(GATRA, 6 Juni 2007)
Benarkah penyair celana hendak menanggalkan celana di sajak-sajak barunya? Yang jelas, rombongan ide baru lebih singkat dan seperti lebih susah cara bikinnya.
DARI Joko Pinurbo atawa Jokpin untuk Nurcahyaningsih. “Selamat Ulang Tahun ke-44,” begitu bunyi baris pertama. Lempang, tidak puitis, tanpa basa-basi. Jokpin tidak mengenal Nurcahyaningsih. Baru saja, seorang teman memintanya menulis sederet kata sebagai kado buat ulang tahun si empunya nama.
Dan malam itu, enak saja lelaki kurus itu menuliskan sebaris lagi, “tua cuma perasaan”. Begitu sederhana rangkaian kata itu, sehingga orang merasa pernah mengucapkan atau sering mendengarnya. Terasa sedap seperti sup ayam pelipur bagi lara yang cemberut. Kado awet muda yang tidak kalah mujarab ketimbang krim muka antikerut.
Tak sampai menghabiskan sebatang rokok untuk menemukan deretan kata, yang kata anak sekarang, dalem banget itu. Dan saya tidak menyesal telah terburu-buru menyetor sedikit kekaguman atas keahlian Jokpin mencari kata-kata itu dalam waktu singkat.
Padahal, belakangan lelaki berbibir lumayan tebal itu memberi pengakuan, “Sebetulnya itu kutipan dari salah satu puisi saya berjudul ‘Februari yang Ungu’(kumpulan puisi Kekasihku, 2004). Mungkin nggak cocok buat yang ulang tahun, ya?” kata Jokpin berlagak kurang percaya diri.
Menurut dia, membuat kata-kata puitis jauh lebih berat daripada membuat puisi. Secuil kisah itu terjadi setelah rangkaian acara peluncuran dua buku kumpulan puisi Joko Pinurbo, Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung dan Kepada Cium, di Toko Buku Aksara, Kemang, Jakarta Selatan, Jumat malam lalu.
Judul buku yang disebut duluan merupakan gabungan tiga kumpulan puisi Jokpin yang telah dipublikasikan penerbit Indonesia Tera. Masing-masing, Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), dan Pacar Kecilku (2002).
“Yang belum sempat masuk Celana saya taruh dalam Sarung. Tapi Sarung tidak lagi memuat yang berasal dari Celana,” ujar Jokpin. Kali ini, ia berkelakar tentang “hubungan intim” antar-dua dari tiga judul kumpulan puisinya yang digabung jadi satu buku itu.
Sementara itu, kumpulan Kepada Cium berisi 33 puisi yang dibuat sepanjang tahun 2005-2006. Dia menjadi semacam rangkuman dan pengendapan semua kumpulan puisi Jokpin sebelumnya. Di dalamnya ada “kisah pendek” tentang celana, ranjang, telepon genggam, dan kamar mandi. Juga tentang kuburan, nisan, becak, dan objek-objek banal lainnya. Semuanya pernah hidup dalam puisi-puisi Jokpin sebelumnya.
“Sehabis ini, saya akan bikin puisi dengan jenis beda lagi. Pilihan objeknya belum jelas,” kata lelaki kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962 itu. “Saya tidak bisa memastikan apa yang mau saya tulis, tapi pasti lain dari yang sebelumnya,” Jokpin menambahkan. Selintas seperti gimmick pemasaran, padahal itu keputusan beneran.
Keputusan untuk berpaling itu, janji Jokpin kepada kata-kata. Reaksi atas kemapanan dan kenyamanan objek serta tema yang lima tahun belakangan sudah bisa mengongkosi kelahirannya sendiri: menjadi puisi. Dulu, menurut Jokpin, rombongan Celana dan kawan-kawan itu lahir karena dirinya ingin mengambil tema berbeda dari yang dituliskan penyair lain.
“Kadang-kadang proses yang dialami penyair itu aneh,” kata Jokpin, yang berhasil memboyong Hadiah Sastra Lontar 2001 untuk buku kumpulan puisi pertamanya, Celana.
Selama 20 tahun, ia mengaku berlatih teknik untuk menulis puisi romantis, lembut, dengan imajinasi tentang hujan, senja, sungai, dan hal-hal seperti itu, yang akhirnya dia tinggalkan.
Ketika Celana lahir pada 1999, nama Joko Pinurbo mulai disebut-sebut dalam ranah sastra Indonesia. Ia seperti penyair iseng yang secara mengejutkan berhasil mengentaskan kata, kalimat, dan tema sehari-hari menjadi raising star di panggung sastra Indonesia modern. Dan berangsur menjadi superstar lewat tujuh kumpulan puisi berikutnya.
Sapardi Djoko Damono menyebutkan, Jokpin memberikan warna baru dalam puisi Indonesia. Penyair “senior” yang karya-karyanya dituduhkan secara relatif mempengaruhi gaya Jokpin itu menambahkan. “Dia menggunakan suatu cara pengungkapan yang mungkin orang lain tidak pernah mau mengembangkannya.”
