
Lima larik awal menampilkan repetisi kata "sepuluh" di akhir larik, sehingga tentu menimbulkan rima penuh, namun kemudian pada larik ke 6, 7 dan 8 rima mulai berkurang untuk pada akhirnya hilang sama sekali. Inilah cara khas Joko mengatur rima. Dari segi makna, sepintas lalu sajak ini terasa lucu, terutama melihat oposisi antara angka sepuluh bagi sopir, kernet, kondektur, pengawal (yang biasanya hanya terdiri dari satu orang di setiap bus) dan perampok, dengan penumpang yang biasanya banyak, hanya disebut satu. Namun, kelucuan di awal sajak berubah menjadi tragedi di akhir sajak. Rupanya penumpang yang banyak itu cukup disebut satu, untuk mengemukakan kesamaan nasib mereka. Kesengsaraan hidup di kota besar hanya dinyatakan dengan "kusut matanya, kerut keningnya seperti gambar peta yang ruwet sekali". Kemudian, sesampai di terminal, ternyata penumpang itu telah mati, dan kata-kata yang diucapkan kondektur sangat menusuk "Sialan, belum bayar sudah mati!" Bagi kondektur, uang sebanyak dua atau tiga ribu rupiah lebih penting dari nyawa manusia. Joko Pinurbo tidak hanya fasih dalam menampilkan pribadi manusia dan segala persoalannya, namun dalam kesederhanaannya, dia juga sering menampilkan kehidupan masyarakat yang menyentuh.
Sajak berikutnya mengemukakan peristiwa kekacauan yang terjadi pada bulan Mei 1998. Peristiwa yang mengerikan itu ditampilkan dalam kesederhanaan Joko Pinurbo, seperti berikut ini:
Mei
Jakarta, 1998
Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kau persembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit, yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei.
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur dan lebur
dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.
(Pacar Senja, hal. 120)
Sajak ini terdiri dari empat bait yang masing-masing tidak mementingkan rima. Sebagaimana juga dalam sajak-sajak Joko Pinurbo yang lain, kalimat-kalimatnya tersusun rapih, kadang-kadang menempati dua atau tiga larik, sehingga memungkinkan adanya lompatan sintaksis, enjambemen.
Dalam sajak ini, kerusuhan bulan Mei digambarkan bagai tubuh gadis yang cantik. Lagi pula, Mei bisa jadi nama seorang perempuan Cina, misalnya: Mei-Mei, Mei-Lan, Mei-Ling, dan seterusnya. Salah satu keahlian Joko Pinurbo adalah mengemukakan pisau bermata dua. Apabila pembaca menganggap Mei itu nama seorang perempuan, maka ia berhadapan dengan tragedy satu anak manusia, namun bila ia menganggap Mei sebagai personifikasi dari waktu (bulan Mei), maka ia berhadapan dengan tragedi bangsa yang terjadi pada bulan Mei 1998. Tak ada gambaran yang hebat mengenai peristiwa kerusuhan itu, namun justru api digambarkan bagai seseorang yang mencintai dan melumat kekasihnya. Namun, yang dilumatnya "cuma warna, cuma kulit, dan cuma ilusi". Jadi yang dibakar para perusuh itu bukanlah esensi manusia, melainkan hanya kulit luar dan bayangan saja. Gagasan ini dipertegas lagi dalam larik-larik berikutnya: "Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami dengan membakar habis tubuhmu yang cantik, Mei" Memang, kerusuhan bulan Mei itu muncul karena adanya kebohongan, dusta yang bisa membangun gagasan-gagasan yang maya, ilusi semata. Itulah sebabnya Joko menghubungkan api dengan mandi "Kau sudah mandi api". Sebagaimana dalam sajak-sajaknya yang lain, mandi bagi Joko adalah pembersihan diri. Itulah beberapa sajak Joko yang mengemukakan kegalauan masyarakat: berhektar-hektar hutan yang berubah menjadi megaindustri, kesengsaraan rakyat ibukota yang naik bus dan kerusuhan bulan Mei. Hal ini saya soroti untuk menepis anggapan bahwa dalam sajak-sajaknya, Joko Pinurbo hanya sibuk dengan diri manusia.
Selanjutnya, marilah kita cermati tema yang hadir pada sajak-sajak Joko Pinurbo. Dalam waktu yang terbatas ini, tentu tidak mungkin saya membahas semua sajak yang jumlahnya seratus itu, jadi saya hanya akan membahasnya secara keseluruhan karya dengan mengambil beberapa bagian sajak sebagai cuplikan. Untuk menemukan tema utama, maka akan saya cari motif dan sub-motif yang mendukung tema dengan melihat kosakata yang digunakan oleh penyair.Motif pertama yang tampak menonjol adalah motif kematian yang didukung oleh kata-kata: kuburan yang hadir hampir di semua sajak, kemudian kata makam, ke-randa, mayat, jenazah, bangkai, korban yang terbantai, kain kafan, batu-batu nisan, dan yang lainnya. Apa makna kematian bagi penyair? Kalau kita perhatikan, kematian bagi Joko Pinurbo tidaklah terlalu menakutkan, hampir di setiap sajaknya dia menggunakan kata kuburan. Misalnya dalam sajak "Celana 1":
(…)
"Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan."
(…) (Pacar Senja, hal.3)
Atau dalam sajak "Celana 3":
(…)
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
(…) (Pacar Senja, hal 5)
"Kisah Senja":
(…)
Istrinya masih asyik di depan cermin, menghabiskan
bedak dan lipstik, menghabiskan sepi dan rindu."
Aku mau piknik sebentar ke kuburan. Tolong jaga
rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri masuk
mengambil buku harian dan surat-suratmu."
(…)
(Pacar Senja, hal. 18)
Dalam "Boneka 2":
(…)
"Mungkin ia sudah bosan dengan kita," gajah berkata.
"Mungkin sudah hijrah ke lain kota" anjing berkata.
"Mungkin pulang ke kampung asalnya" celeng berkata.
"Ah, ia sedang nonton dangdut di kuburan,"
monyet berkata. "Siapa tahu ia tersesat
di tanah leluhur kita," yang lain berkata.
(…)
(Pacar Senja, hal. 26)
"Pulang Malam":
(…)
Di atas puing-puing mimpi
dan reruntuhan waktu
tubuh kami hangus dan membangkai
dan api siap melumatnya
jadi asap dan abu.
Kami sepasang mayat
ingin kekal berpelukan dan tidur damai
dalam dekapan ranjang. (Pacar Senja, hal 69)
"Kain Kafan":
Kugelar tubuhku di atas ranjang
seperti kugelar kain kafan yang telah dibersihkan.
(…)
Kulipat tubuhku di atas ranjang
seperti kulipat kain kafan
yang kaujadikan selimut tadi malam. (Pacar Senja, hal.79)
"Perias Jenazah":
(…)
Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah
yang akan diriasnya sangat mirip dengan dirinya.
Kemudian ia menangis tersedu-sedu sambil dipeluknya
jenazah perempuan yang malang itu. "Biar kurias parasmu
dengan air mataku sampai sempurna ajalmu."
Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggald
an tak ada yang meriasnya. Jenazahnya tampak lembut
dan cantik, dan arwah-arwah yang pernah didandaninya
pasti akan sangat menyayanginya.
(…)
(Pacar Senja, hal. 37)
Sajak "Mudik":
(…)
Nenek sedang meninggal dunia.
Tubuhnya terbaring damai di ruang do’a,
ditunggui boneka-boneka lucu kesayangannya.
(…)
(Pacar Senja, hal. 95-96)
Demikianlah gambaran kematian. Kuburan bagi Joko adalah tempat nampang, tempat menunggu kekasih, tempat piknik, tempat nonton dangdut. Dalam "Pulang Malam" memang ada gambaran yang agak keras "tubuh kami hangus dan membangkai", tetapi gambaran yang keras itu dihaluskan kembali pada bait selanjutnya "Kami sepasang mayat ingin kekal berpelukan dan tidur damai dalam dekapan ranjang.", sedangkan gambaran kain kafan disamakan saja dengan kain putih dan selimut. Gambaran kematian yang mengharukan tampak pada sajak "Perias Jenazah". Jenazah itu dirias dengan air mata. Dan ketika pada gilirannya si perias jenazah itu meninggal, jenazahnya kelihatan lembut dan cantik, meski pun tak ada yang meriasnya, karena ia disayangi oleh arwah-arwah yang pernah diriasnya. Dalam sajak "Mudik" kematian juga tidak menampilkan wajah yang menakutkan, melainkan wajah ketenangan dan kedamaian.
Marilah kita lihat motif yang ke dua, yaitu motif berlarinya waktu. Motif ini sangat menonjol. Bahkan lebih dari 25% dari judul sajak menggunakan kosakata yang mengandung komponen makna waktu, yaitu: "Terkenang Celana Pak Guru", "Perjamuan Petang", "Selepas Usia 60", "Kisah Senja", "Gadis Malam di Tembok Kota", "Bercukur sebelum Tidur", "Perempuan Senja", "Gadis Enam Puluh Tahun", "Kecantikan Belum Selesai", "Pacar Senja", "Kisah Semalam", "Doa sebelum Mandi", "Pulang Malam", "Penumpang Terakhir", "Telpon Tengah Malam", "Tuhan Datang Malam Ini", "Minggu Pagi di Sebuah Puisi", "Mei", "Ronda", "Baju Bulan", "Bayi di Dalam Kulkas", "Surat Malam untuk Paska", "Selamat Tidur", "Penjual Kalender", "Februari yang Ungu". Ini baru judul saja, tentu perhitungan ini tidak akurat. Seharusnya semua sajak diteliti satu per satu. Meskipun demikian, melihat jumlah judul sajak, kita sudah dapat melihat bahwa tema waktu sangat dominan. Kini marilah kita lihat bagaimana "wajah" waktu ditampilkan oleh penyair.
Sajak "Di Salon Kecantikan":
(…)
Senja semakin senja.
Jarinya meraba kerut di pelupuk mata.
Tahu bahwa kecantikan hanya perjalanan sekejap
yang ingin diulur-ulur terus
namun toh luput juga.
Karena itu ia ingin mengatakan,
Mata, kau bukan lagi bulan binal
yang menyimpan birahi dan misteri.
Ia pejamkan matanya sedetik
dan cukuplah ia mengerti
bahwa gairah dan gelora
harus ia serahkan pada usia.
Toh ia ingin tegar bertahan
dari ancaman memori dan melankoli.
Ia seorang pemberanidi tengah kecamuk sepi.
(…)
Mengapa harus menyesal?
Mengapa takut tak kekal?
Apa beda selamat jalan dan selamat tinggal?
Kecantikan dan kematian bagai saudara kembar
yang pura-pura tak saling mengenal.
"Aku cantik. Aku ingin tetap mempesona.
Bahkan jika ia yang di dalam cermin
merasa tua dan sia-sia."
Yang di dalam kaca tersenyum simpul
dan menunduk malu
melihat wajah yang diobrak-abrik tatawarna.
Alisnya ia tebalkan dengan impian.
Rambutnya ia hitamkan dengan kenangan.
Dan ia ingin mengatakan,
Rambut, kau bukan lagi padang rumput
yang dikagumi para pemburu.
(…)
"Aku minta sedikit waktu lagi
buat tamasya ke dalam cemas.
Malam sudah hendak menjemputku
di depan pintu."
(…)
Senja semakin senja.
Kupu-kupu putih hinggap di pucuk payudara.
Tangannya meremas kenyal yang mrucut
dari sintal dada.
Dan ia ingin mengatakan,
Dada, kau bukan lagi pegunungan yang indah
yang dijelajahi para pendaki.
(…)
(Pacar Senja, hal. 19-22)
Berbeda dengan "kematian", wajah "waktu" menampilkan kecemasan yang sangat kuat. Si narator tahu bahwa ia harus menyerahkan segalanya pada usia, namun ia tetap "tegar melawan ancaman memori dan melankoli" Jeritan hatinya sangat menyentuh. Ia mempertanyakan mengapa harus menyesal dan mengapa takut tak kekal. "menyesal" dan "tak kekal" adalah dua hal yang tak dapat dirubah lagi dengan berlarinya waktu tanpa memperdulikan usahanya untuk menentang waktu dengan menggunakan salon kecan-tikan. Ia tahu bahwa usahanya akan sia-sia, namun di akhir sajak, dia menjadi tabah. Motif berlarinya waktu ini, tampak pula dalam sajak "Pacar Senja":
(…)
"Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas ciummenjadi bekas." (…) (Pacar Senja, hal. 45)
Sementara itu, ada pula gambaran waktu yang tidak begitu menakutkan, contoh sajak "Mudik":
(…)
Waktu kadang begitu simple dan sederhana:
Ibu sedang memasang senja di jendela.
Kakek sedang menggelar hujan di beranda.
Ayah sedang menjemputku entah di setatsiun mana.
(…)
Begitu simpel dan sederhana, sampai aku tak tahu
butiran waktu sedang meleleh dari mataku.
Dalam sajak di atas, waktu tidak tampil sebagai sosok yang menakutkan, melainkan sebagai hal yang mengharukan, karena butiran waktu yang meleleh adalah air mata kenangan yang dimiliki si aku narrator. Hal yang sama tampak pula dalam sajak "Penjual Kalender":
(…)
Lelaki tua berulang kali menghitung receh di tangan,
barang dagangannya sedikit sekali terbeli.
"Makin lama waktu makin tidak laku," ia berkeluh sendiri.
Anaknya tertidur pulas di atas tumpukan kalender
yang sudah mereka jajakan berhari-hari.
Lelaki tua membangunkan anaknya. "Tahun baru
sudah tiba, Plato. Ayo pulang. Besok kembalikan saja
kalender-kalender ini kepada pengrajin waktu."
(…)
Tuan kecil segera ingin menyambung tidurnya.
Ibunya menepuk pantatnya: "Kau telah dinakali waktu,
Buyung? Kok tubuhmu terhuyung-huyung?"
Ia ibu yang pandai merawat waktu. Terberkatilah waktu.
Dengan sabar dibongkarnya tumpukan kalender itu.
Ha! Berkas-berkas kalender itu sudah kosong,
ribuan angka dan hurufnya lenyap semua. Dalam sekejap
ribuan kunang-kunang berhamburan memenuhi ruangan.
Gambaran waktu pada sajak di atas tidak bersifat gamblang seperti yang lainnya. Memang waktu telah berlalu, sehingga kalender itu tidak laku lagi. Di satu pihak, waktu seakan dianggap sebagai benda, ada pengrajin waktu yang mengaturnya. Di lain pihak, waktu juga dipersonifikasikan, sehingga si ibu menanyakan apakah anaknya telah dinakali waktu. Memang tanpa terasa, waktu sering menipu atau menakali manusia. Namun pada akhir sajak, dikatakan bahwa berkat kepandaian ibunya merawat waktu, atau menggunakan waktu, maka angka-angka dan huruf pada kalender dapat berubah menjadi kunang-kunang. Binatang-binatang kecil yang hidup di waktu malam berkelap-kelip, bercahaya dan nampak indah. Mungkin saja hal itu merupakan metafora dari harapan-harapan manis si ibu. Kejengkelan pada waktu tampak dalam sajak "Anjing":
Rumahku dijaga dua anjing cerdas: anjing sungguhan
dan anjing-anjingan. Anjing sungguhan sungguh cerewet
dan sok polisi: sepi berkelebat sedikit saja
ia sudah panik, lalu menyalak keras sekali.
Anjing-anjingan sungguh kalem lagi pemalu:
maklum, tubuhnya terbuat dari waktu, eh batu.
Entah mengapa malam lebih takut pada anjing-anjingan
ketimbang pada anjing sungguhan sehingga anjing
sungguhan jadi cemburu. "Aku yang sibuk menjaga
rumah ini, kau yang lebih ditakuti. Dasar anjing!"
kata anjing sungguhan kepada anjing-anjingan.
Sajak ini lebih bersifat "canda", sehingga penampilan waktu di sini tidak menakutkan. Klausa "tubuhnya terbuat dari waktu, eh batu" menunjukkan canda itu. Namun kejengkelan terhadap waktu sangat terasa. Seruan si anjing asli : "Dasar anjing!" menunjukkan perasaan jengkel itu.
Selanjutnya, sebagai motif yang ke tiga kita lihat motif manusia yang terdiri yaitu Ibu, Bayi, dan Tubuh. Yang termasuk sub-motif Ibu adalah: perempuan, kekasih, pacar, gadis, dan lain-lain. 13 dari 100 judul sajak, termasuk sub-motif Ibu. Judul-judul itu adalah: "Celana Ibu", "Gadis malam di Tembok Kota", "Perempuan Senja", "Gadis Enam Puluh Tahun", "Pacar Senja", "Ranjang Ibu", "Penyair Kecil", "Pohon Perempuan", "Mei", "Perempuan Jakarta", "Pacar Kecilku", "Kekasihku", "Ibuku".
Ibu adalah sosok yang digambarkan kuat dan penuh kreasi.. Dia memberikan bekal pada putra-putrinya, bahkan Jesus pun sebelum pergi ke surga mendapat bekal dari ibunya. Hal ini tampak dalam sajak "Celana Ibu":
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri.
"Paskah?" tanya Maria.
"Pas sekali, Bu." jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
(Pacar Senja, hal. 14)
Di sini kita lihat kecintaan seorang ibu. Bahkan Yesus menerima celana buatan ibunya dengan gembira.Sang ibu sedih melihat penderitaan anaknya, dan ia berusaha untuk menguranginya. Celana bukan berarti pakaian biasa, melainkan juga penutup aurat yang pertama. Celana untuk sang putra dijahit sendiri oleh ibundanya, di situlah letak kecintaan si ibu. Ibu juga kerap digambarkan menderita, seperti tampak pada "Ranjang Ibu":
Ia gemetar naik ke ranjang
sebab menginjak ranjang serasa menginjak
rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.
Dan bila sesekali ranjang berderak datau berderit,
serasa terdengar gemeretak tulang
ibunya yang sedang terbaring sakit.
(Pacar Senja, hal. 84)
Begitu besar penderitaan si Ibu, sehingga sang anak selalu merasa mendengar gemeretaknya tulang ibu. Hal ini menunjukkan bahwa si ibu selalu bekerja keras. Sajak lain menggambarkan kebahagiaan seorang anak yang berada dalam asuhan ibunya.
Ibuku
Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku.
Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan
ibuku, sambil membayangkan dan bertanya ini itu.
Aku pun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat
yang belum kukenali. Ketika bangun, kurasakan basah
di celana. Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda.
(Pacar Senja, hal. 145)
Betapa penuh kebahagiaan si narator yang sedang dimanja oleh ibunya.Inilah kebahagiaan masa kecil yang tak terlupakan. Selain memanjakan, si ibu juga mendidiknya dengan baik, ia selalu menyuruhnya membaca, sehingga setelah dewasa, si anak merasa ibunya telah menjadi buku dan akan tetap menuntunnya. Kecintaan seorang ibu pada anaknya, memang tak terbatas. Bahkan anaknya yang durhaka pun masih ingin dilindunginya. Gagasan ini tampak dalam sajak "Pohon perempuan" (Pacar Senja, hal. 119). Joko Pinurbo banyak menggambarkan perempuan dalam penderitaannya. Sajak "Perempuan Jakarta" menampilkan penderitaan seorang perempuan malam di Jakarta.
(…)
Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan
dengan airmata yang disembunyikan.
Di halaman para demonstran pesta pora
mengibarkan kata, mengibarkan celana.
"Ayo, kita sergap dia!"
"Ayo tangkap saya!" ia menantang
sambil pamerkan pantatnya yang matang.
Mereka lalu mengepungnya,
ingin meraih wajahnya, meraih sakitnya.
"Rebutlah aku!" ia merayu
dan mereka siap menyerbu.
(…)
(Pacar Senja, hal.121)
Penderitaan perempuan nakal tampak lebih mengigit lagi dalam sajak "Gadis Malam di Tembok Kota":
(…)
Wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang menyimpan jeritan;
dada segar yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni rumput berduri.
(…)
Dan dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya
dada yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
yang menyerahkan diri pada sembilu.
(Pacar Senja, hal. 23, 24)
Setelah pembahasan motif secara agak mendalam, kini marilah kita lihat keseluruhan motif, meskipun, karena ketiadaan waktu, motif selanjutnya tidak akan dibicarakan secara rindi bersama sajak-sajaknya. Meskipun demikian, pembahasan berikut akan menampilkan hubungan antara satu motif dengan yang lainnya sehingga tema dapat lebih dipahami dengan baik.
Setelah pembicaraan tentang sub-motif perempuan, kini akan dilihat kehadiran sub-motif laki-laki. Sub-motif ini tidak begitu banyak, dalam judul sajak terdiri dari 6 judul, yaitu : "Terkenang Celana Pak Guru", "Tukang Cukur", "Penjual Buah", "Loper Koran", "Ronda", "Penjual Bakso", dan lain-lain. Sub-motif ini tidak akan disoroti karena tidak dominan. Yang menarik adalah sub-motif benda dan ruang, yaitu tempat tidur, ranjang, kamar mandi yang cukup banyak terlihat dalam judul., yaitu: "Toilet", "Pulang Mandi", "Di Sebuah Mandi", "Do’a sebelum Mandi", "Antar Aku ke Kamar Mandi", "Mandi". Setelah itu ada "Ranjang Putih", "Tahanan Ranjang", "Ranjang Ibu", "Rumah Kontrakan". Dari analisis sajak, tampak bahwa yang banyak digunakan penyair untuk menyebut ruang adalah kamar mandi dan ranjang. Kamar mandi sering muncul sebagai pembersih jiwa dan raga, pembersih dosa. Sedangkan ranjang justru digunakan untuk berbuat dosa. Peristiwa mandi banyak dikemukakan demikian juga peristiwa hubungan seksual, bahkan juga perkosaan. Seks banyak ditampilkan dalam berbagai sajak, meskipun dalam judul hanya ada satu: "Di Sebuah Vagina". Obsesi pembicaraan tentang seks ini, timbul dari keinginan untuk menggambarkan penderitaan kaum perempuan, sebagai objek yang dieksploitir.
