Perempuan-perempuan Jokpin: Tubuh, Luka, dan Kuasa

Oleh M. Fauzi Bodoh

Tak ada yang benar-benar mengenalinya
selain angin yang masih menyebutnya perempuan.

(Joko Pinurbo, “Penyanyi yang Pulang Dinihari”, 1991)


1/ mukjizat

DALAM sejarah manusia, perempuan memiliki mukjizat yang datang dari bumi, bukan dari langit: dari tulang-belulang yang dibungkus daging, dari anggitan buas kekuasaan manusia, dari luka yang menggairahkan tragedi, di atas bumi makhluk manusia. Mukjizat ini tidak menjadikan perempuan nabi atau rasul, tapi sering menjadi aktor sekaligus korban tragedi dalam sejarah peradaban manusia. Inilah yang menjadikan perempuan menjadi mukjizat dalam arti yang sebaliknya: menggugah tapi digugat.

Mukjizat perempuan itu terus-menerus menemani perjalanan manusia, khususnya perempuan, dalam mengalami tubuh, mengalami ingatan, mengalami pergolakan, mengalami kekuasaan, mengalami waktu: mengalami sejarah manusia. Sejarah itu perempuan: selalu bertumpu pada tubuh dalam luka, yang hendak dikuasai dan menguasai manusia.

Dan sastrawan-penyair, sepertinya, adalah yang selalu mendapatkan wahyu untuk menuliskannya. Atau, paling tidak, orang yang selalu beredekatan, bersinggungan, dan bersitegang dengan perempuan-perempuan zamannya. Lalu, mewartakan kepada segenap manusia. Sebagaimana nabi-nabi dan rasul-rasul, seperti yang dialami Musa di tanah gunung Sinai, seperti yang dialami Muhammad di gua Hira, dan bahkan seperti seperti manusia-manusia yang beberapa saat yang lalu menyebut diri nabi-nabi: selalu dirundung protes, penentangan, pertikaian, peperangan, pengabaian, pengucilan, pengebirian, dan sebagainya, tapi hampir selalu menggairahkan: membentuk spektrum.

Spektrum mukjizat perempuan yang datang dari bumi itu selalu menggairahkan sastrawan-penyair untuk mewarnai karya-karya mereka. Ada yang datang membawa ketakjuban; ada yang datang membawa pentungan agama; ada yang membawa kerajaan dan negara; ada yang datang membawa simbolisme; ada yang datang membawa gairah; ada juga yang membawa tawa yang tragis penuh luka; juga ada yang membawa protes.

Untuk saat ini dan di Indonesia, berdasarkan pengalamanan dan pengetahuanku yang ceroboh dan bodoh, wahyu kenabian itu datang kepada Joko Pinurbo (Jokpin). Hampir sepertiga puisi-puisi Jokpin mengenai perempuan, terutama sebagai tokohnya, yang terhimpun dalam Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2007. Jokpin datang membawa nubuwat, kisah, luka, gairah, kenaifan, melankoli, protes, pengakuan, kesadaran, dan sebagainya, yang diwartakan-disampaikan dalam bait-bait tubuh perempuan.

2/tubuh

BAGI Jokpin, sepertinya tidak ada kitab suci yang pantas untuk diwartakan selain kitab tubuh. Dan tubuh, sebagaimana terwahyukan dari bumi, adalah perempuan, manusia yang paling intens mengalami bertubuh. Perempuan adalah tubuh; tubuh adalah perempuan, demikian wahyu bumi mengatakan kepada kita melalui Jokpin.

Tubuh perempuan, dalam puisi-puisi Jokpin, menjadi kisah, tema, pokok, dan sekaligus, meminjam istilah Ignas Kleden, “tubuh sebagai suatu alat ucap”. Tubuh perempuan menjadi serangkaian huruf, yang membentuk kata dan kalimat, untuk menggapai isi dan makna. Pada akhirnya, membentuk kitab tubuh perempuan.

