Pergeseran Tradisi Lirik Menuju Bentuk Naratif

Joko Pinurbo adalah salah satu sastrawan yang cukup diperhatikan di dalam kesusastraan Indonesia, khususnya genre puisi. Jokpin (Joko Pinurbo) menawarkan hal baru dalam konvensi puisi. Ia berusaha untuk menggeser keberadaan kekuatan lirik dalam puisi. Ada beberapa hal yang mendasarinya untuk meninggalkan lirik dalam puisi-puisinya. (?)

Pada awal karirnya menulis puisi, puisi-puisi Jokpin juga masih dipengaruhi oleh tradisi lirik. Namun, setelah lama begelut dalam perpuisian Indonesia, ia mulai mencoba untuk sedikit menggeser tradisi lirik tersebut menjadi bentuk naratif. Pada dasarnya, Jokpin juga tidak menampik adanya kekuatan lirik di dalam puisi karena lirik merupakan suatu pola ekspresi dengan kebeningan suasana, keindahan bunyi, dan kejernihan perasaan. Akan tetapi bagi Jokpin tradisi lirik tersebut haruslah diolah kembali agar tidak terlalu lugu. Pengolahan ini ditunjukkan oleh Jokpin dengan gaya humor dalam puisi-puisinya. Gaya inilah yang menjadikan puisi tidak terkesan lugu. Ada semacam belokan ketika puisi itu dibaca.

Bentuk naratif yang digunakan dalam puisi-puisi Jokpin menjadikan puisi tersebut mudah dinikmati oleh orang dalam berbagai kalangan. Sehingga puisi-puisi Jokpin pun dapat dikatakan sebagai cerita mini. Jokpin menggabungkan bentuk lirik dan naratif dalam puisi-puisinya. Hal inilah salah satu faktor yang menjadikan puisi-puisi Jokpin menarik untuk dibaca. Sebut saja salah satu puisinya yang berjudul Kredo Celana. Puisi tersebut masih menggunakan tradisi lirik dengan jeda-jeda dan ditulis dengan bait-bait. Akan tetapi setelah dibaca, akan terasa bahwa terdapat kekuatan naratif di dalamnya.

Kredo Celana

Yesus yang seksi dan baik hati,
kutemukan celana jeans-mu yang koyang
disebuah pasar loak.
Dengan uang yang tersisa dalam dompetku
kusambar ia jadi milikku.

Ada noda darah pada dengkulnya.
Dan aku ingat sabdamu:
“Siapa berani mengenakan celanaku
akan mencecap getir darahku.”
Mencecap darahmu? Siapa takut!
Sudah sering aku berdarah,
walau darahku tak segarang darahmu.

Siapa gerangan telah melego celanamu?
Pencuri yang kelaparan,
pak guru yang dihajar hutang,
atau pengarang yang dianiaya kemiskinan?
Entahlah. Yang pasti celanamu
pernah dipakai bermacam-macam orang.

Yesus yang seksi dan murah hati,
Malam ini aku akan baca puisi
Di sebuah gedung pertunjukan
Dan akan kupakai celanamu
Yang sudah agak pudar warnanya.
Boleh dong sekali-sekali aku tampil gaya.

...

(2007)


Memperhatikan kutipan puisi di atas, dapat dilihat bahwa pola dalam puisi Jokpin masih berbentuk puisi lirik. Akan tetapi, Jokpin tidak lagi mengutamakan ekspresi perasaan, emosi personal, dan kualitas musikal, seperti yang ada pada puisi-puisi lirik pada umumnya. Ia justru memasukkan bentuk naratif dalam penceritaan puisinya. Bagi Jokpin sendiri, persoalannya bukan pilihan untuk meninggalkan lirik akibat dominasinya dalam puisi. Melainkan untuk mengatasi kurangnya dialog pada lirik. Serta mengembangkannya dengan diksi-diksi yang belum dituliskan oleh penyair-penyair sebelumnya. Lirik dalam perpuisian Indonesia terkesan monoton dan tidak ada usaha untuk memperkaya gaya penulisan. Seolah bahwa menulis puisi adalah seperti yang sudah ditulis oleh penyair-penyair besar masa lalu. Seperti tidak ada usaha untuk sedikit bergeser atau keluar dari pakem yang sudah ada.

Pada dasarnya puisi-puisi Jokpin tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi lirik. Namun dengan variasi pengembangan corak, dari segi kosa kata, dan juga penjelajahan tema. Ia hanya mencoba mengembangkan gaya tulisan naratif supaya tidak terlalu dikuasai oleh tradisi lirik.
Mengenai diksi, Jokpin memilih kosa kata yang sederhana bahkan sering dipakai dalam bahasa keseharian, yang biasanya tidak digunakan dalam bahasa puisi. Hal itu kemudian divariasi dengan gaya humoris untuk mengiringi kedalaman maknanya. Sehingga sebelum mulai memahami isinya, pembaca akan merasa bahwa puisi-puisi Jokpin sangat ringan. Sebagai contoh penggunaan diksi “celana” dalam beberapa puisinya. Diksi tersebut dapat saja mengandung tema kesepian. Bagi Jokpin kesepian masa kini akan sangat berbeda ekspresinya dengan zaman dulu. Jadi kesepian tidak hanya dapat di ekspresikan seperti sepinya Amir Hamzah atau Sapardi. Ia menggunakan metafor celana yang di dalamnya pun dapat digali berbagai macam tema kesepian. Metafor itu ia pilih karena tidak ingin terkungkung oleh senja atau hujan saja dalam mengekspresikan kesepian.

Dan aku tersenyum juga membaca sajak Kredo Celana-nya Joko Pinurbo di hari minggu, dua hari sebelum hari Natal tiba. Lucu. Tapi kemudian aku meringis. Getir. Bukan karena merasa terhina karena Yesus jadi seperti bahan olok-olok. Malah sebaliknya, aku bisa merasakan bahwa seorang Joko Pinurbo bisa begitu bebasnya menikmati rasa keintiman dan kedekatan hubungan dia dengan Yesus-nya yang seksi dan murah hati dan rendah hati.
Murah hati dan rendah hati? Ya. Dia yang adalah Tuhan bisa mau turun ke dunia.
Mau menjelma jadi manusia dan sekaligus jadi Tuhan yang solider, mau merasakan bagaimana jadi manusia. Dan tak ada yang lebih seksi daripada orang yang mau murah hati dan rendah hati. Apalagi ia lahir sebagai bayi manis yang tertidur lelap di palungan dikelilingi bintang-bintang yang terang, serta sekumpulan gembala dan domba-dombanya yang riang.

Dan lantas aku menjadi iri untuk punyai keintiman itu. Aku pun meringis dengan getir. Karena aku masih belum bisa membebaskan diri dari diriku sendiri untuk terjun bebas dalam keintiman yang dalam, yang membebaskan, yang penuh rasa, yang menggairahkan, bersama Yesus, yang tidak hanya dilihat seperti sekedar seorang junjungan, tapi seperti seorang teman lama SMA, dan seorang kekasih yang setia.

Saya meringis. Getir. Dan rindu. Rindu celana-Nya. Dalam rangka mengungkap alam mimpi tersebut, ada semacam kehendak sang penyair untuk menyiasati soal menakutkan ini (kematian) dengan metafor-metafor humoristis. Puisi yang tampak bermain-main namun menyimpan kedalaman yang tak terduga.***

Sumber: www.nairiru.blogspot.com