Sementara itu pakaian merupakan motif penting. Meskipun demikian, sebagaimana juga ruang, tak banyak jenis pakaian yang muncul. Yang sering kita lihat adalah celana yang digunakan sebagai judul tiga buah puisi berturut-turut ("Celana 1", "Celana 2" dan "Celana 3"). Selain itu, sarung atau kain sarung juga sering muncul dalam sajak Joko. Keduanya mempunyai persamaan, yaitu penutup tubuh bagian bawah (penutup aurat yang utama). Tak ada lagi pakaian lain yang sering disebut, kecuali celana dan kain sarung. Misalnya, dalam sajak perjamuan petang, celana memegang peran penting.
Akhirnya, tema apakah yang dapat terbentuk dari motif-motif ini? Telah dikemukakan bahwa motif kuburan dan motif berlarinya waktu adalah dua motif yang sangat dominan. Keduanya berkaitan erat, karena ujung berlarinya waktu adalah kuburan. Yang agak istimewa adalah gambaran kuburan tidaklah menakutkan, melainkan tempat yang menyenangkan (tempat pertemuan kekasih, tempat piknik atau nonton dangdut). Sebaliknya, tema waktu tampak sebagai sesuatu yang menakutkan, menyedihkan dan menjengkelkan. Jadi rupanya waktulah yang menjadi persoalan dalam sajak-sajak ini. Mungkin kekhawatiran untuk menjadi tua, tidak cantik dan kehilangan keperkasaan, merupakan hal yang menakutkan. Bahkan lebih menakutkan dari kematian itu sendiri. Sementara itu banyaknya gambaran tentang hubungan seks beserta ranjangnya dan tempat pembersihan dosa (kamar mandi) yang dilanjutkan dengan gambaran mengenai kebahagiaan bersama ibu mendukung tema awal kehidupan. Tema ini bersambung dengan kehidupan dalam masyarakat , dalam kekhawatiran akan berlalunya waktu dengan cepat dan semua akan berakhir di kuburan. Jadi, dapat dikatakan bahwa tema keseluruhan sajak Joko Pinurbo adalah siklus kehidupan manusia.
*Disajikan dalam seminar Gelar Sastra Dunia, FIB-UI, 19-20 Juli 2005
(Staf Pengajar Program Studi Prancis FIB-UI)
Apabila saya bandingkan dengan puisi karya penulis modern Indonesia lainnya, seperti Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri, puisi Joko Pinurbo ini memang mempunyai gaya tersendiri. Puisi-puisi ini tidak bergaya "wah", melainkan penuh kesederhanaan. Memang beberapa kritikus (a.l. Ayu Utami) menganggap puisi-puisi Joko lebih dekat dengan gaya Goenawan Muhammad dan Sapardi Djoko Damono.
Melihat bentuknya, puisi Joko banyak sekali yang bersifat naratif, bahkan dalam sajaknya yang deskriptif pun ia tetap berceritera. 90% dari karya Joko Pinurbo bersifat naratif. Berbeda dengan puisi pada umumnya yang sangat mementingkan bentuk sajak atau pembagian per bait, sajak Joko banyak yang menampilkan bait seperti paragraf saja, bahkan sering kali sajak tampil tanpa bait, jadi merupakan satu kesatuan. Seperti sajak modern lainnya, sajak Joko sering tampil dalam bait-bait yang tidak sama jumlah lariknya. Ada pula pembaca yang mempermasalahkan rima pada sajak-sajak Joko Pinurbo. Meskipun tidak banyak mengandung rima, puisi Joko tetap mengalun. Sering kali rima digunakan sepenuhnya, baik rima selarik mau pun rima akhir larik. Berikut ini contoh rima selarik:
Mata air
Di musim kemarau semua sumber air di desa itu
mengering. Perempuan-perempuan legam
berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah desa di bawah pohon beringin
di celah bebukitan. Tawa mereka yang renyah
menggema nyaring di dinding-dinding tebing, pecah
di padang-padang gersang.(…)
(Pacar Senja, hal 128)
Dari cuplikan di atas, tampak bahwa meskipun tak ada rima akhir, larik ke 3, ke 6 dan 7 mengandung rima selarik bunyi / /, / / dan / / yang menimbulkan kesan pantulan gema, namun bagi penyair kita ini tampaknya apabila tidak diperlukan, rima tak perlu ada. Maka rima, terutama rima akhir, sering ditinggalkan. Susunan bahasa Indonesia yang digunakan Joko cukup rapih, lisensia puitika yang banyak digunakan hanyalah enjambemen, yaitu pemotongan kalimat sebelum selesai, kemudian dilanjutkan di larik berikutnya. Hal ini memberi kesan lompatan-lompatan, dan bila dihubungkan dengan makna dalam sajak di atas memberikan gambaran jalan yang sama sekali tidak rata, sehingga orang yang menggendong gentong itu perlu ekstra hati-hati, agar air yang dibawanya tidak tumpah. Berikut ini sebuah sajak lagi yang menampilkan rima khas sajak Joko Pinurbo.
Bercukur sebelum Tidur
Bercukur sebelum tidur,
membilang hari-hari yang hancur,
membuang mimpi-mimpi yang gugur,
memangkas semua yang ranggas dan uzur,
semoga segala rambut, segala jembut,
bisa lebih rimbun dan subur.
Lalu datang musim, dalam curah angin,
menumpahkan air ke seluruh dataran,
ke gunung-gunung murung
dan lembah-lembah lelah di seantero badan.
Jantungku meluap, penuh.
Sungai menggelontor, hujan menggerejai
di sektor-sektor irigasi di agrodarahku.
Malam penuh traktor, petani mencangkul
di hektar-hektar dagingku.
Tubuhku hutan yang dikemas
menjadi kawasan megaindustri
di mana segala cemas, segala resah
diolah di sentra-sentra produksi.
Tubuhku ibukota kesunyian yang diburu investor
dari berbagai penjuru.
Tubuhku daerah lama yang ditemukan kembali,
daerah baru yang terberkati.
Lalu tubuhku bukan siapa-siapa lagi.
Tubuhku negeri yang belum diberi nama.
Dan kuberi saja nama dengan sebuah ngilu
saat bercukur sebelum tidur.
(Pacar Senja, hal. 30)
Pada sajak di atas ini, kita lihat bahwa pada awalnya Joko menggunakan rima akhir sepenuhnya, kemudian makin lama, makin berkurang, meskipun ia masih menggunakan rima selarik ("ke gunung-gunung murung", dan "ke lembah-lembah lelah"), dan akhirnya rima ditinggalkan, seakan tidak dipedulikan sama sekali. Kesela-rasan bunyi itu ditinggalkan begitu saja, seakan suatu ejekan pada bentuk puisi lama, bahkan mungkin suatu ejekan pada "keharmonisan". Bentuk bait pun tidak ditampilkan, padahal dengan adanya tanda-tanda kesatuan kalimat, sangat mudah untuk menentukan batas-batas bait. Namun memang Joko tidak menghendaki hal ini. Dari segi isi, kita lihat bahwa tindakan yang sangat bersifat pribadi ini (Bercukur sebelum tidur) melalui gaya bahasa simile, telah bergeser menjadi suatu gambaran tentang hutan-hutan yang telah menjadi megaindustri "di mana segala cemas, segala resah diolah di sentra-sentra produksi" Dengan halus, Joko mengemukakan keadaan yang mengkhawatirkan itu dan memberinya nama "sebuah ngilu". Kata yang sederhana ini digunakan untuk menggambarkan seluruh perasaan khawatir dan cemas melihat negrinya diburu para investor.
Satu lagi sajak yang menggunakan rima penuh, karena mengandung repetisi:
Naik Bus di Jakarta
Sopirnya sepuluh.
Kernetnya sepuluh.
Kondekturnya sepuluh.
Pengawalnya sepuluh.
Perampoknya sepuluh.
Penumpangnya satu, kurus,
dari tadi tidur melulu;
kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali.
Sampai di terminal, kondektur minta ongkos:
"Sialan, belum bayar sudah mati!"
(Pacar Senja, hal. 118)
Lima larik awal menampilkan repetisi kata "sepuluh" di akhir larik, sehingga tentu menimbulkan rima penuh, namun kemudian pada larik ke 6, 7 dan 8 rima mulai berkurang untuk pada akhirnya hilang sama sekali. Inilah cara khas Joko mengatur rima. Dari segi makna, sepintas lalu sajak ini terasa lucu, terutama melihat oposisi antara angka sepuluh bagi sopir, kernet, kondektur, pengawal (yang biasanya hanya terdiri dari satu orang di setiap bus) dan perampok, dengan penumpang yang biasanya banyak, hanya disebut satu. Namun, kelucuan di awal sajak berubah menjadi tragedi di akhir sajak. Rupanya penumpang yang banyak itu cukup disebut satu, untuk mengemukakan kesamaan nasib mereka. Kesengsaraan hidup di kota besar hanya dinyatakan dengan "kusut matanya, kerut keningnya seperti gambar peta yang ruwet sekali". Kemudian, sesampai di terminal, ternyata penumpang itu telah mati, dan kata-kata yang diucapkan kondektur sangat menusuk "Sialan, belum bayar sudah mati!" Bagi kondektur, uang sebanyak dua atau tiga ribu rupiah lebih penting dari nyawa manusia. Joko Pinurbo tidak hanya fasih dalam menampilkan pribadi manusia dan segala persoalannya, namun dalam kesederhanaannya, dia juga sering menampilkan kehidupan masyarakat yang menyentuh.
Sajak berikutnya mengemukakan peristiwa kekacauan yang terjadi pada bulan Mei 1998. Peristiwa yang mengerikan itu ditampilkan dalam kesederhanaan Joko Pinurbo, seperti berikut ini:
Mei
Jakarta, 1998
Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kau persembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit, yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei.
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur dan lebur
dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.
(Pacar Senja, hal. 120)
Sajak ini terdiri dari empat bait yang masing-masing tidak mementingkan rima. Sebagaimana juga dalam sajak-sajak Joko Pinurbo yang lain, kalimat-kalimatnya tersusun rapih, kadang-kadang menempati dua atau tiga larik, sehingga memungkinkan adanya lompatan sintaksis, enjambemen.
Dalam sajak ini, kerusuhan bulan Mei digambarkan bagai tubuh gadis yang cantik. Lagi pula, Mei bisa jadi nama seorang perempuan Cina, misalnya: Mei-Mei, Mei-Lan, Mei-Ling, dan seterusnya. Salah satu keahlian Joko Pinurbo adalah mengemukakan pisau bermata dua. Apabila pembaca menganggap Mei itu nama seorang perempuan, maka ia berhadapan dengan tragedy satu anak manusia, namun bila ia menganggap Mei sebagai personifikasi dari waktu (bulan Mei), maka ia berhadapan dengan tragedi bangsa yang terjadi pada bulan Mei 1998. Tak ada gambaran yang hebat mengenai peristiwa kerusuhan itu, namun justru api digambarkan bagai seseorang yang mencintai dan melumat kekasihnya. Namun, yang dilumatnya "cuma warna, cuma kulit, dan cuma ilusi". Jadi yang dibakar para perusuh itu bukanlah esensi manusia, melainkan hanya kulit luar dan bayangan saja. Gagasan ini dipertegas lagi dalam larik-larik berikutnya: "Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami dengan membakar habis tubuhmu yang cantik, Mei" Memang, kerusuhan bulan Mei itu muncul karena adanya kebohongan, dusta yang bisa membangun gagasan-gagasan yang maya, ilusi semata. Itulah sebabnya Joko menghubungkan api dengan mandi "Kau sudah mandi api". Sebagaimana dalam sajak-sajaknya yang lain, mandi bagi Joko adalah pembersihan diri. Itulah beberapa sajak Joko yang mengemukakan kegalauan masyarakat: berhektar-hektar hutan yang berubah menjadi megaindustri, kesengsaraan rakyat ibukota yang naik bus dan kerusuhan bulan Mei. Hal ini saya soroti untuk menepis anggapan bahwa dalam sajak-sajaknya, Joko Pinurbo hanya sibuk dengan diri manusia.
Selanjutnya, marilah kita cermati tema yang hadir pada sajak-sajak Joko Pinurbo. Dalam waktu yang terbatas ini, tentu tidak mungkin saya membahas semua sajak yang jumlahnya seratus itu, jadi saya hanya akan membahasnya secara keseluruhan karya dengan mengambil beberapa bagian sajak sebagai cuplikan. Untuk menemukan tema utama, maka akan saya cari motif dan sub-motif yang mendukung tema dengan melihat kosakata yang digunakan oleh penyair.Motif pertama yang tampak menonjol adalah motif kematian yang didukung oleh kata-kata: kuburan yang hadir hampir di semua sajak, kemudian kata makam, ke-randa, mayat, jenazah, bangkai, korban yang terbantai, kain kafan, batu-batu nisan, dan yang lainnya. Apa makna kematian bagi penyair? Kalau kita perhatikan, kematian bagi Joko Pinurbo tidaklah terlalu menakutkan, hampir di setiap sajaknya dia menggunakan kata kuburan. Misalnya dalam sajak "Celana 1":
(…)
"Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan."
(…) (Pacar Senja, hal.3)
Atau dalam sajak "Celana 3":
(…)
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
(…) (Pacar Senja, hal 5)
"Kisah Senja":
(…)
Istrinya masih asyik di depan cermin, menghabiskan
bedak dan lipstik, menghabiskan sepi dan rindu."
Aku mau piknik sebentar ke kuburan. Tolong jaga
rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri masuk
mengambil buku harian dan surat-suratmu."
(…)
(Pacar Senja, hal. 18)
Dalam "Boneka 2":
(…)
"Mungkin ia sudah bosan dengan kita," gajah berkata.
"Mungkin sudah hijrah ke lain kota" anjing berkata.
"Mungkin pulang ke kampung asalnya" celeng berkata.
"Ah, ia sedang nonton dangdut di kuburan,"
monyet berkata. "Siapa tahu ia tersesat
di tanah leluhur kita," yang lain berkata.
(…)
(Pacar Senja, hal. 26)
"Pulang Malam":
(…)
Di atas puing-puing mimpi
dan reruntuhan waktu
tubuh kami hangus dan membangkai
dan api siap melumatnya
jadi asap dan abu.
Kami sepasang mayat
ingin kekal berpelukan dan tidur damai
dalam dekapan ranjang. (Pacar Senja, hal 69)
"Kain Kafan":
Kugelar tubuhku di atas ranjang
seperti kugelar kain kafan yang telah dibersihkan.
(…)
Kulipat tubuhku di atas ranjang
seperti kulipat kain kafan
yang kaujadikan selimut tadi malam. (Pacar Senja, hal.79)
"Perias Jenazah":
(…)
Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah
yang akan diriasnya sangat mirip dengan dirinya.
Kemudian ia menangis tersedu-sedu sambil dipeluknya
jenazah perempuan yang malang itu. "Biar kurias parasmu
dengan air mataku sampai sempurna ajalmu."
Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggald
an tak ada yang meriasnya. Jenazahnya tampak lembut
dan cantik, dan arwah-arwah yang pernah didandaninya
pasti akan sangat menyayanginya.
(…)
(Pacar Senja, hal. 37)
Sajak "Mudik":
(…)
Nenek sedang meninggal dunia.
Tubuhnya terbaring damai di ruang do’a,
ditunggui boneka-boneka lucu kesayangannya.
(…)
(Pacar Senja, hal. 95-96)
Demikianlah gambaran kematian. Kuburan bagi Joko adalah tempat nampang, tempat menunggu kekasih, tempat piknik, tempat nonton dangdut. Dalam "Pulang Malam" memang ada gambaran yang agak keras "tubuh kami hangus dan membangkai", tetapi gambaran yang keras itu dihaluskan kembali pada bait selanjutnya "Kami sepasang mayat ingin kekal berpelukan dan tidur damai dalam dekapan ranjang.", sedangkan gambaran kain kafan disamakan saja dengan kain putih dan selimut. Gambaran kematian yang mengharukan tampak pada sajak "Perias Jenazah". Jenazah itu dirias dengan air mata. Dan ketika pada gilirannya si perias jenazah itu meninggal, jenazahnya kelihatan lembut dan cantik, meski pun tak ada yang meriasnya, karena ia disayangi oleh arwah-arwah yang pernah diriasnya. Dalam sajak "Mudik" kematian juga tidak menampilkan wajah yang menakutkan, melainkan wajah ketenangan dan kedamaian.
Marilah kita lihat motif yang ke dua, yaitu motif berlarinya waktu. Motif ini sangat menonjol. Bahkan lebih dari 25% dari judul sajak menggunakan kosakata yang mengandung komponen makna waktu, yaitu: "Terkenang Celana Pak Guru", "Perjamuan Petang", "Selepas Usia 60", "Kisah Senja", "Gadis Malam di Tembok Kota", "Bercukur sebelum Tidur", "Perempuan Senja", "Gadis Enam Puluh Tahun", "Kecantikan Belum Selesai", "Pacar Senja", "Kisah Semalam", "Doa sebelum Mandi", "Pulang Malam", "Penumpang Terakhir", "Telpon Tengah Malam", "Tuhan Datang Malam Ini", "Minggu Pagi di Sebuah Puisi", "Mei", "Ronda", "Baju Bulan", "Bayi di Dalam Kulkas", "Surat Malam untuk Paska", "Selamat Tidur", "Penjual Kalender", "Februari yang Ungu". Ini baru judul saja, tentu perhitungan ini tidak akurat. Seharusnya semua sajak diteliti satu per satu. Meskipun demikian, melihat jumlah judul sajak, kita sudah dapat melihat bahwa tema waktu sangat dominan. Kini marilah kita lihat bagaimana "wajah" waktu ditampilkan oleh penyair.
Sajak "Di Salon Kecantikan":
(…)
Senja semakin senja.
Jarinya meraba kerut di pelupuk mata.
Tahu bahwa kecantikan hanya perjalanan sekejap
yang ingin diulur-ulur terus
namun toh luput juga.
Karena itu ia ingin mengatakan,
Mata, kau bukan lagi bulan binal
yang menyimpan birahi dan misteri.
Ia pejamkan matanya sedetik
dan cukuplah ia mengerti
bahwa gairah dan gelora
harus ia serahkan pada usia.
Toh ia ingin tegar bertahan
dari ancaman memori dan melankoli.
Ia seorang pemberanidi tengah kecamuk sepi.
(…)
Mengapa harus menyesal?
Mengapa takut tak kekal?
Apa beda selamat jalan dan selamat tinggal?
Kecantikan dan kematian bagai saudara kembar
yang pura-pura tak saling mengenal.
"Aku cantik. Aku ingin tetap mempesona.
Bahkan jika ia yang di dalam cermin
merasa tua dan sia-sia."
Yang di dalam kaca tersenyum simpul
dan menunduk malu
melihat wajah yang diobrak-abrik tatawarna.
Alisnya ia tebalkan dengan impian.
Rambutnya ia hitamkan dengan kenangan.
Dan ia ingin mengatakan,
Rambut, kau bukan lagi padang rumput
yang dikagumi para pemburu.
(…)
"Aku minta sedikit waktu lagi
buat tamasya ke dalam cemas.
Malam sudah hendak menjemputku
di depan pintu."
(…)
Senja semakin senja.
Kupu-kupu putih hinggap di pucuk payudara.
Tangannya meremas kenyal yang mrucut
dari sintal dada.
Dan ia ingin mengatakan,
Dada, kau bukan lagi pegunungan yang indah
yang dijelajahi para pendaki.
(…)
(Pacar Senja, hal. 19-22)
Berbeda dengan "kematian", wajah "waktu" menampilkan kecemasan yang sangat kuat. Si narator tahu bahwa ia harus menyerahkan segalanya pada usia, namun ia tetap "tegar melawan ancaman memori dan melankoli" Jeritan hatinya sangat menyentuh. Ia mempertanyakan mengapa harus menyesal dan mengapa takut tak kekal. "menyesal" dan "tak kekal" adalah dua hal yang tak dapat dirubah lagi dengan berlarinya waktu tanpa memperdulikan usahanya untuk menentang waktu dengan menggunakan salon kecan-tikan. Ia tahu bahwa usahanya akan sia-sia, namun di akhir sajak, dia menjadi tabah. Motif berlarinya waktu ini, tampak pula dalam sajak "Pacar Senja":
(…)
"Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas ciummenjadi bekas." (…) (Pacar Senja, hal. 45)
Sementara itu, ada pula gambaran waktu yang tidak begitu menakutkan, contoh sajak "Mudik":
(…)
Waktu kadang begitu simple dan sederhana:
Ibu sedang memasang senja di jendela.
Kakek sedang menggelar hujan di beranda.
Ayah sedang menjemputku entah di setatsiun mana.
(…)
Begitu simpel dan sederhana, sampai aku tak tahu
butiran waktu sedang meleleh dari mataku.
