Ironi

LEWAT majas, bahasa kiasan, puisi terbiasa menautkan ranah-ranah pengalaman yang sering tampak berjauhan. Di dalamnya kita bisa mengalami sebentang tamasya dunia dengan anasir yang beragam, kadang saling berlawanan, namun bersahut-sahutan; kita menghadapi keserbamungkinan.

AMIR Hamzah, kita tahu, gemar memerikan kerinduan dan rasa penasaran akan Tuhan dalam kata-kata yang seakan bergerak dan bergetar ke arah lain: Engkau pelik menarik ingin/ Serupa dara di balik tirai; atau, Engkau cemburu/ Engkau ganas/ Mangsa aku dalam cakarmu/ Bertukar tangkap dengan lepas. Walt Whitman mendaftar dan merayakan manusia, debu, lembu, rumput, tikus, lokomotif, kapal, kamera, dewa, bintang, dan sebagainya, sebagai para anggota yang lemah tetapi juga kuat di alam semesta. Omar Khayyam kerap melukiskan kefanaan dan kerentanan hidup dalam rangkaian citra yang intim seperti anggur, cawan, lampu, pena, papan catur, dan taman karavan yang marak di tengah maha kelam yang luas dan dalam.

Majas membuat orang sadar bahwa ia hidup sebagai tubuh dan jiwa, nama dan makna, di sebuah jagat yang nyata sekaligus niskala, yang unsur-unsurnya saling berhubungan. Hubungan-hubungan yang lebih sering laten: karena itulah puisi mampu mengejutkan kita dari waktu ke waktu, dengan menemukan atau membangun jembatan kiasan yang memperjodohkan satu dan lain hal yang semula tak tampak punya kaitan. Maka, ketika kita sudah lama kehilangan rasa takjub terhadap kiasan mati semacam "matahari", "bulan sabit", "ibu jari", "jari manis", "tahilalat", "cinta monyet", … kita pun kemudian bertemu dengan, sebutlah, "baju bulan" (Joko Pinurbo), "bulan limau retak" (Rendra), "desir hari lari berenang" (Chairil Anwar), "hari terus rontok dari pohon abadi" (Subagio Sastrowardoyo).

Dalam puisi (juga sastra pada umumnya) kita memang bertemu dengan rangkaian kiasan, tetapi sesungguhnya kita bergerak di sebidang lapangan bernama ironi. Di sanalah kita bisa belajar tentang jarak antara kata dan dunia. Pelbagai hal tak terduga bisa terjadi: kearifan bertopeng kebodohan, atau sebaliknya, tata yang muncul dari gebalau, dan seterusnya. Sebuah karya barangkali bergerak seperti Sokrates yang senantiasa tampil sebagai sosok yang tak tahu dan senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada lawan bicaranya (si pembaca) agar terus mencari dan mengolah pengertian yang lebih dalam tentang diri dan dunia yang dialaminya.

Memahami ironi berarti menangkap apa yang dikatakan dan tak dikatakan. Mengutarakan ironi berarti merengkuh posisi-posisi yang berlawanan sekaligus secara bersamaan. Mengatakan Z sambil memaksudkan N, atau N sekaligus Z, mengawinkan keduanya, seraya mengambil jarak dari masing-masing. Mengutarakan ironi berarti tidak menyampaikan sesuatu secara langsung melainkan menciptakan sebuah versi, sebuah rentang, sebuah ruang. Ini membutuhkan dan membangkitkan imajinasi. Peran pembaca dalam memetik dan memasak makna tentu menjadi niscaya. Dan, bisa saja, proses itu melewati rute-rute yang tampak jauh dari apa yang biasa disebut akal waras. Ia bisa tampak bersungguh-sungguh sekaligus bermain-main. Ia bisa tampak khusyuk sekaligus kurang ajar.

Ironi dan dusta sama-sama mengatakan kebalikan, atau sesuatu yang lain, dari ungkapan yang berterus terang. Bahwa sesuatu yang dinyatakan, yang harfiah, bukanlah yang sebenarnya. Tetapi ada perbedaan mendasar. Dusta menjadi efektif jika pihak lain tidak tahu apa yang sebenarnya. Ironi justru menjadi efektif jika pihak lain mafhum apa yang sebenarnya (dimaksudkan): sesuatu yang berada di ruang lain, bahkan mungkin terus bergerak ke ruang-ruang lain, seluas cakrawala masing-masing orang. Pembacaan (dan pembacaan adalah juga penulisan, yakni pembubuhan tafsir oleh pembaca) dengan demikian menjadi proses yang berjalan tak henti-hentinya.

Di sini kita bisa melihat bahwa karya sastra, atau seni pada umumnya, sesungguhnya bukanlah bekerja dengan dusta (seperti sering dikatakan tentangnya) melainkan bermain dengan ironi dalam arti yang luas. Sebab pada dasarnya pihak pencipta maupun penikmat sama-sama sadar akan "sesuatu yang lain" yang juga disaran dalam ungkapan demi ungkapan. Sebab itu apa yang disebut kejujuran dalam karya sastra bisa datang dengan seribu satu wajah: ekspresi-ekspresi bahasa yang mengajak orang menatap dunia dengan lebih tajam, lebih intens, dan menghadirkan pemandangan-pemandangan baru yang lebih hidup. Yang harfiah, apa boleh buat, hanyalah salah satu pilihan-dan jangan-jangan pilihan yang menjemukan-dalam pengutaraan makna.

HASIF AMINI
Bentara-Kompas, Rabu, 7 Juli 2004