"Celana Tidur" dan Sindiran bagi Si Serakah

CELANA TIDUR

Walau punya bermacam-macam celana tidur,
Ia lebih suka tidur tanpa celana,
Supaya celana bisa tidur di luar tubuhnya
Supaya tidurnya tidak rusak oleh celana


Menurut Wolfgang Iser dalam bukunya yang berjudul The Act of Reading, sebuah teks sastra hanya akan punya makna setelah ia diinterpretasikan oleh seorang pembaca (1987:21). Pendapat ini membuat saya berani mencoba menemukan makna puisi Joko Pinurbo yang paling menggelitik, yaitu puisi berjudul "Celana Tidur" (2003). Saya memang belum punya kemampuan analisa yang memadai, mungkin nanti kalau sudah semakin banyak membaca karya sastra atau barangkali kuliah di Sastra Inggris UTY. Tapi, sebagaimana kata Rimmon-Kenan, seorang pembaca punya kebebasan menginterpretasikan sebuah karya sastra sesuai dengan kemampuannya sendiri sehingga tidak ada benar dan salah dalam menganalisa (1989:4). Yang ada hanyalah bagaimana analisanya, menarik atau tidak, bagus atau biasa-biasa saja, atau malah kacau. Tapi, kalau mengacu Rimmon-Kenan, semua itu tidak masalah. Karenanya, saya "pede" saja mengutak-utik puisi ini.

Begitu membaca puisi yang judulnya saja nyeleneh, "Celana Tidur," saya merasa ada sesuatu yang nyantol di benak. Selama ini puisi-puisi yang saya baca selalu berkaitan dengan cinta. Karenanya, ketika nemu puisi aneh ini saya jadi tahu, ternyata banyak hal lain selain cinta yang juga ditulis dalam puisi. Puisi ini juga sangat pendek. Saya bertanya-tanya, bisa berkata apa si penyair dengan puisi sependek itu? Akhirnya, justru karena begitu pendek, hanya terdiri empat baris dan ditampilkan dengan lucu, puisi ini mengundang rasa penasaran saya karena dia benar-benar tidak biasa. Sekilas, judul puisi ini, "Celana Tidur," bisa membuat pembaca berpikiran bahwa yang dimaksud oleh mas atau Pak penyair adalah frasa benda "celana tidur" yang berarti celana yang dikenakan untuk tidur atau dengan kata lain celana sebagai seragam tidur. Tetapi, orang juga bisa melihat judul ini sebagai sebuah kalimat yang ditampilkan dengan gaya personifikasi, "Celana tidur." Celana sebagai subyek kalimat, tidur sebagai predikatnya. Apakah seperti itu maksud Joko Pinurbo? Apakah dia ingin menampilkan sebuah puisi yang jenaka? Apakah cuma ingin membuat gurauan bahwa celanapun bisa tidur seperti manusia? Itulah yang membuat puisi ini menggelitik. Mana yang benar, "celana tidur" sebagai kata benda yang berarti seragam tidur, ataukah "Celana tidur," sebuah personifikasi yang sengaja ditampilkan oleh Joko Pinurbo, pasti akan terjawab bila kita coba runut baris-baris yang mengikuti judul ini:

Kemungkinan pertama, Joko Pinurbo bermaksud menampilkan celana tidur sebagai frasa benda dan celana tidur mungkin berarti sebuah seragam tidur. Hal ini tampak ketika di baris pertama dan kedua dia mengatakan,

Walau punya bermacam-macam celana tidur,
Ia lebih suka tidur tanpa celana.


Si tokoh dalam puisi ini ditampilkan sebagai seseorang yang punya bermacam-macam celana tidur, namun memilih tidur tanpa celana. Inilah yang juga membuat pembaca mungkin bertanya-tanya. Ada seseorang yang punya koleksi beraneka macam celana tidur. Pastilah dia seseorang yang kaya karena tidur saja harus mengenakan pakaian khusus dan mungkin tiap tidur dia harus memakai celana tidur yang berbeda-beda. Kalau celana tidur saja punya seabreg, pastilah untuk busana lain, seperti busana kerja, busana datang kondangan, dan busana untuk keperluan lain, dia juga punya segudang. Setahu saya, tidak semua orang tahu tentang celana tidur alias seragam tidur. Itu gaya hidup kalangan menengah ke atas. Hanya orang kaya yang tidur saja musti berganti pakaian.

Atau, dia mungkin seorang pejabat yang punya banyak seragam, termasuk diantaranya seragam untuk tidur. Seperti kita ketahui, celana tidur adalah celana yang memang khusus dikenakan ketika akan tidur. Celana tidur sama sekali tidak cocok dikenakan dalam kesempatan lain, bahkan dalam acara-acara di rumah selain tidur. Ketika menemui tamu, orang akan segera berganti celana yang lebih sopan atau pantas dan bukannya mengenakan celana tidur. Jadi, celana tidur memang semacam seragam tidur. Paling tidak, begitulah pendapat umum tentang celana tidur.