Dalam sajak di atas, waktu tidak tampil sebagai sosok yang menakutkan, melainkan sebagai hal yang mengharukan, karena butiran waktu yang meleleh adalah air mata kenangan yang dimiliki si aku narrator. Hal yang sama tampak pula dalam sajak "Penjual Kalender":
(…)
Lelaki tua berulang kali menghitung receh di tangan,
barang dagangannya sedikit sekali terbeli.
"Makin lama waktu makin tidak laku," ia berkeluh sendiri.
Anaknya tertidur pulas di atas tumpukan kalender
yang sudah mereka jajakan berhari-hari.
Lelaki tua membangunkan anaknya. "Tahun baru
sudah tiba, Plato. Ayo pulang. Besok kembalikan saja
kalender-kalender ini kepada pengrajin waktu."
(…)
Tuan kecil segera ingin menyambung tidurnya.
Ibunya menepuk pantatnya: "Kau telah dinakali waktu,
Buyung? Kok tubuhmu terhuyung-huyung?"
Ia ibu yang pandai merawat waktu. Terberkatilah waktu.
Dengan sabar dibongkarnya tumpukan kalender itu.
Ha! Berkas-berkas kalender itu sudah kosong,
ribuan angka dan hurufnya lenyap semua. Dalam sekejap
ribuan kunang-kunang berhamburan memenuhi ruangan.
Gambaran waktu pada sajak di atas tidak bersifat gamblang seperti yang lainnya. Memang waktu telah berlalu, sehingga kalender itu tidak laku lagi. Di satu pihak, waktu seakan dianggap sebagai benda, ada pengrajin waktu yang mengaturnya. Di lain pihak, waktu juga dipersonifikasikan, sehingga si ibu menanyakan apakah anaknya telah dinakali waktu. Memang tanpa terasa, waktu sering menipu atau menakali manusia. Namun pada akhir sajak, dikatakan bahwa berkat kepandaian ibunya merawat waktu, atau menggunakan waktu, maka angka-angka dan huruf pada kalender dapat berubah menjadi kunang-kunang. Binatang-binatang kecil yang hidup di waktu malam berkelap-kelip, bercahaya dan nampak indah. Mungkin saja hal itu merupakan metafora dari harapan-harapan manis si ibu. Kejengkelan pada waktu tampak dalam sajak "Anjing":
Rumahku dijaga dua anjing cerdas: anjing sungguhan
dan anjing-anjingan. Anjing sungguhan sungguh cerewet
dan sok polisi: sepi berkelebat sedikit saja
ia sudah panik, lalu menyalak keras sekali.
Anjing-anjingan sungguh kalem lagi pemalu:
maklum, tubuhnya terbuat dari waktu, eh batu.
Entah mengapa malam lebih takut pada anjing-anjingan
ketimbang pada anjing sungguhan sehingga anjing
sungguhan jadi cemburu. "Aku yang sibuk menjaga
rumah ini, kau yang lebih ditakuti. Dasar anjing!"
kata anjing sungguhan kepada anjing-anjingan.
Sajak ini lebih bersifat "canda", sehingga penampilan waktu di sini tidak menakutkan. Klausa "tubuhnya terbuat dari waktu, eh batu" menunjukkan canda itu. Namun kejengkelan terhadap waktu sangat terasa. Seruan si anjing asli : "Dasar anjing!" menunjukkan perasaan jengkel itu.
Selanjutnya, sebagai motif yang ke tiga kita lihat motif manusia yang terdiri yaitu Ibu, Bayi, dan Tubuh. Yang termasuk sub-motif Ibu adalah: perempuan, kekasih, pacar, gadis, dan lain-lain. 13 dari 100 judul sajak, termasuk sub-motif Ibu. Judul-judul itu adalah: "Celana Ibu", "Gadis malam di Tembok Kota", "Perempuan Senja", "Gadis Enam Puluh Tahun", "Pacar Senja", "Ranjang Ibu", "Penyair Kecil", "Pohon Perempuan", "Mei", "Perempuan Jakarta", "Pacar Kecilku", "Kekasihku", "Ibuku".
Ibu adalah sosok yang digambarkan kuat dan penuh kreasi.. Dia memberikan bekal pada putra-putrinya, bahkan Jesus pun sebelum pergi ke surga mendapat bekal dari ibunya. Hal ini tampak dalam sajak "Celana Ibu":
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri.
"Paskah?" tanya Maria.
"Pas sekali, Bu." jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
(Pacar Senja, hal. 14)
Di sini kita lihat kecintaan seorang ibu. Bahkan Yesus menerima celana buatan ibunya dengan gembira.Sang ibu sedih melihat penderitaan anaknya, dan ia berusaha untuk menguranginya. Celana bukan berarti pakaian biasa, melainkan juga penutup aurat yang pertama. Celana untuk sang putra dijahit sendiri oleh ibundanya, di situlah letak kecintaan si ibu. Ibu juga kerap digambarkan menderita, seperti tampak pada "Ranjang Ibu":
Ia gemetar naik ke ranjang
sebab menginjak ranjang serasa menginjak
rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.
Dan bila sesekali ranjang berderak datau berderit,
serasa terdengar gemeretak tulang
ibunya yang sedang terbaring sakit.
(Pacar Senja, hal. 84)
Begitu besar penderitaan si Ibu, sehingga sang anak selalu merasa mendengar gemeretaknya tulang ibu. Hal ini menunjukkan bahwa si ibu selalu bekerja keras. Sajak lain menggambarkan kebahagiaan seorang anak yang berada dalam asuhan ibunya.
Ibuku
Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku.
Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan
ibuku, sambil membayangkan dan bertanya ini itu.
Aku pun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat
yang belum kukenali. Ketika bangun, kurasakan basah
di celana. Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda.
(Pacar Senja, hal. 145)
Betapa penuh kebahagiaan si narator yang sedang dimanja oleh ibunya.Inilah kebahagiaan masa kecil yang tak terlupakan. Selain memanjakan, si ibu juga mendidiknya dengan baik, ia selalu menyuruhnya membaca, sehingga setelah dewasa, si anak merasa ibunya telah menjadi buku dan akan tetap menuntunnya. Kecintaan seorang ibu pada anaknya, memang tak terbatas. Bahkan anaknya yang durhaka pun masih ingin dilindunginya. Gagasan ini tampak dalam sajak "Pohon perempuan" (Pacar Senja, hal. 119). Joko Pinurbo banyak menggambarkan perempuan dalam penderitaannya. Sajak "Perempuan Jakarta" menampilkan penderitaan seorang perempuan malam di Jakarta.
(…)
Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan
dengan airmata yang disembunyikan.
Di halaman para demonstran pesta pora
mengibarkan kata, mengibarkan celana.
"Ayo, kita sergap dia!"
"Ayo tangkap saya!" ia menantang
sambil pamerkan pantatnya yang matang.
Mereka lalu mengepungnya,
ingin meraih wajahnya, meraih sakitnya.
"Rebutlah aku!" ia merayu
dan mereka siap menyerbu.
(…)
(Pacar Senja, hal.121)
Penderitaan perempuan nakal tampak lebih mengigit lagi dalam sajak "Gadis Malam di Tembok Kota":
(…)
Wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang menyimpan jeritan;
dada segar yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni rumput berduri.
(…)
Dan dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya
dada yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
yang menyerahkan diri pada sembilu.
(Pacar Senja, hal. 23, 24)
Setelah pembahasan motif secara agak mendalam, kini marilah kita lihat keseluruhan motif, meskipun, karena ketiadaan waktu, motif selanjutnya tidak akan dibicarakan secara rindi bersama sajak-sajaknya. Meskipun demikian, pembahasan berikut akan menampilkan hubungan antara satu motif dengan yang lainnya sehingga tema dapat lebih dipahami dengan baik.
Setelah pembicaraan tentang sub-motif perempuan, kini akan dilihat kehadiran sub-motif laki-laki. Sub-motif ini tidak begitu banyak, dalam judul sajak terdiri dari 6 judul, yaitu : "Terkenang Celana Pak Guru", "Tukang Cukur", "Penjual Buah", "Loper Koran", "Ronda", "Penjual Bakso", dan lain-lain. Sub-motif ini tidak akan disoroti karena tidak dominan. Yang menarik adalah sub-motif benda dan ruang, yaitu tempat tidur, ranjang, kamar mandi yang cukup banyak terlihat dalam judul., yaitu: "Toilet", "Pulang Mandi", "Di Sebuah Mandi", "Do’a sebelum Mandi", "Antar Aku ke Kamar Mandi", "Mandi". Setelah itu ada "Ranjang Putih", "Tahanan Ranjang", "Ranjang Ibu", "Rumah Kontrakan". Dari analisis sajak, tampak bahwa yang banyak digunakan penyair untuk menyebut ruang adalah kamar mandi dan ranjang. Kamar mandi sering muncul sebagai pembersih jiwa dan raga, pembersih dosa. Sedangkan ranjang justru digunakan untuk berbuat dosa. Peristiwa mandi banyak dikemukakan demikian juga peristiwa hubungan seksual, bahkan juga perkosaan. Seks banyak ditampilkan dalam berbagai sajak, meskipun dalam judul hanya ada satu: "Di Sebuah Vagina". Obsesi pembicaraan tentang seks ini, timbul dari keinginan untuk menggambarkan penderitaan kaum perempuan, sebagai objek yang dieksploitir.
Sementara itu pakaian merupakan motif penting. Meskipun demikian, sebagaimana juga ruang, tak banyak jenis pakaian yang muncul. Yang sering kita lihat adalah celana yang digunakan sebagai judul tiga buah puisi berturut-turut ("Celana 1", "Celana 2" dan "Celana 3"). Selain itu, sarung atau kain sarung juga sering muncul dalam sajak Joko. Keduanya mempunyai persamaan, yaitu penutup tubuh bagian bawah (penutup aurat yang utama). Tak ada lagi pakaian lain yang sering disebut, kecuali celana dan kain sarung. Misalnya, dalam sajak perjamuan petang, celana memegang peran penting.
Akhirnya, tema apakah yang dapat terbentuk dari motif-motif ini? Telah dikemukakan bahwa motif kuburan dan motif berlarinya waktu adalah dua motif yang sangat dominan. Keduanya berkaitan erat, karena ujung berlarinya waktu adalah kuburan. Yang agak istimewa adalah gambaran kuburan tidaklah menakutkan, melainkan tempat yang menyenangkan (tempat pertemuan kekasih, tempat piknik atau nonton dangdut). Sebaliknya, tema waktu tampak sebagai sesuatu yang menakutkan, menyedihkan dan menjengkelkan. Jadi rupanya waktulah yang menjadi persoalan dalam sajak-sajak ini. Mungkin kekhawatiran untuk menjadi tua, tidak cantik dan kehilangan keperkasaan, merupakan hal yang menakutkan. Bahkan lebih menakutkan dari kematian itu sendiri. Sementara itu banyaknya gambaran tentang hubungan seks beserta ranjangnya dan tempat pembersihan dosa (kamar mandi) yang dilanjutkan dengan gambaran mengenai kebahagiaan bersama ibu mendukung tema awal kehidupan. Tema ini bersambung dengan kehidupan dalam masyarakat , dalam kekhawatiran akan berlalunya waktu dengan cepat dan semua akan berakhir di kuburan. Jadi, dapat dikatakan bahwa tema keseluruhan sajak Joko Pinurbo adalah siklus kehidupan manusia.
*Disajikan dalam seminar Gelar Sastra Dunia, FIB-UI, 19-20 Juli 2005
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo

(Catatan Sapardi)
Kekuatan puisi Joko bersumber pada ironi yang ditata terutama dengan personifikasi, yang menyebabkan semua benda –tak terkecuali yang abstrak—menjadi manusiawi. Puisi Joko tidak disusun dalam kalimat yang tidak ada logikanya, dan memang seharusnya demikian sebab puisi harus disusun dalam bahasa yang logis. Barangkali sajaknya yang berjudul “Selepas Usia 60”, sajak yang paling saya sukai dalam antologi ini, dapat dijadikan contoh. Sajak ini sebuah lirik meskipun penyair menderetkan sejumlah adegan yang disusun dengan citraan yang sangat tajam. Seorang yang berdiri dekat jendela, tingkah anak kecil yang bermain silat, anak kecil yang belajar mengenakan celana, ibu yang mengintip –misalnya—membentuk citraan yang konkret, yang tidak membedakan kini dan lampau tetapi mengalir sebagai penghayatan terhadap kehidupan, mungkin tepatnya usia tua.
Kontras antara manula dan balita dalam sajak ini ternyata justru mengaburkan, di samping juga sekaligus menegaskan, batasnya. …. Teknik penulisan puisi Joko didasarkan pada penyusunan citraan; di dalamnya segala hal yang abstrak menjadi konkret. Ini landasan utama puisi. Puisi tidak abstrak; ia konkret sebab merupakan penghayatan, bukan slogan yang isinya berupa konsep. Satu bait sajak itu saya kutip untuk menegaskan hal itu.
Selepas usia 60 saya sering terdiam di muka jendela,
mengamati tingkah anak kecil yang lucu-lucu.
Saat sekecil mereka saya baru fasih mengucapkan nana,
maksudnya celana, dan saya belajar keras memakai celana
dan sering keliru: kadang terbalik, kadang seliritnya
menjepit dindaku. Ibu curang: diam-diam mengintip
lewat celah pintu. Baru setelah ananda terjengkang
karena dua kaki masuk ke satu lubang, ibu buru-buru
menyayang-nyayang pantatku: Jangan menangis, jagoanku.
Celana juga sedang belajar memakaimu.
Dalam kutipan itu tampak bahwa kontras, ironi, dan paradoks menyatu lewat citraan dan metafor yang jernih, yang memungkinkan pembaca menangkap rangkaian gambar yang menawarkan berbagai tafsir. Dalam tafsir mana pun, tidak akan jelas apakah ini mengenai kesedihan atau kelucuan. Joko telah menempatkan penghayatannya terhadap kehidupan dalam suasana yang tergantung antara keduanya. Ini juga terbaca dari gambar tentang anak lelaki yang belajar memakai celana dan ucapan ibunya yang menyatakan bahwa “celana juga sedang belajar memakaimu”. Tidak lebih dan tidak kurang, kekuatan puisi Joko Pinurbo berlandaskan pada penguasaan bahasa yang kokoh. Kalimat, frasa, dan kata yang disusunnya menunjukkan taraf keterampilan berbahasa yang tinggi, yang menyebabkannya mampu memutarbalikkan logika secara logis.
Kontras antara manula dan balita dalam sajak ini ternyata justru mengaburkan, di samping juga sekaligus menegaskan, batasnya. …. Teknik penulisan puisi Joko didasarkan pada penyusunan citraan; di dalamnya segala hal yang abstrak menjadi konkret. Ini landasan utama puisi. Puisi tidak abstrak; ia konkret sebab merupakan penghayatan, bukan slogan yang isinya berupa konsep. Satu bait sajak itu saya kutip untuk menegaskan hal itu.
Selepas usia 60 saya sering terdiam di muka jendela,
mengamati tingkah anak kecil yang lucu-lucu.
Saat sekecil mereka saya baru fasih mengucapkan nana,
maksudnya celana, dan saya belajar keras memakai celana
dan sering keliru: kadang terbalik, kadang seliritnya
menjepit dindaku. Ibu curang: diam-diam mengintip
lewat celah pintu. Baru setelah ananda terjengkang
karena dua kaki masuk ke satu lubang, ibu buru-buru
menyayang-nyayang pantatku: Jangan menangis, jagoanku.
Celana juga sedang belajar memakaimu.
Dalam kutipan itu tampak bahwa kontras, ironi, dan paradoks menyatu lewat citraan dan metafor yang jernih, yang memungkinkan pembaca menangkap rangkaian gambar yang menawarkan berbagai tafsir. Dalam tafsir mana pun, tidak akan jelas apakah ini mengenai kesedihan atau kelucuan. Joko telah menempatkan penghayatannya terhadap kehidupan dalam suasana yang tergantung antara keduanya. Ini juga terbaca dari gambar tentang anak lelaki yang belajar memakai celana dan ucapan ibunya yang menyatakan bahwa “celana juga sedang belajar memakaimu”. Tidak lebih dan tidak kurang, kekuatan puisi Joko Pinurbo berlandaskan pada penguasaan bahasa yang kokoh. Kalimat, frasa, dan kata yang disusunnya menunjukkan taraf keterampilan berbahasa yang tinggi, yang menyebabkannya mampu memutarbalikkan logika secara logis.
(Sapardi Djoko Damono, Pengantar Antologi Puisi 10 Penyair,
Dari Seberang Cuaca, Warung Apresiasi, Jakarta, Oktober 2004)
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo

Gereja dan Pabrik Cerita
Ayu Utami
Alkisah, bahtera Gereja berlayar karena cerita. Imannya berpusaran pada kisah seorang manusia yang mati di kayu salib dekat Yerusalem dengan istimewa (ribuan, mungkin sejuta, orang mati disalib, tapi hanya dia yang menjadi cerita). Dua ribu tahun kemudian, melalui lautan panjang seram, kisah itu telah berbiak di tanah Jawa dan kepulauan lain yang kini menjadi Indonesia.
Lalu bayi-bayi yang dibaptis sesungguhnya hidup pertama-pertama dari cerita, bukan dari dalil agama. Di tahun 30-an dan 40-an orang tua mereka barangkali menjadi Katolik sebagai bagian dari menjadi modern. Tetapi anak-anak yang lahir kemudian tidak memilih. Mereka diperkenalkan kepada kisah. Sedikitnya setiap minggu dibacakan kisah dalam misa. Tak terhitung ibu ayah serta guru, para kaum dewasa, yang mengulang cerita-cerita dari Kitab kepada bocah-bocah mereka. Kisah yang berhasil, yang menyentuh, akan berpantul-pantul dan bergaung sepanjang hidup si anak. Lalu muncul di tempat lain seperti ikan paus Yunus di kisah Pinokio, perumpamaan tiga orang membangun rumah dalam kisah tiga babi Disney. Bukankah Gereja sebuah pabrik cerita?
Alkisah, seorang anak lelaki lahir di Sukabumi tahun 1962. Dari orang tua Jawa. Joko namanya, artinya putra. Nama sederhana. Satu dari seratus laki-laki Jawa memakai nama itu. Barangkali seperti Joshua (atau Yesus) di bangsa Yahudi dahulu kala. Di masa kecilnya ia pernah sakit-sakitan, dan ketika dewasa kurus bersahaja. Tentulah ia satu dari anak yang suka menelan dan mengunyah-ngunyah cerita dari Kitab. Ketika remaja ia masuk seminari, tapi kapalnya karam di perjalanan. Konon, ketika itu pula ia mulai menemukan puisi, tersempil di antara buku-buku perpustakaan. Di sana ia mendapatkan keharuan kata-kata yang lain, yang lebih memukaunya ketimbang Kitab lamanya. Bahwa dia menemukan puisi sebagai sejenis penglipuran, itulah dorongan sastra yang entah dari mana.
Enam tahun setelah Joko, lahir pula anak perempuan seperti jutaan bayi lain, di Bogor, tak jauh betul dari Sukabumi. Juga dari orang tua Jawa. Ayu namanya, bisa berarti putri. Nama yang terlalu umum pula. Satu dari lima puluh perempuan Jawa memakai nama itu. Bahkan sembilan puluh tujuh persen tukang jamu dipanggil Ayu. Mungkin seperti Mariam (atau Maria) di bangsa Yahudi dahulu kala. Ketika kecil ia sehat biasa saja, dan ketika dewasa ia suka berolahraga. Agar walafiat senantiasa, katanya, dan tentunya tak mudah dikalahkan lelaki. Ia selalu sesumbar, “kalau saya laki-laki, pasti sudah masuk seminari.” Seperti si Joko atau si Sigit atau si Danang. Tapi ia anak gadis maka ia tak dapat kesempatan membuktikan gagal. Pernah ia berkhayal masuk biara. Sayang, cerita bayang-bayang itu sudah tamat sebelum ia menunjukkan apa-apa. Namun kisah-kisah Kitab bergaung terus di kepalanya.
Joko dan Ayu bertemu sekitar umur tiga puluh. Yang satu kini orang Jogja, yang satu cewek Jakarta. Yang satu sebagai penyair, yang satu lagi pengarang. Mereka adalah sastrawan, kata orang banyak. Yang laki telah menikah, yang perempuan tidak dengan alasan “yang privat itu politis.” Sebab, lebih baik menundukkan yang privat kepada sikap politik ketimbang menundukkan karya sastra kepada jargon. Tapi kelihatannya mereka saling mengagumi karya yang lain. Atau, barangkali mereka pikir mereka menyukai karya yang lain, padahal alasan sesungguhnya adalah nostalgia dan premordial (bukankah manusia itu kerap sedemikian lemah sehingga tak bisa membedakan selera dan sejarah, kebenaran dan kepentingan?). Mereka memang punya kesamaan sejarah.
Ketika bertemu, tanpa mengetahui nama baptis masing-masing, dari hal-hal yang tidak dikatakan, Joko dan Ayu saling tahu bahwa kisah-kisah Kitab berbiak di dalam diri yang lain pula. Maklumlah, orang Katolik Jawa adalah minoritas yang malu-malu—barangkali karena begitulah orang Jawa. Mereka sering menghilangkan nama baptis dan lebih nyaman dengan nama Jawa. (Kita tahu dalam tradisi Jawa nama adalah soal nyaman atau tak nyaman, pas tidak pas dengan karakter dan posisi diri. Nama baptis mungkin terlalu kebarat-baratan dan susah diucapkan bagi banyak orang.) Orang Katolik Jawa tidak terlalu menonjolkan identitas, sembari di saat yang sama mengamat-amati adakah rekan sekitab sekampung. Maka, keduanya gembira tatkala tahu bahwa mereka mengenal seorang pastur yang sama, seorang Belanda mendiang yang berkarya di Jawa Barat, Pater Peperzak, ketika mereka kanak. Setidaknya, mereka pernah bersentuhan dengan orang yang sama.
