Pinurbo dan Dinar

SETIAP akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?

Sajak-sajak ditulis dari segala penjuru: sebagian besar hendak mendedahkan sunyi, muram, duka, dan maut, sering kali diberat-beratkan. Kesengajaan untuk berbeda dari bahasa sehari-hari? Tidak. Para penyair muda usia itu masih menulis puisi-emosi (ya, istilah ini pernah dipakai Asrul Sani setengah abad lampau). Seakan masih di zaman romantik, mereka berburu lambang segila-gilanya, tanpa kontrol-diri. Amat tipis keterampilan mereka mengolah bangun dan metafor. Sajak-sajak mereka seperti gampang ambruk, lantaran pelbagai anasirnya tak saling menopang. Ketimbang menguasai bahasa, apalagi mencari ungkapan baru, mereka terpenjara kosa-kata dan kosa-bentuk para pendahulu mereka.

Tentulah aneh kalau puisi tak merupakan puncak kesanggupan berbahasa. Namun begitulah kenyataannya. Mayoritas puisi kita abstrak dalam arti negatif: tidak sanggup menangkap apa yang konkret, yang dekat dengan nafsu dan daging, justru lantaran mengabaikan intelek dan keperajinan. Puisi yang tak sanggup menyegarkan bahasa. Bila penyair tidak lebih baik ketimbang pemamah biak atau pembuat kemubaziran, tidakkah lebih baik kita menyesali puisi? Untunglah kita masih bisa membaca para penyair cemerlang terdahulu, yang terus memberikan tenaga pada bahasa kita. Sebagian masih giat di gelanggang, bahkan terus memperbarui diri. Lebih penting lagi, masih ada Joko Pinurbo dengan kumpulan sajak Pacarkecilku terbitan Indonesiatera.

Penyair kelahiran 1962 ini adalah antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes. Ia berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik, sementara kebanyakan penyair hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas) dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika. Ia menertawai "aku" yang dalam puisi lirik kita sering didramatisasi demi apa yang disebut puisi suasana. Namun humor dan main-main dalam Pinurbo tidaklah murahan seperti dalam puisi mbeling, misalnya, tapi berwatak subversif, ibarat cibiran iblis bagi umat yang suka berpura-pura serius dan suci ini. Berbeda dengan puisi lirik yang mengejar abstraksi, puisi Pinurbo bercerita dengan gamblang, tapi dengan aforisme yang mengejutkan di sana-sini.

Pinurbo berkisah tentang, misalnya, penjual buah, penagih utang, penjual akik, orang ronda, dan perias jenazah, tapi itu bukanlah potret sosial, melainkan alegori terhadap sesuatu yang kita akrabi, misalnya kehidupan dalam rumah atau kampung, peristiwa sosial, atau kisah kitab suci. Dengan memainkan bunyi dan repetisi, terasa pula Pinurbo tengah melakukan parodi terhadap para penyair pendahulunya. Bila puisi Pinurbo sepintas-lalu tampak mudah, sesungguhnya ia tak pernah segampang (dan semiskin) puisi protes: bagaimanapun ia sedang menusuk intelek dan moralitas kita. Jika kita merasa mengerti puisi Pinurbo, kita dengan suka mengejar realitas apa lagi yang ada di sebaliknya, sebab si penyair "terus mengembangbiakkan kata" tapi belum mendapatkan "kata yang bisa mengucapkan kita." Bila ada kekurangan Pinurbo, itu adalah kalimatnya yang kurang tajam, repetisinya yang sering berlebihan, dan kosakatanya yang kurang kaya.

Tak terelakkan, kita juga membaca cerita pendek yang terbit pada sekian banyak koran edisi Minggu dan pelbagai bunga rampai. Tapi saya sering bertanya kenapa lautan cerita pendek itu mesti ditulis bila tak mampu menyajikan kisah yang lebih memukau ketimbang reportase dan lebih basah ketimbang antropologi atau sosiologi? Mungkin para pengarang itu sekadar menjalankan rutinitas, atau lebih mulia lagi: mereka hendak memberikan komentar sosial, dengan mendedahkan tokoh-tokoh yang terkena tindasan dan berjuang membebaskan diri darinya. Tapi bukankah para kolumnis dan cendekiawan sudah berseru lebih lantang?

Ada juga penulis cerita pendek yang bernafsu menggambarkan apa yang ajaib, yang fantastis, segala yang menyimpang dari hukum sosial dan sejarah. Barangkali inilah pengaruh realisme magis dari khazanah dunia, atau kelanjutan takhayul kuno yang kian hidup di masa kini (ingatlah tayangan sekian banyak kisah hantu di televisi kita). Namun, seperti para pembawa "komitmen sosial", mereka hanya mengolah tema secara mekanistik. Barang siapa sekadar memperalat kata, dia akan terbunuh oleh kata, demikianlah agaknya pendapat ini berlaku bagi sebagian prosawan kita. Ketimbang menyuguhkan dunia yang hidup mandiri, mereka lebih banyak menerangjelaskan. Kita sekadar bersiaga dengan setengah-hati meniti garis cerita ketimbang berkelindan asyik dengan pengalaman para tokoh.

