Kutub Estetik Dua Penyair

Putu Fajar Arcana
(Kompas, Minggu, 31 Juli 2005)

Barangkali lebih dari tiga dekade, WS Rendra sebagai penyair dan pembaca puisi hidup menjadi mitos di kepala kita. Mitos membuat manusia penyair yang hidup sesudahnya rikuh, salah tingkah, kehilangan inspirasi, dan akhirnya harus tunduk sebagai epigon.

Selubung "besi" mitos itulah yang harus ditembus dua penyair Joko Pinurbo (Yogyakarta) dan Warih Wisatsana (Denpasar) saat pertama mengibarkan kepenyairan mereka di era awal tahun 1990-an. Hebatnya, ketika membaca puisi, Jumat (29/7) di Teater Utan Kayu, Jakarta, keduanya menunjukkan bahwa mitos itu kehilangan jejaknya.

Joko dengan ciri khas di mana puisi tidak tampil sebagai sesuatu yang "angker" di satu kutub, sementara kutub lainnya Warih mengisyaratkan keterampilan dan upaya yang sungguh-sungguh di dalam mengolah kata. Warih adalah ciri penyair yang bisa berteriak histeris ketika menemukan "kimiawi" kata, dan Joko dingin-dingin saja ketika menuliskan tentang kuburan atau celana kesukaannya.

Barangkali agar mendapatkan gambaran lebih utuh kutub mereka masing-masing, saya kutipkan penggalan puisi kedua penyair, yang bisa saja kita interpretasikan sebagai kredo kepenyairan mereka.

Dalam puisi berjudul Bertelur, Joko Pinurbo menulis://...Aku ini seorang peternak: saban hari/mengembangbiakkan kata, dan belum kudapatkan kata/yang bisa mengucapkan kita/Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku ini//Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama/tak lagi melahirkan kata/Kuerami ia saban malam/sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan...//

Langsung kita perbandingkan dengan puisi Grafiti Penuh Grafiti dari Warih Wisatsana://...Aku temukan celah masuk/di retak tembok itu/bagi sebaris sajakku/yang malu- malu/yang ragu-ragu//Sekelumit kalimat/penahan sayat sakit/pil penenang semalaman/sebelum tiang gantungan...//

Secara sederhana dan tampak tak "susah-susah", Joko membuat analogi "pekerjaan" menyair tak berbeda jauh dari pekerjaan seorang peternak. Meski tekun saban hari "mengembangbiakkan" kata, belum juga ia memperoleh kata-kata yang mampu mewakili sebagian terbesar dari kehidupan.

Warih barangkali lebih penuh dengan metafor. Diksi adalah soal terbesar penyair ini yang harus terus-menerus disikapi. Karena dari diksi ia berhasrat menemukan "kimiawi" kata untuk membentuk rima sehingga sangat indah ketika dibacakan. Puisi ibarat grafiti yang dituliskan untuk mewakili satu ekspresi terkini dari satu generasi.

Bahkan, Warih menganggap aliran puisi telah merembes pada retak celah dirinya. Di situlah ia mencoba membaca dirinya, yang lebih dari 16 tahun "bergaul" dengan puisi. Apa dan siapa aku?

Tombak
Dua penyair ini ibarat tombak kembar dari dua kutub berbeda yang hadir menerobos keterkungkungan generasi terkini dari mitos Rendra. Era bahwa puisi membutuhkan penghayatan untuk menggelorakan heroisme, yang kemudian melahirkan puisi-puisi pamflet, berakhir di ujung pena mereka. Era ini pula yang menyumbang kegandrungan sebagian besar demonstran memperalat puisi sebagai orasi dalam berbagai demonstrasi sampai kini.

Pada Joko dan Warih, puisi adalah sebuah kebersahajaan dan kesungguhan. Ia tidak perlu dibebani oleh misi-misi di luar dirinya, yang pada akhirnya menjerumuskannya pada deretan kata-kata penuh pekik.

Simaklah caranya Joko mengatakan nasib seorang guru yang terpaksa menjadi pengojek. Tetapi, ketika "aku", mantan muridnya, naik ojek, guru itu malah menolak dibayar. Padahal, sang murid ingin memberinya ongkos kejutan. //...Nyaman sekali rasanya diantar pulang Pak Guru/sampai tak terasa ojek sudah berhenti di depan rumah/Ah, aku ingin kasih bayaran mengejutkan/Dasar sial/Belum sempat kubuka dompet, beliau/sudah lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja...//Tak ada angin tak ada hujan, Ayah tiba-tiba/ bangkit berdiri dan berseru padaku, "Dengan kata lain/kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu!"// (Dengan Kata Lain)

Puisi-puisi Joko adalah ironi-ironi hidup manusia sehari-hari yang diungkapkan dengan kata-kata banal. Ia merasa tidak perlu meletakkan puisi sebagai sesuatu yang "sakral" meski tidak berarti ia menyepelekan kepenyairannya.

Sementara Warih seakan berada di kutub seberang. Penyair ini terkenal sangat perfeksionis. Sebelum puisi- puisinya dipublikasi bila perlu ia igaukan dalam tidurnya. Pada akhirnya memang tercipta satu puisi yang indah secara diksi dan sublim di dalam pemaknaan.

Soalnya sekarang tinggal bagaimana menjaga agar kebersahajaan tidak jatuh menjadi eksploitasi estetik dan kesungguhan tidak menjadi "penghambaan" yang bablas. Kata Chairil Anwar, penyair harus tetap berjaga di garis batas pernyataan dan impian.