Keduanya tambah senang ketika tahu bahwa mereka sama-sama tergugah oleh sebaris sajak Goenawan Mohamad, sesuatu yang kelak retak / dan kita membikinnya abadi. Kwatrin sebuah poci, benda sehari-hari. Lalu mereka merasa dekat. Sebab, bukan saja mereka sesama minoritas, tapi mereka juga sekular dan haru pada yang mudah retak.
Suatu minggu istimewa Joko mengirimi Ayu, mungkin juga sekumpulan temannya yang lain, sebuah sms: Pada hari ketiga Maria datang ke makam anaknya dan membawakan celana yang dijahit sendiri. “Pas kah?” Jawab Yesus, “Pas kok.” Waktu itu pekan Paskah. Dalam kumpulan puisinya kemudian, ditemukanlah sms itu, dalam versi panjang, berjudul "Celana Ibu" (2004):
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawa celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
Maka Ayu membaca Joko:
Bersahaja puisi Joko Pinurbo itu. Bahasanya tanpa pretensi dan kata-katanya semua tersedia dalam kitab suci versi anak-anak. Justru dengan kesederhanaan itu ia menggarap ulang sebuah kisah yang diketahui semua anak, serta mereka yang pernah anak, dengan memberi keharuan baru hubungan bersahaja ibu anak yang berawal dari permainan kata—Pas kah? Pas sekali. Yesus menjadi bocah yang merasa gagah dengan celana baru seperti hadiah naik kelas. Bukankah ia akan naik ke surga? Meski namanya Kabar Gembira, Injil tak pernah mengisahkan Yesus gembira, apalagi karena hal sepele. Kitab itu malah mencatat Yesus jengkel pada pohon ara yang mandul lalu mengutuknya hingga kerontang, padahal bukan salah pohon itu bahwa Yesus kebetulan melintasinya. Kenapa penulis Injil menghapus kegembiraan kecil tetapi merekam kemarahan kecil—toh keduanya sama-sama kecil?
Menulis adalah memilih. Joko memilih haru yang kecil bersahaja, yang tak menjadi perhatian sastra besar Gereja. Kematian menjadi biasa (ia tidak memilih kata “maut”, yang memberi efek mencekam) sebab yang membuat Maria sedih adalah karena anaknya tak pakai celana. Kebangkitan menjadi peristiwa tahunan, seperti naik kelas, seperti pekan suci bagi kita, seperti lakon yang diulang-ulang, dan Maria datang membawakan celana agar anaknya bisa tampil gaya di depan orang banyak. Maka di tingkat hubungan manusia, peristiwa itu kembali istimewa.
Peristiwa besar kerap telah menjadi banal di gereja. Joko menggaraminya dengan rendah hati sebab ia tahu tak satu iota pun boleh dihapus. Ia pasti tahu, cerita kecilnya hanya bisa ada ketika kisah besar menjadi biasa.
Karena itu Ayu menyukai puisi Joko bukan karena mereka sekitab sehalaman. Melainkan karena sang penyair memberi makna lain pada kisah bersama. Ayu juga menggarap kisah-kisah Kitab. Tapi di tangannya cerita itu menjadi brutal, ekstrim, dan erotis. Ia menjorokkan kisah-kisah Alkitab ke dinding interogasi dan menggarap ulang jalinan kekuasaan di sana. Ia memaksa kisah-kisah itu mengakui dan mengarang motif-motif seperti seorang inkuisitor menganiaya para tertuduh dengan bergairah. Dan kisah-kisah itu menggelepar sensual mendekati ajal. Barangkali karena Ayu perempuan yang, lantaran tumbuh dalam wacana Gereja yang amat patriarkal, merasakan penindasan—sekalipun di tingkat wacana—sekaligus kerinduan yang akut dan paradoksal. Joko sama sekali tidak nampak tertarik pada persoalan kebenaran dan hubungan kuasa dalam Alkitab. Kebenaran, dalam hampir semua sajak-sajaknya, seolah sudah selesai dan terberi. Atau, malah tak penting sama sekali. Sebab kebenaran telah menjadi banal. Atau, barangkali baginya karena kebenaran sejati takkan pernah tercapai di dunia ini, kita harus lebih rendah hati dan tak terlalu berambisi. Biarkan Gereja mengurus kebenaran. Dan penyair memberi garam pada yang sederhana.
Inilah sastra yang sekular.
* * *
Suatu hari Ayu diundang memberi latihan penulisan di sebuah gereja Kristen kecil di Jakarta Barat. Seperti biasa, ia asyik dengan ketertarikannya sendiri. Seorang peserta pun bertanya, sesuatu yang selama ini tak dia anggap sebagai persoalan: kenapa buku-buku remaja Kristen begitu sedikit terbit dibanding buku bagi remaja Muslim? Kenapa tampaknya remaja Kristen tidak begitu tertarik pada agamanya dibanding remaja Muslim? Anak itu baru beberapa waktu lalu berkunjung ke pameran buku dan melihat begitu banyak penerbit Islam, begitu berlimpah buku remaja mereka.
Yang ditanya tak begitu tahu jawabnya. Dari segi prosentase penduduk sebetulnya wajar jika buku Islam melimpah. Namun pertanyaan itu bergema di kepalanya, justru karena sebelumnya ia tidak menganggapnya persoalan. Di sinilah, mungkin, poetografi Joko serta kepenyairannya memberi salah satu tawaran penjelasan. Joko Pinurbo adalah satu dari sastrawan dengan latar belakang Katolik. Ia bahkan belajar di seminari Mertoyudan, pernah bekerja bersama Romo Mangun, dan kini masih bekerja di lingkungan penerbitan Katolik. Namun, sajaknya yang bersinggungan langsung dengan iman-agama sedikit saja. Yang menggunakan metafor religi pun sesungguhnya tidak dominan. Di ranah organisasi, penulis Katolik pada umumnya tidak membikin kegiatan yang membawa bendera. Terbitan berlatar Katolik seperti Basis, tempat Joko pernah bergiat, serta jurnal pemikiran lain lebih suka mengikuti jejak Kelompok Kompas Gramedia. Yaitu, menyamar—kalau bukan mengubah diri—sebagai media umum. Penerbit berlatar Islam Mizan, misalnya, menjadi penerbit umum seraya mempertahankan sedikit identitas dalam penampilannya. Joko, Ayu, Dorothea Rosa Herliany—seorang penulis Katolik lain, tidak tertarik membikin forum yang setara dengan Lingkar Pena, kelompok yang digagas oleh sejumlah penulis Muslim yang memang menekankan keislaman. Joko, Dorothea, Ayu lebih setara dengan Johny Ariadinata, Agus R. Sarjono yang Muslim, atau Cok Sawitri, Oka Rusmini yang Hindu—para sastrawan awam, atau barangkali sekular, yang menggarap tema agama juga, hanya ketika merasa intens, tapi bukan sebagai identitas. Apalagi mengagungkannya. Bahkan tak juga menulis untuk membenarkan agama. Para penulis Katolik seperti tak berbendera dan tak beragenda.
Periode ideologis memang telah lewat dalam wacana sastra Indonesia. Joko, seperti juga Ayu, lahir di tahun 60-an. Si penyair masih usia menyusu dan si novelis belum lagi dikandung ketika polemik besar terjadi, yang kemudian hari dikenang sebagai Polemik Kebudayaan. Inilah masa ketika perdebatan ideologi berkuasa atas hal-hal lain di Indonesia, ketika sastrawan dan seniman dikelompokkan secara politis. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), yang ketika itu berjaya dan rapat dengan Sukarno, adalah penggerak utama realisme sosialis. Agendanya menundukkan seni di bawah ideologi. Politik adalah panglima. Di kubu lain, sejumlah seniman yang menentang pandangan tadi akhirnya menerbitkan sebuah pernyataan, Manifes Kebudayaan. Inilah polemik itu, antara dua kubu. Yang satu mengharuskan seni melayani kepentingan “revolusi” (yaitu politik pemerintah), yang lain ingin membebaskan seni darinya. Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang di antara kubu pertama. Goenawan Mohamad, Taufik Ismail di antara kubu kedua. Posisi orang-orang Katolik ketika itu agaknya tidak berpihak pada kaum realisme sosialis. Dalam pengantarnya di Prahara Budaya, Taufik menuliskan bahwa pastor, orang sembahyang, dan haji selalu menjadi olok-olok para Marxis. PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) dalam pengalaman Taufik lebih tegas berhadapan dengan PKI dibanding GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Tapi pertentangan ini menjadi tidak imbang karena para pendukung realisme sosialis mempunyai alat kekuasaan. Presiden Sukarno pada bulan Mei 1964 menjatuhkan larangan pada Manifes Kebudayaan. Pendukungnya dianggap “kontrarevolusi.” Lalu terjadilah serangkaian pengganyangan terhadap penandatangan “Manikebu”—begitulah manifes itu kemudian diolok-olok. Penggagas Manifes yang punya kedudukan sebagai pegawai negeri dicopot, misalnya H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito—keduanya kini telah almarhum. Serangan sengit itu memang belum berlangsung begitu lanjut ketika keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat dengan peristiwa 30 September 1965. Angkatan Darat di bawah Jenderal Suharto membawa semua yang berafiliasi pada PKI ke tempat pembantaian dan pembuangan yang berlipat-lipat lebih kejam.
Tapi penulis seperti Joko dan Ayu, atau mereka yang lahir setidaknya tahun 60-an, hanya membaca semua itu. Ketika mereka meyimak esai-esai Goenawan Mohamad dalam Kesusastraan dan Kekuasaan, atau kerja Taufik Ismail serta D.S. Moeljanto dalam Prahara Budaya, mereka tahu bahwa mereka kehilangan intensitas yang pernah ada di zaman ketika mereka lahir. Di masa ini tak ada lagi pergulatan hidup dan mati dalam kesenian. Tiada pertaruhan eksistensial.
Keduanya bertumbuh di tahun 70-an dan mulai menulis di akhir 80an. Inilah masa ideologi dicerabut, mahasiswa dijinakkan, dan seni dianjurkan untuk tidak mengemban misi politik. Pemerintah memelihara hubungan pragmatis dengan kelompok agama, dengan kepentingan memelihara agar mereka tetap dalam kontrol. Hal-hal yang terlalu kontroversial dan dianggap melecehkan agama diberangus. Peran politik kelompok Katolik, yang didesas-desuskan melalui think tank Orde Baru CSIS (Center for Strategic and International Studies), tak mengibarkan panji-panji. Dan kelihatannya kepentingan politik utama mereka adalah menjaga agar republik ini tetap sekular.
Tapi bahwa umumnya penulis Katolik tetap tidak tertarik untuk menyerahkan sastra demi mengagungkan agama barangkali adalah hal lain. Gelombang misionaris Belanda ke pulau Jawa yang datang bersama Politik Etis agak berbeda dari gelombang misionaris Portugis ke Malaka dan kepulauan timur Indonesia sebelum abad 19. Misi Katolik Belanda datang setelah Eropa mengalami sekularisasi besar-besaran. Gereja Katolik sendiri merupakan minoritas di Belanda. Dengan demikian, sejak awalnya mereka punya kepentingan agar negara tidak dikuasai agama mayoritas. Misionaris Belanda berkarya lewat pendidikan dan melalui salah tokoh utamanya F.G.J.M van Lith—biasa disebut Pater van Lith—berjasa pada murubnya kesadaran nasionalisme orang Katolik Jawa melawan kekuasaan kolonial. Ini memberi corak yang khas. Orang Katolik Jawa amat tertarik pada budaya kampung halaman. Dan ini nampak dalam penulisan generasi di atas Joko, Ayu, atau Dorothea. Terutama dalam Sindhunata dan Romo Mangun yang menggarap tema-tema cerita wayang Jawa. Babad, epik, dan kota-kota luar negeri, agaknya, tak begitu punya aura bagi mereka.
Goenawan Mohamad, penyair dan esais yang dikagumi Joko, banyak sekali membuat “sajak
perjalanan.” Negeri asing adalah wilayah yang menggugah. Goenawan memang banyak melakukan perjalanan, namun ia juga menulis sajak tentang negeri lain dalam benaknya, yang tak ia kunjungi. Misalkan Kita di Sarajevo adalah sebuah contoh. Negeri asing sebagai sesuatu yang eksotis juga nampak dalam beberapa penyair lain, seperti Rendra, Sitor Situmorang, atau yang lebih muda, Sitok Srengenge. Ayu di bawah sadarnya melihat Central Park kota New York atau musim salju di Utrecth sebagai pembebasan, tempat manusia Indonesia berjarak dari asal-usul dan melihat dirinya dengan perspektif. Semua itu tidak ditemukan pada sajak-sajak Joko. Ia tertarik pada halaman rumahnya sendiri, kamar tidur sendiri, kakus sendiri. Adakah ini karena ke-Katolik Jawa-annya? Agama itu datang dari “Barat” sehingga “kebaratan” bukan lagi sesuatu yang eksotis dan menimbulkan konflik nilai bagi Joko, seperti juga bagi Romo Mangun dan Sindunata, atau Arswendo Atmowiloto.
Kita tak menemukan kekatolikan dalam tulisan sastrawan Katolik, jika kata itu merujuk kepada sifat afirmatif terhadap agama. Namun cerita-cerita dari Alkitab dan Gereja menampakkan diri, sesekali atau berulang kali, dengan cara aneh sebagai roh maupun hantu yang menaungi. Seperti sajak Joko Mandi (2003) membawa kita pada pengadilan kisah sengsara ketika orang berseru, “Salibkan dia!”
Korban segera diseret ke kamar mandi dan diperintahkan
berdiri di depan. Wajahnya tertunduk pucat, tubuhnya
gemetar, dan matanya seperti kenangan yang redup perlahan.
Belum sempat pemimpin rombongan menanyakan tanggal
lahir dan asal-usul korban, orang-orang yang sudah tak sabar
menyaksikannya sekarat berseru nyaring, “Mandikan dia!
Mandikan dia!”
* * *
Mandikanlah dia hingga tak tersisa lagi luka.
Ketika Ayu terkenang akan puisi Joko, ia lebih mengenangnya sebagai cerita, kadang visualisasi, bukan sebagai bunyi. Puitisasi, dalam sajak-sajak Joko, tidak terutama muncul dari bunyi kata-kata melainkan ceritera. Puisinya cenderung naratif. Jika karya Goenawan Mohamad hampir-hampir tak mungkin dinyatakan dengan kata-kata lain (bagaimana menggantikan sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi?), puisi Joko agaknya masih menampung perubahan kata. Sebab cerita mengambil tempat lebih utama. Melankoli dan rasa sakit, yang dominan dalam suasana sajaknya, tidak muncul melalui imaji kata-kata melainkan lewat kisah dan logika cerita yang ganjil.
Kisah sengsara Tuhan dalam tradisi Katolik adalah kisah utama. Suasana duka, rasa sakit, melankoli, kegagalan adalah rasa dominan pekan sebelum Paskah. Minggu Paskah menuntaskannya dengan kemenangan. Maka kisah sedih itu tinggal kenangan. Itulah risiko yang kerap tergenapi dalam rutinisasi penebusan.
Gereja Katolik punya kegundahan akan segala teknologi yang mengontrol tubuh ke dalam kehendak individu: kontrasepsi, atau juga anaestesi. Anaestesi atau pengebasan membuat rasa sakit menjadi tidak alamiah bagi manusia rasional. Dalam pandangan ini, prosesi maupun obsesi yang memberi penghormatan tinggi pada rasa sakit pun menjadi kelainan jiwa. Namun, sesungguhnya, dengan memberi penekanan terlalu kuat pada kebangkitan, kisah itu memberi pengebasannya sendiri: anaestesi akhir nan bahagia. Agama memang memberi telos, tujuan yang agung seperti sebuah happy ending. Pada saat yang sama, akhir nan jaya ini menjauhkan penderitaan ideal dari penderitaan manusia sesungguhnya.
Sajak-sajak Joko mengembalikan itu. Penderitaan menjadi milik manusia mortal. Kesakitannya lebih sering tak bisa dimengerti. Apa gerangan tujuan kesakitan? Karena itu, barangkali, ada beberapa hal yang obsesif dalam sajak-sajak Joko: tubuh yang sakit, manusia yang gagal, kuburan, dan selangkangan—berbeda dari Ayu, pada Joko tanpa erotisme. Sajaknya bercerita tentang celana yang hilang, burung di dalamnya yang terbang, Pak Guru yang resleting celananya melorot dan menjadi penjaga kuburan, celana bayi yang ia cari di makam ibunya. Kuburan dan kelamin tanpa erotisme seolah menekankan mortalitas manusia: dari kelamin ia keluar, ke dalam makam ia menyusup. Jika penderitaan dalam Kisah Sengsara Agung menjadi drama, penderitaan dalam sajak Joko menjadi ironi.
Ini adalah penggalan Doa sebelum Mandi (2000):
Tuhan, saya takut mandi. / Saya takut dilucuti. / Saya takut pada tubuh saya sendiri. / Kalau saya buka tubuh saya nanti, / mayat yang saya sembunyikan / akan bangun dan berkeliaran. /
Ini adalah penggalan dari Pulang Mandi (1999):
“Berbahagialah orang yang berani mandi,” aku bersabda, / “sebab ia akan menemukan tubuhnya sendiri.” / Maka dalam bahagia mandi ia kelupas karat waktu / pada tekstur hidupnya, kerak kenangan / pada tipografi nasibnya. / “Sakit!” ia menjerit. “Berdarah!” / Mungkin sedang ia lepaskan pakaian kotor / yang lengket di tubuhnya. /
Tidakkah mandi dalam sajak-sajaknya mengingatkan kita pada ritual permandian sambil tetap menjadikannya profan? Joko menggubah serial sajak bertema kamar mandi, toilet, serta celana. Kita tahu, celana, kamar mandi, dan toilet adalah dunia sehari-hari yang lekat dengan ketelanjangan manusia—dalam keadaan paling buruk dan kotor. Ranjang, di mana ketelanjangan bisa indah, tak sebanyak itu digarap Joko. Ketika dia menggarap ranjang sekalipun, beberapa di antaranya adalah ranjang rumah sakit, yang tetap menghubungkan manusia dengan kematian. Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar / memeluknya erat: "Aku rela jadi keranda untukmu.” (Keranda, 1996)
Tapi, yang dengan penuh maksud ia kaitkan mortalitas dengan transendensi adalah sajak "Meditasi" (2000) yang, dibanding sajaknya yang lain, tidak naratif:
Celana tak kuat lagi menampung pantat
yang goyang terus memburu engkau.
Pantat tak tahan lagi menampung goyang
yang kencang terus menjangkau engkau.
Goyang tak sanggup lagi menampung sakit
yang kejang terus mencengkram engkau.
Telanjang tak mampu lagi melepas,
menghalau Engkau.
Sajak "Meditasi" adalah sajak yang amat sulit untuk dibacakan. Sebab ia bermain di batas rawan antara ironi, sensualitas, dan keilahian. Pementasan yang salah akan membuatnya wagu dan janggal. Sajak ini barangkali adalah sajak sunyi, yang harus dibaca dalam sendiri.
Joko dan kesendirian adalah sejalan. Ia selalu membacakan karyanya dengan datar—jika ia harus membaca. Ia bukan penerus Si Burung Merak, bekas Katolik yang nada bacanya mengingatkan Ayu pada khotbah pastor Belanda di masa lalu. Ia juga bukan Sapardi Joko Damono atau Goenawan Mohamad yang menggumam liris hampir tak terdengar. Joko mempunyai artikulasi yang jelas—barangkali bagian dari latihannya di seminari?—namun ekspresinya sungguh lempang, sesederhana kata-kata dalam kebanyakan sajaknya, sehingga pendengar akan memusatkan perhatian pada cerita. Tak ada tempat untuk gaya. Seolah-olah sajaknya memang tidak ditujukan pada penonton atau untuk ditonton. Bahkan ia tak bisa menjawab, sesungguhnya, kenapa ia menulis sajak.
Tak satu sastrawan pun, agaknya, bisa merumuskan kenapa ia ingin menulis atau kenapa ia
tergugah kata-kata. Kitab suci adalah alat menyampaikan pergulatan iman, namun sastrawan telah lari dari itu dan terpukau pada kata-kata dan kisah. Semoga mereka tak habis-habis menghidupkan cerita.[]
*Dimuat dalam buku/bunga rampai Keadilan Sosial – Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004)
Alkisah, bahtera Gereja berlayar karena cerita. Imannya berpusaran pada kisah seorang manusia yang mati di kayu salib dekat Yerusalem dengan istimewa (ribuan, mungkin sejuta, orang mati disalib, tapi hanya dia yang menjadi cerita). Dua ribu tahun kemudian, melalui lautan panjang seram, kisah itu telah berbiak di tanah Jawa dan kepulauan lain yang kini menjadi Indonesia.
Lalu bayi-bayi yang dibaptis sesungguhnya hidup pertama-pertama dari cerita, bukan dari dalil agama. Di tahun 30-an dan 40-an orang tua mereka barangkali menjadi Katolik sebagai bagian dari menjadi modern. Tetapi anak-anak yang lahir kemudian tidak memilih. Mereka diperkenalkan kepada kisah. Sedikitnya setiap minggu dibacakan kisah dalam misa. Tak terhitung ibu ayah serta guru, para kaum dewasa, yang mengulang cerita-cerita dari Kitab kepada bocah-bocah mereka. Kisah yang berhasil, yang menyentuh, akan berpantul-pantul dan bergaung sepanjang hidup si anak. Lalu muncul di tempat lain seperti ikan paus Yunus di kisah Pinokio, perumpamaan tiga orang membangun rumah dalam kisah tiga babi Disney. Bukankah Gereja sebuah pabrik cerita?