Sepintas orang akan merasa kedua baris di atas bernada lucu, namun kalau disimak ternyata tidak hanya lucu tapi juga ada kesan ironis. Kalau memang si tokoh tidak suka mengenakan celana ketika tidur, buat apa dia membeli beraneka macam celana tidur? Baris ini membuat pembaca menangkap kesan bahwa celana atau seragam tidur tidaklah berguna bahkan mengganggu. Mungkin, si tokoh dalam puisi ini ingin menyatakan bagaimana dia benci mengenakan seragam tidur. Mungkin, sebagai orang kaya atau pejabat dia punya begitu banyak uang sehingga ingin memiliki beraneka macam celana tidur dengan beraneka warna dan model serta dengan merek-merek terkenal dari luar negeri. Sebagai orang yang punya kedudukan, mungkin dia merasa harus punya koleksi celana paling hebat di dunia. Selain itu, dia membeli seragam tidur karena kebanyakan orang kaya lainnya juga punya dan mungkin sebagai pejabat dia merasa harus punya aneka macam celana tidur untuk membedakannya dengan orang biasa yang hanya bisa beli dua setel pakaian, untuk kerja sekaligus untuk di rumah, yang sehabis dicuci segera dipakai kembali.

Lain sekali dengan tokoh dalam puisi Joko Pinurbo ini. Dia punya banyak dan bermacam celana tidur tapi akhirnya tidak suka mengenakannya waktu tidur. Mungkin celana-celana itu membuatnya risih. Mungkin dia merasa tidak leluasa dan tidak nyaman tidur bercelana. Ada kemungkinan, dia justru ingin mencemooh dirinya sendiri karena memiliki banyak celana tidur padahal dia sendiri tidak suka. Bisa saja dia akhirnya tersadar, betapa anehnya tidur saja pakai diatur-atur, musti pakai seragam seperti anak sekolah musti berseragam sekolah, atau seperti pegawai kantor pakai seragam kantor. Mungkin akhirnya dia merasa sebel juga karena hidupnya penuh seragam, sampai-sampai dalam aktivitasnya yang paling pribadi dan tidak berhadapan dengan umum, yaitu tidur, pun musti mengenakan seragam. Seragam bagaimanapun merupakan simbol identitas suatu kelompok. Si tokoh dalam puisi ini tidak suka mengenakan seragam tidur karena dia tidak mau tidurnya diembel-embeli beban yang terkait dengan identitas kelompoknya. Dia tidak mau tidurnya diganggu oleh aneka kewajiban sebagai anggota sebuah lembaga seperti itu. Dia tidak mau hidupnya diatur orang lain. Dia ingin menjadi dirinya yang apa adanya ketika tidur. Tidur adalah saat seseorang beristirahat dari segala aktivitas dan nyaris tidak sadarkan diri. Dalam keadaan seperti itu, si tokoh tidak mau terbebani. Dia tidak mau diganggu bahkan oleh selembar celana. Dia ingin menjadi dirinya apa adanya.

"Tidur tanpa celana" berarti tidur telanjang, tanpa busana yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Bisa dibayangkan, tokoh yang ditampilkan ini adalah seorang laki-laki karena seragam tidur yang biasa dikenakan perempuan namanya gaun tidur atau daster, bukan celana tidur. Jadi, si laki-laki dalam puisi ini yakin bahwa ketika tidur dia tidak perlu mengenakan seragam karena dia tidak sedang tampil di hadapan orang lain yang menuntutnya "jaim" alias jaga image. Ketika tidur, mungkin yang ada di dekatnya hanya istri atau anggota keluarga lain yang sangat dekat sehingga dia tidak perlu malu-malu tampil apa adanya. Dalam hal ini dia seperti menandaskan bahwa tidak mau kemerdekaannya menjalani kehidupan pribadi diganggu oleh keharusan "jaim" oleh sebuah seragam tidur yang membuatnya harus bersikap seperti orang-orang lain pada umumnya. Laki-laki ini ingin menekankan bahwa dia punya identitas sendiri, dia punya kehidupan pribadi sendiri yang tidak bisa diganggu gugat. Dia tidak mau diatur-atur, dia ingin dimanusiakan, sebagaimana dia mencontohkan betapa dia juga "memanusiakan" celana dengan membuat sebuah personifikasi yang jenaka yaitu "Supaya celana bisa tidur di luar tubuhnya." Pernyataan ini terdengar kocak, lucu, namun bila dicermati, ada makna yang sangat dalam didalamnya. Si tokoh ingin merdeka dan memiliki kehidupan pribadi yang bebas dari aneka macam seragam sebagai simbol identitas yang ditempelkan oleh orang lain. Tetapi, dia tidak mau menang sendiri atau egois. Dia juga melakukan hal yang sama pada pihak lain, bahkan pada sebuah celana tidur. Celana tidur seperti dikatakan di atas, memang diperuntukkan untuk dikenakan waktu tidur.

