“Surga Kecil” Jokpin

Nirwan Ahmad Arsuka

Di sepanjang jaman, puisi adalah beberapa di antara barang yang tak pernah surut produksinya, paling tidak di Indonesia. Di era krisis, pasokan puisi bukannya ikut surut, tapi malah mungkin meningkat. Yang pasti, redaktur rubrik puisi di media cetak – setidaknya di Bentara KOMPAS – selalu kewalahan menerima kiriman sajak yang melimpah ruah. Kendati nyaris semua penduduk negeri ini sepertinya bisa membuat puisi, namun puisi yang benar-benar bisa meninggalkan torehan yang dalam, parut yang tak gampang hilang, adalah barang langka yang jarang ditemui.

Setahun yang lalu, saya membaca beberapa barang langka itu dalam sebuah newsletter yang diterbitkan oleh sekelompok anak muda di Yogya. Di sana antara lain tercantum beberapa puisi Joko Pinurbo yang diambil dari kumpulan “Pacarkecilku” (IndonesiaTera: Magelang, 2002). Salah satu dari puisi-puisi itu, misalnya, bertajuk “Mudik”. Membaca bait-bait awal puisi ini, saya tersenyum, bahkan tertawa membayangkan suasana rumah ketika “Hei, bajingan kita pulang!” Di sana ada disebut “Ibu sedang memasang senja di jendela. Kakek sedang Menggelar hujan di beranda”, sementara “Nenek sedang meninggal dunia”. Ada yang kocak di sana, di antara diksi, aforisme dan imaji yang tidak umum dan membangkitkan sejumlah asosiasi, dan karena itu menarik. Tetapi seusai membaca bait terakhir, tawa saya hilang diganti oleh sejenis keharuan yang sulit dirumuskan. Saya ingat, saya berusaha untuk tidak menjadi cengeng dan sentimentil. Tetapi pertahanan saya jebol, ketika usai membaca puisi lainnya yang bertajuk “Penumpang Terakhir”, puisi yang dipersembahkan kepada sastrawan Joni Ariadinata yang pernah jadi tukang becak itu. Puisi itu membuat mata saya berkabut, mungkin berembun, dan sesaat kemudian, setelah tubuh saya agak sedikit merinding dan pikiran terbang ke mana-mana, saya pun terseret ke sebaris kalimat yang konon berasal dari Boris Pasternak: poetry is a rich, full-bodied whistle, cracked ice crunching in pails, the night that numbs the leaf, the duel of two nightingales, the sweet pea that has run wild, Creation's tears in shoulder blades.

Sejak itu saya membaca kembali dengan agak lebih seksama puisi-puisi Jokpin yang dulu saya temui secara sporadis. Seperti halnya mereka yang komentar dan pengantarnya menemani buku-buku kumpulan puisi Jokpin, saya pun menemukan sejumlah hal di sana. Salah satu yang paling membekas di antara temuan itu, adalah hubungan yang ajaib antara seorang “bocah” dengan celananya. Pada Memo Celana, misalnya, yang juga tercantum dalam Kumpulan “Pacarkecilku”, tokoh kita berucap “Sampaikan salam rindu saya kepadanya”, kepada “celana kesayangan yang tertinggal di jemuran.”

Kadang, tengah malam, sambil mengigau kau ngeloyor
Ke halaman belakang tanpa celana, ingin mencoba bagaimana
Rasanya tergantung di tali jemuran, sendirian dan kehujanan.


(Sajak “Memo Celana”)

Dalam pengantarnya untuk kumpulan “Di Bawah Kibaran Sarung” (IndonesiaTera: Magelang, 2001), Ignas Kleden memumpunkan perhatiannya pada permenungan Jokpin terhadap tubuh manusia yang ia lihat begitu obsesif, dan sangat mungkin tak ada tandingannya di antara penyair-penyair dalam sastra Indonesia modern. Ketimbang permenungannya atas tubuh, saya justeru lebih terhanyut oleh meditasi Jokpin atas benda “penutup” tubuh. Dalam sajak-sajak Jokpin tentang celana, yang kita temui di sana bukanlah sekedar celana yang enak dipakai, atau yang telah terbang ke langit-langit kenangan. Yang hadir di sana adalah celana yang menjelma menjadi “makhluk hidup” yang sangat penting bagi si tokoh dalam upayanya menjadi Manusia. Hubungan yang terbangun antara si tokoh dan celana, adalah hubungan yang begitu intim dan eksistensial, hubungan yang hanya mungkin lahir dari satu takaran tertentu kekecewaan terhadap manusia, dari kegagapan membangun komunikasi yang “sip” dengan sesama manusia, termasuk dengan diri sendiri. Celana yang menjelma jadi sahabat yang alangkah dekat itu, yang tak pernah berdusta dan menghakimi, menjadi tempat kepada siapa si tokoh berbagi bukan hanya kabar gembira, tapi juga nasib sial.