Alkisah, seorang anak lelaki lahir di Sukabumi tahun 1962. Dari orang tua Jawa. Joko namanya, artinya putra. Nama sederhana. Satu dari seratus laki-laki Jawa memakai nama itu. Barangkali seperti Joshua (atau Yesus) di bangsa Yahudi dahulu kala. Di masa kecilnya ia pernah sakit-sakitan, dan ketika dewasa kurus bersahaja. Tentulah ia satu dari anak yang suka menelan dan mengunyah-ngunyah cerita dari Kitab. Ketika remaja ia masuk seminari, tapi kapalnya karam di perjalanan. Konon, ketika itu pula ia mulai menemukan puisi, tersempil di antara buku-buku perpustakaan. Di sana ia mendapatkan keharuan kata-kata yang lain, yang lebih memukaunya ketimbang Kitab lamanya. Bahwa dia menemukan puisi sebagai sejenis penglipuran, itulah dorongan sastra yang entah dari mana.
Enam tahun setelah Joko, lahir pula anak perempuan seperti jutaan bayi lain, di Bogor, tak jauh betul dari Sukabumi. Juga dari orang tua Jawa. Ayu namanya, bisa berarti putri. Nama yang terlalu umum pula. Satu dari lima puluh perempuan Jawa memakai nama itu. Bahkan sembilan puluh tujuh persen tukang jamu dipanggil Ayu. Mungkin seperti Mariam (atau Maria) di bangsa Yahudi dahulu kala. Ketika kecil ia sehat biasa saja, dan ketika dewasa ia suka berolahraga. Agar walafiat senantiasa, katanya, dan tentunya tak mudah dikalahkan lelaki. Ia selalu sesumbar, “kalau saya laki-laki, pasti sudah masuk seminari.” Seperti si Joko atau si Sigit atau si Danang. Tapi ia anak gadis maka ia tak dapat kesempatan membuktikan gagal. Pernah ia berkhayal masuk biara. Sayang, cerita bayang-bayang itu sudah tamat sebelum ia menunjukkan apa-apa. Namun kisah-kisah Kitab bergaung terus di kepalanya.
Joko dan Ayu bertemu sekitar umur tiga puluh. Yang satu kini orang Jogja, yang satu cewek Jakarta. Yang satu sebagai penyair, yang satu lagi pengarang. Mereka adalah sastrawan, kata orang banyak. Yang laki telah menikah, yang perempuan tidak dengan alasan “yang privat itu politis.” Sebab, lebih baik menundukkan yang privat kepada sikap politik ketimbang menundukkan karya sastra kepada jargon. Tapi kelihatannya mereka saling mengagumi karya yang lain. Atau, barangkali mereka pikir mereka menyukai karya yang lain, padahal alasan sesungguhnya adalah nostalgia dan premordial (bukankah manusia itu kerap sedemikian lemah sehingga tak bisa membedakan selera dan sejarah, kebenaran dan kepentingan?). Mereka memang punya kesamaan sejarah.
Ketika bertemu, tanpa mengetahui nama baptis masing-masing, dari hal-hal yang tidak dikatakan, Joko dan Ayu saling tahu bahwa kisah-kisah Kitab berbiak di dalam diri yang lain pula. Maklumlah, orang Katolik Jawa adalah minoritas yang malu-malu—barangkali karena begitulah orang Jawa. Mereka sering menghilangkan nama baptis dan lebih nyaman dengan nama Jawa. (Kita tahu dalam tradisi Jawa nama adalah soal nyaman atau tak nyaman, pas tidak pas dengan karakter dan posisi diri. Nama baptis mungkin terlalu kebarat-baratan dan susah diucapkan bagi banyak orang.) Orang Katolik Jawa tidak terlalu menonjolkan identitas, sembari di saat yang sama mengamat-amati adakah rekan sekitab sekampung. Maka, keduanya gembira tatkala tahu bahwa mereka mengenal seorang pastur yang sama, seorang Belanda mendiang yang berkarya di Jawa Barat, Pater Peperzak, ketika mereka kanak. Setidaknya, mereka pernah bersentuhan dengan orang yang sama.
Keduanya tambah senang ketika tahu bahwa mereka sama-sama tergugah oleh sebaris sajak Goenawan Mohamad, sesuatu yang kelak retak / dan kita membikinnya abadi. Kwatrin sebuah poci, benda sehari-hari. Lalu mereka merasa dekat. Sebab, bukan saja mereka sesama minoritas, tapi mereka juga sekular dan haru pada yang mudah retak.
Suatu minggu istimewa Joko mengirimi Ayu, mungkin juga sekumpulan temannya yang lain, sebuah sms: Pada hari ketiga Maria datang ke makam anaknya dan membawakan celana yang dijahit sendiri. “Pas kah?” Jawab Yesus, “Pas kok.” Waktu itu pekan Paskah. Dalam kumpulan puisinya kemudian, ditemukanlah sms itu, dalam versi panjang, berjudul "Celana Ibu" (2004):
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawa celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
Maka Ayu membaca Joko:
Bersahaja puisi Joko Pinurbo itu. Bahasanya tanpa pretensi dan kata-katanya semua tersedia dalam kitab suci versi anak-anak. Justru dengan kesederhanaan itu ia menggarap ulang sebuah kisah yang diketahui semua anak, serta mereka yang pernah anak, dengan memberi keharuan baru hubungan bersahaja ibu anak yang berawal dari permainan kata—Pas kah? Pas sekali. Yesus menjadi bocah yang merasa gagah dengan celana baru seperti hadiah naik kelas. Bukankah ia akan naik ke surga? Meski namanya Kabar Gembira, Injil tak pernah mengisahkan Yesus gembira, apalagi karena hal sepele. Kitab itu malah mencatat Yesus jengkel pada pohon ara yang mandul lalu mengutuknya hingga kerontang, padahal bukan salah pohon itu bahwa Yesus kebetulan melintasinya. Kenapa penulis Injil menghapus kegembiraan kecil tetapi merekam kemarahan kecil—toh keduanya sama-sama kecil?
Menulis adalah memilih. Joko memilih haru yang kecil bersahaja, yang tak menjadi perhatian sastra besar Gereja. Kematian menjadi biasa (ia tidak memilih kata “maut”, yang memberi efek mencekam) sebab yang membuat Maria sedih adalah karena anaknya tak pakai celana. Kebangkitan menjadi peristiwa tahunan, seperti naik kelas, seperti pekan suci bagi kita, seperti lakon yang diulang-ulang, dan Maria datang membawakan celana agar anaknya bisa tampil gaya di depan orang banyak. Maka di tingkat hubungan manusia, peristiwa itu kembali istimewa.
Peristiwa besar kerap telah menjadi banal di gereja. Joko menggaraminya dengan rendah hati sebab ia tahu tak satu iota pun boleh dihapus. Ia pasti tahu, cerita kecilnya hanya bisa ada ketika kisah besar menjadi biasa.
Karena itu Ayu menyukai puisi Joko bukan karena mereka sekitab sehalaman. Melainkan karena sang penyair memberi makna lain pada kisah bersama. Ayu juga menggarap kisah-kisah Kitab. Tapi di tangannya cerita itu menjadi brutal, ekstrim, dan erotis. Ia menjorokkan kisah-kisah Alkitab ke dinding interogasi dan menggarap ulang jalinan kekuasaan di sana. Ia memaksa kisah-kisah itu mengakui dan mengarang motif-motif seperti seorang inkuisitor menganiaya para tertuduh dengan bergairah. Dan kisah-kisah itu menggelepar sensual mendekati ajal. Barangkali karena Ayu perempuan yang, lantaran tumbuh dalam wacana Gereja yang amat patriarkal, merasakan penindasan—sekalipun di tingkat wacana—sekaligus kerinduan yang akut dan paradoksal. Joko sama sekali tidak nampak tertarik pada persoalan kebenaran dan hubungan kuasa dalam Alkitab. Kebenaran, dalam hampir semua sajak-sajaknya, seolah sudah selesai dan terberi. Atau, malah tak penting sama sekali. Sebab kebenaran telah menjadi banal. Atau, barangkali baginya karena kebenaran sejati takkan pernah tercapai di dunia ini, kita harus lebih rendah hati dan tak terlalu berambisi. Biarkan Gereja mengurus kebenaran. Dan penyair memberi garam pada yang sederhana.
Inilah sastra yang sekular.
* * *
Suatu hari Ayu diundang memberi latihan penulisan di sebuah gereja Kristen kecil di Jakarta Barat. Seperti biasa, ia asyik dengan ketertarikannya sendiri. Seorang peserta pun bertanya, sesuatu yang selama ini tak dia anggap sebagai persoalan: kenapa buku-buku remaja Kristen begitu sedikit terbit dibanding buku bagi remaja Muslim? Kenapa tampaknya remaja Kristen tidak begitu tertarik pada agamanya dibanding remaja Muslim? Anak itu baru beberapa waktu lalu berkunjung ke pameran buku dan melihat begitu banyak penerbit Islam, begitu berlimpah buku remaja mereka.
Yang ditanya tak begitu tahu jawabnya. Dari segi prosentase penduduk sebetulnya wajar jika buku Islam melimpah. Namun pertanyaan itu bergema di kepalanya, justru karena sebelumnya ia tidak menganggapnya persoalan. Di sinilah, mungkin, poetografi Joko serta kepenyairannya memberi salah satu tawaran penjelasan. Joko Pinurbo adalah satu dari sastrawan dengan latar belakang Katolik. Ia bahkan belajar di seminari Mertoyudan, pernah bekerja bersama Romo Mangun, dan kini masih bekerja di lingkungan penerbitan Katolik. Namun, sajaknya yang bersinggungan langsung dengan iman-agama sedikit saja. Yang menggunakan metafor religi pun sesungguhnya tidak dominan. Di ranah organisasi, penulis Katolik pada umumnya tidak membikin kegiatan yang membawa bendera. Terbitan berlatar Katolik seperti Basis, tempat Joko pernah bergiat, serta jurnal pemikiran lain lebih suka mengikuti jejak Kelompok Kompas Gramedia. Yaitu, menyamar—kalau bukan mengubah diri—sebagai media umum. Penerbit berlatar Islam Mizan, misalnya, menjadi penerbit umum seraya mempertahankan sedikit identitas dalam penampilannya. Joko, Ayu, Dorothea Rosa Herliany—seorang penulis Katolik lain, tidak tertarik membikin forum yang setara dengan Lingkar Pena, kelompok yang digagas oleh sejumlah penulis Muslim yang memang menekankan keislaman. Joko, Dorothea, Ayu lebih setara dengan Johny Ariadinata, Agus R. Sarjono yang Muslim, atau Cok Sawitri, Oka Rusmini yang Hindu—para sastrawan awam, atau barangkali sekular, yang menggarap tema agama juga, hanya ketika merasa intens, tapi bukan sebagai identitas. Apalagi mengagungkannya. Bahkan tak juga menulis untuk membenarkan agama. Para penulis Katolik seperti tak berbendera dan tak beragenda.
Periode ideologis memang telah lewat dalam wacana sastra Indonesia. Joko, seperti juga Ayu, lahir di tahun 60-an. Si penyair masih usia menyusu dan si novelis belum lagi dikandung ketika polemik besar terjadi, yang kemudian hari dikenang sebagai Polemik Kebudayaan. Inilah masa ketika perdebatan ideologi berkuasa atas hal-hal lain di Indonesia, ketika sastrawan dan seniman dikelompokkan secara politis. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), yang ketika itu berjaya dan rapat dengan Sukarno, adalah penggerak utama realisme sosialis. Agendanya menundukkan seni di bawah ideologi. Politik adalah panglima. Di kubu lain, sejumlah seniman yang menentang pandangan tadi akhirnya menerbitkan sebuah pernyataan, Manifes Kebudayaan. Inilah polemik itu, antara dua kubu. Yang satu mengharuskan seni melayani kepentingan “revolusi” (yaitu politik pemerintah), yang lain ingin membebaskan seni darinya. Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang di antara kubu pertama. Goenawan Mohamad, Taufik Ismail di antara kubu kedua. Posisi orang-orang Katolik ketika itu agaknya tidak berpihak pada kaum realisme sosialis. Dalam pengantarnya di Prahara Budaya, Taufik menuliskan bahwa pastor, orang sembahyang, dan haji selalu menjadi olok-olok para Marxis. PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) dalam pengalaman Taufik lebih tegas berhadapan dengan PKI dibanding GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Tapi pertentangan ini menjadi tidak imbang karena para pendukung realisme sosialis mempunyai alat kekuasaan. Presiden Sukarno pada bulan Mei 1964 menjatuhkan larangan pada Manifes Kebudayaan. Pendukungnya dianggap “kontrarevolusi.” Lalu terjadilah serangkaian pengganyangan terhadap penandatangan “Manikebu”—begitulah manifes itu kemudian diolok-olok. Penggagas Manifes yang punya kedudukan sebagai pegawai negeri dicopot, misalnya H.B. Jassin dan Wiratmo Soekito—keduanya kini telah almarhum. Serangan sengit itu memang belum berlangsung begitu lanjut ketika keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat dengan peristiwa 30 September 1965. Angkatan Darat di bawah Jenderal Suharto membawa semua yang berafiliasi pada PKI ke tempat pembantaian dan pembuangan yang berlipat-lipat lebih kejam.
Tapi penulis seperti Joko dan Ayu, atau mereka yang lahir setidaknya tahun 60-an, hanya membaca semua itu. Ketika mereka meyimak esai-esai Goenawan Mohamad dalam Kesusastraan dan Kekuasaan, atau kerja Taufik Ismail serta D.S. Moeljanto dalam Prahara Budaya, mereka tahu bahwa mereka kehilangan intensitas yang pernah ada di zaman ketika mereka lahir. Di masa ini tak ada lagi pergulatan hidup dan mati dalam kesenian. Tiada pertaruhan eksistensial.
Keduanya bertumbuh di tahun 70-an dan mulai menulis di akhir 80an. Inilah masa ideologi dicerabut, mahasiswa dijinakkan, dan seni dianjurkan untuk tidak mengemban misi politik. Pemerintah memelihara hubungan pragmatis dengan kelompok agama, dengan kepentingan memelihara agar mereka tetap dalam kontrol. Hal-hal yang terlalu kontroversial dan dianggap melecehkan agama diberangus. Peran politik kelompok Katolik, yang didesas-desuskan melalui think tank Orde Baru CSIS (Center for Strategic and International Studies), tak mengibarkan panji-panji. Dan kelihatannya kepentingan politik utama mereka adalah menjaga agar republik ini tetap sekular.
Tapi bahwa umumnya penulis Katolik tetap tidak tertarik untuk menyerahkan sastra demi mengagungkan agama barangkali adalah hal lain. Gelombang misionaris Belanda ke pulau Jawa yang datang bersama Politik Etis agak berbeda dari gelombang misionaris Portugis ke Malaka dan kepulauan timur Indonesia sebelum abad 19. Misi Katolik Belanda datang setelah Eropa mengalami sekularisasi besar-besaran. Gereja Katolik sendiri merupakan minoritas di Belanda. Dengan demikian, sejak awalnya mereka punya kepentingan agar negara tidak dikuasai agama mayoritas. Misionaris Belanda berkarya lewat pendidikan dan melalui salah tokoh utamanya F.G.J.M van Lith—biasa disebut Pater van Lith—berjasa pada murubnya kesadaran nasionalisme orang Katolik Jawa melawan kekuasaan kolonial. Ini memberi corak yang khas. Orang Katolik Jawa amat tertarik pada budaya kampung halaman. Dan ini nampak dalam penulisan generasi di atas Joko, Ayu, atau Dorothea. Terutama dalam Sindhunata dan Romo Mangun yang menggarap tema-tema cerita wayang Jawa. Babad, epik, dan kota-kota luar negeri, agaknya, tak begitu punya aura bagi mereka.
Goenawan Mohamad, penyair dan esais yang dikagumi Joko, banyak sekali membuat “sajak
perjalanan.” Negeri asing adalah wilayah yang menggugah. Goenawan memang banyak melakukan perjalanan, namun ia juga menulis sajak tentang negeri lain dalam benaknya, yang tak ia kunjungi. Misalkan Kita di Sarajevo adalah sebuah contoh. Negeri asing sebagai sesuatu yang eksotis juga nampak dalam beberapa penyair lain, seperti Rendra, Sitor Situmorang, atau yang lebih muda, Sitok Srengenge. Ayu di bawah sadarnya melihat Central Park kota New York atau musim salju di Utrecth sebagai pembebasan, tempat manusia Indonesia berjarak dari asal-usul dan melihat dirinya dengan perspektif. Semua itu tidak ditemukan pada sajak-sajak Joko. Ia tertarik pada halaman rumahnya sendiri, kamar tidur sendiri, kakus sendiri. Adakah ini karena ke-Katolik Jawa-annya? Agama itu datang dari “Barat” sehingga “kebaratan” bukan lagi sesuatu yang eksotis dan menimbulkan konflik nilai bagi Joko, seperti juga bagi Romo Mangun dan Sindunata, atau Arswendo Atmowiloto.
Kita tak menemukan kekatolikan dalam tulisan sastrawan Katolik, jika kata itu merujuk kepada sifat afirmatif terhadap agama. Namun cerita-cerita dari Alkitab dan Gereja menampakkan diri, sesekali atau berulang kali, dengan cara aneh sebagai roh maupun hantu yang menaungi. Seperti sajak Joko Mandi (2003) membawa kita pada pengadilan kisah sengsara ketika orang berseru, “Salibkan dia!”
Korban segera diseret ke kamar mandi dan diperintahkan
berdiri di depan. Wajahnya tertunduk pucat, tubuhnya
gemetar, dan matanya seperti kenangan yang redup perlahan.
Belum sempat pemimpin rombongan menanyakan tanggal
lahir dan asal-usul korban, orang-orang yang sudah tak sabar
menyaksikannya sekarat berseru nyaring, “Mandikan dia!
Mandikan dia!”
* * *
Mandikanlah dia hingga tak tersisa lagi luka.
Ketika Ayu terkenang akan puisi Joko, ia lebih mengenangnya sebagai cerita, kadang visualisasi, bukan sebagai bunyi. Puitisasi, dalam sajak-sajak Joko, tidak terutama muncul dari bunyi kata-kata melainkan ceritera. Puisinya cenderung naratif. Jika karya Goenawan Mohamad hampir-hampir tak mungkin dinyatakan dengan kata-kata lain (bagaimana menggantikan sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi?), puisi Joko agaknya masih menampung perubahan kata. Sebab cerita mengambil tempat lebih utama. Melankoli dan rasa sakit, yang dominan dalam suasana sajaknya, tidak muncul melalui imaji kata-kata melainkan lewat kisah dan logika cerita yang ganjil.
Kisah sengsara Tuhan dalam tradisi Katolik adalah kisah utama. Suasana duka, rasa sakit, melankoli, kegagalan adalah rasa dominan pekan sebelum Paskah. Minggu Paskah menuntaskannya dengan kemenangan. Maka kisah sedih itu tinggal kenangan. Itulah risiko yang kerap tergenapi dalam rutinisasi penebusan.
Gereja Katolik punya kegundahan akan segala teknologi yang mengontrol tubuh ke dalam kehendak individu: kontrasepsi, atau juga anaestesi. Anaestesi atau pengebasan membuat rasa sakit menjadi tidak alamiah bagi manusia rasional. Dalam pandangan ini, prosesi maupun obsesi yang memberi penghormatan tinggi pada rasa sakit pun menjadi kelainan jiwa. Namun, sesungguhnya, dengan memberi penekanan terlalu kuat pada kebangkitan, kisah itu memberi pengebasannya sendiri: anaestesi akhir nan bahagia. Agama memang memberi telos, tujuan yang agung seperti sebuah happy ending. Pada saat yang sama, akhir nan jaya ini menjauhkan penderitaan ideal dari penderitaan manusia sesungguhnya.
Sajak-sajak Joko mengembalikan itu. Penderitaan menjadi milik manusia mortal. Kesakitannya lebih sering tak bisa dimengerti. Apa gerangan tujuan kesakitan? Karena itu, barangkali, ada beberapa hal yang obsesif dalam sajak-sajak Joko: tubuh yang sakit, manusia yang gagal, kuburan, dan selangkangan—berbeda dari Ayu, pada Joko tanpa erotisme. Sajaknya bercerita tentang celana yang hilang, burung di dalamnya yang terbang, Pak Guru yang resleting celananya melorot dan menjadi penjaga kuburan, celana bayi yang ia cari di makam ibunya. Kuburan dan kelamin tanpa erotisme seolah menekankan mortalitas manusia: dari kelamin ia keluar, ke dalam makam ia menyusup. Jika penderitaan dalam Kisah Sengsara Agung menjadi drama, penderitaan dalam sajak Joko menjadi ironi.