Siapakah dan apakah tubuh dalam kitab tubuh Jokpin? Aku tidak bisa menjawab dengan pasti. Tanya saja pada penyairnya sendiri jika Anda ingin jawaban pasti. Tapi aku menduga, sekali lagi menduga, Jokpin memang mengisahkan kitab tubuh perempuan sebagai “penjara/makam jiwa” seperti dikatakan Platon, bahwa ada dualisme tubuh-jiwa, yang membedakan antara yang materi dan ide, dan yang memposisikan nilai tubuh lebih rendah di bawah ide. Namun, lebih jauh, Jokpin lebih pas kalau dikatakan mengikuti pemikiran Aristoteles, muridnya Platon, yang menolak dualisme Platon tersebut. Aristoteles menggambarkan ketakterpisahan antara tubuh dan jiwa (ide) seperti lilin dan bentuknya lilin (Synnott: 2002, 14-15).

Yang menarik, Jokpin sepertinya lebih banyak menggambarkan dan bergolak tentang lilin itu sendiri. Ya, tubuh perempuan sebagai lilin yang bisa membakar diri sendiri, menerangi orang lain, pemicu kebakaran, dan selalu bermasalah. Tubuh lilin: metafor, pokok, dan makna. Dengan cara ini, Jokpin bebas memainkan tubuh dalam puisi-puisinya dengan elegan, estetis, tragis, melankolis, dan terkadang naif yang menantang. Dan dengan cara itu, Jokpin memasuki tubuh tidak hanya sebagai “bait Roh Kudus” seperti yang dikatakan Santo Paulus (dalam puisi Jokpin tubuh bahkan bisa tidak kudus), tapi juga memasuki wilayah eksistensialisme tubuh seperti yang dikatakan Jean Paul Sartre, “Tubuh adalah saya…Saya adalah tubuh” (Synnott: 2002, 11).

ADA beberapa perempuan yang laik dicatat dalam esai aneh dan jelek ini. Yang pertama adalah perempuan yang sudah termaktub dalam sejarah masa lalu: Kartini dan Maria Magdalena. Yang kedua adalah perempuan-perempuan kontemporer di sudut-sudut perkotaan seperti para penyanyi kelas bawah, PSK, dan sebagainya.

Perempuan yang termasuk dalam kategori yang pertama bisa kita lihatlah pada puisi Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem. Puisi ini dengan baik menangkap kegelisan, harapan, dan keputusasaan RA Kartini. Juga mampu menangkap suasana zaman dengan pernik-perniknya seperti kereta api, sawah-sawah, perempuan-perempuan tangguh, kebaya, batik, pabrik-pabrik gula, dan perahu layer. Tapi, dalam puisi ini, Jokpin tidak begitu intens menggunakan kepiawaiannya mengolah tubuh baik sebagai metafor, pokok masalah, atau alat ucap. Bisa dibilang, Jokpin gagal kalau kita mengaitkan dengan keintimanan dan kepiawaian Jokpin menggunakan tubuh perempuan. Padahal, kita tahu, kisah kasus RA Kartini sangat erat kaitannya dengan status dan identitas keperempuanan (femininitas) RA Kartini yang terkait dengan tubuh.

Berikutnya, penggambaran tubuh, pergolakan, dan pemberontakan perempuan bisa kita baca dalam Minggu Pagi di Sebuah Puisi. Puisi ini menggambarkan permasalahan seorang ibu yang mencari anaknya yang hilang dan Maria Magdalena:

“Ibu hendak kemana?” Perempuan muda itu menyapa.
“Aku akan mencari dia di Golgota, yang artinya:
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjuk potret anaknya.
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.

Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.
Lalu katanya: “Ia telah menciumku sebelum diseret
ke ruang eksekusi. Padahal Ia cuma bersaksi
bahwa agama dan senjata telah menjarah
perempuan lemah ini.”

Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;
pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk;
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”

(Joko Pinurbo, “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”, 1998)


Dalam puisi ini, yang profan dan sakral, yang kudus dan yang kotor, yang lemah dan yang kuat, memiliki eksistensinya sendiri dalam persentuhan dengan bagian-bagian tubuh: bibir, jari, dan vagina. Kedua perempuan itu sama-sama kehilangan; yang satu kehilangan anaknya yang pernah bertemu dengan Magdalena; Magdalena kehilangan eksistensinya yang telah dijarah oleh agama dan senjata. Jopkpin menggunakan tokoh-tokoh sejarah dengan membuat puisi-cerita yang memukau, padat, dan penuh protes kalau tidak mau mengatakan mendekonstruksi pemahaman.

Sayang, saya tidak begitu banyak tahu tentang Magdalena. Yang aku tahu dia, konon, adalah seorang pelacur. Ada juga yang mengatakan bahwa dia termasuk santo perempuan pada zaman dahulu ketika perempuan masih memiliki kekuasaan dalam gereja.