Jokpin bahkan menghadirkan celana sedemikian rupa sehingga membuat orang bisa terseret mengingat salah satu mitologi terpenting agama-agama Ibrahim, yakni mitologi purba jadi manusia. Dalam mitologi purba itu, kita tahu, Adam menjadi manusia pertama dan harus meninggalkan taman Eden untuk memulai sebuah kehidupan yang sama sekali baru dalam kosmos, dan itu semua diawali dengan tindakan penting meletakkan sepotong daun di auratnya. Ringkasnya, jika dalam kosmologi monotheis daun penutup aurat yang membantu Adam dan Hawa jadi Manusia., maka dalam sajak-sajak Jokpin yang dibayangi sekaligus oleh mitologi Ibrahim dan kosmologi Jawa tradisional itu, secarik jeans membantu seorang bocah melepaskan diri dari posisinya sebagai bocah kecil, menjadi seorang lanang, dengan segala previlese dan konsekwensinya.

Pada kumpulan ”Telepon Genggam” ini, kita memang tak lagi menemukan sensasi ajaib yang bisa membuat mata berembun. Yang tetap kita temukan adalah imaji dengan tokoh-tokoh yang masih kesulitan membangun komunikasi dalam usahanya menjadi Orang. Jika pada kumpulan terdahulu, celana membantu seorang bocah menjadi lelaki, maka telepon genggam, juga teknologi internet, membantu pemiliknya menjadi seorang manusia modern. Tetapi ketidak-mampuan membangun hubungan yang tak beronak dengan manusia dan dunia lain, tetap saja menyertai tokoh kita, dan ketika telepon genggamnya tetap mengelak membantunya, ia kembali ke masa silamnya yang sesungguhnya juga beronak.

Mungkin ia melihat seorang anak lelaki kecil pulang dari main layang-layang di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan. Hanya ada seorang anak perempuan kecil, dengan raut rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu. Seperti saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu.

(Sajak “Telepon Genggam”)

Selain tetap menjadi penyair yang menertawai “aku”, seperti yang sudah disinggung Nirwan Dewanto, atau terus memainkan bunyi, repetisi, perspektif dan struktur untuk menggelar parodi terhadap sejumlah empu puisi dan bahkan terhadap puisi itu sendiri, Jokpin juga tetap memain-mainkan ketelanjangan dan penutupnya. Ada banyak gugus pengertian yang terus disodorkan Jokpin berkaitan dengan ketelanjangan ini, mulai dari kemurnian bocah dan kerentanannya, hingga ke sebentuk kerinduan kembali ke waktu asal-muasal di masa silam: bersatu kembali dengan sesuatu yang belum dirusak dunia.

Masa kecil seperti penjaga malam yang setia. Ia yang
membuka dan menutup pintu setiap kau masuk dan
keluar kamar mandi. Sementara kau sibuk mandi, ia
duduk manis di sudut sepi, membaca cerita bergambar
sambil ketawa-ketawa sendiri.


(Sajak “Masa Kecil”)

Adapun penutup ketelanjangan yang juga menjadi ekstensi dari diri sang tokoh, baik itu berupa celana, jas atau telepon genggam, juga terus digarap untuk menyarankan banyak hal, mulai dari ketololan dan hilangnya kemurnian manusia, hingga ke sesuatu yang berkaitan dengan gerak maju ke masa depan untuk berselingkuh dengan dunia, untuk bertaut dengan manusia.

Di pesta pernikahan temannya ia berkenalan dengan
perempuan yang kebetulan menghampirinya. Mata
mengincar mata, merangkum ruang. Rasanya kita pernah
bertemu. Di mana ya? Kapan ya? Mata: kristal waktu
yang tembus pandang.

Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-
debar, bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke
telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya.
Sungguh lho. Awas kalau tidak.


(Sajak “Telepon Genggam”)

Tapi, khas Jokpin, kerinduan pada masa sebelum “kejatuhan” itu, pada masa kecil yang setia seperti penjaga malam, dan dorongan (atau tarikan?) untuk melebur maju dengan dunia, semuanya dengan serius, bahkan eksesif, ia main-mainkan; dan sampai batas tertentu, ia juga dipermainkan oleh mereka, digelandang bolak-balik.
Seperti halnya celana yang bisa membuat tokoh kita tampak gagah, untuk kemudian menjadi bahan tertawaan menyakitkan sang pacar yang lebih tertarik pada apa yang ditutup oleh celana itu, telepon genggam pun yang semestinya bisa membebaskan tokoh kita dan mendorongnya ke masa depan, malah justeru bisa membelenggunya dengan sepi dan menyeretnya kembali ke masa silam yang rawan dan perih.

Adzan subuh berkumandang. Penuh hujan. Ia buka
telepon genggam. Tumben, ayah kirim pesan. Ibu sakit.
Kangen berat. Nenek sudah tiga hari hilang. Makam
kakek belum sempat dibersihkan. Sarung ayah dicuri
orang. Utang stabil. Pohon nangka di samping rumah
tumbang. Bisa pulang? Bisa minta ijin telepon genggam?