Ini adalah penggalan Doa sebelum Mandi (2000):
Tuhan, saya takut mandi. / Saya takut dilucuti. / Saya takut pada tubuh saya sendiri. / Kalau saya buka tubuh saya nanti, / mayat yang saya sembunyikan / akan bangun dan berkeliaran. /
Ini adalah penggalan dari Pulang Mandi (1999):
“Berbahagialah orang yang berani mandi,” aku bersabda, / “sebab ia akan menemukan tubuhnya sendiri.” / Maka dalam bahagia mandi ia kelupas karat waktu / pada tekstur hidupnya, kerak kenangan / pada tipografi nasibnya. / “Sakit!” ia menjerit. “Berdarah!” / Mungkin sedang ia lepaskan pakaian kotor / yang lengket di tubuhnya. /
Tidakkah mandi dalam sajak-sajaknya mengingatkan kita pada ritual permandian sambil tetap menjadikannya profan? Joko menggubah serial sajak bertema kamar mandi, toilet, serta celana. Kita tahu, celana, kamar mandi, dan toilet adalah dunia sehari-hari yang lekat dengan ketelanjangan manusia—dalam keadaan paling buruk dan kotor. Ranjang, di mana ketelanjangan bisa indah, tak sebanyak itu digarap Joko. Ketika dia menggarap ranjang sekalipun, beberapa di antaranya adalah ranjang rumah sakit, yang tetap menghubungkan manusia dengan kematian. Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar / memeluknya erat: "Aku rela jadi keranda untukmu.” (Keranda, 1996)
Tapi, yang dengan penuh maksud ia kaitkan mortalitas dengan transendensi adalah sajak "Meditasi" (2000) yang, dibanding sajaknya yang lain, tidak naratif:
Celana tak kuat lagi menampung pantat
yang goyang terus memburu engkau.
Pantat tak tahan lagi menampung goyang
yang kencang terus menjangkau engkau.
Goyang tak sanggup lagi menampung sakit
yang kejang terus mencengkram engkau.
Telanjang tak mampu lagi melepas,
menghalau Engkau.
Sajak "Meditasi" adalah sajak yang amat sulit untuk dibacakan. Sebab ia bermain di batas rawan antara ironi, sensualitas, dan keilahian. Pementasan yang salah akan membuatnya wagu dan janggal. Sajak ini barangkali adalah sajak sunyi, yang harus dibaca dalam sendiri.
Joko dan kesendirian adalah sejalan. Ia selalu membacakan karyanya dengan datar—jika ia harus membaca. Ia bukan penerus Si Burung Merak, bekas Katolik yang nada bacanya mengingatkan Ayu pada khotbah pastor Belanda di masa lalu. Ia juga bukan Sapardi Joko Damono atau Goenawan Mohamad yang menggumam liris hampir tak terdengar. Joko mempunyai artikulasi yang jelas—barangkali bagian dari latihannya di seminari?—namun ekspresinya sungguh lempang, sesederhana kata-kata dalam kebanyakan sajaknya, sehingga pendengar akan memusatkan perhatian pada cerita. Tak ada tempat untuk gaya. Seolah-olah sajaknya memang tidak ditujukan pada penonton atau untuk ditonton. Bahkan ia tak bisa menjawab, sesungguhnya, kenapa ia menulis sajak.
Tak satu sastrawan pun, agaknya, bisa merumuskan kenapa ia ingin menulis atau kenapa ia
tergugah kata-kata. Kitab suci adalah alat menyampaikan pergulatan iman, namun sastrawan telah lari dari itu dan terpukau pada kata-kata dan kisah. Semoga mereka tak habis-habis menghidupkan cerita.[]
*Dimuat dalam buku/bunga rampai Keadilan Sosial – Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004)
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo

Joko Pinurbo; Mengapa Kematian, Penyairku?
AYU UTAMI
Kerap saya menonton ia membacakan sajaknya. Penyair ceking itu membaca tanpa ekspresi. Namun kekuatan kata-katanya senantiasa membuat orang tergelitik. Banyak kali sajaknya membuat penonton terbahak. Lain kali orang menghela nafas masygul. Acap mereka terkikik dan terganggu sekaligus. Sebetulnya, sajak utamanya jarang mengajukan keindahan, baik dalam citra maupun bunyi—dengan kata lain, sajaknya jarang ‘puitis’—tetapi sajak-sajak itu seolah melampaui estetika, menyentuh wilayah peka manusia.
Joko Pinurbo adalah antitesis ‘aliran Rendra’. Tentu ia bukan yang pertama jika dipertentangkan dengan Burung Merak itu. Di tahun 70-an ada puisi mbeling yang diperkenalkan Remy Sylado alias Japie Tambajong. Itu adalah puisi dan tulisan nakal dengan kata-kata kasar dan dasar yang dengan sengaja mau mengorak estetika sastra yang mapan. Toh si Burung Merak dan Bengkel Teater-nya menegakkan pengaruh yang tak terbantahkan pada generasi penyair berikutnya, baik dari bentuk puisi maupun segi pertunjukan. Tak ada sampai kini yang menandingi Rendra, pada masa jayanya, dalam menjelmakan puisi sebuah pertunjukan spektakular. Para peniru yang gagal pun tetap menghasilkan deklamasi.
Joko Pinurbo—generasi anak Rendra, lahir tiga puluh tahun setelah penyair besar itu—adalah kebalikan segalanya. Ia naik ke panggung dengan sederhana. Penampilannya seperti orang kebanyakan yang menjaga kesantunan umum—tanpa anting-anting, rambutnya pendek, ujung bawah kemeja dimasukkan dalam celana, kaus singlet di baliknya, sepatunya pantovel ataupun sepatu sandal bersahaja dan bukan buts yang perkasa. Lalu ia membaca tanpa atraksi, tanpa tekanan, tanpa teriak, tanpa drama. Tanpa kegarangan. Bahkan tanpa keindahan pada puisinya. Ia suka duduk diam-diam dan ia tak suka bersengketa.
Lantas di mana kekuatannya? Tentu ada sejumput sajaknya yang liris. Tetapi ia bukan Goenawan Mohamad atau Sapardi Djoko Damono—saya curiga ia dekat selera dengan dua sekawan penyair ini—yang secara keseluruhan menghasilkan sajak-sajak liris untuk dibaca dalam sunyi. Tidak Joko Pinurbo. Meskipun ia mengaku kagum pada karya liris penyair tua itu, kata-kata dalam sajaknya sendiri sering sungguh banal, sedang subjeknya sungguh sehari-hari. Ia bicara soal celana, toilet, kamar mandi—hal yang tidak menggugah, tidak erotis, dan terlalu domestik. Ia bukan Malin Kundang yang takjub pada bandar-bandar di penjuru dunia.[1] Pelesirnya hanya antara “kamar mandi dan ruang tamu”. Maka, kekuatan penyair ini ada pada alur sajaknya yang lateral, nyeleneh, namun serentak tulus. Ia istimewa sebab kenakalannya tidak politis melainkan apa adanya. Ketulusannya membedakan sajak-sajak ini dari puisi mbeling yang berpolitik.
Karya Joko dimungkinkan untuk nyeleneh lantaran bentuknya yang bercerita. Secara umum, sajaknya adalah sajak yang bercerita. Itu ciri utamanya. Barangkali sebagian bisa dianggap golongan cerita mini juga. Bentuk ini punya konsekuensi yang menguntungkan penyair. Yaitu, bahwa pembaca menduga sebuah alur dan sebuah akhir. Dari anggapan awal yang tak sepenuhnya disadari inilah Joko mengemudikan cerita mininya kepada alur dan akhir yang tak terduga, menyangkutkannya pada simpul-simpul yang aneh pula. Simpul-simpul ini kerap kali adalah tema-tema besar tersembunyi yang muncul secara ganjil seperti simptom ketegangan saraf.
Salah satu sajaknya yang paling dikenang orang, bahkan dibaca dan diapresiasi oleh anak-anak sekolah,[3] adalah sajak “Celana, 3”. Celana, benda sehari-hari ini—semua manusia modern memakai celana, adalah salah satu subjek penting, muncul berulang kali dengan peran utama maupun sebagai sekadar properti. Tampak hubungan erat antara sajak “Celana, 1” dan “Celana, 3”. Bahkan seri 3 seperti melanjutkan seri 1. Keduanya mengusulkan tokoh utama seorang pria yang / ingin membeli celana baru / buat pergi ke pesta / supaya tampak lebih tampan / dan meyakinkan. / (Lalu, pria itu) mencoba seratus model celana / di berbagai toko busana / namun tak menemukan satu pun / yang cocok untuknya. / Bahkan di depan pramuniaga / yang merubung dan membujuk-bujuknya / ia malah mencopot celananya sendiri / dan mencampakkannya. / “Kalian tidak tahu ya, / aku sedang mencari celana / yang paling pas dan pantas / buat nampang di kuburan.” / Lalu ia ngacir / tanpa celana / dan berkelana / mencari kubur ibunya / hanya untuk menanyakan, / “Ibu, kausimpan di mana celana lucu / yang kupakai waktu bayi dulu?”
Suatu ketika, akhirnya, pria itu / telah mendapatkan celana idaman / yang lama didambakan / meskipun untuk itu ia harus berkeliling kota / dan masuk ke setiap toko busana. / Ia memantas-mantas celananya di cermin / sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya / pantat tepos yang sok perkasa. / “Ini asli buatan Amerika,” katanya / kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca. / Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih / yang menunggunya di pojok kuburan. / Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.” / Tapi perempuan itu lebih tertarik / pada yang bernaung di dalam celana. / Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!” / Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru / yang gagah dan canggih modelnya, / dan mendapatkan burung yang selama ini / dikurungnya sudah kabur entah ke mana. /
Dua paragraf itu disusun memanjang dari dua sajak, “Celana, 1” dan “Celana, 3”, yang membuka kumpulan puisi ini. Biasanya, ketika dibacakan, orang menangkap kelucuan yang bersifat ironis pada ‘si tolol yang berlagak di dalam kaca’, ‘pantat tepos yang sok perkasa’, ‘nampang di kuburan’, ‘burung yang kabur entah ke mana’, ‘celana yang dipakai waktu bayi’. Membacanya kita pun tahu keduanya tidak memanjakan telinga kita dengan keindahan rima, pertukaran bunyi, atau segala jurus puisi yang terduga maupun yang menakjubkan. Kesederhanaanya bukan kebersahajaan haiku yang menghadirkan benda-benda harian ke dalam kesadaran liris. Tiada ungkapan, tiada penyejajaran, pun personifikasi. Tak ada kata-kata yang nampak berkilat setelah digosok dengan berkeringat. Tiada pertanyaan-pertanyaan menggugat atau aforisme menyengat. Saya kira keduanya memang tidak ingin mengajukan keindahan yang mengejutkan. Biasanya, sekali lagi, penonton tergelitik mendengar dua sajak itu. Dan ini menarik.
Sebab, sesungguhnya, di sana ada yang menghubungkan kita dengan sesuatu yang tak terelakkan dalam kehidupan manusia. Bukan komedi melainkan tragedi: kematian, serta masa kanak-kanak yang permulaannya tak mungkin diingat, yaitu dari rahim ibu. Inilah sesungguhnya dua tema dasar berkaitan yang senantiasa menghantui sajak-sajak Joko Pinurbo. Keduanya bersatu pada sebuah bayangan berupa liang, entah itu liang kuburan atau liang rahim. Liang yang datang bersama warna gelap. Yang satu merupakan awal, yang lain adalah akhir. Dan tema besar itu pun datang sambil lalu dalam sajak “Celana, 1” maupun “Celana, 3”, seolah bukan hal utama, tapi kita bisa melihat bahwa ia menghantui dan menyerang tiba-tiba. Dalam gambaran tentang kuburan. Sang tokoh pergi ke kubur ibu, sementara pacarnya menanti di kuburan. Mengapa kuburan?
Setidaknya sepertiga dari kumpulan puisi ini mengandung kata ‘kuburan’, ‘makam’, ‘nisan’, ‘keranda’, ‘jenazah’, ‘mayat’, ‘mati’ di satu sisi, serta di sisi lain ‘vagina’, ‘garba’, ataupun gambaran yang merupakan substitusi dari ‘rahim’. Jika kita memasukkan kata dan deskripsi lain yang secara semantik berhubungan lebih longgar dengan kematian dan rahim—misalnya tentang penyakit, rasa sakit, ketuaan, kain kafan, tubuh perempuan sebagai tubuh ibu yang susut digerogoti oleh kerja mengandung, melahirkan, menyusui—niscaya hampir tiga perempat kumpulan ini mempunyai dorongan yang sama, sebuah tendensi morbid—dalam arti yang lebih netral. Di beberapa puisi, deret sintagmatik ‘makam’ berkelindan dengan deret sintagmatik ‘vagina’. Seperti dalam puisi “Di Sebuah Vagina” (2002) yang menyiratkan kematian tanpa penyelamatan:
Di sebuah vagina peziarah-peziarah kecil
Sebuah sajak lain ditulisnya ketika tokoh pembela rakyat miskin dan seorang rohaniwan Katolik yang dengannya ia amat dekat, Romo Mangun, meninggal dunia. Kali ini, kematian dalam Sajak “Perahu” (1999) mengisyaratkan harapan, meski penyair tetap memelihara ironinya:
Di sini amat jelas ia menggambarkan manusia mati kembali kepada rahim, gelap dan gaib. Namun, ‘kuburan’ sebagai gambaran nyata menempati frekuensi tertinggi untuk menghubungkan kita dengan kematian. Tokoh dalam sajak cerita mini Joko sering sekali keluyuran atau seperti mampir di kuburan tanpa rencana, seolah iseng sehari-hari. Bagi saya ini juga amat menarik. Sebab, kuburanlah yang mempertautkan manusia hidup dan yang mati sambil tetap berjarak.
Goenawan Mohamad, penyair yang disegani Joko Pinurbo, juga menulis tentang kematian. Suasana muram kental dalam sajak maupun esainya. Kematian adalah bagian dari riwayat manusia:
(Goenawan Mohamad, “Riwayat”, 1962)
Aneh barangkali. Tapi ini satu dari amat sedikit, mungkin tak lebih dari lima, sajak Goenawan Mohamad yang mengandung kata makam atau kuburan. Kematian datang, menghantui, dengan cara lain dalam puisi Goenawan Mohamad.
Dalam banyak hal Goenawan Mohamad mempengaruhi Joko. Perkembangan karya Goenawan Mohamad sendiri tak lepas dari pengaruh sajak-sajak Chairil Anwar. Joko Pinurbo lahir tahun 60-an, ketika Goenawan mulai mengepakkan sajaknya. Goenawan lahir tahun 40-an, ketika Chairil mencapai puncak karyanya. Chairil lahir tahun 20-an, ketika Indonesia diperkenalkan kepada sastra dunia. Mereka adalah tiga generasi penyair Indonesia yang masing-masing berjarak 20 tahun (Chairil Anwar, 1922; Goenawan Mohamad, 1941; Joko Pinurbo, 1962). Ketiganya memiliki keterpukauan akut pada kematian. Salah satu sajak awal Chairil Anwar, bahkan sajak paling muka dalam kumpulan yang diterbitkan Horison untuk memperingati 50 tahun kematiannya,[4] adalah “Nisan”. Ia tulis untuk neneknya, tanpa satupun kata mengenai makam:
(Chairil Anwar, Nisan, 1942)
Sajak ini ditulis persis 20 tahun sebelum sajak “Riwayat” Goenawan Mohamad di atas. Inilah kematian yang ditulis Chairil dengan semacam kerelaan, ketika final sungguh sudah tercapai—agak berbeda dengan karyanya yang lain. Di lain tempat kematian hadir sebagai mambang yang membayangi, ditunggu, ditakjubi dan tak ditakuti—sebab ia belum benar-benar datang. Penyair menyambutnya sebagai akhir riwayat dengan gagah. Sekali berarti / Sudah itu mati dalam sajak “Diponegoro” menyiratkan nada angkuh yang sama dengan sajak “Aku” yang mahsyur itu: Kalau sampai waktuku / ‘Ku mau tak seorang pun ‘kan merayu / Tidak juga kau / Tak perlu sedu sedan itu (…) Aku mau hidup seribu tahun lagi / Di kali yang berbeda kematian adalah akhir yang tak terelakkan, tragedi manusia yang toh tak perlu didramatisasi. Maka kematian menjadi liris seperti pada sajak berikut:
kelam dan angin lalu mempesiang diriku
(Chairil Anwar, “Yang Terampas dan Yang Putus”, 1949)
*Dimuat dalam Joko Pinurbo, Pacar Senja -- Seratus Puisi Pilihan (Grasindo, 2005)
Kerap saya menonton ia membacakan sajaknya. Penyair ceking itu membaca tanpa ekspresi. Namun kekuatan kata-katanya senantiasa membuat orang tergelitik. Banyak kali sajaknya membuat penonton terbahak. Lain kali orang menghela nafas masygul. Acap mereka terkikik dan terganggu sekaligus. Sebetulnya, sajak utamanya jarang mengajukan keindahan, baik dalam citra maupun bunyi—dengan kata lain, sajaknya jarang ‘puitis’—tetapi sajak-sajak itu seolah melampaui estetika, menyentuh wilayah peka manusia.
Joko Pinurbo adalah antitesis ‘aliran Rendra’. Tentu ia bukan yang pertama jika dipertentangkan dengan Burung Merak itu. Di tahun 70-an ada puisi mbeling yang diperkenalkan Remy Sylado alias Japie Tambajong. Itu adalah puisi dan tulisan nakal dengan kata-kata kasar dan dasar yang dengan sengaja mau mengorak estetika sastra yang mapan. Toh si Burung Merak dan Bengkel Teater-nya menegakkan pengaruh yang tak terbantahkan pada generasi penyair berikutnya, baik dari bentuk puisi maupun segi pertunjukan. Tak ada sampai kini yang menandingi Rendra, pada masa jayanya, dalam menjelmakan puisi sebuah pertunjukan spektakular. Para peniru yang gagal pun tetap menghasilkan deklamasi.
Joko Pinurbo—generasi anak Rendra, lahir tiga puluh tahun setelah penyair besar itu—adalah kebalikan segalanya. Ia naik ke panggung dengan sederhana. Penampilannya seperti orang kebanyakan yang menjaga kesantunan umum—tanpa anting-anting, rambutnya pendek, ujung bawah kemeja dimasukkan dalam celana, kaus singlet di baliknya, sepatunya pantovel ataupun sepatu sandal bersahaja dan bukan buts yang perkasa. Lalu ia membaca tanpa atraksi, tanpa tekanan, tanpa teriak, tanpa drama. Tanpa kegarangan. Bahkan tanpa keindahan pada puisinya. Ia suka duduk diam-diam dan ia tak suka bersengketa.
Lantas di mana kekuatannya? Tentu ada sejumput sajaknya yang liris. Tetapi ia bukan Goenawan Mohamad atau Sapardi Djoko Damono—saya curiga ia dekat selera dengan dua sekawan penyair ini—yang secara keseluruhan menghasilkan sajak-sajak liris untuk dibaca dalam sunyi. Tidak Joko Pinurbo. Meskipun ia mengaku kagum pada karya liris penyair tua itu, kata-kata dalam sajaknya sendiri sering sungguh banal, sedang subjeknya sungguh sehari-hari. Ia bicara soal celana, toilet, kamar mandi—hal yang tidak menggugah, tidak erotis, dan terlalu domestik. Ia bukan Malin Kundang yang takjub pada bandar-bandar di penjuru dunia.[1] Pelesirnya hanya antara “kamar mandi dan ruang tamu”. Maka, kekuatan penyair ini ada pada alur sajaknya yang lateral, nyeleneh, namun serentak tulus. Ia istimewa sebab kenakalannya tidak politis melainkan apa adanya. Ketulusannya membedakan sajak-sajak ini dari puisi mbeling yang berpolitik.
Karya Joko dimungkinkan untuk nyeleneh lantaran bentuknya yang bercerita. Secara umum, sajaknya adalah sajak yang bercerita. Itu ciri utamanya. Barangkali sebagian bisa dianggap golongan cerita mini juga. Bentuk ini punya konsekuensi yang menguntungkan penyair. Yaitu, bahwa pembaca menduga sebuah alur dan sebuah akhir. Dari anggapan awal yang tak sepenuhnya disadari inilah Joko mengemudikan cerita mininya kepada alur dan akhir yang tak terduga, menyangkutkannya pada simpul-simpul yang aneh pula. Simpul-simpul ini kerap kali adalah tema-tema besar tersembunyi yang muncul secara ganjil seperti simptom ketegangan saraf.
Salah satu sajaknya yang paling dikenang orang, bahkan dibaca dan diapresiasi oleh anak-anak sekolah,[3] adalah sajak “Celana, 3”. Celana, benda sehari-hari ini—semua manusia modern memakai celana, adalah salah satu subjek penting, muncul berulang kali dengan peran utama maupun sebagai sekadar properti. Tampak hubungan erat antara sajak “Celana, 1” dan “Celana, 3”. Bahkan seri 3 seperti melanjutkan seri 1. Keduanya mengusulkan tokoh utama seorang pria yang / ingin membeli celana baru / buat pergi ke pesta / supaya tampak lebih tampan / dan meyakinkan. / (Lalu, pria itu) mencoba seratus model celana / di berbagai toko busana / namun tak menemukan satu pun / yang cocok untuknya. / Bahkan di depan pramuniaga / yang merubung dan membujuk-bujuknya / ia malah mencopot celananya sendiri / dan mencampakkannya. / “Kalian tidak tahu ya, / aku sedang mencari celana / yang paling pas dan pantas / buat nampang di kuburan.” / Lalu ia ngacir / tanpa celana / dan berkelana / mencari kubur ibunya / hanya untuk menanyakan, / “Ibu, kausimpan di mana celana lucu / yang kupakai waktu bayi dulu?”
