Sih Award 2002 dan Puisi Indonesia

(Khazanah - Pikiran Rakyat, Kamis, 12 Desember 2002)

SIH Award 2002 akan dilaksanakan di Kota Bandung, tepatnya di CCF de Bandung, pada 15 Desember, pkl. 19.30 WIB, oleh Yayasan Puisi dan Yayasan Pengembangan Rupa Seni Indonesia (Studio Jeihan). Kelompok Actors Unlimited yang ditunjuk sebagai event-organizer telah menyiapkan serangkaian acara menarik dengan menam-pilkan pembacaan puisi oleh penyair Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Saini KM, Sapardi Djoko Damono, Remy Silado, tiga penyair terpilih, deklamator Yayat Hendayana, Remy Silado, Jajang C. Noer, serta Sarikat Keroncong dan musikalisasi puisi oleh Ferry Curtis. Untuk mengetahui lebih jauh tentang SIH Award, berikut ini petikan wawancara Fathul A. Husein dengan Prof. DR. Sapardi Djoko Damono sebagai salah-seorang pemrakarsa dan penanggung jawab acara tersebut.

Apa sebenarnya SIH Award itu?
Begini. Kami kan memunyai jurnal, Jurnal Puisi namanya, terbit triwulanan, yang memuat puisi dan segala sesuatu mengenai puisi. Kami sebenarnya tidak mampu menerbitkan itu, tapi dibantu oleh beberapa teman dari Yogya. Kemudian, karena kami tidak memunyai dana ya kami tidak bisa memberikan hadiah seperti radio, misalnya, ha, ha,ha....Kemudian kami pikir bagaimana kalau setiap tahunnya diberikan hadiah kepada para penyair yang sajaknya dimuat dan dianggap terbaik. Kebetulan Jeihan bersedia membantu di bidang itu. Lalu kami cari-cari nama ke sana ke mari dan akhirnya ya sudah deh yang itu saja, singkat, ya "Sih" Award. Sih itu 'kan dalam bahasa apa pun artinya bagus.

SIH Award memilih tiga penyair terbaik?
Tapi sebenarnya kalau memang jurinya menganggap tidak ada tiga ya tidak apa-apa. Sebenarnya begitu dan juri itu kami minta berpindah-pindah. Tahun lalu SIH Award pertama di Yogya, ya juri-jurinya juga teman-teman dari Yogya. Sekarang di Bandung, ya kami minta Pak Saini, Pak Ramadhan, dan Pak Toto untuk menjadi juri.

Para juri itu di luar dewan redaksi?
Ya, kami memang memunyai policy demikian. Para juri memang kami minta dan bukan anggota redaksi. Anggota redaksi tidak boleh campur tangan sama sekali.

Tentang Yayasan Puisi sendiri?
Yayasan Puisi itu anggaplah sebagai motornya, yang mencoba memberikan perhatian terhadap segala sesuatu yang ada kaitannya dengan puisi. Sebenarnya yang paling penting di Indonesia ini 'kan tidak ada jurnal khusus mengenai puisi. Puisi itu hanya dititip-titipkan saja, di media-media, bahkan di majalah-majalah kebudayaan pun sebetulnya sastra itu lebih banyak cerita-cerita pendek dan esei. Puisi itu hanya diberi tempat sedikit. Kadang-kadang diselip-selip kalau ada ruang kosong. Kami menganggap sudah waktunya menerbitkan sebuah jurnal yang khusus puisi. Saya tidak tahu mungkin dulu juga pernah ada, tapi menurut hemat saya ini mungkin satu-satunya, yang pertama. Moga-moga bisa berlangsung terus.

Seni-seni Indonesia yang lain pun barangkali sudah waktunya pula memunyai jurnal tersendiri?
Ya 'kan ada juga yang sesudah itu menerbitkan jurnal khusus cerpen di Yogya. Ada teman yang mengatakan bahwa ilhamnya itu dari Jurnal Puisi. Saya tidak tahu seberapa jauh, tapi ada. Tapi sebenarnya kalau jurnal cerpen pada tahun 50-an sudah ada. Yang ingin kami lakukan itu kegiatan penerbitan sebuah jurnal puisi yang berkelanjutan. Kami sangat mengharapkan bantuan dari berbagai pihak karena memang tidak ada uangnya jurnal puisi itu. Tapi saya pikir ini penting dan majalah seperti itu memang harus ditunjang oleh dana masyarakat karena tidak sama dengan majalah-majalah yang bisa dijual.