Tapi kita adalah pembaca yang sopan dan toleran, sehingga kita sanggup menganggap indah dan perlu apa yang sesungguhnya sedang-sedang belaka. Sesekali kita tersadar: sastra dunia menyerbu negeri kita, juga dalam bentuk terjemahan yang bagus, seperti yang diedarkan oleh Yayasan Akubaca. Itulah kecemerlangan yang membuat sastra kita tampak kusam, kedodoran, dan bahkan rudin. Kecuali segelintir saja, para penulis kita tampaknya tak menyerap apa-apa dari sana. Cukuplah mengandalkan bakat alam atau menengok rekan sebangsa. Ah, terlalu gampang di sini si penulis beroleh pengakuan nasional.

Tapi jangan mengeluh, Saudara. Seorang pecandu sastra seperti saya tak akan lelah mencari sebatang-dua jarum dalam tumpukan jerami. Di antara tak kurang dari 115 buku kumpulan puisi, cerpen, dan novel yang terbit sepanjang 2002, saya menemukan novel Dinar Rahayu, Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch. Dengan heran-takjub saya menelisik bagaimana novelis-perempuan kelahiran 1971 ini begitu wajar menyajikan transeksualisme dan sadomasokisme. Dilucutinya selubung sehari-hari yang membuat kita orang paling hipokrit di dunia ini. Tapi kekuatannya bukan hanya itu. Dengan bahasa yang cerdas tapi sering dengan rumpang bisu di antara kalimat, ia juga mengocok waktu kejadian, menukar-nukar lingkungan masyarakat menengah-atas hari ini dengan dunia mitologi Skandinavia.

Saya tahu, novel terbitan Pustaka Jaya itu mengandung sejumlah kelemahan. Misalnya saja, trauma para tokoh begitu dahsyat, begitu dibuat-buat, sementara hubungan di antara mereka tampak serba kebetulan. Juga terasa canggung di sana-sini campuran antara puisi dan bahasa jalanan, seni tinggi dan budaya pop. Dan kenapa pula novel Dinar selesai di titik saat justru pergolakan mesti berlanjut? Namun bahwa bahasa dan tata novel adalah pantulan dari kegilaan tokoh-tokohnya, itulah yang membuat Dinar layak diperhitungkan sejak hari ini, lebih dari kebanyakan penulis yang telanjur dikenal.

Sementara Pinurbo masih mendapat sejumlah penghargaan dan didiskusikan di lingkungan sastra, tak ada pengulas dan dewan juri yang tertarik kepada Dinar. Ah, terlalu berlebihan pula jika saya berharap kritik sastra bangun dari tidurnya. Bahkan kini mendapat esai yang bagus pun hampir mustahil. Sebagian besar esai, termasuk kritik seni yang mana pun, hanyalah pameran keruwetan dan kekosongan pikir dalam jargon semu filsafat dan teori mutakhir. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa para "pemikir" sastra dan seni kita tak membaca dengan baik, tapi berpamer-pamer saja dengan mode yang sering sudah kedaluwarsa? Tiba-tiba kita bisa sedikit lega: dua-tiga esais berusia tua masih belum pensiun, bahkan lebih tangguh dari yang lebih muda.

Sesekali ada juga pertengkaran di surat kabar dan internet, misalnya tentang "sastra koran" atau "sastra cyber" sebagai jenis sastra baru, tentang kelayakan empat jilid antologi Horison Sastra Indonesia suntingan Taufiq Ismail dan kawan kawan, tentang kenapa seorang penulis baru bisa terangkat tinggi-tinggi, tentang bagaimana jaringan pusat menguasai daerah. Tapi, bila pertengkaran demikian disebut polemik, masya Allah, itulah tanda bahwa orang sastra sudah berhenti berpikir.

Anda akan menyebut saya seorang pesimis yang tengah mencibir harta sendiri, sastra Indonesia? Sesungguhnya sastra bukanlah bidang yang bergerak iseng sendiri. Segenap cacatnya hanyalah puncak gunung es dari kemerosotan berbahasa di lingkungan mana pun. Merosot berbahasa: artinya memudar pula kemampuan kita berimajinasi, bergulat, meneliti, mencatat, menilai, menguji, dan mencetuskan-diri. Yang lisan mengalahkan tulisan, basa-basi menaklukkan apa yang rasional. Bukankah kesedang-sedangan, ketakcemerlangan, adalah hasil terbaik dari kondisi demikian?

Joko Pinurbo dan Dinar Rahayu menghibur seraya melukai kita. Menghibur: membuat kita percaya bahwa sastra Indonesia masih punya nyala cipta yang cukup besar, bahwa kegiatan merakit kata-kata adalah sarana mendasar untuk memecah kebekuan pikir. Melukai: ya, bila selama ini kita hanya mampu berpura-pura bahagia, menyalakan optimisme palsu, keduanya adalah sepasang pisau yang bisa membedah ke dalam gelap jiwa kita.

Barangkali juga keduanya mutiara yang, meski kilaunya tak terang benar, mampu menyelamatkan saya dari gambar buram budaya tulis-menulis sepanjang 2002. Demikianlah setiap tahun kita hanya mendapat terlalu sedikit karya unggul lantaran begitu banyak penulis sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu, bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri. Namun marilah menyenangkan diri: bukankah puncak gunung hanya ada jika terbanding lembah dan dataran? Melalui Pinurbo dan Dinar, saya mampu melupakan mediokritas yang mengepung negeri saya. Tidakkah kini saya menjadi seorang optimis?

Nirwan Dewanto, Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam
TEMPO No. 44/XXXI 30 Desember 2002