Suatu ketika, akhirnya, pria itu / telah mendapatkan celana idaman / yang lama didambakan / meskipun untuk itu ia harus berkeliling kota / dan masuk ke setiap toko busana. / Ia memantas-mantas celananya di cermin / sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya / pantat tepos yang sok perkasa. / “Ini asli buatan Amerika,” katanya / kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca. / Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih / yang menunggunya di pojok kuburan. / Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.” / Tapi perempuan itu lebih tertarik / pada yang bernaung di dalam celana. / Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!” / Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru / yang gagah dan canggih modelnya, / dan mendapatkan burung yang selama ini / dikurungnya sudah kabur entah ke mana. /
Dua paragraf itu disusun memanjang dari dua sajak, “Celana, 1” dan “Celana, 3”, yang membuka kumpulan puisi ini. Biasanya, ketika dibacakan, orang menangkap kelucuan yang bersifat ironis pada ‘si tolol yang berlagak di dalam kaca’, ‘pantat tepos yang sok perkasa’, ‘nampang di kuburan’, ‘burung yang kabur entah ke mana’, ‘celana yang dipakai waktu bayi’. Membacanya kita pun tahu keduanya tidak memanjakan telinga kita dengan keindahan rima, pertukaran bunyi, atau segala jurus puisi yang terduga maupun yang menakjubkan. Kesederhanaanya bukan kebersahajaan haiku yang menghadirkan benda-benda harian ke dalam kesadaran liris. Tiada ungkapan, tiada penyejajaran, pun personifikasi. Tak ada kata-kata yang nampak berkilat setelah digosok dengan berkeringat. Tiada pertanyaan-pertanyaan menggugat atau aforisme menyengat. Saya kira keduanya memang tidak ingin mengajukan keindahan yang mengejutkan. Biasanya, sekali lagi, penonton tergelitik mendengar dua sajak itu. Dan ini menarik.
Sebab, sesungguhnya, di sana ada yang menghubungkan kita dengan sesuatu yang tak terelakkan dalam kehidupan manusia. Bukan komedi melainkan tragedi: kematian, serta masa kanak-kanak yang permulaannya tak mungkin diingat, yaitu dari rahim ibu. Inilah sesungguhnya dua tema dasar berkaitan yang senantiasa menghantui sajak-sajak Joko Pinurbo. Keduanya bersatu pada sebuah bayangan berupa liang, entah itu liang kuburan atau liang rahim. Liang yang datang bersama warna gelap. Yang satu merupakan awal, yang lain adalah akhir. Dan tema besar itu pun datang sambil lalu dalam sajak “Celana, 1” maupun “Celana, 3”, seolah bukan hal utama, tapi kita bisa melihat bahwa ia menghantui dan menyerang tiba-tiba. Dalam gambaran tentang kuburan. Sang tokoh pergi ke kubur ibu, sementara pacarnya menanti di kuburan. Mengapa kuburan?
Setidaknya sepertiga dari kumpulan puisi ini mengandung kata ‘kuburan’, ‘makam’, ‘nisan’, ‘keranda’, ‘jenazah’, ‘mayat’, ‘mati’ di satu sisi, serta di sisi lain ‘vagina’, ‘garba’, ataupun gambaran yang merupakan substitusi dari ‘rahim’. Jika kita memasukkan kata dan deskripsi lain yang secara semantik berhubungan lebih longgar dengan kematian dan rahim—misalnya tentang penyakit, rasa sakit, ketuaan, kain kafan, tubuh perempuan sebagai tubuh ibu yang susut digerogoti oleh kerja mengandung, melahirkan, menyusui—niscaya hampir tiga perempat kumpulan ini mempunyai dorongan yang sama, sebuah tendensi morbid—dalam arti yang lebih netral. Di beberapa puisi, deret sintagmatik ‘makam’ berkelindan dengan deret sintagmatik ‘vagina’. Seperti dalam puisi “Di Sebuah Vagina” (2002) yang menyiratkan kematian tanpa penyelamatan:
Di sebuah vagina peziarah-peziarah kecil
terbujur hancur sebelum sempat kauberi nama.
Sebuah sajak lain ditulisnya ketika tokoh pembela rakyat miskin dan seorang rohaniwan Katolik yang dengannya ia amat dekat, Romo Mangun, meninggal dunia. Kali ini, kematian dalam Sajak “Perahu” (1999) mengisyaratkan harapan, meski penyair tetap memelihara ironinya:
Memang ia kandas, dan tenggelam, ke lembah Maria.
Seperti hidup yang karam ke dalam doa.
Di sini amat jelas ia menggambarkan manusia mati kembali kepada rahim, gelap dan gaib. Namun, ‘kuburan’ sebagai gambaran nyata menempati frekuensi tertinggi untuk menghubungkan kita dengan kematian. Tokoh dalam sajak cerita mini Joko sering sekali keluyuran atau seperti mampir di kuburan tanpa rencana, seolah iseng sehari-hari. Bagi saya ini juga amat menarik. Sebab, kuburanlah yang mempertautkan manusia hidup dan yang mati sambil tetap berjarak.
Goenawan Mohamad, penyair yang disegani Joko Pinurbo, juga menulis tentang kematian. Suasana muram kental dalam sajak maupun esainya. Kematian adalah bagian dari riwayat manusia:
(Maka aneh. Ketika ia mati musim belum lagi mati.
Ketika ia ditanamkan, bunga tumbuh di pusat makam
Dan ketika ia dilupakan matahari
berkata pelan: sayang, memang sayang)
(Goenawan Mohamad, “Riwayat”, 1962)
Aneh barangkali. Tapi ini satu dari amat sedikit, mungkin tak lebih dari lima, sajak Goenawan Mohamad yang mengandung kata makam atau kuburan. Kematian datang, menghantui, dengan cara lain dalam puisi Goenawan Mohamad.
Dalam banyak hal Goenawan Mohamad mempengaruhi Joko. Perkembangan karya Goenawan Mohamad sendiri tak lepas dari pengaruh sajak-sajak Chairil Anwar. Joko Pinurbo lahir tahun 60-an, ketika Goenawan mulai mengepakkan sajaknya. Goenawan lahir tahun 40-an, ketika Chairil mencapai puncak karyanya. Chairil lahir tahun 20-an, ketika Indonesia diperkenalkan kepada sastra dunia. Mereka adalah tiga generasi penyair Indonesia yang masing-masing berjarak 20 tahun (Chairil Anwar, 1922; Goenawan Mohamad, 1941; Joko Pinurbo, 1962). Ketiganya memiliki keterpukauan akut pada kematian. Salah satu sajak awal Chairil Anwar, bahkan sajak paling muka dalam kumpulan yang diterbitkan Horison untuk memperingati 50 tahun kematiannya,[4] adalah “Nisan”. Ia tulis untuk neneknya, tanpa satupun kata mengenai makam:
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
(Chairil Anwar, Nisan, 1942)
Sajak ini ditulis persis 20 tahun sebelum sajak “Riwayat” Goenawan Mohamad di atas. Inilah kematian yang ditulis Chairil dengan semacam kerelaan, ketika final sungguh sudah tercapai—agak berbeda dengan karyanya yang lain. Di lain tempat kematian hadir sebagai mambang yang membayangi, ditunggu, ditakjubi dan tak ditakuti—sebab ia belum benar-benar datang. Penyair menyambutnya sebagai akhir riwayat dengan gagah. Sekali berarti / Sudah itu mati dalam sajak “Diponegoro” menyiratkan nada angkuh yang sama dengan sajak “Aku” yang mahsyur itu: Kalau sampai waktuku / ‘Ku mau tak seorang pun ‘kan merayu / Tidak juga kau / Tak perlu sedu sedan itu (…) Aku mau hidup seribu tahun lagi / Di kali yang berbeda kematian adalah akhir yang tak terelakkan, tragedi manusia yang toh tak perlu didramatisasi. Maka kematian menjadi liris seperti pada sajak berikut:
kelam dan angin lalu mempesiang diriku
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan kau bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
(Chairil Anwar, “Yang Terampas dan Yang Putus”, 1949)
Kita tahu di tahun yang sama dengan penulisan sajak itu, Chairil Anwar dimakamkan di pemakaman umum Karet. “Nisan” adalah sajak pertamanya, ini adalah yang terakhirnya. Inilah yang kedua: kematian yang liris dan dekat dengan kerinduan yang sensual yang tak terpenuhi. Yang pertama adalah kematian yang heroik. Dua hal yang ada pada Chairil dipertajam oleh Goenawan. Dalam karya Goenawan Mohamad eros dan thanatos menjadi padat, kerelaan dan keganasan berkelindan. Dan Goenawan menambahkan deretan pertanyaan menggugat serta aforisme rangkai jawaban. Apakah kematian sebenarnya? seolah bergaung sepanjang kepenyairannya. Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu (“Asmaradana”, 1971). Perpisahan adalah sebuah isyarat kematian (“Di Pasar Loak”, 1994) Apakah mati sebenarnya?(…) Barangkali mati adalah transformasi, perjalanan ramarama yang sedih yang menghilang ke arah roh: keabadian yang tak tahu telah berubah lazuardi (“Untuk Frida Kahlo”, 1993-94). Namun pertautan antara eros dan thanatos paling nyata dalam sajak “Sang Minotaur”, yang membedakan jauh Goenawan dari Chairil perihal kematian:
(…) kau goyangkan susumuke arah seram dan seluruh bau asam
tatkala hasrat menjulurkan lidahyang merah
ke syahwatyang membasah.
Setelah itu, siuman. Dan kematian
(…) kau goyangkan susumuke arah seram dan seluruh bau asam
tatkala hasrat menjulurkan lidahyang merah
ke syahwatyang membasah.
Setelah itu, siuman. Dan kematian
(“Sang Minotaur”, 1996)
Kematian memisahkan tubuh dari jasad. Berbedalah ketiga penyair itu dalam menghayati tubuh melalui sajak mereka. Tubuh dalam karya Chairil Anwar adalah tubuh yang luka, terbuang namun angkuh, tubuh si jalang yang siap menerkam demi harga diri. Tubuh dalam sajak Goenawan Mohamad adalah tubuh yang erotis, dalam terluka, sedih, maupun tidak. Tubuh dalam puisi Joko Pinurbo adalah tubuh rombeng, morat-marit, dan tak sempat peduli soal harga diri. Tubuh tanpa keangkuhan. Tubuh sepah dengan sedikit sisa gairah. Tubuh yang nyaris tak terbedakan dari jasad. Di sinilah, cara memandang perihal tubuh dan kematian pada Joko yang berbeda dari pendahulunya menyebabkan sebuah bentuk penulisan puisi yang khas pula: puisi banal[5] yang tulus. Bahkan, barangkali puisi banal yang sumeleh.
Tubuhyang mulai akrab
dengan saya ini
sebenarnya mayat
yang saya pinjam
dari seorang korban tak dikenal
....
(“Tubuh Pinjaman”, 1999)
(“Tubuh Pinjaman”, 1999)
Tapi, bagaimana menguji ketulusan sebuah puisi?
Joko Pinurbo mencipta sejumlah puisi liris. Tetapi bukan itu yang membuatnya istimewa. Bukan itu pembaharuannya dalam kesusastraan Indonesia. Kita bisa mulai dengan kembali melihat ‘kuburan’, unsur yang terlalu kerap muncul dalam karyanya. ‘Kuburan’ bukan hal yang hadir kebetulan. ‘Kuburan’ adalah simptom dalam kepenyairan Joko Pinurbo.
Dalam sajak Chairil Anwar maupun Goenawan Mohamad, kematian bisa mengambil wujud heroik maupun liris. Ini menyiratkan kematian sebagai akhir—akhir yang sendu maupun yang gagah. Di sini tak ada jarak antara hidup dan mati, sebab ketika mati maka hidup berhenti. Penghayatan tentang jarak tak ada sebab kematian dan kehidupan tidak menghuni ruang waktu yang sama. Keduanya ada pada matra yang berbeda di mana jarak tak dimungkinkan. Maka tak heran, kuburan hampir tak muncul dalam sajak Chairil maupun Goenawan.
Sebab, kuburan membuat kematian dan kehidupan menempati ruang waktu yang sama. Di sini jarak tercipta antara yang mati dan yang hidup. Di dalam sudut pandang ini, kematian bukan akhir, melainkan ada bersama-sama kehidupan. Karena ada bersama-sama, maka keduanya berjarak. Kuburan adalah tanda sebuah jarak. Jarak mengimplikasikan, secara paradoksal, ruang yang sama.
Jarak—itulah yang istimewa dalam puisi Joko Pinurbo. Ia memandang tragedi manusia dengan berjarak. Ia berbicara tentang kematian dengan ambiguitas akan keterlibatannya. Sebetulnya kematian adalah sesuatu yang eksistensial dan final—manusia tak bisa mati berulang kali—tapi tak ada kata-kata yang dahsyat pada penggarapan atas tema itu. Tak ada unsur sajaknya yang menghidupkan lagu duka, bunga terakhir, dan nyanyian penghormatan. Sebaliknya, kuburan berhubungan dengan hal-hal profan dalam hidup manusia: menunggu pacar, mencari jengkerik, selain untuk menabur kembang. Toh kuburan ada di mana-mana, senantiasa mengingatkan sesuatu kepada kita.
Cara Joko menghayati dalam jarak telah menghasilkan bentuk penulisan sajak yang khas. Sajak cerita yang ambigu. Ambiguitas itu dimungkinkan oleh kebanalannya. Sajaknya menyodorkan ambiguitas antara keseharian dan tragedi, kekanak-kanakan dan keseriusan, ketakpedulian dan kesedihan, antara kementahan (kata-kata) dan kedalaman (subjek). Ketulusan sajak Joko Pinurbo setidaknya dibuktikan oleh konsistensi bentuk sajaknya dan penghayatannya akan jarak. Pula, kita tak menemukan sikap sinis atau sarkas kepada kemapanan. Ia, saya kira, tidak menulis dengan cara ini untuk melawan estetika apapun. Sebab, dalam sajak-sajakya yang liris kita bisa melihat pendekatannya yang berbeda. Ia, saya percaya, menulis begini lebih karena jujur pada penghayatannya.
Lalu, di mana letak penyair dalam masyarakatnya adalah persoalan yang sama peliknya dengan memetakan peran sajak dalam kebudayaan. Tak seperti Chairil Anwar dan Goenawan Mohamad, Joko Pinurbo tidak produktif menulis esai. Ia belum pernah menulis sebagaimana Goenawan menulis “Potret Seorang Penyair sebagai si Malin Kundang”. Ia tak membikin manifesto atau perlawanan sebagaimana Remy Sylado.
Saya bayangkan ia berperan dalam memelihara kejujuran dan kesederhanaan sastra. Joko Pinurbo dengan berhasil menciptakan sajak yang tulus, banal (karena itu pula mutakhir), dan dasar—yang menghubungkan kita kembali dengan dorongan purba untuk terpukau pada liang gelap: liang vagina, liang kubur, bahkan liang kakus. Biasanya penyair mempunyai sebuah sajak yang mengisahkan pergulatan kepenyairannya. Saya menemukannya dalam satu dari sajak-sajaknya yang paling saya kenang, “Bertelur” (2001). Menulis sajak adalah perjuangan melahirkan sesuatu yang mungkin ditolak.
Dengan perjuangan berat alhamdulillah akhirnya aku
bisa bertelur. Telurku lahir dengan selamat,
warnanya hitam pekat.
Aku ini seorang peternak: saban hari
mengembangbiakkan kata, dan belum kudapat kata
yang bisa mengucapkan kita.
Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku ini.
Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama
tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam
sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan.
Kalau aku lagi asyik mengeram, diam-diam telurku
suka meloncat, memantul-mantul di lantai,
kemudian menggelinding pelan ke toilet,
dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset
cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang.
Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa
kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya
dari ranjang mereka.
Ah telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga.
Kau menggelembung, memecah, memuncratkan darah.
Itu bukan telurku! Mereka berseru.
Itu bukan telurku! Mereka berseru.
Jakarta, Januari 2005
Catatan
[1]Adalah Goenawan Mohamad yang dalam “Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang” menceritakan keterasingan sang penyair setelah ia bertemu dengan dunia luar. Sapardi Djoko Damono, dalam esei pengiring atas Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 (Metafor, 2001) menggambarkan Goenawan sebagai anak desa, si Malin Kundang, yang telah pergi ke bandar-bandar. Kita tidak menemukan keterpukauan pada kota asing dalam sajak Joko Pinurbo.
[2]Saya tidak hendak mengatakan bahwa berpolitik adalah jelek. Tapi, kebanyakan karya yang nakal lahir dari pemberontakan terhadap bentuk sebelumnya dan umumnya disertai manifesto atau teori mengenai perlawanannya. Dan ini sama sekali bukan hal yang jahat dalam perkembangan seni.
[3]Sajak ini dibacakan dalam program Siswa Bertanya Sastrawan Bicara yang diselenggarakan Majalah Horison dan Ford Foundation di beberapa sekolah negeri di akhir tahun 1990-an-2000-an. Murid-murid diminta membuat penafsiran.
[4]Derai-derai Cemara: Puisi dan Prosa Chairil Anwar (penyunting Taufik Ismail). Horison, 1999.
[5]Saya harus berterima kasih pada Erik Prasetya yang memperkenalkan konsep ‘estetika banal’ dalam penerokaan fotografi atas kota Jakarta-nya selama sepuluh tahun.
*Dimuat dalam Joko Pinurbo, Pacar Senja -- Seratus Puisi Pilihan (Grasindo, 2005)
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo

Kepada Puisi-Puisi (Joko Pinurbo)
Alex R. Nainggolan
Potret perjalanan kepenyairanmu telah dilunaskan dengan terbitnya buku Pacar Senja oleh penerbit Grasindo (2005). Di buku itu, puisi-puisimu coba kembali seksama saya baca. Dan memang masih ada lenguh yang panjang-pendek, pertanyaan terhadap waktu, kenangan, permainan antara logika yang baka di mulut kehidupan. Semua puisi, yang terdiri dari periode lengkap kepenyairanmu membentangkan isyarat yang sama. Sebuah cita-cita untuk menggugat dunia keseharianmu yang sempat, baik itu berupa catatan-catatan kecil yang kau saksikan dalam perjalanan hidup. Nampaknya pula kau tak berhenti di situ saja, puisi-puisi lain, yang berkisah atau sengaja kau kisahkan bagi rekan-rekan penyair, terkadang kau tulis dengan "ujung" yang lain. Seperti juga ketika kau ingin mengerami telur puisimu menjadi puisi yang utuh.
Di kumpulan puisimu, hakikat waktu terus menjadi pertanyaan yang abadi. Perjalanan pulang dalam dunia kesepianmu seperti membungkus etika, ditambah larik-larik yang terkesan main-main, meskipun saya paham kau tak sedang bermain-main di dalam puisi itu. Kekuatan narasi yang ditawarkan dalam puisimu seakan menjebak seluruh permaknaan yang purba. Kau dengan lihainya berlindung ke dalam "celana", "telepon genggam", atau kisah-kisah tentang "mandi". Kau bergerak seperti peluru karet, kenyal, dan menembak seluruh ruang keingintahuan sebagai manusia utuh. Ada sisi filosofi yang hendak ditawarkan, ibarat bidak catur yang melangkah kemana pun kau suka.
Di sinilah, saya justru mengagumi jerit puisimu. Seakan membukakan pintu kesadaran yang lain. Puisi-puisi yang malah mencabik seluruh berkas kehidupan sebagai manusia yang lain. Kau dengan entengnya mengisahkan sebuah tokoh, dengan menghadirkan tokoh tersebut, seakan dekat dengan persoalan kita sehari-hari.
Bentangan kalimat yang sederhana itu pula, kembali mengingatkan saya pada sejumlah puisi yang ditulis Wiji Thukul, Rendra, atau Emha Ainun Nadjib. Kau tidak banyak bermain pada metafor-metafor ganjil, sebagaimana penyair-penyair lain, yang berasik-masuk dalam sayap imajinasi lainnya. Namun sekali kau bermain dengan metafor, dengan segera puisi itu berubah jadi isyarat lengking yang getir. Sebagaimana dalam "Baju Bulan":
Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin
baju baru,
tapi tak punya uang. Ibuku entah
di mana sekarang,
sedangkan ayahku hanya bisa
kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu
barang semalam?
Bulan terharu: kok masih ada yang
membutuhkan
bajunya yang kuno di antara
begitu banyak warna-warni
baju buatan.
Bulan mencopot bajunya yang
keperakan,
mengenakannya pada gadis kecil
yang sering ia
lihat menangis di persimpangan jalan.
Bulan sendiri rela telanjang di langit,
atap paling rindang
bagi yang tak berumah dan tak
bisa pulang.
(2003)
Demikianlah. Bukan hanya sampai di situ semata, kau kemudian bergerak dengan metafor-metafor lainnya, sebagaimana dalam "Mataair", "Pohon Perempuan", dan "Bertelur". Meskipun nampaknya jauh dari keinginanmu untuk bermain-main dengan penggalian makna yang lain. Kau hanya cukup memainkannya dengan kalimat yang sederhana. Tidak nampak ada kecanggihan kalimat di sana, tidak ada rupa-rupa majas yang aneh, tidak ada pergulatan yang aneh seperti dalam agenda puisi-puisi mutakhir. Bagimu, kau hanya berbicara tentang hidup sehari-hari, titik!