Pesan berakhir. Musik. Telepon genggam menyanyikan
The Beatles: Mother….


(Sajak “PanggilanPulang”)

Dunia luar yang hendak dijangkau, entah dengan celana, telepon genggam, e-mail atau sebuah permintaan otograf, memang sering menyahut, atau tidak menyahut, dengan cara yang bisa menggoreskan luka bahkan menghancurkan mental. Telepon genggam pun tak hanya ditidurkan di kuburan, lalu dibuang ke laut (Sajak “Selamat Tinggal”). Tokoh kita kemudian masuk berlindung ke dalam dirinya sendiri, ke kenangan masa kecilnya, ke buku-buku dan sajak-sajaknya. Di sana ia bukan saja bisa bermain-main dengan bebas, ia pun bisa mencipta dengan leluasa: merakit kata-kata menjadi sebuah surga kecil, melakukan perhitungan kembali dengan dunia, luar dan dalam.

Mungkin sudah menjadi suratan nasib saya, ketika saya
hendak menyodorkan buku novelnya dan minta tanda
tangannya, perempuan itu seakan-akan tidak mengenal
saya, bahkan menjauh menghindari saya. Entah
mengapa tiba-tiba saya merasa sangat nelangsa. Dan,
sebagaimana tersabdakan dalam sajak Sapardi, malam
itu saya ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk
sepanjang lorong yang gelap. Saya ingin malam itu hujan
turun rintik-rintik dan lorong sepi agar saya bisa
berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang
bertanya kenapa.


(Sajak “Lelaki Tanpa Celana”)

Sudah saatnya kata-kata yang mandul kita hamili; yang
pesolek ngapain dicolek, toh lama-lama kehabisan
molek. Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi
birahi. Supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh
dan berbuah lagi.


(Sajak “Sudah Saatnya”)

Yang memang terasa berubah dan menganggu pada Jokpin di kumpulan ini adalah semangat bermainnya yang agak kelewatan. Penyair kita menjadi agak terlalu tekun mengembangbiakkan kata. Kata-kata pun melimpah, membuat sesak ruang teks sehingga tak banyak lagi tersisa ruang kosong dan lapang yang bisa menampung dan melepaskan imajinasi pembaca. Kata-kata yang membanjir, membuat becek dataran puitik yang hendak dijelajahi, dan kita terpaksa berjinjit, mencari tumpuan frase dan diksi yang menonjol di antara genangan kata yang banyak muncul. Mungkin kita tak lagi bisa menari dengan bebas, tapi kita tetap bisa melangkah sampai akhir tanpa terjatuh dalam kubangan kata-kata. Kita memang akan lebih jarang menamatkan sebuah sajak lalu tercenung lama setelah tadinya ketawa sendiri, merasakan betapa puisi itu menjadi semacam cermin besar atau gerbang cahaya, menghayati sejenis iluminasi dan revelasi yang rekah. Kita tak lagi kena teluh pusi yang benar-benar kuat, yang begitu kuat sehingga mampu untuk sesaat melenyapkan ruang dan waktu, dan kita “tidak tahu pasti apakah sedang berada di masa lalu, masa depan atau masa kini.” (Sajak “Sudah Saatnya”).

Namun demikian, kumpulan puisi ini jelas masih memungkinkan kita mengenang banyak serpihan imaji yang berharga. Misalnya, tentang ibu yang tabah yang sehari-hari berjualan awalan ber; tentang kecantikan yang belum selesai dijarah; tentang surga yang berisi hal-hal sederhana: naik ojek keliling kota, bersenang-senang menikmati tabungan; tentang mataair airmata yang ditanam di ladang-ladang karang; atau tentang gerimis siang yang seperti ribuan morfem dan fonem bertaburan dari pohon waktu yang tak pernah mati, membasahi rambut perak sang guru sastra yang goyah kelaparan, dengan perut yang kembung oleh angin, oleh imaji dan diksi.

Walau dengan kecenderungan main-main yang lumayan boros, kumpulan sajak “Telepon Genggam” ini masih bisa mengukuhkan diri Jokpin sebagai salah satu penyair terbaik di angkatannya. Kumpulan ini juga masih menyisakan ruang bagi harapan untuk menandaskan bahwa puisi memang adalah bentuk tertinggi dunia tulis. Dan kendati “kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan mereka harus pergi cari kerja sendiri” (Sajak “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”), kita masih merasakan kerinduan untuk melihat bahwa puisi memang punya daya tenung, yang mampu menerobos hati dan benak dengan cara yang bukan penyair hanya bisa memimpikannya.

Jkt, Mei 2003

(Dimuat dalam Telepon Genggam, kumpulan puisi Joko Pinurbo. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003)