Yang menarik, pada akhir puisi ini, Jokpin memberikan gebrakan pertanyaan mistis-filosofis, bukan sekadar salam, “dan dua perempuan/mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan?” Ada pemberontakan dan gugatan dalam puisi ini. Penutup puisi ini menggugat dan memprotes dengan sopan dan satiris. Perempuan dan agama dalam puisi Jokpin, sangat kental dengan aroma pemberontakan dan perlawanan terhadap pemahaman yang selama ini menghinggapi benak masyarakat. Selain itu, penggambaran bagian-bagian tubuh perempuan yang dianggap tabu untuk diucapkan malah digambarkan dengan muram, sedih, dan tragis, tapi tidak pornografis.

Berikutnya adalah perempuan-perempuan Jokpin kontemporer. Eksistensi tubuh perempuan menjadi tema reflektif yang memukau dalam puisi Di Salon Kecantikan. Pergolakan, pertentangan, keinginanan, hasrat muda, penundaan kekalahan, dan gugatan dalam tanya-tanya filosofis, masuk ke dalam kehidupan perempuan melalui tarikan tubuh yang termanifestasikan dalam konsep kecantikan. Kecantikan merasuki kehidupan perempuan untuk dibawa ke alam cemas, gundah, gelisah, was-was, dan kesadaran yang kalah dan tak berarti lagi di hadapan hasrat cantik. Eksistensi tubuh perempuan seakan mau tidak mau harus ditautkan dengan kecantikan: konsep yang terus-menerus berubah oleh kehendak zaman dan kepastian usia.

Semua itu bisa kita baca pada penggalan puisi Di Salon Kecantikan: “Mata, kau bukan lagi bulan binal/yang menyimpan birahi dan misteri”//”Rambut, kau bukan lagi padang rumput/yang dikagumi para pemburu.”// “Dada, kau bukan lagi pengunungan indah/yang dijelajahi para pendaki.”

Tentu sudah banyak yang membahas dan menulis tentang kecantikan. Tapi yang menulis puisi seintens, sedalam, dan sefilosofis Jokpin dengan menggunakan tubuh, aku belum menemukan bahkan dari para pemikir feminis. Apalagi yang menggunakan tubuh sebagai tema pokok dan alat pengucapan, aku belum pernah membacanya. Saat membacanya, aku bertanya-tanya: apakah Jokpin seorang perempuan? Apakah Jokpin sedang berada di salon berhari-hari untuk mengamati gejolak hati seorang perempuan?

Kalau dalam Di Salon Kecantikan kita membaca kecemasan yang tak terelakan, kita tidak menemukan kecemasan serupa dalam Gambar Porno di Tembok Kota. Kita dihadapkan pada perempuan tegar menghadapi kegetiran hidup yang termanifestasikan dalam tubuh-tubuh penuh luka. Bahkan, perempuan dalam puisi ini tampak cuek dengan permasalahan yang dihadapinya.

Dalam Gambar Porno di Tembok Kota (juga dalam Perempuan Jakarta, Di Sebuah Vagina, dan Perempuan Senja, dan Mei, meski tidak begitu intens penggunaan tubuhnya) kita dihadapkan pada bagian-bagian tubuh perempuan dalam suasana muram penderitaan yang disimpan. Tubuh perempuan ditempatkan dan digambarkan dalam situasi-kondisi paradoks, antara kegairahan pesona tubuh dengan penderitaan. Tubuh, dalam puisi ini, menjadi alat ucap yang estetis tragis yang tersimpan dalam tubuh perempuan.

Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam.
Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
seperti ingin memamerkan kecantikan:
wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang menyimpan beribu jeritan;
dada montok yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni semak berduri.
...

“Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat,
mesti kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar
di puncak risau. Maaf, aku tidak punya banyak waktu
buat bercinta. Aku mesti lebih jauh lagi mengembara
di papan-papan iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang
dari Amerika cuma untuk jadi penghibur
di negeri orang-orang kesepian?”

“Terima kasih, gadisku.”
“Peduli amat, penyairku.”

