(Koran Tempo, Kamis, 6 Oktober 2005)
Tahun ini, Khatulistiwa Literary Award memisahkan kategori puisi dan prosa.
Jakarta -- Seno Gumira Ajidarma tengah berbahagia. Pasalnya, seperti tahun lalu, ia kembali meraih penghargaan sastra Khatulistiwa Literary Award 2005 pada Jumat (30/9). Seno menyabet 100 juta rupiah lewat novel karyanya, Kitab Omong Kosong, sebagai karya prosa terbaik.
Sementara itu, penghargaan utama untuk kategori puisi jatuh ke tangan penyair Joko Pinurbo. Jokpin--sapaan akrabnya--akhirnya meraih penghargaan itu setelah beberapa kali hanya menjadi nomine. Kali ini, ia sukses meraih hadiah uang 50 juta rupiah lewat buku kumpulan puisinya, Kekasihku. Kitab Omong Kosong menyisihkan empat nomine lainnya, dua di antaranya novel, yaitu Cermin Merah karya N. Riantiarno dan Nayla karangan Djenar Maesa Ayu. Sementara itu, dua lainnya berbentuk antologi cerpen: Parang Tak Berulu ciptaan Raudal Tanjung Banua dan Sihir Perempuan milik Intan Paramaditha.
Novel Kitab Omong Kosong pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Koran Tempo pada 2001 dengan judul Rama-Sinta. Novel terbitan Bentang itu bercerita tentang pertarungan abadi antara kebaikan dan kejahatan serta kehadiran tokoh Rama dan Sinta. Namun, dalam novel setebal 624 halaman itu, tokoh Rahwana tak mampu dimusnahkan oleh Rama. Menurut ketua dewan juri Riris K. Toha Sarumpaet, novel karya Seno itu piawai mengolah gagasan dengan bobot yang matang. Novel itu juga mengusung kearifan lokal dan mengawinkan nilai-nilai kemanusiaan dengan nilai-nilai kebatinan manusia. Kendati mengobrak-abrik mitos baku, kata Riris, "Tulisan Seno yang gesit. Bisa membuat pembaca untuk bertahan (membaca hingga selesai)."
Sementara itu, Kekasihku karya Jokpin menyingkirkan kumpulan puisi Gugusan Mata Ibu karya Raudal Tanjung Banua, Kerygma dan Martyria karya Remy Sylado, Indonesiaku karya Hamid Jabbar, dan Matahari-matahari Kecil karya Iman Budhi Santoso. Keunggulan karya Jokpin, menurut juri, terletak pada kesederhanaannya. Puisi-puisi Jokpin kadang membahas hal-hal remeh yang jarang singgah dalam pikiran orang biasa. Selain itu "Puisinya ringan, diselingi humor, dan penuh dengan metafora yang segar," kata Riris.
Metafora itu, misalnya, hadir dalam puisinya berjudul Pacar Senja. Di situ, Joko melakukan personifikasi atas senja. Senja digambarkan hidup dan bercinta dengan pantai. Joko mengakui, puisi-puisi di Kekasihku lebih sederhana dan tidak seliar puisi-puisi terdahulu. "Kekasihku adalah muara dari pencapaian estetika saya yang selama ini menggumpal," kata Jokpin.
Penghargaan Khatulistiwa tahun ini memang sedikit berbeda dengan tahun lalu. Kategori puisi dan prosa, yang tahun lalu berada dalam kategori yang sama, yakni fiksi, sekarang dipisahkan. Hal itu, menurut ketua penyelenggara penghargaan Richard Oh, sengaja dilakukan setelah mendengar aspirasi yang berkembang.
Sementara itu, kategori nonfiksi tahun ini ditiadakan karena dirasakan pesertanya kurang. Tahun lalu, dalam kategori fiksi, muncul dua pemenang, yaitu Seno Gumira Ajidarma dengan novel Negeri Senja dan Linda Christanty dengan kumpulan cerpennya Kuda Terbang Mario Pinto. Atas prestasinya itu, Seno dan Linda menyabet hadiah masing-masing 50 juta rupiah.
Adapun untuk kategori nonfiksi, Sapardi Djoko Damono meraih penghargaan atas karyanya, Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan. Sastrawan-sastrawan yang pernah meraih penghargaan Khatulistiwa lainnya adalah Hamsad Rangkuti (2003) atas kumpulan cerpennya Bibir dalam Pispot, Remy Sylado (2002) atas novelnya Kerudung Merah Kirmizi, dan Goenawan Mohamad (2001) atas kumpulan puisi Sajak-sajak Lengkap 1961-2001.
INDRA DARMAWAN