Tetapi, si tokoh dalam puisi ini berpendapat, selain menjalankan kewajiban dia juga musti diberi hak untuk merdeka menikmati kebebasan dari aneka beban dan kewajiban. Celana tidur pun berhak punya kehidupan pribadi. Dia tidak boleh hanya selalu digunakan oleh pemiliknya tanpa pernah diberi kesempatan melakukan sesuatu atas pilihannya sendiri. Yang dilakukan oleh si tokoh ini sangatlah aneh dan tentu saja sangat tidak lazim. Mungkin dia oleh kebanyakan orang dianggap sinting karena yang dilakukannya tidak biasa dilakukan orang, berpikir celana bisa tidur dan memberinya kesempatan tidur. Tapi tampaknya dengan cara ini Joko Pinurbo menandaskan betapa pentingnya tenggang rasa, kepedulian, dan kesediaan memberikan kemerdekaan bahkan kepada sebuah benda yang nyata-nyata adalah milik kita. Joko Pinurbo ingin menampilkan gambaran betapa indahnya bila orang bersedia memerdekakan apa yang dia miliki dari keegoisan dan keserakahan. Kesadaran si tokoh dalam puisi ini akan pentingnya sikap memerdekakan dan mencintai apapun yang dia miliki sangat tinggi sehingga dia tidak mau hanya memanfaatkan tapi juga memberi kesempatan untuk "tidur di luar tubuhnya" bahkan pada sebuah "celana tidur." Yang dimaksud si tokoh dengan pernyataan "di luar tubuhnya" barangkali adalah di luar kepentingan jasmaninya. Hal ini bisa jadi terkait dengan kegunaan celana sebagai pelindung sekaligus penutup alat kelamin, salah satu alat untuk mencapai kepuasan jasmani. Dia ingin celana terbebas dari tugas melindungi bagian tubuhnya dan memberinya kesempatan mencapai kepuasan jasmani, yang dalam puisi ini juga bisa diasosiasikan dengan aktivitas "tidur tanpa celana." Si tokoh ingin merdeka mencapai hasrat-hasrat jasmaniahnya tanpa dikekang oleh "seragam tidur," oleh berbagai macam aturan umum. Namun, tidak berarti dia bebas melakukannya tanpa aturan. Justru dalam kebebasan itu dia punya kesadaran mencintai dan memerdekakan si "celana tidur." Hal ini bukan lagi hasrat jasmaniah lagi melainkan sikap hati atau jiwa. Kalau dirasa-rasa, bagian ini mungkin bersifat batiniah, atau spiritual gitu. Bisa jadi, "tidur" pada baris keempat ini mungkin berbeda dengan "tidur tanpa celana" di bagian sebelumnya. Jika di bagian sebelumnya "tidur" bersifat jasmaniah karena terjadi pada "tubuhnya," kemungkinan besar "tidur" di bagian ini adalah tidur yang bersifat spiritual dan terkait dengan segala yang ada di "luar tubuhnya." Karennaya, personifikasi celana tidur ini sangat tepat. Dengan mencintai dan memerdekakan celana tidur dari keegoisannya, si laki-laki ini yakin, tidurnya tidak akan rusak oleh celana.

Kesimpulannya, kalau seseorang bisa mencintai sebuah benda (celana tidur), dia tidak akan kesulitan mencintai sesama makhluk hidup. Kalau seseorang itu egois dan selalu cenderung memiliki sesuatu dengan serakah, dia akan berat merespek sesama. Jika dalam hidup orang bersikap begitu, dia pasti tidak akan mampu menyelaraskan kebutuhan jasmani dan rohaninya sehingga bila tiba saatnya "tidur," maka tidurnya akan "rusak oleh celana." "Tidur" yang dimaksud di sini barangkali tidur yang bersifat spiritual, mungkin yang dimaksud adalah "mati." Jika seseorang penuh dosa dan keserakahan, kematiannya akan ternoda atau "rusak oleh celana," oleh benda-benda duniawi yang diperoleh dengan cara yang serakah dan egois itu. Gambaran yang dipaparkan oleh baris-baris pertama puisi ini: punya bermacam-macam celana tidur, tapi "lebih suka tidur tanpa celana" memang sangat pas.

Puisi Joko Pinurbo ini lebih mirip sindirian pada mereka yang serakah menumpuk harta tanpa tahu bagaimana memanfaatkannya dengan baik karena dia cuma ikut trend atau apa yang umum terjadi dalam masyarakat. Puisi ini merupakan hasil introspeksi yang menarik akan gaya hidup masa kini yang sangat materialistis dan membuat orang cenderung serakah dan egois, berusaha mendapat sesuatu yang sebenarnya mungkin kurang dia perlukan, atau menguber sesuatu sampai-sampai harus mengorbankan orang lain demi prestige atau gengsi dan keserakahan diri. (Chicha DR/ Stero/ XII IPS2)

Referensi
1. Joko Pinurbo, "Celana Tidur".
2. Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading. London: John Hopkins University Press.
3. Rimmon-Kennan. 1989. Narrative Fiction. New York: Pocket books, Inc.


Sumber: http://sastrainggris-uty.edu2000.org, Sunday, 21 September 2008