(Joko Pinurbo, “Gambar Porno di Tembok Kota”, 1996)


Jokpin mengembangkan konsep metafor tubuh menjadi alam semesta pada Kisah Semalam. Kita seakan dihadapakan dengan tubuh perempuan selaiknya kita berhadapan dengan alam. Tapi, kalau nuansa naturalisme bisa membuat kita merasa teduh, damai, dan tentram, kita malah dihadapkan pada tubuh dengan nuansa yang mengerikan, seperti saat kita menonton film 2012.

Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan
yang dikira bakal cepat sirna:
kota tua yang porak poranda pada wajah
yang mulai kumal dan kusam;
langit kusut pada mata yang memancarkan
cahaya redup kunang-kunang;
hutan pinus yang meranggas pada rambut
yang mulai pudar hitamnya;
pada rumput kering pada ketiak
yang kacau baunya;
bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang
susut kenyalnya;
pegunungan tandus pada pingul dan pantat
yang mulai lunglai goyangnya;
dan lembah duka yang menganga antara perut
dan paha.

(Joko Pinurbo, “Kisah Semalam”, 1996)


Perempuan-perempuan Jokpin berhadapan dengan kehidupan perkotaan seperti Jakarta. Kehidupan mereka tetap sama dan diceritakan dalam bait-bait tubuh penuh luka. Mereka berhadapan dengan budaya massa yang memperdayai tubuh-tubuh mereka. ”Memang tampak cantik ia/ dengan celana merah menyala// senja berduyun-duyun/mengejar petangmengejar malam// Pada sebuah billboard masih juga ia bertahan/dengan airmata yang disembunyikan//. Perempuan-perempuan Jokpin tak ubahnya hiasan moral yang di tembok-tembok kota. Mereka menjadi ornamen kota.Mereka menghadirkan kemeriahan penuh luka. ”Kota akan kehilangan dia bila ia tidak lagi di sana,” kata Jokpin pada penutup puisi Perempuan Jakarta.

Tubuh perempuan, dalam puisi-puisi Jokpin, bukan hanya kulit-daging dan tulang belulang, yang dirangkai dari bagian-bagiannya. Tubuh perempuan membentuk semacam spektrum warna kelabu, yang membawa aroma tragis-puitis. Spektrum warna itu membentang dari atas kepala sampai dengan organ-organ intim.

3/luka

DARI pembacaan saya terhadap puisi-puisi Jokpin, bisa disimpulkan bahwa perempuan-perempuan Jokpin merupakan cerita-puisi yang kelam, penuh dengan luka di sekujur tubuhnya. Organ-organ tubuh perempuan terluka sayatan kekuasaan terutama pada bagian-bagian tubuh yang perlu atau harus menarik, bergairah, menawan, menggiurkan, dan penuh kontroversi seperti rambut, mata, bibir, wajah, buah dada, pinggul, vagina dan sebagainya.

Aku bahkan tidak menemukan satu perempuan pun dengan sedikit suka-cita, bahagia, tanpa derita dalam kehidupan puisi-puisi Jokpin. Jika pun ada, itu adalah perempuan yang hendak mengelak dengan cara cuek dan mengekspresikan kelukaannya dengan kebahagiaan yang perih. Perempuan-perempuan Jokpin adalah perempuan luka pada sekujur tubuhnya tanpa ampun. Perempuan Jokpin adalah perempuan yang berada dalam kondisi ″dukamu abadi″.

4/kuasa

SIAPA yang membubuhkan luka pada sekujur tubuh perempuan, penyairku? Siapa?

Eksplorasi tubuh perempuan dalam puisi-puisi Jokpin selalu bersinggungan dengan berbagai kekuatan eksternal tubuh itu sendiri. Di sini, Jokpin memasuki daerah kekuasaan, apapun itu, dengan membawa tubuh perempuan untuk bercerita, menjadinya tema, pokok masalah, dan terkadang menantang pemahaman dan perlakuan kejam terhadap tubuh perempuan.

Kebanyakan kisah, tema, pokok, dan alat ucap tubuh Jokpin adalah perempuan (luka). Kesadaran tubuh perempuan Jokpin ini memang tidak lepas dari pergolakan tubuh (perempuan) dalam sejarah manusia. Tubuh perempuan selalu menjadi masalah, pergolakan, permainan, pelecehan, pelarangan, perebutan, dan sebagainya atas nama kuasa-kuasa pemikiran filosofis, wahyu-wahyu agama, kerajaan-pemerintah, norma-norma tradisional, dan bahkan korporasi yang sekarang banyak menemani kehidupan perempuan.