Arah penting yang hendak dituju?
Dengan adanya jurnal barangkali 'kan orang kemudian bisa memunyai semacam pegangan meskipun di tempat lain juga ada, tetapi kami ingin membuat warna yang khas, siapa tahu Jurnal Puisi kami itu nantinya bisa memberikan sumbangan kepada perkembangan puisi Indonesia. Tapi di samping itu juga sebenarnya tidak hanya penerbitan yang sudah kami lakukan, kami juga pernah merekam musikalisasi puisi yang beberapa lagunya katanya diputar di radio-radio swasta di Bandung, Yogya, Surabaya.

Sejauh ini fenomena perpuisian seperti apa yang bisa Anda amati melalui kaca mata Yayasan Puisi atau Jurnal Puisi?
Maksud kami itu sebenarnya untuk menjaring keinginan, kemauan, dan niat dari para penyair kita itu untuk berinovasi, menciptakan sesuatu yang baru, untuk membuat eksperimen di dalam puisi. Karena kalau tidak, puisi itu akan macet, berhenti di situ dan begitu-begitu saja. Kami menginginkan itu meskipun sekarang memang belum terasa betul. Misalnya yang memenangkan hadiah tahun lalu itu, Saudara Joko Pinurbo, memang memberikan warna yang sama sekali baru dalam puisi Indonesia. Kami mengharapkan itu terus terjadi setiap tahunnya sehingga Jurnal Puisi itu akan ya ditoleh oranglah, dilirik orang sebagai wadah bagi perkembangan puisi Indonesia mutakhir atau usaha untuk eksperimen perpuisian kita.

Selaras dengan keniscayaan tuntutan zaman yang selalu rindu pembaruan atau karena hakikat seni itu sendiri?
Saya kira yang terakhir itu yang betul. Hakikat seni itu memang harus begitu, pencaharian terus-menerus. Jadi tidak ada seni yang jalan di tempat. Jalan tapi di tempat, artinya kita terus menganjurkan karya seni, tapi tidak ada usaha untuk melakukan inovasi, pembaharuan, atau hal-hal yang eksperimentatif.

Dalam karya Joko Pinurbo, kebaruan apa yang bisa Anda cermati dibandingkan dengan karya-karya penyair sebelumnya?
Wah susah menjelaskannya, panjang lebar, tetapi saya kira memang dalam puisi-puisi yang dihasilkan Joko Pinurbo itu ada suatu usaha untuk mempergunakan, meminjam istilah Ignas kleden, "tubuh sebagai suatu alat ucap". Kalau dalam sajak saya, Goenawan, Taufik, Rendra, misalnya, itu 'kan alam yang dipergunakan sebagai alat ucap. Tapi kalau si Joko ini justru tubuh yang dipergunakan. Misalnya tangan atau..."burung", ha,ha, ha, dan segala sesuatu yang jadi anggota tubuh itu dieksploitasi sedemikian rupa sehingga menjadi alat ucap yang khusus.

Menandai semacam "gerakan" sastra apa kira-kira?
Bukan gerakan saya kira. Dia itu menggunakan suatu cara pengungkapan yang mungkin orang lain dulu tidak pernah mau mengembangkannya.