Namun justru dari sanalah letak kekuatan yang kaupendam dalam puisimu. Kecengengan yang kau hadirkan dengan diksi kata yang sederhana, memoles tenaga lain yang tersembunyi. Ah, aku bukan sedang bermaksud untuk memujimu. Tapi memang setiap aku membaca puisimu, seluruh ruang kesadaranku dengan seketika jebol. Aku terseret dalam makna kata yang kau hadirkan. Menukik, menerjang, memukul seluruh ruang kesadaranku. Pertama kali, kuanggap ini hanya rasa sentimentalku saja. Tapi setelah kuteruskan membaca, ternyata memang puisi-puisimu memang telah menemukan bahasanya sendiri.
Aku seperti terjebak dalam pusara kata yang tak habis-habisnya. Dan pembicaraan puisi-puisimu bukan sekadar ruang kehidupan sehari-hari, melainkan ia terlontar dengan kenyal layaknya sebuah bola yang ditendang ke sana-kemari. Agaknya, anggapan tentang penyair sebagai penemu bahasa ada benarnya. Puisi yang cerdas membutuhkan kompleksitas yang panjang. Puisi itu meramu seluruh babak kehidupan manusia, menyingkap setiap permenungan yang tumbuh.
Bung Joko Pinurbo, atau layak kupanggil Mas saja? Sebab kutahu engkau kelahiran Sukabumi, seorang Sunda yang gemar merayakan kehalusan bahasanya. Oke, aku tak ingin bertele-tele dengan menulis lebih banyak lagi. Pelbagai ulasan tentang (puisi-puisi)mu telah ramai menghiasi media massa. Sebut saja Nirwan Dewanto (yang katanya saat ini bertindak sebagai juru penentu perkembangan sastra Indonesia mutakhir), Nirwan Ahmad Arsuka, Sapardi Djoko Damono, pun Ayu Utami pada kata penutup kumpulan puisi terbarumu. Semuanya mengakui tertarik pada puisimu, seakan-akan serempak menahbiskan dirimu sebagai penyair yang sederhana, gemar memancing kata, dan akrab dalam realita kesehariaan.
Sebagaimana kau menulis begini:
Penyair kecil itu sangat sibuk
merangkai kata
dan dengan berbagai cara menyusunnya
menjadi
sebuah rumah yang akan
dipersembahkan kepada ibunya
"Kita belum punya rumah kan, Bu. Nah,
Ibu tidur
saja di dalam rumah buatanku.
Aku akan berjaga di teras
semalaman dan semuanya akan
aman-aman saja.
Persoalan penantian memang kerap hadir dalam puisi-puisimu. Penampakan realitas yang dibalut dinding keceriaan, dicampur dengan alur sedih-yang tetap kautulis dengan rasa bahagia. Aku pikir, itulah yang "berbunyi" dalam puisi-puisimu. Kepolosan dalam menampakkan carut-marut hidup menciptakan sebuah bingkai yang kokoh. Kerinduan seseorang terhadap keluarga, efek masa kecil yang terus terkenang (dalam beberapa puisi yang bertema celana), atau perjuangan kemanusiaan yang kaurekam terhadap berbagai kondisi mutakhir. Katakanlah terhadap tragedi Mei di Jakarta, yang mengingatkan kita pada perkosaan massa terhadap sebuah etnis tertentu. Simak saja puisi "Mei":
MEI
Jakarta, 1998
Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kaupersembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan melelh
dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh dusta kami dengan
membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia
cintanya
ketika tubuhmu hancur dan lebur
dengan tubuh bumi;
ketika tak ada yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.
(2002)
Puisi yang sepenuhnya nyentrik. Di sini, gaya khas dirimu bermain dalam menyusun setiap kalimat. Semangat bermain, yang sekali lagi tak bermain-main. Sebagaimana diketahui penyair merupakan anggota masyarakat terbesar juga. Dalam kesehariannya penyair bergulat dengan kehidupan sehari-hari. Ia tentulah menghadirkan upaya-upaya baru dengan membalut sejarah (fakta) menjadi tak begitu kentara. Lebih menyortir sisi batin kehidupan manusia. Sebagai penyaksi zaman, seperti yang diungkap Ronggowarsito-semestinya kita tak turut edan juga dalam menyikapinya.
Tentang Alex R. Nainggolan
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku dimuat di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, dll. ***
(Suara Karya Online, Sabtu, 4 November 2006)
Potret perjalanan kepenyairanmu telah dilunaskan dengan terbitnya buku Pacar Senja oleh penerbit Grasindo (2005). Di buku itu, puisi-puisimu coba kembali seksama saya baca. Dan memang masih ada lenguh yang panjang-pendek, pertanyaan terhadap waktu, kenangan, permainan antara logika yang baka di mulut kehidupan. Semua puisi, yang terdiri dari periode lengkap kepenyairanmu membentangkan isyarat yang sama. Sebuah cita-cita untuk menggugat dunia keseharianmu yang sempat, baik itu berupa catatan-catatan kecil yang kau saksikan dalam perjalanan hidup. Nampaknya pula kau tak berhenti di situ saja, puisi-puisi lain, yang berkisah atau sengaja kau kisahkan bagi rekan-rekan penyair, terkadang kau tulis dengan "ujung" yang lain. Seperti juga ketika kau ingin mengerami telur puisimu menjadi puisi yang utuh.
Di kumpulan puisimu, hakikat waktu terus menjadi pertanyaan yang abadi. Perjalanan pulang dalam dunia kesepianmu seperti membungkus etika, ditambah larik-larik yang terkesan main-main, meskipun saya paham kau tak sedang bermain-main di dalam puisi itu. Kekuatan narasi yang ditawarkan dalam puisimu seakan menjebak seluruh permaknaan yang purba. Kau dengan lihainya berlindung ke dalam "celana", "telepon genggam", atau kisah-kisah tentang "mandi". Kau bergerak seperti peluru karet, kenyal, dan menembak seluruh ruang keingintahuan sebagai manusia utuh. Ada sisi filosofi yang hendak ditawarkan, ibarat bidak catur yang melangkah kemana pun kau suka.
Di sinilah, saya justru mengagumi jerit puisimu. Seakan membukakan pintu kesadaran yang lain. Puisi-puisi yang malah mencabik seluruh berkas kehidupan sebagai manusia yang lain. Kau dengan entengnya mengisahkan sebuah tokoh, dengan menghadirkan tokoh tersebut, seakan dekat dengan persoalan kita sehari-hari.
Bentangan kalimat yang sederhana itu pula, kembali mengingatkan saya pada sejumlah puisi yang ditulis Wiji Thukul, Rendra, atau Emha Ainun Nadjib. Kau tidak banyak bermain pada metafor-metafor ganjil, sebagaimana penyair-penyair lain, yang berasik-masuk dalam sayap imajinasi lainnya. Namun sekali kau bermain dengan metafor, dengan segera puisi itu berubah jadi isyarat lengking yang getir. Sebagaimana dalam "Baju Bulan":
Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin
baju baru,
tapi tak punya uang. Ibuku entah
di mana sekarang,
sedangkan ayahku hanya bisa
kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu
barang semalam?
Bulan terharu: kok masih ada yang
membutuhkan
bajunya yang kuno di antara
begitu banyak warna-warni
baju buatan.
Bulan mencopot bajunya yang
keperakan,
mengenakannya pada gadis kecil
yang sering ia
lihat menangis di persimpangan jalan.
Bulan sendiri rela telanjang di langit,
atap paling rindang
bagi yang tak berumah dan tak
bisa pulang.
(2003)
Demikianlah. Bukan hanya sampai di situ semata, kau kemudian bergerak dengan metafor-metafor lainnya, sebagaimana dalam "Mataair", "Pohon Perempuan", dan "Bertelur". Meskipun nampaknya jauh dari keinginanmu untuk bermain-main dengan penggalian makna yang lain. Kau hanya cukup memainkannya dengan kalimat yang sederhana. Tidak nampak ada kecanggihan kalimat di sana, tidak ada rupa-rupa majas yang aneh, tidak ada pergulatan yang aneh seperti dalam agenda puisi-puisi mutakhir. Bagimu, kau hanya berbicara tentang hidup sehari-hari, titik!
Namun justru dari sanalah letak kekuatan yang kaupendam dalam puisimu. Kecengengan yang kau hadirkan dengan diksi kata yang sederhana, memoles tenaga lain yang tersembunyi. Ah, aku bukan sedang bermaksud untuk memujimu. Tapi memang setiap aku membaca puisimu, seluruh ruang kesadaranku dengan seketika jebol. Aku terseret dalam makna kata yang kau hadirkan. Menukik, menerjang, memukul seluruh ruang kesadaranku. Pertama kali, kuanggap ini hanya rasa sentimentalku saja. Tapi setelah kuteruskan membaca, ternyata memang puisi-puisimu memang telah menemukan bahasanya sendiri.
Aku seperti terjebak dalam pusara kata yang tak habis-habisnya. Dan pembicaraan puisi-puisimu bukan sekadar ruang kehidupan sehari-hari, melainkan ia terlontar dengan kenyal layaknya sebuah bola yang ditendang ke sana-kemari. Agaknya, anggapan tentang penyair sebagai penemu bahasa ada benarnya. Puisi yang cerdas membutuhkan kompleksitas yang panjang. Puisi itu meramu seluruh babak kehidupan manusia, menyingkap setiap permenungan yang tumbuh.
Bung Joko Pinurbo, atau layak kupanggil Mas saja? Sebab kutahu engkau kelahiran Sukabumi, seorang Sunda yang gemar merayakan kehalusan bahasanya. Oke, aku tak ingin bertele-tele dengan menulis lebih banyak lagi. Pelbagai ulasan tentang (puisi-puisi)mu telah ramai menghiasi media massa. Sebut saja Nirwan Dewanto (yang katanya saat ini bertindak sebagai juru penentu perkembangan sastra Indonesia mutakhir), Nirwan Ahmad Arsuka, Sapardi Djoko Damono, pun Ayu Utami pada kata penutup kumpulan puisi terbarumu. Semuanya mengakui tertarik pada puisimu, seakan-akan serempak menahbiskan dirimu sebagai penyair yang sederhana, gemar memancing kata, dan akrab dalam realita kesehariaan.
Sebagaimana kau menulis begini:
Penyair kecil itu sangat sibuk
merangkai kata
dan dengan berbagai cara menyusunnya
menjadi
sebuah rumah yang akan
dipersembahkan kepada ibunya
"Kita belum punya rumah kan, Bu. Nah,
Ibu tidur
saja di dalam rumah buatanku.
Aku akan berjaga di teras
semalaman dan semuanya akan
aman-aman saja.
Persoalan penantian memang kerap hadir dalam puisi-puisimu. Penampakan realitas yang dibalut dinding keceriaan, dicampur dengan alur sedih-yang tetap kautulis dengan rasa bahagia. Aku pikir, itulah yang "berbunyi" dalam puisi-puisimu. Kepolosan dalam menampakkan carut-marut hidup menciptakan sebuah bingkai yang kokoh. Kerinduan seseorang terhadap keluarga, efek masa kecil yang terus terkenang (dalam beberapa puisi yang bertema celana), atau perjuangan kemanusiaan yang kaurekam terhadap berbagai kondisi mutakhir. Katakanlah terhadap tragedi Mei di Jakarta, yang mengingatkan kita pada perkosaan massa terhadap sebuah etnis tertentu. Simak saja puisi "Mei":
MEI
Jakarta, 1998
Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kaupersembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan melelh
dalam api, Mei
adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan tubuh dusta kami dengan
membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia
cintanya
ketika tubuhmu hancur dan lebur
dengan tubuh bumi;
ketika tak ada yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.
(2002)
Puisi yang sepenuhnya nyentrik. Di sini, gaya khas dirimu bermain dalam menyusun setiap kalimat. Semangat bermain, yang sekali lagi tak bermain-main. Sebagaimana diketahui penyair merupakan anggota masyarakat terbesar juga. Dalam kesehariannya penyair bergulat dengan kehidupan sehari-hari. Ia tentulah menghadirkan upaya-upaya baru dengan membalut sejarah (fakta) menjadi tak begitu kentara. Lebih menyortir sisi batin kehidupan manusia. Sebagai penyaksi zaman, seperti yang diungkap Ronggowarsito-semestinya kita tak turut edan juga dalam menyikapinya.
Tentang Alex R. Nainggolan
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku dimuat di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, dll. ***
(Suara Karya Online, Sabtu, 4 November 2006)
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo

Religiositas Sehari-hari
(Koran Tempo, Selasa, 10 Oktober 2006)
TEMPO Interaktif, Jakarta: Kibaran kain merah, putih, dan hijau dari jubah milik tiga penari darwis seakan menjadi api yang membara di atas panggung. Diiringi lantunan kata-kata pujian kepada Sang Khalik dalam dentuman nada disko, ketiga penari dari Yayasan Haqqani Indonesia itu berputar-putar pada satu titik, dengan wajah dan tangan tengadah.
Tarian yang diperkenalkan penyair sekaligus sufi termasyhur asal Persia, Jalaludin Rumi, ini disambut gemuruh tepuk tangan hadirin yang memenuhi ruang Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat malam lalu. Tarian ini menjadi bagian penting dalam acara Tadarus Puisi 1427 Hijriah yang diselenggarakan setiap tahun oleh Dewan Kesenian Jakarta.
"Ini merupakan upaya kami untuk menunjukkan bahwa nuansa religius tidak hanya melalui sastra, tapi juga dengan tarian," kata Ketua Komite Sastra DKJ Zen Hae kepada Tempo seusai acara.
Kali ini, acara tahunan tersebut diberi tajuk "Takbir Para Penyair", sesuai dengan judul salah satu puisi milik penyair Sitok Srengenge yang menjadi penutup acara malam tersebut. Acara kali ini cukup unik. Bila selama ini acara tadarus puisi selalu menampilkan puisi-puisi religius dari penyair muslim Tanah Air, kali ini Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta memilih empat penyair lintas agama untuk membacakan karya religius mereka. Langkah ini tak hanya sebagai upaya memperlihatkan beragamnya puisi religius dalam sastra Indonesia. "Penampilan para penyair lintas iman ini diharapkan dapat memberi rangsangan toleransi dalam perbedaan," ujar Zen.
Keempat penyair yang tampil malam itu adalah Saut Situmorang asal Yogyakarta, yang mewakili umat Kristen Protestan, dan Ida Ayu Oka Suwati Sideman asal Mataram yang mewakili umat Hindu. Dari Yogyakarta tampil pula Joko Pinurbo yang Katolik dan Sitok Srengenge asal Depok yang mewakili Islam. Keempat penyair tersebut, Zen melanjutkan, dipilih berdasarkan pertimbangan usia yang masih cukup muda serta tingkat produktivitas yang tinggi dalam berkarya.
Pembacaan puisi dibuka Saut dengan sebuah puisi berbahasa Inggris. Panggung lengang tanpa kehadiran Saut. Hanya suaranya yang menggema mengisi kehampaan itu. Penyair alumnus Victoria University of Wellington dan University of Auckland ini membawakan enam puisi beraroma religius, seperti Saut Kecil Bicara dengan Tuhan, Ziarah Incest, dan Karaoke Setan. Meski tampil slengekan dengan kaus dan celana bermuda warna cokelat, Saut mampu membawa kedalaman religius kepada hadirin.
Sementara itu, satu-satunya penyair perempuan yang tampil malam itu, Oka Suwati, membawakan dua puisi bertajuk Sinta dan Salya. Puisi bertajuk Salya karya alumnus International Master Programme Ijselan, Denver, Belanda, ini pernah memenangi Sanggar Minum Kopi Award pada 1992. Oka malam itu tampil dalam balutan busana tunik dan kerudung warna putih gading. Sedangkan penyair yang mewakili umat muslim, Sitok Srengenge, membawakan tiga buah puisi diiringi tarian darwis.
Namun, penampilan Joko Pinurbolah yang malam itu memperoleh sambutan paling hangat dari penonton. Sebelum tampil, penyair peraih berbagai penghargaan, termasuk Hadiah Lontar Sastra 2001 dan Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2005, ini mengaku tak tahu banyak tentang puisi religius. "Tapi setahu saya puisi-puisi saya religius," katanya disambut derai tawa penonton.
Tawa itu kemudian segera menguap berganti menjadi sedu-sedan dan isak tertahan, saat Joko mulai membacakan lima karyanya dalam logat Jawa yang kental. Puisi pertama bertajuk Penumpang Terakhir, yang bertutur tentang tukang becak yang akhirnya mangkat di atas kendaraannya sendiri. Puisi kedua berjudul Sehabis Sembahyang, yang merupakan refleksi kegusaran Joko pada program bantuan langsung tunai untuk masyarakat miskin.
"Puisi-puisi religius yang saya bacakan kali ini berkenaan dengan konteks puasa menjelang Lebaran. Karena itu, saya banyak mengangkat tema tentang kehidupan masyarakat kecil. Kehidupan mereka bisa menjadi refleksi agar kita berempati," kata Joko kepada Tempo. Tepatnya, Joko melanjutkan, sebuah refleksi religiositas sehari-hari.
SITA PLANASARI A.
TEMPO Interaktif, Jakarta: Kibaran kain merah, putih, dan hijau dari jubah milik tiga penari darwis seakan menjadi api yang membara di atas panggung. Diiringi lantunan kata-kata pujian kepada Sang Khalik dalam dentuman nada disko, ketiga penari dari Yayasan Haqqani Indonesia itu berputar-putar pada satu titik, dengan wajah dan tangan tengadah.
Tarian yang diperkenalkan penyair sekaligus sufi termasyhur asal Persia, Jalaludin Rumi, ini disambut gemuruh tepuk tangan hadirin yang memenuhi ruang Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat malam lalu. Tarian ini menjadi bagian penting dalam acara Tadarus Puisi 1427 Hijriah yang diselenggarakan setiap tahun oleh Dewan Kesenian Jakarta.
"Ini merupakan upaya kami untuk menunjukkan bahwa nuansa religius tidak hanya melalui sastra, tapi juga dengan tarian," kata Ketua Komite Sastra DKJ Zen Hae kepada Tempo seusai acara.
Kali ini, acara tahunan tersebut diberi tajuk "Takbir Para Penyair", sesuai dengan judul salah satu puisi milik penyair Sitok Srengenge yang menjadi penutup acara malam tersebut. Acara kali ini cukup unik. Bila selama ini acara tadarus puisi selalu menampilkan puisi-puisi religius dari penyair muslim Tanah Air, kali ini Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta memilih empat penyair lintas agama untuk membacakan karya religius mereka. Langkah ini tak hanya sebagai upaya memperlihatkan beragamnya puisi religius dalam sastra Indonesia. "Penampilan para penyair lintas iman ini diharapkan dapat memberi rangsangan toleransi dalam perbedaan," ujar Zen.
Keempat penyair yang tampil malam itu adalah Saut Situmorang asal Yogyakarta, yang mewakili umat Kristen Protestan, dan Ida Ayu Oka Suwati Sideman asal Mataram yang mewakili umat Hindu. Dari Yogyakarta tampil pula Joko Pinurbo yang Katolik dan Sitok Srengenge asal Depok yang mewakili Islam. Keempat penyair tersebut, Zen melanjutkan, dipilih berdasarkan pertimbangan usia yang masih cukup muda serta tingkat produktivitas yang tinggi dalam berkarya.
Pembacaan puisi dibuka Saut dengan sebuah puisi berbahasa Inggris. Panggung lengang tanpa kehadiran Saut. Hanya suaranya yang menggema mengisi kehampaan itu. Penyair alumnus Victoria University of Wellington dan University of Auckland ini membawakan enam puisi beraroma religius, seperti Saut Kecil Bicara dengan Tuhan, Ziarah Incest, dan Karaoke Setan. Meski tampil slengekan dengan kaus dan celana bermuda warna cokelat, Saut mampu membawa kedalaman religius kepada hadirin.
Sementara itu, satu-satunya penyair perempuan yang tampil malam itu, Oka Suwati, membawakan dua puisi bertajuk Sinta dan Salya. Puisi bertajuk Salya karya alumnus International Master Programme Ijselan, Denver, Belanda, ini pernah memenangi Sanggar Minum Kopi Award pada 1992. Oka malam itu tampil dalam balutan busana tunik dan kerudung warna putih gading. Sedangkan penyair yang mewakili umat muslim, Sitok Srengenge, membawakan tiga buah puisi diiringi tarian darwis.
Namun, penampilan Joko Pinurbolah yang malam itu memperoleh sambutan paling hangat dari penonton. Sebelum tampil, penyair peraih berbagai penghargaan, termasuk Hadiah Lontar Sastra 2001 dan Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2005, ini mengaku tak tahu banyak tentang puisi religius. "Tapi setahu saya puisi-puisi saya religius," katanya disambut derai tawa penonton.
Tawa itu kemudian segera menguap berganti menjadi sedu-sedan dan isak tertahan, saat Joko mulai membacakan lima karyanya dalam logat Jawa yang kental. Puisi pertama bertajuk Penumpang Terakhir, yang bertutur tentang tukang becak yang akhirnya mangkat di atas kendaraannya sendiri. Puisi kedua berjudul Sehabis Sembahyang, yang merupakan refleksi kegusaran Joko pada program bantuan langsung tunai untuk masyarakat miskin.
"Puisi-puisi religius yang saya bacakan kali ini berkenaan dengan konteks puasa menjelang Lebaran. Karena itu, saya banyak mengangkat tema tentang kehidupan masyarakat kecil. Kehidupan mereka bisa menjadi refleksi agar kita berempati," kata Joko kepada Tempo. Tepatnya, Joko melanjutkan, sebuah refleksi religiositas sehari-hari.
SITA PLANASARI A.
:: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi -
Joko Pinurbo

Langganan:
Postingan (Atom)