Tubuh bagi Jokpin adalah “mayat//yang saya pinjam//dari seorang korban tak dikenal// dan tergeletak di pinggir jalan” (“Tubuh Pinjaman” 1999/2007). Puisi ini memang agak aneh jika menempatkan tubuh sebagai korban yang tidak dikenal. Padahal, kalau kita membaca puisi-puisi Jokpin, kita akan melihat dengan jelas, korban itu adalah tubuh perempuan. Tubuh perempuan adalah korban, yang sudah menjadi mayat yang dipinjam. Dengan kata lain, tubuh yang tidak bisa lagi dikuasai oleh penggunanya, perempuan. Sekadar pemakai.

Meski demikian, anehnya, akan selalu ada “petugas yang menanyakan status,//ideologi, agama, dan terutama harta kekayaan//.” Petugas itu bisa keluarga, negara, agamawan, politikus, media massa, atau bahkan pacar dan teman kita.

Aneh memang, adakah tubuh berstatus, berideologi, beragama? Pada bagian mana tubuh itu beragama dan berideologi? Bagaimana tulang-belulang dengan segumplan daging dengan aneka warna dan coraknya bisa memiliki semua itu? Bukankah status, ideologi, dan agama, merupakan sebentuk non-materi, bagaimana cara memungkinkan semua itu melekat pada tubuh yang materi?

“Sudah kurambah seluruh// kilometer tubuhmu
sampai ke gua-guanya yang paling dalam
dan tebing-tebingnya yang paling curam
dan hanya labirin yang kutemukan.”

(Joko Pinurbo, “Perburuan”, 1999)


Kalau melihat secara kronologis, petikan dua larik puisi ini mewakili puisi-puisi Jokpin yang paling terbaru sedangkan yang menggambarkan pergolakan tubuh perempuan kebanyakan ditulis pada tahun 1991 sampai tahun 1999. Itu artinya dalam permenungan Jokpin tentang tubuh perempuan ternyata hanya menemukan labirin. Jokpin mendapati jawaban jalan tak ada ujung tentang kuasa terhadap tubuh perempaun. Labirin, menurut pengamatanku terhadap puisi-puisi Jokpin, mengandaikan perjalanan derita dan luka yang tidak pernah selesai. Sepanjang perempuan memiliki tubuh, sepanjang itu pula, sepertinya, jalan tak ada ujung yang harus ditempuh dalam derita dan luka.

Akan selalu ada kuasa pada tubuh-tubuh perempuan. Dan tubuh itu, memang, satu-satunya yang bisa didera, dipenjara, dibuat derita, dan dikuasai. Dalam puisi Jokpin, itu tidak sepenuhnya terpenuhi, bahkan setelah orang-orang menyerukan revolusi dan revolusi beberapa kali melanda dunia. Perempuan-perempuan Jokpin masih berada dalam kondisi setengah bebas dan setengah menderita. “Tinggallah airmata yang menetes pelan/ ke dalam segelas bir yang menempel pada dada/ yang setengah terbuka, setengah merdeka.”// (Joko Pinurbo, “Perempuan Pulang Pagi”, 1997/2007).

Terakhir, beruntunglah, Jokpin mulai mengurangi penulisan puisi tentang perempuan pada tahun-tahun belakangan, sejak tahun 2000-an. Aku berharap, tubuh-tubuh perempuan Jokpin mulai sembuh. Sehingga mereka bisa menjadi perempuan tanpa luka-derita, sehingga penggalan puisi ini tidak akan pernah kita temukan lagi: "Tak ada yang benar-benar mengenalinya / selain angin yang masih menyebutnya perempuan"//. []

(Dimuat di Litera edisi Juli-September 2010)

Surakarta, 13 Maret 2010

M. Fauzi, yang lahir di Madura, masih berstatus mahasiswa sastra Inggris UNS, tapi hampir tidak pernah membaca buku sastra apalagi yang berbahasa Inggris, dan tidak mengambil kajian sastra atau linguistik. Dia mengambil Kajian Amerika (American Studies). Lebih suka menulis catatan tentang dirinya dan teman-temannya. Tulisan esai ini sekadar kecelakaan. Email: fauzi_sukri@yahoo.co.id

Sumber: www.balesastrakecapisolo.blogspot.com