"Gerakan" semiotika tubuh 'kan sekarang sangat populer di kalangan para perupa, khususnya, yang kemudian tampil sebagai seniman performance?
Ya moga-moga sejalan. Cuma yang saya lihat dalam sastra ya Joko ini yang betul-betul memanfaatkan itu dengan sangat baik, artinya tidak sekadar bermain-main. Puisi Joko ini 'kan sebenarnya puisi yang sedikit banyak dipengaruhi oleh puisi mbeling, tetapi dia tidak sekadar mau melucu, dia mau menyatakan sesuatu yang sungguh-sungguh, yang dasar dalam kehidupan kita, dengan cara ya itu tadi menggunakan hal yang lucu sekali. Judulnya saja misalnya "Di Bawah Kibaran Sarung". Itu 'kan khas nuansa mbeling-nya, kuat, tetapi dia tidak sekadar mau mbeling saja. Ada nilai di situ.

Perbedaan penting puisi-puisi zaman Anda dengan generasi sekarang?
Ya perbedaan cara itu, penggunaan kosa kata, imaji, simbol, itu sudah berbeda jauh. Saya tidak bisa bikin puisi dalam gaya Joko Pinurbo yang mbeling itu, ha,ha...saya tidak akan mampu. Tapi Joko dengan angkatannya ini dengan tenang saja gitu. Misalnya Dorothea, perempuan penyair itu, dia berani sekali dengan masalah-masalah moral, seks, hubungan suami istri, itu diterjang begitu saja, sedangkan dulu tidak ada yang begitu. Ini sangat menyenangkan bagi saya.
Inilah yang harus ditampung oleh sebuah jurnal yang turut memikirkan puisi. Sebab kalau tidak, misalnya dilempar ke tempat-tempat lain, itu bisa ditolak karena jurnal-jurnal yang lain itu misalnya ada hubungannya dengan ideologi, agama, atau politik tertentu. Mudah-mudahan Jurnal Puisi ini tidak pernah begitu ya.

Pergolakan tematik mereka bagaimana?
Penyair-penyair muda itu sangat terbuka menggarap berbagai masalah mulai dari masalah sosial yang sangat ribut itu sampai masalah spiritual yang sangat dalam dan tajam yang dulu tidak pernah ditempuh. Kalau Chairil Anwar atau Rendra menulis seperti itu, 'kan berbeda sama sekali baik bahasanya maupun apa yang mau diungkapkannya. Jadi kalau Rendra dibandingkan dengan Joko Pinurbo atau Jeffrey Alkatiri misalnya, yang dulu memenangkan penulisan naskah puisi, itu lain sama sekali. Jeffrey menulis puisi dengan cara yang sangat unik. Joko juga, Dorothea juga atau Nenden Lilis. Masing-masing mereka punya ciri khas yang oleh kami-kami dulu itu tidak pernah diperhatikan. Mereka lebih luas dan lebih mendalam, tapi yang jelas ada kesinambungan antara berbagai generasi itu.

Ke depannya bagaimana langkah Yayasan Puisi itu?
Kami juga ingin mengumpulkan buku-buku puisi karena kami ingin yayasan kami memunyai koleksi buku puisi yang sangat lengkap dan kami sangat berterima kasih kalau para penyair sudi memberikan satu-dua eksemplar buku puisinya untuk kami simpan. Kami 'kan tidak memunyai dana, ha,ha,ha..., tapi saya siap menggunakan rumah saya untuk kegiatan itu nantinya.

Semacam museum puisi?
Ha,ha,ha....Ya mudah-mudahan ke depannya setelah saya dan teman-teman tidak ada. Itu bisa dilanjutkan oleh yang muda-muda.
Apakah spektrumnya akan diperluas tidak hanya puisi Indonesia?
Ya pokoknya mencakup puisi-puisi yang berbahasa Indonesia dan Melayu. Nanti pada nomor depan itu ada dua penyair dari Malaysia dan mereka berjanji akan mengirim lebih banyak lagi penyair dan puisinya. Juga nanti dari Singapura, dari daerah Patani (Thailand), dll.

Tantangan utama untuk mewujudkan keinginan Anda dan Yayasan Anda?
Tantangan satu-satunya sebetulnya ya dana. Kalau keinginan, luar biasa. Dalam hal ini kebetulan ada janji dari Jeihan untuk membantu menerbitkan puisi yang menang tiap tahunnya menjadi buku antologi, selain pemberian hadiah, lencana, dan plakat.

(Fhatul A. Husein)