Nirwan Dewanto menuliskan bahwa puisi Celana dan rombongannya telah berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik. Dan Ayu Utami menilai puisi Jokpin melampaui estetika, menyentuh wilayah peka manusia.
Itu baru contoh sanjungan yang bersifat non-ekonomi. Karena ada juga beberapa penghargaan buat Jokpin yang punya nilai ekonomi lumayan untuk ukuran penyair domestik. Terakhir, kumpulan puisi Kekasihku (2004) berhasil meraih Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2005 dengan hadiah duit sebesar Rp 50 juta.
“Lima tahun terakhir ini, dari puisi, saya bisa mengongkosi aktivitas membuat puisi,” kata Jokpin. Selain honor menulis di halaman sastra beberapa media massa, duit puisi paling rutin didapatnya dari undangan diskusi atau membacakan puisi-puisinya di berbagai tempat. Tarifnya “damai”, disesuaikan dengan kemampuan pengundang.
Kadang duit yang diterimanya pas banderol. Lain kali di atas rata-rata air. Satu-satunya kuitansi pembayaran honor “berlebih” yang masih disimpan rapi adalah ketika Jokpin membaca puisi-puisinya dalam perhelatan sebuah apartemen mewah di bilangan Pakubuwono, Jakarta Selatan. “Saya baca tiga puisi selama satu menit, honornya Rp 5 juta,” katanya. Sampai saat ini, kuitansi itu jadi rekor honor baca puisi tertinggi dalam sejarah kepengarangannya.
Setelah semua yang didapat itu, Jokpin mau berpaling dari celana dan kawan-kawan? Antara terkesan dan khawatir, saya menduga-duga ke mana arah perubahan yang dia maksudkan.
Ternyata tidak perlu repot-repot. “Sebagian terlihat dalam sajak-sajak yang saya buat tahun 2007,” ujar Jokpin, sembari menyebut alamat http://matarindu.blogspot. com, tempat puisi-puisi baru itu ia publikasikan. Sampai awal pekan ini, seperti terbaca dalam blog-nya, ada lima puisi yang itulis/dikirim Jokpin sepanjang Mei 2007.
Selain belum muncul objek celana dan rombongannya itu, perbedaan paling menonjol dibandingkan dengan puisi-puisi sebelumnya: kali ini Jokpin lebih hemat dalam jumlah baris. Puisinya lebih pendek-pendek. Sementara yang masih tidak lupa setor muka adalah gaya ungkap yang —meminjam diksi Jokpin— simpel dan sederhana, liris, seperti narasi singkatnya dalam puisi “Sungai Kecil” yang cuma sebaris: “Aku mengalir, kau gemercik sampai ke hilir.”
Atau lima baris puisi “Mata Bulan”:
Bulan tak akan meminta kembali cahaya
yang telah dicurahkannya ke matamu
supaya bila redup atau tertutup awan
ia masih bisa melihat kecantikannya
yang tak pernah padam.
Karakter lain yang tidak membuat puisi-puisi baru Jokpin terbaca berbeda dari karya sebelumnya adalah diksi sehari-hari yang melahirkan situasi jenaka; humor yang sekali waktu kurang ajar, kali lain terasa getir. Ini terbaca pada puisi pendek berjudul “Rumah Horor”:
Hi.... Aku merinding masuk ke rumahmu:
semua dindingnya penuh dengan fotomu.
Membuat puisi pendek tidak semudah yang dibayangkan. Strategi mempersingkat baris kata dan kalimat dengan sendirinya melahirkan pekerjaan baru; memeras dan mengkristalisasi ide. Syariatnya bisa berupa memotong kata sambung dan ornamen-ornamen yang biasanya memberi efek puitis pada puisi “konvensional”.
Bisa dibayangkan jika sebelumnya rata-rata Jokpin membutuhkan ratusan kali untuk keluar-masuk mereparasi satu judul puisinya sebelum siap dipublikasikan. Dengan pekerjaan tambahan itu, rantai menuju “kesempurnaan” puisi mestinya akan lebih panjang.
Ditambah lagi, Jokpin bukanlah tipe penyair yang spontan. Sesekali ia mengaku berhasil memproduksi sebuah puisi dalam hitungan hari. Tapi kebanyakan butuh dua sampai tiga tahun untuk mencerap dan mengendapkan sebuah gejala atau peristiwa menjadi ide yang siap dituliskan.
Contohnya, sudut pandang Jokpin soal tragedi Mei 1998 baru berhasil dirampungkannya sebagai puisi berjudul “Mei” pada tahun 2000. “Rata-rata satu bulan saya membuat satu setengah puisi,” kata Jokpin. “Tapi setiap detik saya berpikir tentang puisi,” ia menambahkan.
Jadi, jangan bertanya “sedang apa” jika suatu saat Anda melihat Jokpin tepekur di depan salah satu puisi yang sedang digubahnya. Apalagi sampai mengolok-oloknya dengan lontaran stereotipe penyair. Nanti Jokpin menjawab: “Sedang membuat batu nisan untukmu” (“Sedang Apa”, dari kumpulan Kepada Cium, 2006).
Bambang Sulistiyo